إذا تزوجت المطلقة فليس لها حقٌ في الحضانة
السؤال 20705
طلقت زوجتي ولدينا 4 أبناء أعمارهم 1و3 و5 و7 سنوات ، ثم تزوجت مطلقتي من رجل مسلم ، فطلبت حق رعاية أبنائي ولكنها رفضت وجعلت من الصعب جداً أن أزور أبنائي ، فما هي حقوقي وواجباتي في هذا الحال ؟
وهل هناك دليل من القرآن أو السنة يدعم قول أن الأب له حق رعاية الأبناء ، زوجتي تقول بأنه لو لم يكن هناك آية قرآنية صريحة في هذا ، فإن الأمر يرجع للاجتهاد، واجتهادها هي .
الجواب
الحمد لله.
الأم أحق بحضانة أبنائها قبل سن السابعة، ما لم تتزوج ، فينتقل الحق لمن يليها ، لما روى أحمد (6707) وأبو داود (2276) عبد الله بن عمرو أن امرأة قالت : يا رسول الله إن ابني هذا كان بطني له وعاء وثديي له سقاء وحجري له حواء وإن أباه طلقني وأراد أن ينتزعه مني فقال لها رسول الله صلى الله عليه وسلم ” أنت أحق به ما لم تنكحي” والحديث حسنه الألباني في صحيح أبي داود .
ويجب تمكين الأب من رؤية أبنائه ، والسؤال عن أحوالهم ، سواء كانوا في حضانة الأم أو غيرها .
وحيث إن حق الأم في الحضانة قد سقط بزواجها ، فإنه ينتقل لمن بعدها ، وفي تعيين الأحق بعد الأم خلاف بين الفقهاء ، فذهب بعض العلماء إلى أنه ينتقل إلى أم الأم ، ورجح شيخ الإسلام ابن تيمية رحمه الله أن الأب أولى من أم الأم ، وعليه فتنتقل الحضانة إليك . (الشرح الممتع 6/26 الطبعة الكاملة).
وكذلك لو كانت أم الأم كافرة أو فاسقة ، فإن الحضانة تنتقل إلى الأب حتى عند القائلين بأن أم الأم أحق من الأب.
وينبغي أن يعلم أن مقصود الحضانة هو حفظ الطفل ورعايته ، ولهذا يسقط حق الشخص في الحضانة لفسقه وفساده ، أو لإهماله وتضييعه ، أو لكثرة أسفاره التي تضر بمصلحة أولاده .
وينبغي أن يتعاون الأبوان في هذا الأمر ، مراعاةً لمصلحة أولادهما ، وحتى لا يكون تنازعهما سبباً لفشل الأبناء وضياعهم .
وليس في المسألة آية قرآنية تحدد الأحق بالحضانة ، لكن حسب المسلم قوله تعالى : ( وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ ) الحشر / 7
وقوله : ( فَلا وَرَبِّكَ لا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجاً مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيماً ) النساء / 65 .
وقوله : ( وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْراً أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالاً مُبِيناً ) الأحزاب / 36
وقد حكم النبي صلى الله عليه وسلم بسقوط حق الأم في الحضانة إذا تزوجت ، كما سبق في الحديث ، فعلى المؤمنة أن ترضى بذلك وتسلم .
والله أعلم .
https://islamqa.info/ar/answers/20705/
Jika wanita yang telah diceraikan sudah menikah lagi maka tidak ada hak hadhonah (pengasuhan anak) baginya
Pertanyaan 20750
Saya menceraikan istri dan kami dikaruniai 4 anak. Mereka berumur 1, 3, 5 dan 7 tahun. Lalu mantan istriku ini telah menikah lagi dengan seorang muslim. Saya meminta hak asuhku atas anak-anakku tapi dia menolak bahkan mempersulitku untuk mengunjungi anak-anakku. Apa hak dan kewajibanku dalam kondisi seperti ini?
Adakah dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah yang menegaskan bahwa ayah berhak atas pengasuhan anak? Mantan istriku mengatakan tidak ada dalil Al-Qur’an yang lugas dalam masalah ini, yang ada adalah adalah hasil ijtihad yang demikian itu.
Jawab: Segala puji bagi Allah Ta’ala. Ibu lebih berhak atas pengasuhan anak sebelum usia si anak tujuh tahun dan sebelum dia menikah lagi. Jika tidak demikian maka hak tersebut beralih kepada orang yang berikutnya sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad (6707) dan Abu Daud (2276) dari Abdullah bin Amr bahwa ada seorang wanita berkata: Ya Rasulullah! Sesungguhnya anakku ini perutku baginya tempat bernaung, putingku baginya minuman, dan pangkuanku baginya tempat rehatnya. Ayahnya telah menceraikanku dan kini hendak mengambilnya dariku. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya: Kamu lebih berhak atasnya selama kamu belum menikah” (Hadits ini dihasankan oleh Al-Albani dalam Shohih Abi Daud)
Adalah wajib bagi ayah untuk melihat anaknya dan menanyakan perihal ihwalnya, sama saja mereka dalam pengasuhan ibunya atau lainnya.
Hak asuh ibu atas anaknya menjadi gugur ketika ia sudah menikah lagi, maka hak asuh beralih ke orang yang berikutnya. Mengenai siapa yang paling berhak ada perbedaan pendapat di kalangan ahli fiqih. Sebagian ulama berpendapat bahwa ia beralih ke Ummi-l-umm (nenek dari jalur ibu). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah me-rojih-kan bahwa ayah lebih utama daripada Ummi-l-umm. Jadi, hak asuh beralih kepada Anda (Syarhul Mumti’ 6/26 cetakan edisi lengkap)
Demikian pula jika Ummul-l-umm kafir atau fasik, maka hak asuh beralih ke ayah. Dari sini sebagian ulama mengatakan bahwa Ummu-l-umm lebih berhak daripada ayah.
Penting untuk diketahui, tujuan adanya penetapan hak asuh (hadhonah) adalah penjagaan anak dan pengasuhannya. Maka dari itu, hak asuh atas anak pada seseorang menjadi batal/gugur dengan kefasikan dan kerusakannya, atau sikap abai dan penyia-nyiaannya terhadap anak, atau banyaknya safar yang bisa memudhorotkan kemaslahatan si anak.
Penting bagi ayah dan ibunya untuk ber-ta’awun dalam masalah ini demi perhatian akan kemaslahatan anak-anak keduanya hingga tidak ada perselisihan di antara keduanya yang bisa menyebabkan gagalnya (pertumbuhan dan perkembangan, Pent.) anak-anak.
Tidak dijumpai di ayat al-Qur’an pembahasan tentang penetapan siapakah yang lebih berhak atas hak asuh. Namun, bukanlah telah mencukupi bagi setiap muslim firman Allah Ta’ala:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ (الحشر :7)
“Apa yang Rasul perintahkan kalian maka taatilah, dan apa yang beliau larang maka jauhilah. Takutlah kalian kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha dahsyat siksa-Nya” (QS. Al-Hasyr: 7)
فَلا وَرَبِّكَ لا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجاً مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيماً )النساء :65)
“Maka demi Tuhanmu mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan kemudian mereka tidak merasakan dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya” (QS. An-Nisa: 65)
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْراً أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالاً مُبِيناً ( الأحزاب / 36)
“Dan Tidaklah patut bagi lelaki mukmin dan tidak pula bagi wanita mukminah apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan untuk memilih pilihan lain dalam urusan mereka. Barangsiapa yang bermaksiat kepada Allah dan Rasulnya maka sungguh dia telah tersesat dengan kesasatan yang nyata” (QS. Al-Ahzab: 36)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menetapkan gugurnya hak asuh (hadhonah) pada ibu ketika sudah menikah lagi sebagaimana telah disebutkan pada Hadits di atas. Setiap Muslimah harus meridhoi ketetapan Nabi yang demikian itu. Allahu A’lam
Judul buku : Terkadang Ditanyakan 7
Penulis : Muhammad Nur Yasin Zain, Lc. Hafidzahullah
(Pengasuh Pesantren Mahasiswa Thaybah Surabaya