(https://islamqa.info/ar/answers/151203/)
Teks Arab
حكم قضاء المغمى عليه ومن أخذ البنج والمنوّم لما فاته من الصلوات
السؤال: حصل لزوجي حادث أدخل على أثره المستشفى.. والأطباء اقترحوا أن يظل نائما و لا يستيقظ حتى لا يتألم من الكسور.. والآن له سبع أيام وهو نائم. ولم يستيقظ ولم يصلي طيلة هذه الأيام.. سؤالي هو : كيف يقضي صلاته؟ هل يقضيها بعد أن يقرر الأطباء أن يوقظوه من النوم؟ أي ننتظر حتى يستيقظ فيقضيها؟ جزاكم الله خير
الجواب: الحمد لله
أولا :إذا فقد الإنسان وعيه بغير اختياره ، كالمغمى عليه بحادث ونحوه ، ففاتته صلاة أو صلوات ، فمن أهل العلم من يرى أنه لا قضاء عليه وأنه غير مكلف حال الإغماء ، وهو مذهب المالكية والشافعية ، ومنهم من يرى أن عليه القضاء ، وهو مذهب الحنابلة . ومنهم من يرى القضاء إذا لم تزد الصلوات على ست صلوات ، وهو مذهب الحنفية .
جاء في “الموسوعة الفقهية” (11/ 110) : “ لا تدارك لما فات من صلاة حال الجنون أو الإغماء عند المالكية والشافعية لعدم الأهلية وقت الوجوب ; لقول النبي صلى الله عليه وسلم : ( رفع القلم عن ثلاثة : عن النائم حتى يستيقظ , وعن الصبي حتى يشب , وعن المعتوه حتى يعقل ) . وعند الحنفية : إن جن أو أغمي عليه خمس صلوات – أو ستا على قول محمد – قضاها , وإن جن أو أغمي عليه أكثر من ذلك فلا قضاء عليه نفيا للحرج … وفرق الحنابلة بين الجنون والإغماء , فلم يوجبوا القضاء على ما فات حال الجنون , وأوجبوه فيما فات حال الإغماء ; لأن الإغماء لا تطول مدته غالبا , ولما روي أن عمارا رضي الله عنه أغمي عليه ثلاثا , ثم أفاق فقال : هل صليت ؟ قالوا : ما صليت منذ ثلاث , ثم توضأ وصلى تلك الثلاث . وعن عمران بن حصين وسمرة بن جندب رضي الله عنهما نحوه , ولم يعرف لهم مخالف , فكان كالإجماع “ انتهى .
وينظر : المغني (1/ 240)، المجموع (3/ 8).
وأفتى الشيخ ابن باز رحمه الله بمقتضى أثر عمار ، وقال : إن كان الإغماء ثلاثة أيام أو أقل : قضى ، وإن كان أكثر من ذلك لم يقض .
وينظر جواب السؤال رقم : (10229) .
وهذا فيما إذا كان الإغماء أو فقدان الوعي بغير اختيار الإنسان .
ثانيا :
إذا غاب عن الوعي باختياره ، كمن أخذ البنج أو المادة المنوّمة لإجراء عملية مثلا ، فهذا يلزمه القضاء ، وإلى هذا ذهب الحنابلة ، ورجحه الشيخ ابن عثيمين رحمه الله .
قال في “الإنصاف” (1/ 390) : “ وأما إذا زال عقله بشرب دواء , يعني مباحا , فالصحيح من المذهب : وجوب الصلاة عليه . وعليه جماهير الأصحاب . وقيل : لا تجب عليه … وقال المصنف في المغني , ومن تبعه : من شرب دواء فزال عقله به : فإن كان زوالا لا يدوم كثيرا , فهو كالإغماء , وإن تطاول فهو كالمجنون “ انتهى .
وقال الشيخ ابن عثيمين رحمه الله : “ إذا أغمي على المريض وفقد الوعي فإنه لا صلاة عليه … فلو قدر أن المريض أغمي عليه لمدة يوم أو يومين أو شهر أو شهرين ثم أفاق فإنه لا قضاء عليه ، ولا يمكن أن يقاس الإغماء على النوم ؛ لأن النائم يمكن أن يستيقظ إذا أوقظ ، والمغمى عليه لا يمكن ، فهو في حال بين الجنون وبين النوم ، والأصل براءة الذمة ، وعلى هذا فيكون من أغمي عليه لمرض أو حادث فإنه لا يقضي الصلوات قلّت أو كثرت ، أما إذا أغمي عليه للبنج الذي استعمله باختياره ولكنه لم يصح بعد البنج إلا بعد يومين أو ثلاثة فعليه أن يعيد الصلاة ؛ لأن هذا حصل باختياره “ انتهى من “اللقاء الشهري”. وينظر : الشرح الممتع (2/ 18).
وإذا كان زوجك لم يع بعد الحادث ، وأعطاه الأطباء بنجا أو منوما دون علمه ، فالذي يظهر عدم وجوب القضاء عليه ؛ لأنه فقد وعيه بغير اختياره ، ولو كانت المدة قليلة كثلاثة أيام ، فقضى ، فهذا أحوط .
والله أعلم .
Terjemahan teks Arab
Pertanyaan: Terjadi sesuatu pada suamiku sehingga harus dibawa ke rumah sakit. Para dokter menyarankan agar diberi obat tidur agar tertidur dan tidak merasakan rasa sakit. Hingga sekarang sudah berjalan tujuh hari, ia tidak bangun dan tidak shalat. Pertanyaanku adalah bagaimana dia mengqodho shalatnya? Apakah dia mengqodho setelah team dokter menghilangkan pengaruh obat tidurnya alias Ketika dia sudah siuman langsung mengqodho? Jazakumullahu khairan.
Jawab: Alhamdulillah. Pertama: Jika seseorang hilang ingatannya tanpa disengaja seperti pingsan dan semisalnya lalu terlewatkan satu shalat atau beberapa sholat, Sebagian ahli ilmu memandangnya tidak perlu mengqodho karena selama pingsan keberadaanya tidak mukallaf. Ini madzhab Maliki dan Syafi’i. Ada yang memandang ia tetap mengqodho sholat. Ini madzhab Hanbali. Ada yang memandang ia mengqodho jika tidak melewati enam sholat. Ini madzhab Hanafi.
Disebutkan di dalam “Al-Mawsu’ah al-Fiqhiyyah (11/110)”: Shalat yang tertinggal tidak diqodho karena gila atau pingsan menurut Malikiyyah dan Syafi’iyyah karena tidak ahliyyah (keberadaannya tidak terkena beban) saat diwajibkannya. Ini berdasarkan Sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam,
رفع القلم عن ثلاثة : عن النائم حتى يستيقظ , وعن الصبي حتى يشب , وعن المعتوه حتى يعقل
Pena diangkat dari tiga orang; dari orang tidur hingga bangun, anak kecil hingga dewasa, dan orang yang tidak berakal hingga berakal.
Menurut Hanafiyyah, jika seseorang gila atau pingsan melampaui lima shalat – atau enam menurut pendapat Muhammad – maka dia wajib mengqodhonya. Jika gila atau pingsannya lebih dari yang demikian itu maka tidak ada qodho.
Adapun Hanabilah membedakan antara orang gila dan orang pingsan. Mereka tidak mewajibkan qodho bagi yang meninggalkan shalat karena gila, tetapi mewajibkan bagi yang meninggalkannya karena pingsan. Karena secara umum biasanya pingsan itu tidak berkepanjangan. Sebagaimana diriwayatkan bahwa Ammar radiallahu anhu pingsan selama tiga hari lalu siuman dan bertanya: Apakah saya sudah shalat? Mereka menjawab: Kamu tidak shalat sejak tiga hari yang lalu. Dia, lalu berwudhu dan mengqodho shalat selama tiga hari tersebut. Riwayat dari Imron bin Hushain dan Samuroh bin Jundab radiallahu anhuma juga demikian. Tidak diketahui adanya orang yang menyelisihi mereka. Ini adalah perkara ijma’ [selesai]. Lihat: “Al-Mughni 1/240” dan “Al-Majmu’ 3/8”.
Syaikh Bin Baz rahima hullah berfatwa dengan mendasarkan pada fatwa Ammar radiallahu anhu, beliau mengatakan: Jika pingsannya tiga hari atau kurang dari itu maka mengqodho, jika lebih dari tiga hari maka tidak mengqodho. Lihat jawaban soal nomor 10229. Ini, jika pingsannya atau hilangnya kesadaran tanpa disengaja.
Kedua: Jika hilangnya kesadaran disengaja seperti menggunakan bius atau obat tidur untuk tindakan operasi misalnya maka ia mewajibkan qodho. Ini madzhab Hanbali, dan di-rajih-kan oleh Syaikh Utsaimin rahima hullah.
Disebutkan di dalam “Al-Inshof” 1/390: Adapun jika hilang kesadarannya karena minum obat (tentu yang diperbolehkan) maka yang shohih dari madzhabnya shalat hukumnya wajib. Demikian menurut mayoritas madzhab ini. Juga dikatakan: Tidak wajib. Penulis kitab “Al-Mughni” dan pengikutnya mengatakan: Barangsiapa meminum obat lalu hilang akalnya, jika tidak berkepanjangan maka dihukumi seperti orang pingsan dan jika berkepanjangan maka dihukumi seperti orang gila [selesai].
Syaikh Ibnu Utsaimin rahima hullah berkata: Jika seseorang pingsan karena sakit dan kehilangan kesadaran maka dia tidak wajib sholat. Meskipun orang yang sakit tersebut pingsannya selama sehari, dua hari, sebulan atau dua bulan lalu siuman maka tidak ada qodho baginya. Tidak mungkin pingsan di-qiyas-kan dengan tidur. Karena orang yang tidur bisa bangun ketika dibangunkan, sementara orang yang pingsan tidak. Keberadaannya di antara gila dan tidur. (Kaedah menyatakan) “الأصل براءة الذمة” (Hukum asal seseorang ittu terbebas dari suatu beban), maka orang yang pingsan karena sakit atau sebab lain tidak mengqodho sholat-sholat yang ditinggalkan banyak atau sedikit.
Adapun jika pingsannya disebabkan sengaja dibius yang tidak sadar kembali kecuali setelah dua hari atau tiga hari maka seseorang mesti mengulangi sholat. Karena kondisi tidak sadarnya terjadi dengan disengaja [selesai dari “al-Liqo asy-Syahri”] dan lihat “Asy-Syarh al-Mumthi’ 2/18”.
Jadi, jika suami Anda tidak sadar disebabkan suatu kejadian tersebut, lalu para dokter memberikan bius atau obat tidur tanpa sepengetahuannya maka – yang zhohir – tidak wajib mengqodhonya karena hilangnya kesadaran bukan dikehendaki oleh dirinya. Tapi untuk kehati-hatian jika masa pingsannya sebentar semisal tiga hari maka tetap mengqodho. Allahu A’lam.
Judul buku : Terkadang Ditanyakan 14
Penulis : Muhammad Nur Yasin Zain, Lc. Hafidzahullah
(Pengasuh Pesantren Mahasiswa Thaybah Surabaya)