Solusi Investasi Akhirat Anda

‘Uzlah

A. Islam “Agama Vertikal dan Horizontal”

Di dalam menjalani kehidupan, manusia menghadapi dua mu’amalah. Mu’amalah dengan Allah  (hubungan vertikal) dan mu’amalah dengan manusia (hubungan horizontal). Adalah salah besar jika seseorang hanya baik muamalahnya dengan Allah tapi buruk dengan manusia. Keduanya haruslah berjalan sama baiknya. Tentu Anda ingat Hadits tentang seorang wanita yang disebutkan di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai ahli shalat dan ahli puasa. Namun, apa komentar beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam? Beliau bersabda: “DIA ITU AHLI NERAKA. Mengapa? Tidak lain adalah karena dia buruk muamalahnya dengan manusia. Berikut ini Hadits yang dimaksud,

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ فُلاَنَةَ تَذْكُرُ مِنْ كَثْرَةِ صَلاَتِهَا وَصِيَامِهَا وَصَدَقَتِهَا غَيْرَ أَنَّهَا تُؤْذِى جِيرَانَهاَ بِلِسَانِهَا قَالَ « هِىَ فِى النَّارِ ». قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَإِنَّ فُلاَنَةَ تَذْكُرُ مِنْ قِلَّةِ صِيَامِهَا وَصَدَقَتِهَا وَصَلاَتِهَا وَأَنَّهَا تَصَدَّقُ باِلأَثْوَارِ مِنَ الأَقِطِ وَلاَ تُؤْذِى جِيرَانَهَا بِلِسَانِهَا قَالَ « هِىَ فِى الْجَنَّةِ ». (مسند أحمد)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: “Ada seseorang mengatakan:’Ya Rasulullah, sesungguhnya si Fulanah menyebutkan banyak shalatnya, puasanya dan shodaqohnya. Tapi dia berprilaku buruk kepada tetangga-tetangganya’. Beliau menjawab: ‘Dia (tempat)nya di Neraka’. Dia berkata:’Ya Rasullah, sementara si Fulanah (yang lain) menyebutkan sedikit puasanya, shodaqohnya dan shalatnya. Dia (hanya) bershodaqoh dengan beberapa potong keju tetapi tidak menyakiti tetangga-tetangganya dengan lisannya’. Beliau bersabda: ‘Dia (tempat)nya di Surga’” (Musnad Imam Ahmad)

Hadits ini menunjukkan keharusan manusia untuk bergaul dengan manusia lainnya dengan sebaik-baiknya pergaulan. Perhatikanlah Hadits di atas, seseorang ahli ibadah tetapi tempatnya di Neraka tidak lain karena tidak berbuat baik dengan tetangganya. Bahkan Nabi memerintahkan kita bersabar untuk tetap bergaul dengan mereka tidak meninggalkan mereka bagaimanapun kondisinya meskipun menyakitkan kita. Beliau bersabda,

عَنْ رَجُلٍ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ أَظُنُّهُ ابْنَ عُمَرَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « الْمُؤْمِنُ الَّذِى يُخَالِطُ النَّاسَ وَيَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ أَعْظَمُ أَجْراً مِنَ الَّذِى لاَ يُخَالِطُ النَّاسَ وَلاَ يَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ » (مسند أحمد)

Dari seorang Sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam – Periwayat meyakini yang dimaksud adalah Ibnu Umar – , beliau bersabda: “Seorang mukmin yang bergaul dengan manusia dan bersabar atas gangguan mereka itu lebih besar pahalanya daripada yang tidak bergaul dengan manusia dan tidak bersabar atas gangguan mereka” (Musnad Ahmad)

Ketika seseorang memililih bersabar atas gangguan-gangguan sehingga bisa tetap berbaur dengan manusia sekitarnya, maka ada banyak kebaikan yang bisa diraih, seperti; menasehati, berdakwah, menghadiri majlis ilmu, menengok orang sakit, menyolati jenazah, memberikan bantuan-bantuan sosial dan lain-lain yang hal ini semua tidak bisa didapatkan jika dia ber-‘uzlah (mengucilkan diri dari manusia).

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ مَرَّ رَجُلٌ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِشِعْبٍ فِيهِ عُيَيْنَةٌ مِنْ مَاءٍ عَذْبَةٌ فَأَعْجَبَتْهُ لِطِيبِهَا فَقَالَ لَوِ اعْتَزَلْتُ النَّاسَ فَأَقَمْتُ فِى هَذَا الشِّعْبِ وَلَنْ أَفْعَلَ حَتَّى أَسْتَأْذِنَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-. فَذَكَرَ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ « لاَ تَفْعَلْ فَإِنَّ مَقَامَ أَحَدِكُمْ فِى سَبِيلِ اللَّهِ أَفْضَلُ مِنْ صَلاَتِهِ فِى بَيْتِهِ سَبْعِينَ عَامًا أَلاَ تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ وَيُدْخِلَكُمُ الْجَنَّةَ اغْزُوا فِى سَبِيلِ اللَّهِ مَنْ قَاتَلَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ فُوَاقَ نَاقَةٍ وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ ».( سنن الترمذى)

Dari Abu Hurairah, dia berkata, ada seseorang dari Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam melewati sebuah lembah yang padanya terdapat mata air segar yang memikatnya karena kebagusannya. Dia berkata: ‘Jika saya mengucilkan diri dari manusia lalu saya tinggal di lembah ini? Sungguh saya tidak akan melakukannya hingga saya meminta izin terlebih dahulu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam’. Lalu dia  menyampaikan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau pun bersabda: “Jangan Anda lakukan! Sesungguhnya tempat seseorang di antara kalian di jalan sabilillah lebih utama daripada shalatnya di rumahnya selama 70 tahun. Tidak maukah kalian jika Allah mengampuni kalian dan memasukkan kalian ke dalam Surga? Berperanglah di jalan Allah. Barangsiapa berjihad meskipun hanya sebentar maka wajib baginya (mendapatkan) Surga“ (Sunan At-Tirmidzi)

 Hadits ini menunjukkan betapa Islam mengajarkan ummatnya tentang keharusan berbaur dengan manusia dan melarang mengucilkan diri meskipun untuk fokus ibadah.

Jelaslah, Islam tidak menghendaki pemeluknya mengucilkan diri dan menjahui pergaulan bersama manusia

B. Kapan ‘Uzlah (Mengucilkan Diri dari Muamalah dengan Manusia) Diperbolehkan?

Sangatlah gamblang, Islam melarang kita mengucilkan diri sebagaimana sudah dijelaskan di atas. Namun, jika ada kondisi tertentu yang memperkenankan maka kita diperbolehkan ‘uzlah bahkan lebih utama. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ أَنَّهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « يُوشِكُ أَنْ يَكُونَ خَيْرَ مَالِ الْمُسْلِمِ غَنَمٌ يَتْبَعُ بِهَا شَعَفَ الْجِبَالِ وَمَوَاقِعَ الْقَطْرِ ، يَفِرُّ بِدِينِهِ مِنَ الْفِتَنِ » (رواه البخارى)

Dari Abu Sa’id Al-Khudry, dia berkata, Rasulullah shallalllahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Hampir tiba masanya sebaik-baik harta seorang muslim ketika itu adalah kambing yang digembalakan di puncak gunung-gunung  dan tempat-tempat yang meneteskan air (lembah). Dia membawa lari agamanya karena takut dari berbagai fitnah”. (HR. Al-Bukhari)

“di puncak gunung-gunung  dan tempat-tempat yang meneteskan air (lembah)” maksudnya bukan semata-mata zhahirnya teks, tetapi menunjukkan makna ‘uzlah. Karena secara umum ia adalah tempat yang jauh dari manusia. Hadits ini menunjukkan keutamaan ‘uzlah (mengucilkan diri) dari kehidupan manusia dan meninggalkan bergaul dengan mereka ketika bisa membahayakan agama seseorang seperti terancam menjadi murtad, berbuat kesyirikan, merobohkan pondasi-pondasi Islam, melecehkan syareat dan kerusakan lain yang semacamnya.

Al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam Fathul Bari mengatakan: Hadits ini menunjukkan tentang keutamaan ‘uzlah bagi seseorang yang mengkhawatirkan agamanya.

As-Sindi di dalam Hasyiah ‘ala An-Nasa-i mengatakan: Di dalam Hadits ini terdapat dalil bahwa ‘uzlah itu boleh bahkan lebih utama pada hari-hari terjadinya fitnah.

عَنْ أَبِى سَعِيدٍ قَالَ قَالَ رَجُلٌ أَىُّ النَّاسِ أَفْضَلُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « مُؤْمِنٌ يُجَاهِدُ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فِى سَبِيلِ اللَّهِ ». قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ « ثُمَّ رَجُلٌ مُعْتَزِلٌ فِى شِعْبٍ مِنَ الشِّعَابِ يَعْبُدُ رَبَّهُ وَيَدَعُ النَّاسَ مِنْ شَرِّهِ (صحيح مسلم)

Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu dia menuturkan, ada seseorang yang berkata: Ya Rasulullah, siapakah orang yang paling baik? Beliau menjawab: “ ‘Yaitu orang mukmin yang berjuang di jalan Allah dengan jiwa dan hartanya’. ‘Lalu siapa lagi?’ , Tanya orang itu lebih lanjut. Beliau menjawab: ‘Kemudian orang yang menyendiri di celah-celah gunung untuk beribadah kepada Rabb-nya dan meninggalkan manusia dari keburukannya’ “. (Shahih Muslim)

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ قَالَ « مِنْ خَيْرِ مَعَاشِ النَّاسِ لَهُمْ رَجُلٌ مُمْسِكٌ عِنَانَ فَرَسِهِ فِى سَبِيلِ اللَّهِ يَطِيرُ عَلَى مَتْنِهِ كُلَّمَا سَمِعَ هَيْعَةً أَوْ فَزْعَةً طَارَ عَلَيْهِ يَبْتَغِى الْقَتْلَ وَالْمَوْتَ مَظَانَّهُ أَوْ رَجُلٌ فِى غُنَيْمَةٍ فِى رَأْسِ شَعَفَةٍ مِنْ هَذِهِ الشَّعَفِ أَوْ بَطْنِ وَادٍ مِنْ هَذِهِ الأَوْدِيَةِ يُقِيمُ الصَّلاَةَ وَيُؤْتِى الزَّكَاةَ وَيَعْبُدُ رَبَّهُ حَتَّى يَأْتِيَهُ الْيَقِينُ لَيْسَ مِنَ النَّاسِ إِلاَّ فِى خَيْرٍ »( صحيح مسلم)

Dari Abu Hurairah, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda: “Termasuk sebaik-baik kehidupan manusia adalah seseorang yang memegang kendali kudanya untuk berjuang di jalan Allah, dia meloncat di atas kudanya. Setiap kali dia mendengar teriakan perang atau yang semisalnya, dia melompat ke atas punggung kudanya untuk bisa membunuh (musuh) atau mati di tempat yang disangka (ada musuh). Atau seseorang yang mengembalakan sekelompok kecil anak kambing di puncak salah satu gunung atau perut salah satu lembah, dengan mendirikan shalat, menunaikan zakat, serta menyembah Rabb-nya sehingga ajal mendatanginya, dan dia tidak berbaur dengan manusia kecuali di dalam kebaikan” (Shahih Muslim)

Di dalam dua Hadits ini,  orang yang menyendiri (‘uzlah) fadhilahnya disebutkan setelah jihad fi sabilillah. Al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam Fathul Bari mengatakan: orang mukmin yang menyendiri (‘uzlah) keutamaannya disebutkan setelah jihad fi sabillah tidak lain karena orang yang tetap bergaul dengan manusia dalam kondisi tidak aman dari fitnah maka tidak bisa selamat dari menghindari dosa. Atau ketika bergaul dengan manusia dalam kondisi seperti ini potensi untuk terjerumus ke dalam dosa lebih besar daripada kebaikan yang hendak diraih.

C. Contoh Para Pendahulu yang Melakukan ‘Uzlah

1. Nabi Ibrahim ‘alaihissalam

Dia berkata kepada kaumnya, sebagaimana tertera dalam Qur’an,

وَأَعْتَزِلُكُمْ وَمَا تَدْعُونَ مِن دُونِ اللَّهِ  (مريم:48)

“Dan aku akan ‘uzlah (menjauhkan diri) dari kalian dan dari apa yang kalian seru selain Allah.” (QS : Maryam : 48)

Alasan yang mendorong Nabi Ibrahim alaihissalam mengambil sikap ‘uzlah adalah untuk suatu metode dakwah dalam mengubah dan meluruskan kaumnya. Sebab seperti kita ketahui, walaupun Nabi Ibrahim telah berkali-kali menyeru dan mengajak kaumnya menuju jalan Allah, tetapi  kaumnya itu tetap membangkang dan tetap melakukan kekufuran. Karenanya, untuk mengatasi terjadinya kondisi yang semakin buruk, akhirnya Nabi Ibrahim alaihissalam memutuskan untuk mengambil sikap sementara waktu berusaha menghindar dan menjauh dari mereka.

2. Abdullah bin Umar pernah menempuh jalan ‘uzlah untuk melepaskan diri dari jamaah kaum muslimin. Alasannya cukup kuat, dia ingin menghindarkan diri dari kemelut fitnah akibat terbunuhnya Utsman yang saat itu tengah merajalela dalam kehidupan kaum muslimin  hingga menimbulkan pertumpahan darah, sedangkan mereka tidak mengetahui pihak mana yang benar dan pihak mana yang salah.

Abdullah Ibnu Umar mengatakan: Perumpamaan kita di zaman fitnah seperti ini  (peperangan antara Ali dan Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhuma) adalah seperti kaum yang berjalan di atas dataran yang mereka mengenalinya. Dalam kondisi seperti ini, tiba-tiba datang awan dan kegelapan yang menutupi mereka. Sebagian mereka mengambil langkah ke kanan dan kiri. Mereka pun tersesat. Adapun kami, ketika terjadi kebingungan di jalan seperti ini, kami berdiam saja di tempat kami hingga Allah memperlihatkan jalan yang terang bagi kami. Akhirnya kami mengetahui kembali jalan yang awal, lalu kami pun melaluinya. Mereka pemuda-pemuda Quraisy hanyalah berperang atas kekuasaan dan duniawi. Aku tak peduli, apa yang mereka rebutkan dengan saling memerangi sungguh nilainya tidak menyamai dua sandal Jardawa ini. Sandal yang tak berbulu ini nilainya lebih tinggi dari  kekuasaan yang mereka rebutkan

3. Ayah Abdullah bin ‘Amir. Ketika terjadi fitnah (terbunuhnya Utsman) dia menempuh jalan ‘uzlah sebagaimana di tuturkan oleh putranya, Abdullah bin ‘Amir: “Ketika mereka telah menikam Utsman, ayahku shalat di malam hari dan berdoa; ‘Ya Allah, jagalah saya dari fitnah dengan apa yang telah Engkau jaga para hamba-hamba-Mu yang shaleh. Maka, beliaupun tidak pernah keluar dari rumahnya kecuali dikeluarkan sudah sebagai jenazah.”

4. Muthrof bin Abdillah menempuh jalan ‘uzlah ketika terjadi fitnah sebagaimana dituturkan oleh Yazid bin Syakhir, “Beliau menetap di rumahnya, tidak mendatangi Jum’at tidak pula mendatangi jama’ah hingga urusannya telah terang- benderang. Beliau pernah mengatakan: ‘Untuk mantap berdiam diri lebih aku sukai daripada mencari keutamaan jihad dengan tertipu’ “.

5. Sa’ad bin Abi Waqqosh, seorang pembesar Sahabat Nabi melakukan ‘uzlah ketika terjadi fitnah antara Ali dan Muawiyah. Dia pergi dengan kambingnya dan meninggalkan manusia yang sedang bergejolak dengan fitnah. Suatu saat datanglah putranya, Umar ke tempat beliau. Umar termasuk yang terlarut dalam fitnah. Ketika Sa’ad melihat kedatangan putranya, dia berucap: “Saya berlindung dari penunggang ini”. Umar turun dari tunggangannya, “Wahai Ayah, Engkau tinggal bersama unta dan kambingmu dengan meninggalkan manusia yang berselisih tentang kekuasaan?” Sambil menepuk dada anaknya, “Diam kamu, saya mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْعَبْدَ التَّقِىَّ الْغَنِىَّ الْخَفِىَّ

 “Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang bertaqwa, kaya, dan menyembunyikan”

6. Sahabat Salamah bin Al-Akwa’, sebagaimana dituturkan oleh Yazid bin Abi Ubaid, ketika Utsman dibunuh dia keluar menuju Rabdzah dan menikah dengan seorang wanita di sana lalu memiliki beberapa anak. Dia radhiyallallhu ‘anhu terus berada di sana. Dia baru menuju Madinah beberapa malam sebelum wafatnya. Imam Bukhari menyebutkan kisah ini pada judul Bab “التَّعَرُّب في الفتنة”.

Jelaslah, tindakan ‘uzlah yang diambil oleh para ulama salaf itu bukan tanpa alasan. Dengan demikian, tentu tidak bisa begitu saja ditiru oleh kita saat ini.

D. Tidak Ber’uzlah tapi Bersikap ‘Uzlah

‘Uzlah memang bagian dari syariat Islam. Tetapi tidak serta diamalkan. Pelaksanaanya hanyalah ketika terjadi suatu kondisi yang mengharuskan demikian sebagaimana sudah dijelaskan di atas. Namun, bersikap ‘uzlah adalah suatu keharusan dalam segala kondisi. Apa yang dimaksud bersikap ‘uzlah? Yaitu, menyembunyikan amalan sholeh, menghindari popularitas dan menghindarkan diri dari suatu fitnah sehingga tidak terjerumus ke dalamnya. Disebutkan di dalam Hadits,

حديث سَعْد بْنُ أَبِى وَقَّاصٍ –  سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْعَبْدَ التَّقِىَّ الْغَنِىَّ الْخَفِىَّ ».( صحيح مسلم)

Hadits Sa’ad bin Abi Waqqosh, saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang bertaqwa, kaya, dan menyembunyikan” (Shahih Muslim)

Yang dimaksud dengan “hamba yang menyembunyikan” sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Utsaimin yaitu — kurang lebihnya seperti ini– orang yang tidak mempopulerkan dirinya. Tidak pernah mempersoalkan dirinya dikenal atau tidak. Tidak mempermasalahkan orang mengacungkan jempol kepada dirinya atau tidak. Tidak mengurusi manusia memperbincangkan kebaikan dirinya atau tidak. Anda akan menjumpai kehidupannya berkisar antara rumah, masjid, kerabat, dan tempat kerja. Dia senantiasa menyembunyikan dirinya.

Ini tidak berarti jika seseorang diberikan oleh Allah kepahaman tentang ilmu lantas berdiam diri saja di dalam rumah tidak mau mengajarkan kepada manusia karena hal ini menyelisihi ketaqwaan. Dia tetap mengajar manusia dengan ilmunya, tidak berdiam diri di rumah yang akhirnya ilmunya tidak bermanfaat bagi orang lain. Sebagaimana orang yang diberi Allah dengan harta kekayaan, maka ia juga tidak berdiam diri di rumah yang akhirnya hartanya tidak bermanfaat untuk orang lain atau ummat yang membutuhkan. Namun, jika dia dihadapkan pada kondisi antara dua pilihan; menampakkan dan memperlihatkan diri untuk menjadi terkenal atau menyembunyikan dirinya, maka dia memilih menyembunyikan dirinya.[selesai] Inilah sikap ‘uzlah.

Dikisahkan, seorang pembesar Tabi’in Ayyub As-Sakhtiyani. Dia orang yang sangat menghindarkan diri dari popularitas. Suatu ketika ketika ia melewati gang-gang jalan. Ketika melewati suatu kaum, dia mengucapkan salam. Dan semua kaum itupun menjawab salamnya. Hal ini yang menjadikannya sedih lalu mempercepat jalannya dan beristir’ja’ (ucapan inna lillahi wa inna ilaihi rooji’un). Ketika ditanya tentang perkara yang menyedikahkannya, dia menjawab: “Tidaklah mereka semua menjawab salamku melainkan karena mereka semua telah mengenaliku. Saya telah menjadi orang terkenal. Sungguh ini musibah”. Setelah itu dia tidak memperkenankan siapun untuk berjalan mendampinginya. Allahu Akbar. Inilah sikap ‘uzlah.

Ketahuilah!! Orang yang memiliki popularitas di tengah-tengah manusia belum tentu selamat. Sementara orang yang memiliki popularitas di tengah-tengah penduduk langit pasti selamat.

Saya sendiri seringkali menyampaikan kepada teman-teman dalam rangka saling menasehati, “Menjadi orang tidak dikenal itu lebih mudah urusannya daripada orang yang terkenal karena lebih mudah di dalam mengontrol hati. Berbeda dengan orang yang terkenal, ia lebih tinggi tertuntutnya untuk senantiasa mengontrol hati”.

Ingatkah Anda kisah tentang Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Tholib? Ketika itu para dhu’afa dan fakir miskin seringkali menjumpai kantong berisi gandum dan bahan makanan lainnya di depan pintu-pintu rumah mereka tanpa diketahui siapa yang menaruhnya. Begitu Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Tholib wafat, mereka tidak lagi menjumpai kantong-kantong berisi makanan lagi sebagaimana biasanya. Ketika dijumpai pada punggung jenazah beliau warna kehitaman bekas sering memanggul suatu beban. Akhirnya, diketahuilah bahwa selama ini yang berbuat kemuliaan tersebut adalah beliau. Allahu Akbar. Inilah sikap ‘uzlah.

Umar bin Abdul Aziz ketika ditanya tentang pertumpahan darah yang terjadi di antara para Sahabat, mengatakan: Itu adalah darah yang Allah mensucikan tangan-tangan kita darinya, maka marilah mensucikan lisan-lisan kita darinya! Beliau mengajak kaum muslimin untuk menghindarkan diri dari fitnah.  Inilah sikap ‘uzlah.

Orang-orang bertanya kepada Masruq bin Al-Ajda’ seorang Tabi’in: “Kenapa Anda tidak membantu Ali bin Abu Tholib radhiyallahu ‘anhu?” Dia menjawab: “Bagaimana menurut kalian ketika dua pasukan dari kalangan kalian sendiri sudah saling berhadapan, lalu turun Malaikat di hadapan kalian dengan mengatakan,

 وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا [النساء:29]

Janganlah kalian membunuh diri kalian. Sesungguhnya Allah Maha Penyayang terhadap kalian (QS. An-Nisa:29)

Apakah hal itu sudah cukup untuk menghalangi kalian? Orang-orang  menjawab: “Tentu”. Lebih lanjut dia mengatakan: “Demi Allah, sungguh Malaikat telah turun kepada mereka melalui lisan Nabiyullah, sungguh kejadian itu adalah mahkamah besar yang tidak mungkin dihapus oleh sejarah”.

Lihatlah sikap Masruq bin Al-Ajda’, dia menghindarkan diri dari fitnah. Inilah sikap ‘uzlah.

Abul ‘Aliyah di saat terjadi fitnah antara Ali dan Muawiyah radhiyallahu ‘anhuma mengatakan: “Saat itu  aku adalah seorang pemuda yang sangat mencinta peperangan. Perang lebih aku sukai daripada makanan lezat. Aku sendiri sudah mempersiapkan diri dengan persiapan yang prima. Begitu aku mendatangi lokasi, ternyata yang ada adalah dua pasukan besar muslim  yang saling berhadapan. Ketika yang satu bertakbir maka yang satunya lagi bertakbir. Ketika yang satu bertahlil maka yang satunya lagi juga demikian. Aku berbicara pada diriku: ‘Mana di antara dua pasukuan itu yang terjebur pada kekafiran?’ Lalu, akupun pulang meninggalkan mereka”.

Lihatlah Abul ‘Aliyah, dia tidak mengikuti hawa nafsunya. Padahal jiwanya sangat senang berperang. Perang baginya lebih dicintai daripada makanan lezat. Namun, ketika perkara ini baginya tidak jelas maka diapun memastikan diri untuk menjauhkan darinya. Inilah sikap ‘uzlah. 

E. Sikap ‘Uzah yang Berlaku untuk Siapapun

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

افْتَرَقَتِ الْيَهُودُ عَلَى إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَتَفَرَّقَتِ النَّصَارَى عَلَى إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِى عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً  (سنن البيهقى )

“Yahudi telah terpecah menjadi 71 atau 72 golongan. Nashroni telah telah terpecah menjadi 71 atau 72 golongan. Dan ummatku akan terpecah menjadi 73 golongan” (Sunan Al-Baihaqi)

Dalam riwayat lain,

عن أنس بن مالك قال : قال رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم : تفترق هذه الأمة على ثلاث وسبعين فرقة كلهم في النار إلا واحدة » ، قالوا : وما هي تلك الفرقة ؟ قال : « ما أنا عليه اليوم وأصحابي  (المعجم الصغير للطبراني )

Dari Anas bin Malik, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ummat ini akan terpecah menjadi 73 golongan. Semuanya di Neraka kecuali hanya satu golongan. Mereka bertanya: ‘Siapa mereka yang satu golongan itu?’ Beliau menjawab: “Sesuatu yang hari ini saya dan sahabat saya berada di atasnya”. (Al-Mu’jam Ash-Shoghir lith Thobroni)

Jelaslah, dari Hadits di atas bahwa kita harus menempuh cara keberagamaan Nabi dan para Sahabatnya. Apa yang ada pada mereka itu yang harus ada pada zaman kita, apa yang tidak ada pada mereka maka kita tidak boleh mengada-adakannya.

Tentu untuk beragama sebagaimana keberagamaan Nabi dan para Sahabatnya sangatlah terasing. Karena terlalu banyak pembiasan dari satu golongan ini, ada 72 golongan. Bayangkan, 1 dibanding 72 tentu sangatlah terasing. Sangatlah besar badai yang harus dihadapi.  Meski demikian, kita harus tegar dan kuat. Inilah sikap ‘uzlah. Disebutkan di dalam Hadits,

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « بَدَأَ الإِسْلاَمُ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ غَرِيبًا فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ. (صحيح مسلم) 

 Dari Abu Hurairah, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Islam bermula dipandang asing dan akan kembali dipandang asing sebagaimana permulaannya. Maka, berbahagialah orang-orang yang terasing.

و صلى الله على سيدنا و حبيبنا محمد و على آله و أصحابه أجمعين

Penulis : Muhammad Nur Yasin Zain, Lc. Hafizhahullah
(Pengasuh Pesantren Mahasiswa THAYBAH Surabaya)

Majalah Bulan April, 2019 Edisi 76