Solusi Investasi Akhirat Anda

Ahlussunnah wal Jamaah tentang Asma’ wa Shifat

Ahlussunnah wal Jamaah meyakini bahwa Allah memiliki Nama yang baik dan sifat yang Tinggi. Dia bersifat dengan segala sifat kesempurnaan. Dia Maha Suci dari sifat kurang.

Ahlussunnah wal Jamaah menetapkan untuk Allah Nama dan Sifat sebagaimana Dia menetapkan untuk diri-Nya dan sebagaimana yang Rasul tetapkan untuk Allah.

Di dalam menetapkan sifat, Ahlussunah menetapkannya sebagaimana zhahirnya nash tanpa melakukan TAKYIF (menanyakan bagaimana), TAHRIF (mengubah makna), TAMTSIL (menyamakan dengan makhluk) dan TA’THIL (membatalkan).

  • Bagaimana mungkin melakukan  TAKYIF (menanyakan bagaimana) sementara tidak ada satu pun dari kalangan sahabat yang menanyakan bagaimana istiwa-Nya, yad (Tangan)-Nya, nuzul (Turun ke langit dunia)-Nya, Wajah-Nya, Qodam (kaki) dan lain-lain. Mereka membaca Al-Qur’an di zaman Nabi dan di sisi beliau selama 23 tahun, tetapi tidak ada satupun yang menanyakan bagaimana tentang sifat-sifat Allah tersebut kepada Nabi. Oleh karena itu ketika ada orang bertanya tentang bagaimana istiwa Allah di atas ‘arsy, Imam Malik menjawab:

الاستواء معلوم ، والكيف مجهول ، والإيمان به واجب ، والسؤال عنه بدعة (اعتقاد أهل السنة شرح أصحاب الحديث / ص: 22)

Istiwa’ itu jelas (diketahui maknanya), bagaimananya itu tidak ada yang tahu, mengimaninya itu hukumnya wajib, dan mempertanyakannya itu bid’ah”.

Cukuplah kita mengetahui makna sifat-sifat Allah tersebut tanpa mem-bagaimana-kannya.  Adapun tentang “bagaimnanya”  diserahkan kepada Allah. Bukankah Allah telah berfirman:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ [الشورى: 11]

“Tidak ada sesuatupun yang menyerupai Allah(QS. Asy-Syura:11)

Kalau kita menanyakan “bagaimna-Nya” atau membagaimanakan berarti kita menyerupakan Allah dengan makhluk. Subhanallah.

  • Bagaimana mungkin melakukan TAHRIF/ TAKWIL (mengubah makna). Istiwa ‘alal ‘arsy dimakani berkuasa di atas ‘arsy.

Atas dasar apa mengubah makna istiwa yang maknanya ‘alaa wa-r-fafa’: bersemayam diubah ke makna berkuasa?

 Atas dasar apa Yad yang artinya tangan diubah maknanya menjadi kekuasaan?

 Atas dasar apa Allah turun (ينزل ربنا إلى السماء الدنيا…) diubah maknanya bahwa yang turun bukan Allah tapi rahmat-Nya? Atas dasar apa menyatakan Allah tidak di atas ‘arsy padahal Allah menetapkan diri-Nya bersifat di atas ‘Arsy?

Apakah kalian lebih tahu tentang Allah daripada Allah sendiri?

Kalaulah suatu hal tergambar oleh kita,  terbersit dalam benak kita tentu kita sah-sah saja melakukan takwil.  Contoh ada pernyataan: “Sang singa podium tadi malam sangat memikat audience”. Kita bisa mentakwil yang dimaksud singa di sini adalah sang orator. Karena hal ini tergambar dalam benak kita, siapa yang biasanya di atas podium? Orator, bukan?

Contoh lain: “ Si Kuda dari Timur itu tidak pernah tekalahkan dalam perlombaan lari sejak tahun 2015” Kita bisa mentakwil yang dimaksud kuda di sini adalah pelari yang sangat cepat dan tak mudah lelah”. Kita sah-sah saja mentakwil demikian karena perlombaan lari itu terbersit dalam benak kita. Siapakah pesertanya? Bukankah manusia? Jadi, kuda ditakwilkan demikian tentu dibenarkan.

Lalu, adakah dzat Allah tergambar oleh benak kita? Tentu tidak.

Adakah yang pernah melihat Allah? Tentu tidak ada.

Jadi, atas dasar apa mentakwilkan sifat-sifat yang Allah tetapkan untuk diri-Nya ke makna lain?

KETAHUILAH! Kesamaan nama tidak melazimkan kesamaan hakikat.

Contoh: Pernyataan pertama: “.Gedung ini daun pintunya banyak”.

Pernyataan kedua: “Betapa rindangnya daun pohon ini”

Perhatikanlah, ada penamaan yang sama yaitu daun. Apakah hakikatnya sama daun pada pernyataan pertama dan kedua? Hakikatnya jauh sekali. Ini perbandingan sesame makhluk, ternyata nama yang sama tidak melazimkan kesamaan hakikat. Lalu bagaimana antara Allah Al-Kholiq dan makhluq-Nya? Maka, tentu lebih gamblang lagi TIDAK MUNGKIN PENAMAAN SIFAT ALLAH SAMA HAKIKATNYA DENGAN PENAMAAN SIFAT PADA MANUSIA.

Allah punya dua tangan (QS. Shod: 75) tidak mungkin sama hakikatnya dengan dua tangan manusia demikian juga sifat-sifat Allah yang lain.

RENUNGKANLAH! Bukankah kita mengimani sifat-sifat Allah yang berupa Mendengar, Mengetahui , Maha Penyayang, Maha Adil? Lalu kenapa kita tidak bisa mengimani bahwa Allah bersifat memiliki dua tangan, memiliki wajah, bersemayam di atas ‘arsy, qidam (kaki)? Padahal semua sifat tersebut bersumber dari Allah sendirii. Dial ah yang menyatakan bersiafat dengan semuanya itu. Atas dasar apa sebagiannya diterima langsung tetapi sebagian yang lainnya baru bisa diterima setealah ditakwil?

INGAT! Kita tidak mengkin berbicara tentang Allah dan meyakini tentang-Nya kecuali sebatas apa yang Dia informasikan tentang diri-Nya. Jadi, tidak tempat bagi kita untuk mentakwil.

Allah berfirman:

قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ  [الأعراف: 33]

“Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui” (QS. Al-A’rof: 33)

  • Bagaimana mungkin melakukan TAMTSIL (menyamakan Allah dengan makhluk). Sungguh orang yang melakukannya telah berbuat perkara yang sangat bathil, seperti kelompok mujassimah.
  • Bagaimana mungkin melakukan TA’THIL (membatalkan sifat-sifat Allah), sementara Allah sendiri menetapkan sifat-sifat untuk diri-Nya.

Mari kita memperhatikan penjelasan para ulama pendahulu kita tentang sifat-sifat Allah ‘Azza wa Jalla.

a. Imam Sufyan bin Uyainah,

كل ما وصف الله به نفسه في كتابه فتفسيره قراءته، والسكوت عنه ليس لأحد أن يفسره إلا الله ورسوله صلى الله عليه وسلم (تنبيه ذوي الألباب السليمة عن والوقوع في الألفاظ المبتدعة الوخيمة -1 (ص: 54)

“Setiap sifat yang Allah mensifati diri-Nya dengan sifat tersebut di dalam Kitab-Nya, maka tafsirnya adalah (sebagaimana) bacaannya itu, diam darinya karena tidak ada siapapun yang berhak mentafsirkannya kecuali hanya Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam” (Tanbiih dzawi-l-albaab as-salimah ‘ani-l-wuqu’ fi-l- alfaazh al-mubtadi’ah al-wakhiimah, Hal. 54)

Dia juga mengatakan:

كل ما وصف الله به نفسه فى القرآن فقراءته تفسيره لا كيف ولا مثل (الصفات – الدارقطني ، ص: 41)

“Setiap sifat yang Allah mensifati diri-Nya dengan sifat tersebut di dalam Al-Qur’an, maka tafsirnya adalah (sebagaimana) bacaannya itu, tanpa BAGAIMANA  dan tanpa MENYERUPAKAN (Ash-Shifat – Ad-Daruquthni, hal. 41)

b. Imam Malik dan Imam Al-Awza’i

وقال الإِمام مالك بن أنس – إِمام دار الهجرة- رحمه الله : (إِياكُم والبِدَع) قيل : وما البدع؟ قال : (أَهلُ البِدَعِ هُم الذينَ يتكلمونَ في أَسماء اللهِ وصفاتِهِ وكلامِه وعلمه وقُدرتِه ، ولا يَسْكُتونَ عمَا سَكَت عَنهُ الصحابةُ والتابعونَ لهم بإِحسان

(الوجيز في عقيدة السلف الصالح أهل السنة والجماعة ، ص: 51)

Imam Malik bin Anas – Imam Darul Hijrah—rahimahullah mengatakan: Jauhilah oleh kalian bid’ah. Beliau ditanya bid’ah itu apa? Beliau menjawab: Ahlu bid’ah adalah mereka yang berbicara tentang nama dan sifat Allah, kalam-Nya, ilmu-Nya dan qudroh-Nya tetapi mereka tidak diam darinya sebagaimana para Sahabat dan para Tabi’in diam darinya (Al-Wajiz fi ‘aqidati-s- salafi-sh-sholih Ahli-s- Sunnah wa-l- Jama’ah, hal.51)

وقال الوليد بن مُسلم : سأَلت الأَوزاعي ، وسفيانَ بن عُيينة ، ومالك بن أَنسٍ عن هذه الأَحاديث في الصِّفات والرؤية ، فقالوا : (أَمِروها كما جاءتْ بلا كَيْف)

 (الوجيز في عقيدة السلف الصالح أهل السنة والجماعة ، ص: 51)

Al-Walid bin Muslim berkata: Saya bertanya kepada Al-Awza’i, Sufyan bin ‘Uyainah dan Malik bin Anas tentang Hadits-Hadits tentang sifat dan ru’yah (melihat Allah di Surga). Mereka menjawab: Biarkanlah ia (Hadits-Hadits tersebut) sebagaimana datangnya (apa adanya) tanpa MEM-BAGAIMANA-KAN (Al-Wajiz fi ‘aqidati-s- salafi-sh-sholih Ahli-s- Sunnah wa-l- Jama’ah, hal.51)

c. Imam Abu Hanifah

 لا ينبغي لأَحد أَن ينطقَ في ذات الله بشيء ؛ بل يصفهُ بما وصفَ به نفسهُ ، ولا يقول فيه برأيه شيئا ؛ تبارك الله تعالى رَبُّ العالمين، ولما . سُئل- رحمه الله- عن صفة النزول ، فقال : (ينزلُ بلا كيف) (الوجيز في عقيدة السلف الصالح أهل السنة والجماعة (ص: 52)

Tidak sepatutnya bagi seseorang untuk berbicara apapun berkenaan dzat Allah. Tetapi ia harus mensifati-Nya sebagaimana Dia mensifati untuk diri-Nya. Dan janganlah sedikitpun berbicara tentang dzat-Nya dengan akalnya. Maha Suci Allah Tuhan semesta alam. Ketika  ditanya tentang sifat nuzul (turun ke langit dunia), beliau menjawab: Dia ‘Azza wa Jalla turun tanpa ditanyakan bagaimana-nya (Al-Wajiz fi ‘aqidati-s- salafi-sh-sholih Ahli-s- Sunnah wa-l- Jama’ah, hal.51)

d. Imam Asy-Syafi’i

آمنتُ باللهِ ، وبما جاءَ عن اللهِ على مرادِ اللهِ ، وآمنتُ برسول الله وبما جاء عن رسولِ اللهِ على مُراد رَسُولِ الله (الوجيز في عقيدة السلف الصالح أهل السنة والجماعة (ص: 51)

Saya beriman kepada Allah dan terhadap apa yang datang dari Allah sebagaimana yang dimaksudkan Allah. Saya beriman kepada Rasulullah dan terhadap apa yang datang dari Rasulullah sebagaimana yang dimaksudkan Rasulullah (Al-Wajiz fi ‘aqidati-s- salafi-sh-sholih Ahli-s- Sunnah wa-l- Jama’ah, hal.51)

e. Imam Ahmad bin Hanbal

عن أبي بكر المروذي قال: سألت أحمد بن حنبل عن الأحاديث التي تردها الجهمية في الصفات والرؤية والإسراء وقصة العرش فصححها، وقال: تلقتها الأمة بالقبول وتمر الأخبار كما جاءت. [مناقب الشافعي لابن أبي حاتم ص182]

Dari Abu Bakar al-Mawardzi, dia berkata: Saya bertanya kepada Imam Ahmad bin Hanbal tentang Hadits-Hadits yang ditolak oleh Jahmiyyah, yaitu tentang sifat-sifat Alla, ru’yah (melihat Allah di Surga), Isra’, dan kisah ‘Arsy. Beliau membenarkan semuanya itu lalu mengatakan: Ummat harus menerimanya dan membiarkan Hadits-Hadits tersebut sebagaimana datangnya (apa adanya) (Manaqib asy-Syafi’I li-b-ni Abi Hatim, hal. 182)

قال الإمام أحمد: وزعم – جهم بن صفوان – أن من وصف الله بشيءٍ مما وصف به نفسه في كتابه، أو حدَّث عنه رسوله كان كافراً وكان من المشبِّهة. [مناقب الإمام أحمد ص221]

Imam Ahmad mengatakan: Jahm bin Shofwan (pendiri paham Jahmiyyah) memandang bahwa barangsiapa yang mensifati Allah dengan sifat yang Dia sifati untuk diri-Nya di dalam Al-Qur’an. Atau mensifati Allah sebagaimana Rasulullah tetapkan untuk Allah, maka orang tersebut kafir dan termasuk musyabbihah (orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya) (Manaqib Al-Imam Ahmad, hal. 221)


 قال الإمام أحمد: نحن نؤمن بأن الله على العرش، كيف شاء، وكما شاء، بلا حد، ولا صفة يبلغها واصف أو يحده أحد؛ فصفات اللهِ منه وله، وهو كما وصف نفسه، لا تدركه الأبصار. [درء تعارض العقل والنقل لابن تيمية ج2 ص30]

Imam Ahmad mengatakan: “Kami beriman bahwa Allah berada di atas Arsy, sesuai kehendak-Nya, seperti yang dikehendaki-Nya, dengan tanpa batasan dan sifat dari siapapun. Karena sifat Allah adalah dari-Nya dan untuk-Nya, Dia itu sebagaimana disifati oleh-Nya, dan Dia tidak bisa dilihat oleh indra mata (ketika di dunia)”. (Dar’u Ta’arudhil Aqli wan Naql libni Taimiyah 2/30)

Perhatikanlah! Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini:

عن معاوية بن الحكم السلمي؛ قال: …… وكانت لي جارية ترعى غنما لي قبل أحد والجوانية. فاطلعت ذات يوم فإذا الذيب [الذئب؟؟] قد ذهب بشاة من غنمها. وأنا رجل من بني آدم. آسف كما يأسفون. لكني صككتها صكة. فأتيت رسول الله صلى الله عليه وسلم فعظم ذلك علي. قلت: يا رسول الله! أفلا أعتقها؟ قال “ائتني بها” فأتيته بها. فقال لها “أين الله؟” قالت: في السماء. قال “من أنا؟” قالت: أنت رسول الله. قال “أعتقها. فإنها مؤمنة

“. Mu’aawiyyah bin Al-Hakam As-Sulamiy berkata : “…..Aku mempunyai seorang budak wanita yang menggembalakan kambingku ke arah gunung Uhud dan Jawwaaniyyah. Pada suatu hari aku memantaunya, tiba-tiba ada seekor serigala yang membawa lari seekor kambing yang digembalakan budakku itu. Aku sebagaimana manusia biasa pun marah sebagaimana orang lain lain marah (melihat itu). Namun aku telah menamparnya, lalu aku mendatangi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Beliau pun menganggap besar apa yang telah aku lakukan. Aku berkata : ‘Wahai Rasulullah, apakah aku harus memerdekakannya ?’. Beliau menjawab : ‘Bawalah budak wanita itu kepadaku’. Aku pun membawanya kepada beliau. Lalu beliau bertanya kepada budak wanita itu :‘Dimanakah Allah ?’. Ia menjawab : ‘Di langit’. Beliau bertanya lagi : ‘Siapakah aku ?’. Ia menjawab : ‘Engkau adalah utusan Allah (Rasulullah)’. Beliau pun bersabda :‘Bebaskanlah, sesungguhnya ia seorang wanita beriman(H.R Muslim dalam Shahih-nya, Ahmad, Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf dan Al-Musnad )

Renungkanlah! Ketika ditanya, sang budak menjawab bahwa Muhammad sebagai Rasul dan Allah ‘Azza wa Jalla di atas ‘Arsy, lalu Nabi pun menyatakan dia sebagai wanita beriman.

Jadi, seorang mukmin adalah yang mengimani keberadaan Allah di atas ‘Arsy.

Judul buku : Catatan Singkat tentang “MENGENAL ALLAH ‘AZZA WA JALLA”

Penulis : Muhammad Nur Yasin Zain, Lc.Hafizhahullah
(Pengasuh Pesantren Mahasiswa Thaybah Surabaya)