Berikut ini saya nukilkan beberapa contoh keteladanan dari para Salaf dari kitab Aina Nahnu Min Akhlaqi-s-Salaf yang ditulis oleh Syaikh Abdul Aziz bin Nash al-Jalil dan Syaikh Bahaudin bin Fatih ‘Uqoil yang dicetak Darut-Thaybah lin-Nasyr wat-Tawzi’.
1. Tidak menyukai popularitas
Dari Habib bin Abu Tsabit, dia berkata: Suatu hari Ibnu Mas’ud keluar. Manusia mengikutinya. Beliau bertanya kepada mereka: Apakah kalian ada keperluan? Mereka menjawab: Oh, tidak. Kami hanya ingin berjalan bersama Anda. Beliau berkata: Pulanglah kalian! Sungguh hal ini adalah kehinaan bagi yang mengikuti dan fitnah bagi yang diikuti.
Dari Harits bin Suwaid, dia berkata: Abdullah bin Mas’ud berkata: Kalau kalian mengetahui sebagaimana yang aku ketahui tentang diriku niscaya kalian akan menaburkan tanah di kepalaku.
Dari Busthom bin Muslim, dia berkata: Muhammad bin Sirin jika berjalan lalu ada orang yang mendampinginya, maka dia beliau bertanya: Apakah kamu ada keperluan? Kalau ada keperluan, beliau memenuhinya. Jika kembali mendampingi berjalan, beliau bertanya lagi: Apakah masih ada keperluan?
Hasan ( Mungkin Hasan bin Ar-Robi’, atau mungkin Hasan bin Arofah, atau mungkin Hasan bin Isa Masarji) berkata: Suatu hari saya bersama Ibnu Mubarok mendatangi tandon air. Manusia meminum air darinya. Ketika beliau mendekatinya untuk minum, dan manusia tidak mengenalinya beliaupun berdesak-desakan untuk mendapatkannya. Ketika keluar, beliau berkata: Beginilah seharusnya hidup! Kita tidak dikenal dan tidak dimuliakan….
Hasan juga mengkisahkan: Ketika beliau berada di Kufah, dibacakanlah kitab kepada beliau tentang manasik…. dan seterusnya hingga terjadi perbincangan, beliau berkata: Demikianlah seharusnya kita menunaikan manasik. Lalu beliau bertanya: Siapa yang menulis dari perkataanku ini? Saya katakana kepadanya: seorang penulis telah menulisnya. Beliau masih saja terus menggaruk-garuknya dengan tangannya hingga terhapus. Kemudian beliau berkata lagi: Siapakah saya ini hingga perkataanku ditulis?
2. Takut ‘Ujub
Tsabit al-Bunani berkata: Abu Ubaidah berkata: Wahai manusia! Sesungguhnya saya ini orang Quraisy, siapapun kalian dari bangsa kulit merah atau kulit hitam yang melampauiku dengan ketakwaan melainkan aku ingin menjadi kulitnya.
Maksud ucapan ini, beliau ingin menempuh jalan sebagaimana mereka.
Dari Ma’mar dari Ayyub dari Nafi’ atau yang lainnya bahwa ada seseorang berkata kepada Ibnu Umar: Wahai sebaik-baiknya manusia! Putra dari sebaik-baiknya manusia! Beliau merespon dengan mengatakan: Saya ini bukan sebaik-baiknya manusia dan juga bukan putra dari sebaik-baiknya manusia tetapi saya ini seorang hamba Allah sebagaimana hamba Allah lainnya. Saya senantiasa berharap kepada Allah dan takut kepada-Nya. Demi Allah! Kalian akan terus bersama seseorang hingga kalian membinasakannya.
Abu-l-Usyhub meriwayatkan dari seseorang bahwa Muthorrif bin Abdullah berkata: Jika Anda tertidur (tidak melakukan qiyamullail, Pent) kemudian di pagi harinya Anda menyesali maka yang demikian itu lebih saya sukai daripada di malam hari Anda menunaikan qiyamullail lalu di pagi harinya merasa ‘ujub. Adz-Dzahabi mengatakan: Sungguh tidak beruntung orang yang ‘ujub, orang yang memandang dirinya suci.
Wahb bin Munabbih berkata: Hapalkanlah dari tiga perkara: Jauhilah oleh kalian hawa nafsu yang diikuti, teman yang buruk, dan membanggakan diri-sendiri.
3. Sabar terhadap Mushibah
Dari Al-Mubarrid, dikatakan kepada Hasan bin Ali bahwa Abu Dzar mengatakan: Kemiskinan lebih aku sukai daripada kekayaan, sakit lebih aku sukai daripada sehat. Beliau merespon dengan mengatakan: Semoga Allah merahmati Abu Dzar, adapun saya mengatakan: Barangsiapa menyandarkan dirinya kepada baiknya pilihan Allah untuknya, maka dia tidak akan pernah menginginkan sesuatu. Inilah makna ridho terhadap apa yang telah ditetapkan.
Dari Wahb bin Munabbih bahwa Isa alaihissalam berkata kepada Hawariyyin: Orang yang paling gelisah terhadap musibah adalah orang yang paling cinta kepada dunia.
Dari Asy-Sya’bi, Syuraih berkata: Sesungguhnya saya ditimpa musibah, maka saya memuji Allah empat kali:
- Saya memuji Allah karena musibahnya tidak lebih besar dari yang ditimpakan sekarang ini
- Saya memuji Allah karena diberi rizki berupa sabar untuk menghadapinya.
- Saya memuji Allah karena telah memberi saya taufiq untuk beristirja’ (mengucapkan inna lillahi wa inna ilaihi roji’un) demi mendapatkan pahala karenanya.
- Saya memuji Allah karena Dia tidak menimpakan musibah pada agama saya.
Ghossan bin al-Mifdhol Al-Gholaby berkata: Saya diberitahu oleh sebagian teman-teman bahwa ada seseorang datang menemui Yunus bin Ubaid mengeluhkan tentang keadaannya dan sempitnya kehidupan.
Beliau bertanya: “Apakah kamu mau bola matamu dijual 100.000 dinar?”
Dia menjawab: “Tidak”.
Beliau bertanya lagi: “Bagaimana dengan telingamu, mau dijual 100.000 dinar?”
Dia menjawab: “Tidak mau”.
Beliau bertanya lagi: “Bagaimana dengan lidahmu, mau dijual 100.000 dinar?”
Dia menjawab: “Sama sekali tidak mau”.
Lalu beliau mengingatkannya tentang nikmat-nikmat Allah dan berkata: “Saya melihat pada dirimu ada rizki ratusan ribu dinar tapi kamu masih mengeluhkan rizki?”
4. Hati-hati di dalam bergaul
Dari Humaid Ath-Thowil, dari Abu Qilabah, dia berkata: Jika Anda mendengar informasi buruk tentang temanmu, maka carilah alasan-alasan untuk memakluminya (sehingga Anda tidak memandangnya sebagai orang yang bersalah). Jika Anda tidak mendapatkannya, maka katakanlah pada diri Anda: Mungkin dia memiliki alasan yang saya tidak mengetahuinya.
Dari Maimun bin Mahron, dia berkata: Saya mendengar Ibnu Abbas berkata: Tidaklah saya mendengar keburukan tentang seseorang melainkan aku mensikapinya dengan tiga sikap;
- Jika dia lebih senior, maka saya harus tahu diri untuk tetap memuliakannya
- Jika dia sebaya, maka aku memandangnya lebih utama dari diriku.
- Jika dia lebih yunior, maka saya tidak mau bermajlis atau berkumpul dengannya. Demikianlah aku, kalau ada yang tidak suka dengan sikapku ini, maka silahkan saja bumi Allah itu luas.
Diriwayatkan dari Roja’ bin Haywah, dia berkata: Barangsiapa tidak mau berteman kecuali dengan orang yang tidak ada aibnya niscaya sedikit temannya. Barangsiapa tidak ridho kecuali terhadap teman yang benar-benar bersih dari aib maka selama-lamanya dalam kesalahan. Barangsiapa mencela temannya atas setiap aibnya niscaya banyak musuhnya.
Dari Abu Ya’qub Al-Madani, dia berkata: Terjadilah perselisihan antara Hasan bin Hasan dan Ali bin Husain. Ketika Ali bin Husain sedang berada di tengah-tengah kawannya di masjid, Hasan bin Hasan mendatanginya dan mengatakan kepadanya banyak perkataan. Ali pun terus menimpali setiap apa yang dikatakannya. Lalu Ali terdiam. Hasan pun pergi. Di suatu malam Ali mendatangi Hasan di rumahnya. Dia mengetuk pintu rumahnya, Hasan pun keluar menemuinya.
Ali berkata: “Wahai saudaraku! Jika kamu benar dengan perkataanmu, semoga Allah mengampuni aku. Dan, jika kamu berdusta, maka semoga Allah mengampuni kamu…..Assalamu’alaikum.” Dia pun pergi.
Namun, Hasan terus membuntutinya sambil terus menangis sedih lalu mengatakan: “Sudahlah tidak mengapa, aku tidak akan mengulangi lagi berbuat sesuatu yang kamu tidak menyukai. Ali meresponnya dengan mengatakan: Tidak ada masalah kok dengan ucapanmu kepadaku…”
Dari Malik bin Anas, dia berkata: Said bin Al-Musayyab berkata: “Tidak ada satupun orang berilmu atau orang mulia atau pemilik keutamaan melainkan pasti memiliki aib. Tetapi, ada sebagian manusia yang memang tidak sepatutnya disebutkan aibnya, yaitu orang keutamaannya lebih banyak daripada kekurangannya. Kerena kekurangannya itu telah tertutupi oleh keutamaannya.”
5. Adab Kepada Ulama
Ibnu Basykual mengkisahkan tentang Ibrahim Al-Harbi: Saya menukil dari kitab Ibnu ‘Attab bahwa Ibrahim Al-Harbi adalah orang sholeh dari kalangan ahli ilmu. Beliau mendengar berita bahwa orang-orang mengutamakan untuk bermajlis bersama beliau daripada Ahmad bin Hanbal. Beliau mengkonfirmasikan yang demikian itu kepada mereka dan merekapun membenarkannya.
Beliau berkata: “Sungguh kalian telah mendzalimiku dengan mengutamkanku daripada orang yang aku tidak bisa menyerupainya dan mengejarnya dalam berbagai hal. Oleh karena itu aku bersumpah untuk tidak memperdengarkan ilmu sedikitpun kepada kalian. Mulai hari ini, janganlah datang kemari.”
Dari Abu Wail bahwa Ibnu Mas’ud melihat seseorang isbal (kainnya terurai sampai di bawah mata kaki).
Beliau mengatakan: Angkatlah kainmu!
Dia membantah dengan mengatakan: Kamu juga wahai Ibnu Mas’ud! Naikkan kainmu.
Beliau menjelaskan: Adapun aku ini pada kedua betis kakiku kecil sementara aku mengimami kaum.
Kejadian ini terdengar oleh Umar bin Khaththob. Beliaupun memukul orang tersebut dengan mengatakan: Apakah kamu membantah Abdullah Ibnu Mas’ud?
Dari Muhammad bin Amr, dari Abu Salamah bahwa Ibnu Abbas berdiri menuju Zaid bin Tsabit untuk berkhidmah menyiapkan tunggangan baginya.
Beliau mencegah dengan mengatakan: Gak usah, wahai putra paman Rasulullah!
Ibnu Abbas menjawab: Beginilah yang biasa kami lakukan terhadap ulama dan pembesar kami
Ibrahim bin Ishaq Al-Harbi berkata: ‘Atho bin Abi Robah adalah seorang budak hitam milik seorang wanita penduduk Makkah. Suatu ketika datanglah Sulaiman bin Abdul Malik seorang Amirul Mukminin menghadap beliau bersama kedua anaknya. Mereka terus duduk menunggu beliau yang sedang shalat. Tatkala sudah selesai shalat, beliau menoleh ke mereka. Mereka terus menanyakan kepada beliau tentang manasik haji padahal beliau sudah memalingkan punggungnya membelakangi mereka.
Sulaiman pun memerintahkan kedua putranya: Ayo bangun. Keduanya lantas berdiri.
Beliau mengatakan: Wahai anak-anakku janganlah kalian berdua terlambat dalam menuntut ilmu, karena aku tidak akan pernah lupa tentang kehinaan kita di hadapan budak hitam ini.
Dari Umar bin Mudrok, Kami diberitahu Qosim bin Abdurrahman, Kami diberitahu Asy’ats bin Syu’bah Al-Mushyyishi, dia berkata: Manusia berlarian di belakang Ibnul Mubarok hingga sandal-sandalnya putus dan debu bertaburan. Hal ini menjadikan seorang Ibu dari anak Amirul mukminin bangkit dari kursi kayunya dan mengatakan: Demi Allah, inilah kerajaan yang sesungguhnya tidak sebagaimana Raja Harun yang baru bisa mengumpulkan manusia dengan iming-iming dan pemberian.
6. Adab Berbicara
Dari Kholaf bin Tamim, telah memberitahukan kami Abdullah bin Muhammad dari Al-Auza’i, dia berkata: Umar bin Abdul Aziz menulis surat untuk kami. Tidak ada yang menghapalnya kecuali saya dan Makhul. “Amma ba’du, sungguh barangsiapa yang banyak mengingat kematian niscaya ia ridho dengan sedikitnya dunia. Dan barangsiapa yang bisa menghitung perkataannya daripada perbuatannya niscaya dia akan sedikit berbicara kecuali kalau ada manfaatnya. Wassalamu ‘alaikum”
Fudhail bin ‘Iyyadh ditanya: Apa itu zuhud?
Beliau menjawab: “Zuhud itu menerima apa adanya (qona’ah)”
Apa itu wara’?
Beliau menjawab: “Menjauhi perkara-perkara yang haram”
Apa itu ibadah?
Beliau menjawab: “Menunaikan perkara-perkara yang wajib”.
Apa itu tawadhu’?
Beliau menjawab: “Tunduk kepada kebenaran. Dan, ketahuilah! Wara’ yang paling tinggi itu ada di lisan”.
Ahmad bin Abu Al-Hawari berkata: Telah memberitahukan kami Abu Abdillah Al-Anthoki, dia berkata: Fudhoil dan Ats-Tsauri berkumpul. Keduanya ber-mudzakarah.
Sambil menangis Sufyan meninggalkan majlis dengan mengatakan: “Saya berharap majlis ini merupakan rahmat dan keberkahan untuk kita”.
Fudhoil menimpali: “Tetapi Wahai Abu Abdullah, justru aku khawatir majlis ini telah membahayakan kita. Bukankah Anda membatasi diri dengan sebaik-baiknya pembicaraan demikian juga aku?! Anda berhias diri untukku dan juga aku berhias diri untukmu”.
Sufyan pun menangis dan berkata: “Anda telah menghidupkanku, semoga Allah menghidupkan kamu”.
Dari Sahl bin Abdullah At-Tusturi, dia berkata: Termasuk akhlak para Ash-Shiddiqin adalah tidak bersumpah, tidak ghibah, tidak kenyang, tidak menyelisihi janji dan tidak bercanda kecuali sekedarnya saja.
7. Ikhlas dan Jujur
Dari Abdullah bin Mubarok, dia berkata: Dikatakan kepada Hamdun bin Ahmad: ”Mengapa perkataan para Salaf lebih bermanfaat daripada perkataan kita?”
Dia menjawab: “Karena mereka berbicara demi kemuliaan Islam, keselamatan jiwa dan keridhoan Ar-Rohman. Sementara kita berbicara demi kemuliaan pribadi, kepentiangan duniawi dan keridhoan makhluk”.
Dari Fudhoil bin ‘Iyyadh, dia berkata: “Betapa kasihan kalian ini! Anda berbuat keburukan tetapi merasa berbuat kebaikan. Anda bodoh tetapi merasa pintar. Anda bakhil tetapi merasa dermawan. Anda gegabah tetapi merasa bijaksana. Ketahuilah! Umur Anda pendek tetapi angan-angan Anda panjang”.
Adz-Dzahabi berkata: Wallahi… Benarlah…Anda zholim tapi merasa dizholimi. Anda masih makan yang haram tapi merasa wara’. Anda masih fasik tapi merasa sudah adil.
8. Rasa Takut kepada Allah
Dari Qobishoh bin Qois Al-Anbari, dia berkata: Adh-Dhohak bin Muzahim jika memasuki sore hari menangis. Ketika ditanyakan kepadanya sebab menangisnya, dia menjawab: Saya tidak tahu bagaimana kondisi amalanku dinaikkan (kepada Allah).
Dari Kinanah bin Jublah As-Sulami, dia berkata: Bakar bin Abdullah berkata: Jika Anda melihat orang yang lebih tua dari Anda, katakanlah: Dia telah lebih dahulu beriman dan beramal sholih, maka dia lebih baik dari saya.
Jika Anda melihat orang yang lebih muda dari Anda, katakanlah: Saya lebih banyak maksiat dan dosanya daripada dia, maka dia lebih baik daripada saya.
Jika Anda melihat orang menghormati dan memuliakan Anda, katakanlah: Ini adalah sebuah keutamaan yang mereka telah mengambilnya.
Jika Anda melihat orang meremehkan Anda, katakanlah: Ini adalah akibat dosa-dosa yang telah saya lakukan.
Dari Qosim bin Muhammad, dia mengatakan: Kami melakukan safar bersama Ibnu Mubarok. Seringkali terbersit di dalam hati saya tentang beliau, “Sesuatu apa yang telah menjadikan beliau lebih utama daripada kita hingga begitu terkenal di tengah-tengah manusia. Dia shalat, kami pun sholat. Dia berpuasa, kami pun berpuasa. Jika dia berjihad, kami pun berjihad. Jika dia berhaji, kami pun berhaji.
Suatu ketika di dalam perjalanan malam di Syam, kami singgah di suatu rumah untuk makan malam. Ketika itu lampu mati. Sebagagian kami keluar untuk mengambil lampu penerangan. Kami diam sejenak. Lalu, datanglah lampu. Ketika itu saya melihat wajah dan jenggot Ibnu Mubarok basah dengan air mata. Saya bergumam dalam hati: khosyah (takut) inilah yang telah menjadikan beliau lebih utama daripada kita. Bisa jadi selama gelap tadi dia teringat kondisi kegelapan hari Kiamat
9. Menjaga Persahabatan
Yunus Ash-Shodafi mengatakan: Saya tidak melihat orang yang lebih bijak melebihi Imam Asy-Syafi’i. Suatu hari saya berdebat dengannya tentang suatu masalah, lalu kami berpisah. Setelah itu datanglah dia menemuiku dan meraih tanganku kemudian berkata: Wahai Abu Musa! Bukankah kita harus berlanjut sebagai saudara meskipun tidak sepakat dalam suatu masalah.
- Pentutup
Kita memohon kepada Allah semoga memberikan kita taufiq sehingga terus berkemampuan untuk memperbagus akhlak kita. Bagaimana kita tidak terlecut untuk terus memperbagus akhlak dengan fadhilahnya yang sangat tinggi. Amin
Judul buku : Husnul Khuluq
Penulis : Muhammad Nur Yasin Zain, Lc.Hafizhahullah
(Pengasuh Pesantren Mahasiswa Thaybah Surabaya)