Sekitar awal Desember tahun 2012, salah seorang donatur datang ke kantor YNF untuk mengantarkan donasi rutin bulanannya. Beliau sedikit bercerita tentang masa lalunya bahwa ketika duduk di bangku SMA, seseorang datang ke rumahnya menawarkan beasiswa untuknya sampai menjadi sarjana dengan syarat harus masuk Kristen. Perekonomonian yang pas-pasan menjadikan ibunya bimbang untuk menolaknya, dipandangnya tawaran tersebut akan sangat menghemat pengeluaran belanja rumah tangganya. Tetapi beliau langsung dengan tegas menolaknya, “Bu, jangan sampai diterima, harus ditolak. Sudah di dunia sengsara, masak harus sengsara juga di Akherat”. Inilah gambaran-insya Allahorang yang memancangkan keimanannya sehingga ia tetap ada pada dirinya tidak melayang oleh iming-iming apapun, apalagi hanya sekedar beasiswa.
Iman bersifat naik dan turun. Setiap saat kita harus mengontrolnya. Jangan biarkan ia turun drastis, tetapi sebalikanya justru harus terus ditinggkatkan sampai bisa merasakan rasa manisnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang maknanya: “Tiga hal yang jika ada pada seseorang, ia akan merasakan manis dan lezatnya iman: (1) Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya; (2) ia mencintai karena Allah dan membenci karena Allah; dan (3) seandainya api yang sangat besar dinyalakan lalu ia dilemparkan ke dalamnya, itu lebih ja sukai daripada menyekutukan Allah.” (Hadits Riwayat Bukhari dari Anas bin Malik)
Orang yang sudah merasakan manisnya iman, ia akan menanggung kesusahan dan penderitaan demi mencari keridaan Allah Ta’ala. la mendahulukan semua itu di atas kepentingan dunia. Kesusahan dan penderitaan tidak dirasakannya, tertutup oleh manisnya iman yang telah dirasakannya. Kesusahan dan penderitaan hanya ada pada kaca mata orang lain yang memandangnya.
Bagaimana Handhalah radhiyallahu ‘anhu bisa meninggalkan malam pertama dari pernikahannya untuk berjihad? Barangkali orang akan mengatakan, “mbok yaoo nanti aja…. malam pertama kan malam terindah untuk asyikmasyuk…. jihad kan bisa lain kali…. Tetapi tidak demikian Handhalah. Inilah orang yang telah merasakan manisnya iman.
Beberapa orang tampak gelisah ketika azan sudah berkumandang, mereka tidak ingin tertinggal dari shalat jamaah. Barangkali orang akan mengatakan, “walaahh…wong waktune dowo koq…. kesusu-kesusu ae…”. Itulah ucapan orang yang keimanannya harus ditingkatkan sampai bisa merasakan manisnya.
kawan saya rela bertahan menjadi “kontraktor” (terus-menerus ngontrak rumah) padahal dia mampu membeli rumah dengan cara mengkredit. Hal ini dia lakukan karena seluruh system kredit yang ada tidak lepas dari riba. Dia belum mendapatkan system kredit yang syar’i. Berangkat dari keimanan yang tinggi inilah dia sangat merasakan indahnya hidup meskipun orang lain terus mendorongnya agar membeli rumah. System kredit yang ribawi mereka memandangnya enteng dengan mengatakan, “ini kan darurat…”. Laa haula wa laa quwwata illa billah.
Pancangkanlah iman, niscaya Anda bisa memandang dunia ini kecil, hina, rendah. Akheratlah tempat kita sesunggguhnya.
Bayangkanlah, seandainya Anda punya barang bekas yang sudah tidak Anda sukai. Menjualnya tentu pilihan satu-satunya selain dishadaqahkan secara cuma-cuma. Misalnya, barang itu adalah sepeda motor kenangan bersejarah yang pertama kali bisa Anda beli dari hasil kerja Anda. Dua puluh tahun yang lalu Anda membelinya seharga satu juta rupiah. Hari ini datang seseorang kepada Anda, “Saya beli ya sepeda motor antik Anda ini. Anda buka harga berapa?” Anda akan sebutkan berapa? Sebut saja! Kenapa ragu? Baiklah, seandainya sepeda motor itu sudah tidak Anda sayangi, sepertinya Anda akan mengatakan, “Terserah lah. Yang penting Anda cocok. Harganya yang penting tidak jelek-jelek amat.” Kalau Anda masih mencintai motor itu, tentu Anda masih berani mengatakan, “Saya baru mau melepaskan motor ini dengan harga dua juta rupiah.” Betul? Dua kali lipat dari harga sewaktu Anda membelinya. Padahal motor sudah dua puluh tahun. Pasti karena Anda menyayanginya dan tidak ingin motor yang berharga itu pergi dari hidup Anda dengan ganti yang lebih murah atau sepadan.
Sekarang bayangkan bahwa motor itu adalah iman Anda! Rasanya, Anda begitu sayang dan cinta dengan iman Anda bukan? Anda tentu tak rela jika iman itu melayang dari qalbu Anda? Anda pasti menyesal dan sedih tiada terkira apabila iman pergi dan tak kembali selamanya atau sekedar rontok sedikit demi sedikit? Dan Anda juga tidak akan ridha bila Anda harus melepaskan iman Anda hanya karena harta dan kebahagiaan dunia semata bukan?
Bayangkan saja sekarang! Anda sudah beriman berpuluh-puluh tahun, tiba-tiba datang seseorang yang membawa beras, pasta gigi, minyak goreng, garam, susu kaleng, mie instan, sabun, baskom, piring, obat-obatan, dan sebagainya, lalu orang itu menjanjikan, “Semua ini untuk Anda, asalkan Anda mau memeluk agama selain Islam. Yang penting Anda mau keluar dari Islam.” Anda mau? Jawab! Anda mau? Alhamdulillah. Jawaban Anda cukup lantang.
Sekarang, seandainya, janjinya berupa kendaraan mewah dan rumah megah, apakah Anda akan rela melepaskan iman? Jawab! Alhamdulillah. Mari kita bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah menjadikan iman indah di dalam qalbu kita dan kita mencintai iman itu, sebagaimana kita mencintai sepeda motor antik kebanggaan kita. Kalau saja kita tidak mencintai iman, barangkali, kita akan gadaikan iman itu hanya untuk bisa merasakan segarnya segelas susu instan, gurihnya mie instan, wanginya sabun, beningnya piring kaca, atau empuknya nasi putih dari beras pilihan.
Inilah yang patut kita renungkan. Apakah kita sudah begitu mencintai iman? Apakah kita sudah begitu tegar memancangkan iman di puncak qalbu kita? Apakah kita sudah mati-matian menjaga iman kita dengan upaya-upaya yang dituntunkan oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya?
Mari kita ingat, hidup hanya sekali, dan mati juga hanya sekali. Hidup tanpa iman, sama juga dengan mati. Mati tanpa iman, alamat tidak akan selamat di akhirat. Padahal akhirat sudah pasti adanya, antara surga dan neraka. Jika kita tidak menjaga iman kita selagi kita hidup hingga nyawa meredup, neraka yang akan kita tuju. Adapun surga, hanyalah bisa kita masuki jika kita mau memancangkan iman.
Lupakan bayang-bayang janji kebahagiaan duniawi jika iman yang menjadi taruhan! Berkali-kali kita tergiur dengan kenikmatan-kenikmatan hidup sementara untuk mendapatkannya kita harus meninggalkan Allah Ta’ala dan menanggalkan iman. Tidak hanya sekali, kita selalu dihantui oleh kekhawatiran tak beralasan akan kemiskinan dan kesengsaraan jika kita teguh menjaga iman.
Dunia kah tujuan utama hidup kita? Harta, kediaman, kendaraan, keturunan, jabatan, kehormatan? Akankah kita relakan iman kita remuk hancur berserakan tak berwujud, hanya untuk mendapatkan ini semua?
Sungguh, nikmat akhirat jauh lebih besar dari tiga puluh kali lipat kekayaan orang terkaya di dunia sepanjang masa! Kita baru bisa mendapatkannya jika kita mau untuk teguh memancangkan iman.
Penulis : Muhammad Nur Yasin Zain, Lc. Hafizhahullah
(Pengasuh Pesantren Mahasiswa THAYBAH Surabaya)
Majalah Bulan Februari, 2013 Edisi 8