Solusi Investasi Akhirat Anda

SI FULAN ITU WALI ALLAH?

A. Wali tidak Identik dengan Kejadian di Luar Nalar

Biasanya kalau mendengar “wali Allah” yang langsung terbersit dalam benak seseorang adalah orang yang luar biasa. Tampak pada dirinya kejadian-kejadian yang di luar nalar. Seperti; bisa terbang di udara berjalan di atas air, kebal senjata, dibacok tidak mempan, mengusap jazad pasien langsung sembuh dan lain-lain. Apakah benar demikan? TIDAK Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa”. (QS. Yunus: 62-63)

Secara bahasa wali berarti “al qorib”, yaitu dekat. Sedangkan yang dimaksud wali Allah adalah orang beriman yang dekat dengan Allah karena gemar melakukan ketaatan dan menjauhi maksiat. Allah sendiri telah menafsirkan wali Allah dengan pengertian, mereka adalah yang beriman dan bertakwa*. Mereka beriman dalam hal-hal yang diimani dan mereka bertakwa dengan menjauhi maksiat terhadap Allah.

Disebutkan di dalam ayat tersebut bahwa mereka “tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”. Maksudnya adalah – sebagaimana di jelaskan di dalam Tafsir Ath-Thobari – mereka tidak takut di Akherat nanti dari Adzab Allah karana Allah telah meridhoi mereka dan menjamin keamanan dari adzab-Nya. Juga mereka tidak sedih dari apa yang terluputkan dari perkara duniawi. [selesai]
Mereka dihindarkan dari Neraka, dan Surga yang dijanjikan tinggal dimasukinya. Kenapa bisa demikian? Karena mereka telah berbekal AMAL SHOLEH

B. Tingkatan Wali

Ada dua tingkatan:

1. Tingkat biasa, yaitu:

Orang yang menjalankan kewajiban agama dan meninggalkan yang haram. Disebutkan di dalam Haَdits,

Seseorang pernah bertanya kepada Rasulullah dengan berkata, “Bagaimana pendapatmu jika saya melaksanakan shalat yang wajib, berpuasa Ramadhan, menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram, lalu saya tidak menambah lagi sedikit pun, apakah saya akan masuk Surga?” Beliau menjawab, Ya. (HR. Muslim)

2. Tingkat Tinggi, yaitu:

Orang-orang yang senantiasa mengistiqomahi amalanamalan sunnah setelah yang wajib

C. Wali dan Karomah

Ahlussunnah mengimani adanya karamah, hanya saja tidak menjadikannya barometer utama sebagai syarat kewalian. Karena karomah yang paling tinggi adalah keistiqomahan. Coba perhatikan para Shahabat radhiyallahu ‘anhum. InsyaAllah, mereka adalah para wali Allah. Adakah karomah tampak pada mereka? Tidak. Karomah hanya tampak pada sebagian kecil dari mereka.

Warning: Bedakan antara karomah dan sihir! Keduanya memiliki kesamaan. Yaitu: sama-sama kejadian di luar nalar. Namun keduanya memiliki perbedaan yang

sangat jauh;

  1. Karomah terjadi tidak dengan kehendak seseorang, sihir dikehendaki
  2. Karomah tidak bisa dipelajari, sihir dipelajari
  3. Karomah hanya sesekali terjadi, sihir bisa berulang kali tergantung kapan si pelaku menghendakinya.
  4. Karomah terjadi pada ahli ketaatan terhadap syariah, sihir terjadi pada orang yang ahli maksiat meskipun “berjubah”

E. Hati-Hati Menyatakan Seseorang itu Wali Allah

Tidak diperbolehkan bagi seseorang untuk menyatakan si Fulan itu wali Allah di mana maksudnya bahwa si Fulan tersebut orang shalih dengan keshalihan yang tinggi atau orang yang takwa dengan ketaqwaan yang tinggi. Karena yang mengetahui ketaqwaan seseorang hanyalah Allah ‘Azza wa Jalla. Oleh karena itu ucapkanlah “insyaAllah”. Contoh: Si Fulan itu wali Allah, insyaAllah. Disebutkan di dalam Al-Qur’an,

“Maka janganlah kamu menganggap dirimu suci. Dia lebih tahu siapa yang bertaqwa” (QS. An-Najm:32)

Ketahuilah! Ahlussunnah mengharuskan istitsna (ucapan insyaAllah) di dalam keimanan. Tidak diperbolehkan seseorang mengatakan “Dia itu orang mukmin”. Tetapi yang semestinya diucapkan adalah “Dia itu mukmin, insyaAllah” Abdullah Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengatakan:

“Barangsiapa mempersaksikan bahwa dirinya mukmin, maka hendaknya dia mempersaksikan bahwa dirinya pasti masuk Surga” (Dikeluarkan oleh Imam Al-Lalika’i)

Jadi, tidak istitsna adalah bentuk kesombongan Jarir rahmatullah mengatakan:

“Saya mendengar Manshur bin Al-Mu’tamar, A’masy, Laits, Imaroh bin Qo’qo’, Ibnu Syubrumah, ‘Ala bin Al-Musayyab, Yazid bin Abi Ziyad, Sufyan Ats-Tsauri, Ibnu Mubarok dan siapa saja yang saya ketahui semuanya itu menyatakan istitsna’ (ucapan insyaAllah) dalam hal keimanan dan mereka mencela orang yang tidak istitsna’”

Judul buku : 30 Materi Kultum

Penulis : Muhammad Nur Yasin Zain, Lc. Hafidzahullah
(Pengasuh Pesantren Mahasiswa Thaybah Surabaya)