Solusi Investasi Akhirat Anda

Peduli Orang Lain…., Jangan Kau lakukan!!

Janganlah kita peduli kepada orang lain dengan menasihatinya, memerintahnya kepada kebaikan, mencegahnya dari kemungkaran, sementara kita melupakan diri kita. Kita menjelaskan bahaya riba kepada orang lain, sementara kita gemar bermuamalah ribawi. Kita melarang orang lain yang korupsi waktu ketika bekerja, sementara kita melakukannya. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ  [البقرة: 44]

“Mengapa kamu suruh orang lain mengerjakan kebaikan, sementara kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca kitab (Taurat). Tidakkah kamu berpikir?” (QS. Al-Baqarah: 44)

Tentang orang semacam ini, Ayyub As-Sakhtiyani berkata: “Mereka hendak menipu Allah sebagaimana mereka menipu anak kecil. Seandainya mereka melakukan dengan semestinya apa yang mereka perintahkan, niscaya hal itu mudah baginya.”

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ () كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ  [الصف: 2، 3]

“Hai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan apa yang tidak kalian perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kalian mengatakan apa-apa yang tidak kalian kerjakan?” (QS. Ash-Shaff: 2-3)

Perhatikanlah!! Allah Azza wa Jalla menyeru kita dengan seruan: “Hai orang-orang yang beriman…”, karena  konsekuensi keimanan menjadikan seseorang tidak mungkin melakukan hal semacam ini. Oleh karena itu Dia ‘Azza wa Jalla menjelek-jelekkan pelakunya dan Dia ‘Azza wa Jalla sangat murka kepadanya. Kata “مَقْتًا “ bermakna marah yang sangat dahsyat. Konsekuensi keimanan mengharuskan orang berupaya secara maksimal untuk melakukan apa yang dia perintahkan kepada orang lain, sebagaimana Allah ‘Azza wa Jalla sebutkan tentang Nabi Syu’aib:

وَمَا أُرِيدُ أَنْ أُخَالِفَكُمْ إِلَى مَا أَنْهَاكُمْ عَنْهُ إِنْ أُرِيدُ إِلَّا الْإِصْلَاحَ مَا اسْتَطَعْتُ [هود: 88]

(Nabi Syu’aib berkata): Dan aku tidak berkeinginan menyalahi kalian (dengan mengerjakan) apa yang aku larang. Tidaklah aku menghendaki kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. (QS. Huud: 88)

Nabi menyebutkan akibat yang akan didapatkan di Akhirat,

عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ : يُؤْتَى بِالرَّجُلِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُلْقَى فِى النَّارِ فَتَنْدَلِقُ أَقْتَابُ بَطْنِهِ فَيَدُورُ بِهَا كَمَا يَدُورُ الْحِمَارُ بِالرَّحَى فَيَجْتَمِعُ إِلَيْهِ أَهْلُ النَّارِ فَيَقُولُونَ يَا فُلاَنُ مَا لَكَ أَلَمْ تَكُنْ تَأْمُرُ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَى عَنِ الْمُنْكَرِ فَيَقُولُ بَلَى قَدْ كُنْتُ آمُرُ بِالْمَعْرُوفِ وَلاَ آتِيهِ وَأَنْهَى عَنِ الْمُنْكَرِ وَآتِيهِ

(رواه البخارى و مسلم)

Dari Usamah bin Zaid, dia berkata: Saya mendengar Rasulullah bersabda: “Kelak, pada hari Kiamat akan ada seseorang yang didatangkan, kemudian dilemparkan ke Neraka, maka keluarlah isi perutnya seraya berputar-putar di Neraka itu seperti berputar-putarnya keledai yang sedang berada di batu penggilingan, lalu para penghuni Neraka itu berkumpul di sekitarnya seraya berkata: ‘Hai fulan, apa yang terjadi padamu? Bukankah engkau dahulu memerintahkan kami untuk berbuat yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar?’ Maka orang itu menjawab: ‘Benar, aku dahulu memang menyuruh kalian berbuat baik tetapi aku sendiri tidak mengerjakannya, dan aku memang mencegah dari perbuatan munkar, tetapi aku sendiri malah mengerjakannya” (HR. Bukhari dan Muslim)

Faktor apa yang menyebabkan seseorang menyeru kepada kebaikan, tapi dia malah melanggarnya? Melarang dari kemungkaran tapi dia malah melakukannya? Ada beberapa faktor, di antaranya:

  1. Lebih mencintai dunia daripada Akhirat, sehingga terasa ringan olehnya ketika melakukan suatu pelanggaran. Hal ini bisa diatasi dengan sering mengingat kematian dan dahsyatnya hisab di hadapan Allah ‘Azza wa Jalla.
  2. Kondisi lingkungan sekitarnya. Sebenarnya seseorang menyadari betul tentang hal ini, tetapi kondisi lingkungannya memaksanya untuk melanggar. Hal ini bisa diatasi dengan mencari teman dan lingkungan yang baik.
  3. Majelis taklim atau pengajian-pengajian yang ada di sekitarnya lebih menekankan kepada penambahan wawasan daripada amaliyah bahkan sekedar untuk kegiatan-kegiatan yang sifatnya ceremonial belaka. Akhirnya ia tidak berdampak pada peningkatan ubudiyah. Hal ini bisa diatasi dengan reformasi majelis taklim atau pengajian-pengajian tersebut. Lihatlah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang senantiasa mengingatkan para Sahabat tentang bahaya bid’ah dalam khutbatul hajahnya. Lihatlah beliau yang senantiasa membacakan surat Qaaf setiap kali khutbah Jum’at. Itu semua menunjukkan beliau lebih menekankan pada sisi amaliyahnya daripada penambahan wawasan. Oleh karena itu beliau mengulang-ulanginya.

Sebagai muslim, kita berkewajiban dakwah atau amar ma’ruf nahi munkar. Pada saat yang sama kita harus menjalankan apa yang kita dakwahkan itu. Perlu ditegaskan bahwa ini bukan menjadi tugas dan kewajiban da’i atau ustadz atau kyai saja, melainkan seluruh kaum muslimin tanpa terkecuali. Tetapi, memang dakwah seringkali identik dengan seorang da’i atau ustadz atau kyai karena mereka yang menjadi sorotan manusia dalam masalah ini. Berikut ini, saya nukilkan tulisan Ustadz Firanda Andirja (Doktor di Jam’iyyah Islamiyyah Madinah al-Munawwarah) dengan judul “Dilema Ustadz, suara hati seorang da’i”:


DILEMA USTADZ (suara hati seorang da’i), ia berkata :
Aku bangga menjadi pewaris para nabi…
Aku bahagia bisa ikut mengemban tugas para nabi…
Aku bersyukur mengikuti derap langkah para sahabat…
Akan tetapi…sungguh begitu berat tugas dakwah ini, demi Allah sungguh berat rasanya, serasa sedang mendaki gunung yang terjal.

Aku selalu menasihati orang lain…yang seharusnya aku adalah orang yang pertama mengerjakannya, akan tetapi….betapa sering aku terlambat mengerjakannya…bahkan kadang aku tidak mengerjakannya…bahkan yang lebih parah kadang aku menyelisihinya…!!!

Sungguh besar pahala dakwah yang ingin kuraih….akan tetapi sungguh besar pula kemurkaan Allah pada orang yang tidak mengerjakan apa yang ia nasihatkan. Betapa ngeri nasib seorang da’i yang melanggar nasihatnya sendiri, usus perutnya terjulur keluar, ia berputar seperti alat penggiling gandum, dipermalukan di hadapan khalayak!!

Meskipun ancaman begitu ngeri aku harus tetap menyampaikan agama ini…

Aku dituntut tuk bisa menghiasi kata-kataku, ceramah, dan tulisanku agar bisa menarik dan mudah diterima masyarakat….akan tetapi aku juga diperintahkan untuk ikhlas dalam berdakwah, tidak ujub terhadap dakwahku apalagi mengharap pujian dan sanjungan manusia.

Sungguh terasa hina hatiku tatkala harus menerima upah/amplop dari dakwahku (meskipun aku tidak pernah memasang tarif sebagaimana para da’i selebriti yang bertarif setinggi langit), akan tetapi aku tetap menerima  upah tersebut…aku bukanlah da’i yang sudah memiliki penghasilan sendiri…aku tidak pernah menjadikan upah sebagai tujuanku, apalagi untuk menjadi orang konglomerat dengan upah tersebut, akan tetapi upah tersebut hanyalah sebagai penyambung hidupku dan anak istriku dan agar aku tetap bisa terus berdakwah.

Ingin rasanya kuhabiskan waktuku untuk bekerja mencari dunia agar aku tidak lagi menerima upah, akan tetapi telah banyak tersita untuk belajar dan menambah ilmuku. Aku tentu tidak mau menjadi da’i yang asbun tanpa ilmu dan menyesatkan masyarakat.

Aku dituntut untuk menjadi tauladan, pandangan masyarakat seakan-akan menuntutku bahwa aku tidak boleh bersalah…akan tetapi aku hanyalah manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan, meskipun aku berusaha menyembunyikan aibku, toh suatu saat ada saja yang tercium oleh masyarakat. Yang sangat menyedihkan jika aku sekali bersalah terkadang masyarakat mencap buruk kepadaku….

Lantas apakah aku harus merubah profesiku sebagaimana orang lain, menjadi pedagang yang taat atau pegawai yang amanah??

Kalau Ataukah aku tetap bertahan menjadi seorang da’i dengan penuh kekurangan? Sungguh aku hanya mengharapkan ampunan Allah dan kasih sayangNya, kuhibur diriku dengan firmanNya (Bertakwalah semampu kalian), (Allah tidak membebani jiwa kecuali yang dimampuinya), (Dan Allah mengampuni banyak kesalahan)
Allah Maha Tahu bahwa aku telah berusaha maksimal untuk ikhlash…telah berusaha menjauhkan dunia dari hatiku…akan tetapi sekali lagi aku hanyalah manusia biasa yang juga cinta akan pujian dan manisnya dunia…
Yaa Allah ampunilah hambaMu yg lemah ini…, tutuplah aib-aibku…janganlah Kau hinakan aku di akhirat kelak…. Aaamiiin

Penulis : Muhammad Nur Yasin Zain, Lc. Hafizhahullah
(Pengasuh Pesantren Mahasiswa THAYBAH Surabaya)

Majalah Bulan Agustus-September, 2015 Edisi 38