Dengan izin Allah, saya berkesempatan mendalami ilmu agama tentang fiqh muamalat di SMI (Sekolah Muamalah Indonesia) di antara pengajarnya Ustadz Erwandi. Ada satu kisah nyata yang diceritakan oleh salah satu pengajarnya, Ustadz Rangga tentang seorang eksportir dengan omset milyaran rupiah kemudian beralih ke bisnis kaki lima yang omsetnya hanya ratusan ribu. Awalnya dia harus bolak-balik ke luar negri dan luar pulau dengan pesawat. Kini berganti hanya perjalanan dalam kota dengan angkot. Namun, dia lebih menikmati bisnis kaki lima. Mengapa?
Lebih lanjut Ustadz Rangga menceritakan, ketika berbisnis yang super hebat itu dia kehilangan momen-momen penting; bukan saja tidak berkesempatan membimbing istrinya tetapi juga tidak pernah mendidik anaknya. Dia hanya disibukkan dengan duniawinya.
Terlilit hutang akibat bermuamalah ribawi yang akhirnya kolaps, telah menjadikannya mendapatkan hikmah besar. Meskipun berbisnis kecil-kecilan, tetapi bisaI full memantau perkembangan keshalihan anak-anaknya. Sebelumnya tidak pernah mengambil rapot anak-anaknya di sekolah, selalu pembantu yang disuruh mengambilkannya, kini selalu mengambilnya sendiri lalu dengan suasana keakraban memberikan apresiasi dan evaluasi bagi anak-anaknya.
Saya (penulis) mengomentari, Betul sekali Bapak yang beruntung ini. Harta dikejar bagaimanapun tidak akan pernah puas, selalu merasa kurang. Padahal ia hanya bisa dinikmati selama kurang lebih 70 tahun saja berdasarkan umumnya umur manusia. Setelah itu ditinggal mati. Sementara anak shaleh adalah aset termahal yang dimiliki setiap orang karena akan selalu mendatangkan keuntungan yang tak pernah putus hingga di Akherat nanti.
Yang harus dilakukan oleh seluruh orangtua adalah mengkader anak-anaknya untuk menjadi shalih. Ketahuilah, kaderisasi anak shalih tidak bisa dilakukan dengan sambil lalu.