Dijumpai di beberapa tempat, anak-anak kaum muslimin tidak bisa membaca al-Qur’an. Penyebabnya adalah tidak adanya TPQ (Taman Pendidikan Qur’an). Masjidnya saja kumuh, sangat kotor, berbau tak sedap sepertinya tidak ada yang mengurusi. Padahal anak-anaknya ingin bisa membaca al-Qur’an dan praktek ibadah lainnya. Lalu siapakah yang bertanggungjawab. Siapa lagi kalau bukan kita. YNF siap membantu melalui program LAPTOPQU. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah yang belajar al-Qur’an dan mengajarkannya”. (HR. Bukhari, Abu Daud, at-Tirmidzi)
Seorang ayah dari kalangan dhu’afa membangga-banggakan anaknya yang sedang digandengnya tentang prestasi sekolahnya. Dengan semangat tahadduts binni’mah dia ceritakan di depan tetangganya yang terpandang. Harapannya agar tetangga tersebut meresponnya yang bisa menyemangati anaknya untuk terus berprestasi. Namun, jangankan mensuportnya, merespon dengan senyum saja tidak mau. Dari lisannya hanya terlontar kata “o, iya…” dengan raut wajah yang masam. Mana kepedulian terhadap sesama? Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah anda meremehkan kebaikan sekecil apapun meskipun sekedar dengan wajah berseri-seri ketika bertemu saudaranya” (HR.Muslim)
Sungguh berat kaum muslimin yang tinggal di daerah sasaran program kristenisasi. Sudah minus dari sisi perekonomian tetapi harus melawan program orang kafir yang raksasa duit. Merekapun harus rela bagi waktu. Waktu yang semestinya untuk mencari tambahan penghasilan, mereka gunakan untuk membentengi aqidah kaum muslimin dan anak-anaknya. Mereka rela hanya diberi honor Rp.75.000,- per bulan oleh Takmir masjid. Karena memang segitulah kemampuannya. Sekaranglah saatnya Anda memikirkan mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Jika Anda menolong (agama) Allah, niscaya Allah menolong Anda (Qs. Muhammad: 7)
Makan, minum, jalan-jalan, rekreasi, olahraga dan aktivitas lainnya kita melakukannya dengan aman dan leluasa. Sementara saudara-saudara kita yang di Palestina, Syuriah dan Rohingya dapatkah mereka melakukannya? Ribuan peluru dan ratusan roket senantiasa menghujani mereka. Jika kita ikut merasakan kepedihan mereka dengan menyisihkan sebagian uang kita di sunduk-sunduk infaq yang menyalurkan, maka berarti hati kita sehat. Tetapi jika tidak demikian, maka betapa keterlaluannya kita….tahukah anda setiap saat mereka merintih kesakitan? Selain doa, mereka juga membutuhkan pasokan makanan, air bersih, obat-obatan dan lainlain. Maka, semestinya kita tidak merasa cukup untuk berinfak sekedar sekali atau dua kali, tetapi berkali-kali. Mana kepedulian kita kepada sesama? Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak beriman seseorang diantara kalian, sehingga ia mencintai saudaranya sebagaimana mencintai dirinya sendiri” (HR. Bukhari dan Muslim)
Bagaimana perasaan Anda jika telah berusia tigapuluh tahun tetapi belum menikah karena masalah biaya? Bagaimana perasaan Anda jika menjadi janda dan harus menghidupi diri dan anak-anak? Bagaimana perasaan Anda jika sudah sangat berumur tetapi belum juga ada lelaki yang datang untuk menikahi? Bagaimana perasaan Anda jika sekian lama mencari pekerjaan tetapi belum juga mendapatkannya? Banyak anakanak yang semestinya menikmati bangku sekolah tetapi malah berkeliaran di jalan; mengemis dan jual koran. Bagaimana jika terjadi pada Anda? Pasti Anda tidak menginginkan semuanya terjadi pada Anda. Jika demikian, maka Andapun wajib tidak rela jika terjadi pada saudara muslim Anda. Jadi, Andalah solusinya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa memudahkan urusan orang yang dalam kesulitan, maka Allah akan mudahkan urusannya di dunia dan Akherat”. (HR. Muslim)
اَرَءَيْتَ الَّذِيْ يُكَذِّبُ بِالدِّيْنِ، فَذٰلِكَ الَّذِيْ يَدُعُّ الْيَتِيْمَ، وَلَا يَحُضُّ عَلٰى طَعَامِ الْمِسْكِيْنِ، فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّيْنَ، الَّذِيْنَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُوْنَ، الَّذِيْنَ هُمْ يُرَاۤءُوْنَ، وَيَمْنَعُوْنَ الْمَاعُوْنَ
Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, yaitu orangorang yang lalai dari shalatnya, yang berbuat ria. dan enggan menolong dengan barang berguna (QS al-Mau’un [107]: 1-7).
Allah berfirman, Arayta al-ladzî yukadzdzibu bi ad-dîn (Tahukah kamu [orang) yang mendustakan agama). Seruan ayat ini ditujukan kepada Rasulullah, termasuk di dalamnya seluruh umatnya. Sebab, khithâb alRâsûl khithâb li ummatihi (seruan kepada Rasulullah merupakan seruan kepada umatnya).
Ada beberapa penafsiran mengenai makna ad-dîn di sini, yakni hukum Allah, Islam dan Al-Quran, menurut Al-Alusi. Menurut mayoritas mufassir kata tersebut bermakna hisab dan pembalasan. Al-Qurthubi dan Asy-Syaukani menafsirkan kata tersebut dengan al-jazâ’ wa al-hisâb fî al-âkhirah (pembalasan dan hisab di akhirat). Menurut Ibnu Katsir kata itu bermakna al-ma’âd wa al-jazâ’ wa ats-tsawâb (Hari Kebangkitan, Pembalasan dan Pahala).
Ciri orang yang mendustakan agama, yang pertama adalah al-ladzî yadu’u al-yatîm (Itulah orang yang menghardik anak yatim). Yatim adalah anak yang ditinggal mati ayahnya. Sebutan itu berlaku hingga anak tersebut berusia baligh. Jika sudah balig, status yatimnya hilang, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Al-Mandzur. Adapun yadu’, menurut AlBaghawi artinya menghardik dan menzhalimi haknya. Kata ad-da’ berarti ad-daf’u bi al-‘unf wa al-jafwah (menolak dengan kasar dan bengis). Menurut Ibnu Al-Jauzi, penolakan kasar itu bisa menolak untuk memberi makanan dan berbuat baik kepadanya, atau menolak memberikan harta dan hak-haknya.
Ciri orang yang mendustakan agama, yang kedua adalah Wa lâ yahudhdhu ‘alâ tha’âm almiskîn (dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin). Orang miskin adalah orang yang tidak mempunyai apa-apa, tidak memiliki rumah, sedikit pakaian atau makanan. Mereka bahkan ditimpa kelaparan. Kata miskin dalam ayat ini juga mencakup kaum fakir. Dua kelompok tersebut-yakni fakir dan miskin-jika hanya disebutkan salah satunya, maka itu mencakup kedua-duanya. Kedua kelompok itu baru dibedakan jika keduanya disebutkan bersama-sama.
Kata lâ yahudhdhu (tidak mendorong) di sini bisa terhadap dirinya, bisa juga terhadap orang lain. Dalam analisis Al-Khazin, ungkapan ini menunjukkan puncak kebakhilan. Sebab, dia bakhil terhadap hartanya dan harta orang lain untuk diberikan. Aspek ini pula yang ditegaskan AlQurthubi bahwa sikap mereka yang tidak mendorong memberi makan orang miskin itu disebabkan oleh kebakhilan dan pengingkarannya terhadap pembalasan. Hal ini sejalan dengan QS al-Haqqah [69]: 24). Jadi ayat ini bermakna: Mereka tidak mengerjakannya ketika mampu dan tidak mendorongnya ketika kesulitan.
Selanjutnya, Fawayl[un] li al-mushallîn (Kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat). Menurut Az-Zuhaili, kata wayl berarti khizy[un] wa ‘adzâb[un] wa halâk[un] (kehinaan, azab dan kehancuran).16 Dalam al-Quran, sebagaimana dicatat oleh Ar-Razi, kata wayl ini biasa digunakan untuk menyebut jarîmah syadîdah (perbuatan dosa yang berat), simak QS alMuthaffifin [83]: 1, al-Baqarah [2]: 79, al-Humazah [104]: 1.17.
Dalam ayat ini ancaman keras tersebut ditujukan kepada al-mushallîn yaitu orang-orang yang mendapat taklif kewajiban shalat, namun tidak mengerjakannya. Kalaupun mengerjakan, dipastikan tidak benar. Kesimpulan ini dapat dilihat pada ayat selanjutnya, al-ladzîna hum ‘an shalâtihim sâhûn (yaitu orang-orang yang lalai dari shalatnya). Kata sâhûn merupakan bentuk fâ’il dari kata as-sahw. Secara bahasa, kata tersebut bermakna khatha’ ‘an ghaflah (kesalahan karena kelalaian).
Patut dicatat, dalam ayat ini digunakan ‘an shalâtihim; dan bukan fî shalâtihim. Dipaparkan az-Zamakhsyari bahwa kata ‘an di sini berarti mereka melalaikan shalat; lalai dengan meninggalkan shalat dan minimnya perhatian mereka terhadapnya. Ini merupakan perbuatan kaum munafik atau kaum fasik dari kaum Muslim. Adapun makna fî, kelalaian itu menimpa kaum Muslim pada saat shalat oleh bisikan syaithan atau dirinya sendiri. Setiap Muslim pasti lalai dalam shalat bahkan Rasulullah pun pernah mengalaminya.
Allah kemudian berfirman, al-ladzîna hum yurâ’ûna (orang-orang yang berbuat riya’). Kata yurâ’ûna berasal dari ar-riyâ’. Menurut Al-Qurthubi, hakikat riyâ’ adalah thalab mâ fî ad-dun-yâ bi al”ibâdah (mencari apa yang ada di dunia dengan ibadah). Pada asalnya, riya berarti mencari kedudukan dalam pandangan manusia. Dengan demikian, riya adalah mengerjakan amal shalih yang tidak didasarkan pada niat ikhlas mencari ridha Allah. Yang diharapkan darinya adalah pujian dari manusia, termasuk ketika mereka mengerjakan shalat.
Terakhir Allah berfirman, wayamna’ûna al-mâ’ûn (dan enggan menolong dengan barang berguna). Pada masa jahiliah kata al-mâ’ûn adalah segala sesuatu yang mengandung manfaat. Dalam konteks ayat ini, ada mufassir yang menafsirkannya sebagai zakat. Ada pula mufassir yang menafsirkannya dengan segala sesuatu yang biasanya tidak ditolak untuk diminta, baik oleh fakir maupun orang kaya.
Cukup banyak dalil yang memerintahkan untuk berbuat baik kepada anak yatim, seperti memberi makan mereka (lihat QS al-Balad [90]: 15) dan memuliakan mereka (lihat QS al-Fajr [89]: 17). Itu semua menunjukkan, kaum Muslim harus memperhatikan nasib anak yatim. Jika tidak berbuat baik kepada mereka saja sudah berdosa, apalagi jika berbuat jahat kepada mereka (Lihat, misalnya, QS al-Nisa’ [4]: 10)
Demikian pula dengan sikap pendusta agama terhadap orang miskin. Sebagaimana diberitakan surat ini, mereka tidak tergerak untuk membantu dan meringankan beban orang-orang miskin. Padahal orang miskin itu amat membutuhkan bantuan untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka, yakni makan. Dalil yang berisi perintah untuk memberikan makan kepada orang miskin itu pun amat banyak (lihat QS al-Balad [90]: 16), juga perintah memberikan sedekah kepada mereka (QS al-Isra’ [17]: 26-30). Harta mereka harus disediakan untuk orang miskin, baik yang meminta maupun tidak (QS al-Ma’arij [70]: 24-25).
Itulah potret orang yang mendustakan akhirat. Namun, perlu digarisbawahi, sebagaimana dikemukakan Fakhruddin Ar-Razi, yang tergolong orang yang mendustakan agama bukan hanya dua kelompok itu saja. Mereka hanya sebagian contoh dari orang-orang yang mendustakan agama dan hari akhir. Jika dicermati, tiga sifat yang disebutkan terakhir juga terlahir dari pengingkaran terhadap akhirat. (QS al-Nisa’ [4]: 142; QS al-Taubah [9]: 54)
Penulis : Muhammad Nur Yasin Zain, Lc. Hafizhahullah
(Pengasuh Pesantren Mahasiswa THAYBAH Surabaya)
Majalah Bulan Januari, 2013 Edisi 7