Allah ﷻ menjadikan macam-macam ibadah untuk menguji manusia. Ada yang berupa memberikan sesuatu yang disukai, seperti zakat, infak, hadiah dan wakaf. Ada yang berupa menahan diri dari sesuatu yang disukai, yaitu puasa. Ibadah ini mengharuskan seseorang untuk menahan diri dari hal-hal yang sebenarnya halal; makan, minum dan hubungan suami istri demi meraih ridho Allah ﷻ . Semuanya halal dilakukan tetapi menjadi haram karena sedang berpuasa. Inilah maksud judul kolom edisi ini’ Halal Tapi Haram’. Terkadang ada seseorang yang merasa ringan untuk berinfak Rp. 1000.000,- tetapi merasa berat untuk berpuasa meskipun cuma satu hari. Ada juga yang sebaliknya. Semuanya adalah ujian yang kita dituntut untuk bisa ‘lulus’.
Baik dan istiqomahnya hati diperoleh dengan cara menghadap kepada Allah secara totalitas dan dekat dengan-Nya. Terlalu berlebihan dalam hal makan, minum, bicara, tidur, dan pergaulan termasuk perkara yang bisa memutuskan hubungan dengan Allah dan mengacaukan jiwanya. Sehingga Allah ﷻ yang Maha Penyayang mensyareatkan puasa bagi manusia. Sebab puasa dapat menghilangkan sifat berlebih-lebihan dalam makanan dan minuman dan mengosongkan hati dari intervensi pengaruh syahwat yang merintangi perjalanannya kepada Allah.
Puasa disyareatkan bukan saja untuk umat terakhir ini. Tetapi umat- umat Nabi sebelumnya sudah mendapatkan syareat puasa. Allah ﷻ berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (QS. al-Baqoroh: 183). Kita mengetahui bahwa syareat yang diturunkan kepada para Rasul tidaklah sama tetapi berbeda-beda sesuai dengan kondisi zaman dan umatnya. Nah, puasa disyareatkan dari zaman ke zaman hingga zamannya Rasul yang terakhir, Muhammad n. Ini menunjukkan bahwa puasa adalah syareat yang cocok untuk seluruh manusia di setiap zaman dan menunjukkan besarnya manfaat dan hikmah yang terkandung di dalamnya. Jangan lupa, hal ini juga merupakan kasih sayang Allah ﷻ kepada umat terakhir ini, dimana syareat yang lintas zaman ini diberlakukan juga untuk kita tidak saja untuk umat-umat Nabi terdahulu.
Bagaimana umat-umat terdahulu berpuasa? Disebutkan dalam tafsir Ibnu Katsir: riwayat Mua’dz, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, ‘Atho, Qotadah, dan adh-Dhohak menyatakan bahwa puasa umat terdahulu adalah tiga hari setiap bulan. Ini berlangsung sejak Nabi Nuh hingga Nabi Muhammad ﷺ di awal-awal tinggal di Madinah, lalu Allah menggantikannya menjadi sebulan penuh di bulan Ramadhan.
Banyak sekali pengaruh puasa:
a. Bagi keimanan, diantaranya: muroqobah (merasa diawasi Allah) semakin kuat, memupuk kesadaran akan lemahnya seorang hamba yang pada gilirannya akan semakin kuat kebergantungannya kepada Allah.
b. Bagi jiwa, di antaranya: menjadikan mental kuat alias tidak cengeng, tabah dan sabar dalam segala kondisi, peningkatan komunikasi psikososial baik dengan Allah dan sesama manusia sehingga akan membuat jiwa lebih aman- damai, senang, gembira, puas serta bahagia.
c. bagi sosial, diantaranya: peduli terhadap sesama. Lapar dan haus berpuasa yang mendera seseorang menjadikannya sadar akan kepahitan orang-orang miskin dan lemah yang sepanjang hidupnya akrab dengan kelaparan dan kekurangan.
d. Bagi kesehatan, sebagaimana disampaikan oleh seorang Professor pakar kesehatan diantaranya: tidak akan mengakibatkan pengasaman dalam darah, tidak berpengaruh pada sel darah manusia, puasa pada penderita diabetes tipe 2 tidak berpengaruh, penurunan glukosa dan berat badan, pengaruh pada fungsi kelenjar gondok, pengaruh pada hormon virgisteron, memperbaiki dan merestorasi fungsi dan kinerja sel, sangat efektif meningkatkan konsentrasi urin dalam ginjal, dalam keadaan puasa ternyata dapat meningkatkan sistem kekebalan tubuh, penurunan berbagai hormon salah satu rahasia hidup jangka panjang, bermanfaat dalam pembentukan sperma, bermanfaat untuk penderita radang persendian (encok) atau rematoid arthritis, memperbaiki hormon testoteron dan performa seksual, memperbaiki kondisi mental secara bermakna, menurunkan adrenalin, menjaga kesehatan jantung, dan keseimbangan nutrisi.
Sebagaimana ibadah lainnya, puasa memiliki ketentuan yaitu keharusan ‘copy paste’ dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Macam, tatacara, waktu dan syaratnya harus persis sebagaimana diajarakan beliau n . Lain halnya kalau urusan dunia, Nabi mempersilahkan kita untuk inovasi, improvisasi dan mengembangkan seluas-luasnya
Macam-Macam Puasa:
a. Yang wajib meliputi puasa Ramadhan, puasa nadzar, puasa qadha (mengqadha puasa Ramadhan karena haidh, nifas, sakit atau musafir)
b. Yang sunnah meliputi, puasa hari Senin, puasa hari Kamis, puasa tanggal 13, 14, 15 tiap bulan hijriyah, puasa 6 hari bulan Syawal, puasa ‘Asyura, puasa sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah, memperbanyak puasa di bulan Sya’ban dan puasa Daud.
Itulah puasa-puasa yang diajarkan Nabi ﷺ. Tidak ada puasa apapun selain yang disebutkan
diatas. Dari sini jelaslah, tentu tidak dibenarkan yang dilakukan sebagian kaum muslimin berupa puasa hari kelahiran, puasa Rajab, puasa untuk kekebalan, puasa untuk ilmu kejadogan, mempuasai benda- benda tertentu, mempuasai ayat- ayat Qur’an/ dzikir-dzikir tertentu dan lain-lain.
Tata Cara:
Menahan diri dari makan dan minum serta hubungan suami istri sejak masuknya waktu Shubuh hingga masuknya waktu Maghrib. Semua makanan yang halal dan baik bisa dikonsumsi untuk sahur dan berbuka. Tidak ada ketentuan lain, misalnya: ketika berbuka menunggu hingga malam benar-benar gelap/terlihat bintang-bintang. Ini adalah tatacara puasa orang Syiah yang menyerupai Yahudi. Misal lainnya: tidak boleh makan dan minum kecuali serba putih (nasi putih, tempe putih, air putih dan yang semacamnya). Ini semua perkara baru dalam agama. Disebutkan dalam Shahih Khuzaimah, “Dari Ibnu Abbas, Nabi ﷺ melihat Abu Israil berdiri di bawah (terik) matahari. Beliau bertanya: Ada apa dengan dia, kenapa berdiri dibawah (terik) matahari? Mereka (para Sahabat) menjawab: Dia bernadzar untuk puasa dengan tidak duduk dan tidak berteduh. Nabi ﷺ bersabda: Suruhlah dia duduk dan berteduh dan lanjutkan puasanya” (Shahih Ibnu Khuzaimah, Maktabah Syamilah).
Beliau n menyuruh orang tersebut agar melanjutkan puasa karena itu adalah ketaatan. Tetapi menyuruh duduk dan berteduh. Karena tidak ada ketentuan puasa untuk dilakukan dengan cara demikian. Jadi, kesimpulannya adalah kita tidak boleh menambahkan ketentuan apapun pada puasa– tidak saja puasa tetapi ibadah apapun– sesuatu yang tidak berasal dari Nabi, meskipun dipandang baik oleh perasaan dan akal.
Alhamdulillah…., wash Shalatu was Salamu ‘ala man laa Nabiyya Ba’dah….
Hee…lapo awakmu puoso iku…?!!, gelem wae dibujuki wong arab…!!! (Hei…ngapain kamu puasa segala…?!!, mau aja dibohongin sama orang Arab…!! -terjemahan-). Masya Allah… Laa haula wa laa quwwata illa billah…, begitulah kata seorang teman saya, dia seorang pelajar di suatu SMA swasta di Surabaya di tahun 2006-an ketika bulan Ramadhan, sungguh sangat ironis pelajar kita di tahun itu…entah lagi tahun sekarang…!!!. Semoga Allah mengampuni serta melindungi kaum muslimin. Amin.
Saudara-saudariku yang seiman rahiimani wa rahiimakumullahu jamii’an, pahamilah… bahwa di setiap amalan yang baik, disitu pasti terdapat anak cucu Iblis yang senantiasa menghalang-halangi kita untuk melakukan amalan baik tersebut. Karena Iblis telah berjanji kepada Allah dalam surat Shaad ayat yang ke 82-83,
قَالَ فَبِعِزَّتِكَ لَاُغْوِيَنَّهُمْ اَجْمَعِيْنَۙ، اِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِيْنَ، قَالَ فَالْحَقُّۖ وَالْحَقَّ اَقُوْلُۚ
(Iblis) menjawab, “Demi kemuliaan-Mu, pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang terpilih di antara mereka. (Allah) berfirman, Maka yang benar (adalah sumpahku), dan hanya kebenaran itulah yang Aku katakan.”
Semua orang tahu, bahwa ibadah yang dinamakan puasa adalah ibadah yang sangat membutuhkan rasa keikhlasan yang luar biasa. Karena ketika seseorang berpuasa, maka yang mengetahuinya tidak lain hanyalah Allah semata, sedangkan selainnya tidak ada yang tahu. Puasa adalah ibadah yang bersifat sirr (tersembunyi), mengapa demikian? Karena puasa adalah ibadah yang tidak nampak. Beda halnya dengan shalat, zakat, haji, Karena bisa saja seorang mengaku bahwa dirinya berpuasa, tapi siapa yang tahu kalau dia diam-diam menelan air ketika berwudhlu? Siapa yang tahu kalau sebenarnya dia sudah makan dirumahnya? Loh… kan bisa kita ketahui dari bau mulutnya…!!, hmmm… perlu kita ketahui, tidak selamanya orang yang mulutnya bau pertanda dia sedang berpuasa. Bisa jadi dia sedang panas dalam, belum gosok gigi, atau lambungnya bermasalah atau sebab-sebab yang lainnya dari segi kesehatan mungkin.
Pengertian puasa dalam istilahnya adalah menahan diri dari berbagai macam pembatal puasa mulai dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari dengan niat beribadah kepada Allah. Mengapa harus diniatkan ibadah kepada Allah? Karena jika tidak demikian, maka sia-sialah puasanya tersebut. Artinya puasanya tersebut tidak bernilai ibadah di sisi Allah. Karena bisa jadi seseorang berpuasa menahan diri dari makan dan minum tujuannya hanya untuk kesehatan. Maka disini perlu adanya niat dalam hati seseorang untuk pembeda antara ibadah dan bukan ibadah. Karena Rasulullah ﷺ bersabda, “sesungguhnya amalan itu tergantung niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkannya.” (HR. Bukhari)
KEDUDUKAN PUASA
Puasa dalam Islam memiliki kedudukan yang sangat tinggi, dia adalah sebagai salah satu rukun dari rukun-rukun Islam. Yang dimana agama Islam yang mulia ini dibangun atasnya. Sebagaimana Rasulullah ﷺ bersabda, “Islam itu dibangun atas 5 perkara …. (salah satunya adalah) dan berpuasa di bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari)
KEUTAMAAN PUASA
Dan jikalau seorang hamba itu tahu akan keutamaan-keutamaan ibadah puasa, mungkin akan sedikit sekali orang yang tidak berpuasa. Dikarenakan keutamaan-keutamaan puasa sangatlah banyak. Antara lain:
- Sebagai tameng/perisai bagi seorang hamba
Puasa adalah tameng bagi seseorang dari segala perbuatan buruk dan keji, dari tindakan bodoh serta tindakan yang merugikan. Sebagaimana dalam hadits qudsi Rasulullah ﷺ bersabda, “Puasa adalah tameng, Apabila salah seorang dari kalian berpuasa, hendaknya ia tidak berkata buruk dan berkata keras, dan jika seseorang mencelanya atau ingin membunuhnya, hendaknya ia mengakatan: “sesungguhnya saya sedang berpuasa”.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Tidak hanya itu, puasa juga sebagai pengekang hawa nafsu kaula muda. Sebagaimana sabda nabi ﷺ
“Wahai pemuda …, barangsiapa diantara kalian telah memiliki kemampuan untuk menikah, hendaklah menikah. Karena sesungguhnya yang demikian itu lebih ampuh untuk menunudukkan pandangan, dan lebih ampuh untuk menjaga kemaluan, dan barangsiapa yang belum mampu untuk demikian, maka hendaknya dia berpuasa, karena dalam puasa terdapat penawar dan pengekang syahwat.” (HR. Bukhari)
- Puasa adalah ibadah untuk dan milik Allah
Ya, sesungguhnya Allah ﷻ menjadikan ibadah puasa hanya untuk diriNya. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ bahwasannya Allah ﷻ berfirman, “Seluruh amalan anak Adam adalah untuk mereka sendiri. Kecuali puasa, sesungguhnya dia untuk Aku dan Akulah yang akan memberikan balasannya.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Dalam riwayat lain disebutkan, “Mereka (orang-orang yang berpuasa) meninggalkan makanannya, minumnya, serta syahwatnya hanya karena Aku, puasa adalahb untuk Aku dan Akulah yang akan memberikan balasannya, dan setiap kebaikan akan dilipatkan 10 kali lipatnya.”
- Sebagai perwujudan rasa taqwa
Tidak mungkin seseorang mampu untuk menahan dirinya dari suatu yang sebenarnya dihalalkan baginya yang kemudian sesuatu itu dilarang, kecuali orang tersebut memiliki kualitas taqwa yang baik dalam dirinya kepada Allah. Karena puasa adalah menahan diri dari sesuatu yang asal hukumnya hafal. Allah ﷻ berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat yang ke 183,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ
“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,”
- Bau mulut orang yang berpuasa dicintai Allah
Walaupun menurut kita mulut orang yang berpuasa itu tidaklah menyenangkan, akan tetapi yang demikian itu sangatlah dicintai Allah ﷻ. Sebagaimana sabda Nabi ﷺ, “Demi Dzat yang jiwa Muhammad ditangannya, sesungguhnya bau mulut orang yang sedang berpuasa itu lebih wangi disisi Allah daripada bau wangi minyak kasturi.” (Muttafaqun ‘alaihi)
- Mendapatkan 2 kebahagiaan
Orang yang berpuasa akan dijanjikan oleh Allah mendapatkan 2 kebahagiaan. Sebagaimana firmanNya dalam hadits qudsi, “Bagi orang yang berpuasa 2 kebahagiaan, yaitu bahagia ketika berbuka, dan bahagia ketika meliha Rabbnya dikarenakan puasanya.” (Muttafaqun’alaihi)
- Ibadah yang dilipat gandakan tanpa batas
Dikarenakan pahala puasa Allahlah yang akan memberikan balasannya sendiri. Dan ibadah yang namanya puasa ini tidak sama nilainya disisi Allah dengan ibadah-ibadah yang lainnya. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan Imam Muslim yang artinya, “setiap amalan anak Adam akan dilipat gandakan. Dan kebaikan akan dilipat gandakan 10 kali lipatnya sampai 700 kali lipatnya. Kemudian Allah berkata: “kecuali puasa, sesungguhnya dia untuk Aku dan Akulah yang akan memberikan balasannya…””.
- Ar-Rayyan bagi ahli puasa
Rasulullah ﷺ bersabda yang artinya, “sesungguhnya di Surga itu terdapat pintu yang bernama Ar-Rayyan, hanya orang-orang yang gemar berpuasa yangmemasukinya pada hari kiamat kelak, tidak seorangpun dapat masuk kecuali mereka. Dan pada saat dikatakan: “Dimana para ahli puasa?”, maka mereka (ahli puasa) berdiri. Tidak seorangpun dapat masuk Ar-Rayyan kecuali mereka. Dan apabila mereka (ahli puasa) telah memasukinya, maka pintu tersebut ditutup dan tidak ada seorangpun yang masuk.” (Muttafaqun ‘alaihi)
- Terhapusnya dosa yang telah lalu
Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Nabi song ng dalam sabdanya, “Barangsiapa yang berpuasa dibulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan pengharapan akan wajah Allah, akan diampuni baginya dosa-dosanya yang telah lalu.” (Muttafaqun ‘alaihi)
- Akan dijauhkan wajahnya dari Neraka
Dari Abi Sa’id Al-Khudri bahwasanya Nabi bersabda, “Tidaklah seorang hamba berpuasa satu hari dijalan Allah, kecuali akan dijauhkan wajahnya dari Neraka sejauh tujuh puluh tahun perjalanan karena puasanya tersebut.” (Muttafaqun ‘alaihi)
- Ibadah yang tak tertandingi
“Dari Abi Umamah dia berkata, aku mendatangi Rasulullah, dan aku berkata: perintahkan aku dengan sesuatu yang dapat aku ambil darimu, maka Rasulullah menjawab: Hendaklah engkau berpuasa, karena sesungguhnya tidak ada yang sebanding dengannya.”
Puasa yang diharamkan
- Puasa di dua hari raya, Idul fithri dan Idul Adha
Berdasarkan sabda Nabi, “Sesungguhnya Rasulullah melarang berpuasa pada dua hari, yaitu hari idul fithri dan idul adha.” (HR. Muslim)
- Puasa di hari-hari Tasyriq
Berdasarkan hadits Amru bin Ash, beliau berkata, “hari-hari ini (hari tasyriq) adalah hari dimana kami diperintahkan oleh Rasulullah untuk makan dan minum, dan beliau melarang kami untuk berpuasa” (HR. Abu Daud)
- Puasa di hari Jum’at saja
Sabda Nabi, “janganlah seorang diantara kalian berpuasa di hari jumat, kecuali ia juga berpuasa hari sebelumnya atau sesudahnya.” (HR. Bukhari)
- Puasa dihari Syak (hari yang diragukan)
Yaitu berpuasa dihari ke-30 dibulan Sya’ban, yang pada umumnya orang ragu-ragu bahwa hari itu adalah 30 Sya’ban atau 1 Ramadhan. Yang disebabkan belum terlihatnya hilal dihari sebelumnya, yaitu hari ke-29 dibulan Sya’ban. Dalilnya adalah sabda Nabi, “Barangsiapa yang berpuasa dihari Syak, maka dia telah bermaksiat kepada Abu Al-Qasim (Rasulullah).” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, An-Nasa’i, Ibnu Majah)
- Puasa 1 tahun penuh (Ad-Dahr)
Sabda Nabi, “Tidak ada puasa bagi yang ingin puasa selamanya (Rasulullah mengulanginya hingga 3x)” (HR. Bukhari dan Muslim)
- Puasa paruh kedua di bulan Sya’ban
Sabda Nabi, “Apabila separuh bulan Sya’ban telah berlalu, maka janganlah kalian berpuasa lagi (yaitu diparuh kedua).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Semoga kita dijadikan Allah termasuk orang-orang yang gemar menjalankan ibadah puasa. Amin yaa Raabbal Alamin. Wallahu A’lamu Bish Shawab. (Abu Ibrohim Al-Bihary)
Maroji’:
- Al-Maktabah Asy-Syamilah
- Syarh Riyadush Shalihin min Kalaami Sayyidil Mursalin; Imam An-Nawawi
- Al-Fiqh Al-Manhaji ‘Ala Al-Madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i (Dr. Musthafa Al-Bugha; Dr. Musthafa Al-Kann; Ali Al-Syurbaji)
Shahih Fiqh Sunnah; Abu Malik bin As-Sayyid Salim
Penulis : Muhammad Nur Yasin Zain, Lc. Hafizhahullah
(Pengasuh Pesantren Mahasiswa THAYBAH Surabaya)
Majalah Bulan Februari, 2014 Edisi 20