A. UKHUWWAH ISLAMIYYAH ADALAH KONSEKWENSI DARI KONSEP AL-WALA’ WAL-BARA’ YANG MERUPAKAN AJARAN ISLAM YANG FUNDAMENTAL
Ukhuwwah Islamiyyah artinya persaudaraan Islam. Maksudnya persaudaraan sesama kaum muslimin.
Al-Wala’ maksudnya cinta dan loyalitas. Al-Bara’ maksudnya benci dan putus ikatan hati. Kepada siapa kita mesti tunjukkan sikap al-Wala’ dan kepada siapa kita tunjukkan sikap al-Bara’. Islam telah mengaturnya. Jangan sampai salah sasaran atau keliru dengan dua persikapan ini. Disebutkan di dalam Al-Qur’an,
إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱلَّذِينَ يُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤْتُونَ ٱلزَّكَوٰةَ وَهُمْ رَٰكِعُونَ (المائدة” 55)
“Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah)” (QS. Al-Maidah:55)
Ayat ini menunjukkan bahwa circle al-Wala’ wa- al Bara’ adalah tiga pihak. Yaitu Allah ta’ala, Rasulullah shallahu’alaihi wasallam dan orang Islam (muslim).
a. Allah ta’ala, Dia lah Tuhan yang kita menghambakan diri hanya kepada-Nya, yang kita memohon untuk dimasukkan ke dalam Surga-Nya. Maka, kita harus mencintai dan loyal kepada-Nya.
b. Rasulullah shallahu’alaihi wasallam. Beliau adalah utusan Allah ta’ala yang melalui beliau syareat-Nya bisa sampai kepada kita sehingga kita bisa menjalani hidup di atas jalan yang lurus. Maka, kita harus cinta dan loyal kepada beliau.
c. Muslim. Dia lah orang yang mencitai Allah dan Rasul-Nya. Dialah yang menegakkan dan mensyiarkan syareat Allah yang disampaikan kepadanya melalui Rasul-Nya. Maka, kepada muslim kita harus cinta dan loyal.
Adapun terhadap kebalikan dari tiga pihak di atas kita harus menunjukkan sikap al-bara’ (benci dan putus ikatan hati);
a. Berhala-berhala, jimat-jimat dan apapun yang merupakan tandingan bagi Allah. Kita harus berlepas diri dari semuanya itu (sikap al-bara’).
b. Orang yang memposisikan diri sebagai Rasul; membuat syareat dan menetapkan hukum-hukum yang menyelisihi syareat Allah. Kepada orang semcam ini kita juga harus menunjukkan sikap al-bara’
c. Orang kafir. Kepadanya kita sebatas berbuat baik dalam koredor pemenuhan hak-hak. Sebagai kawan, tetangga, pembeli, penjual, layanan jasa, partner bisnis dan lain-lain. Jadi, berbuat baik saja, tidak dalam koridor cinta dan loyalitas. Karena cinta dan loyalitas hanya sesama muslim. Allah ta’ala berfirman,
فَسَوْفَ يَأْتِى ٱللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُۥٓ أَذِلَّةٍ عَلَى ٱلْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى ٱلْكَٰفِرِين َ(المائدة:54)
“Kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir” (QS. Al-Madiah:54)
Ayat ini menunjukkah, benarnya cinta kepada Allah ta’ala di mana Allah ta’ala membalas cintanya alias tidak bertepuk sebelah tangan yaitu orang berlemah-lembut kepada orang muslim dan bersikap keras atau benci kepada orang kafir.
لَّا يَنْهَىٰكُمُ ٱللَّهُ عَنِ ٱلَّذِينَ لَمْ يُقَٰتِلُوكُمْ فِى ٱلدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَٰرِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوٓا۟ إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُقْسِطِينَ (الممتحنة:8)
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil” (QS. Al-Mumtahanah:8)
Adapun surat Al-Mumtahanah ayat 8 ini menunjukkan, terhadap orang kafir hanya diperbolehkan berbuat baik (memenuhi hak-haknya) bukan sikap cinta atau loyal. Karena cinta dan loyalitas hanya sesama muslim.
Jelaslah, ukhuwwah Islamiyyah atau persaudaran atas dasar sesama orang yang bersyahadat itu merupakan konsekwensi dari ajaran Islam yang sangat fundamental.
B. UKHUWWAH ITU TASYRI’ ROBBANI
Artinya ia merupakan ketetapan syari’at dari Allah ta’ala langsung. Ia bukan tradisi suatu bangsa. Bukan warisan leluhur. Dan, bukan juga taqlid (mengekor) terhadap budaya suatu kaum.
a. Allah ta’ala memerintahkannya di dalam Al-Qur’an.
Dia ta’ala berfirman,
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا ۚ وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنتُمْ عَلَىٰ شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ النَّارِ فَأَنقَذَكُم مِّنْهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ [ آل عمران: 103]
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu kamu menjadi orang-orang yang bersaudara karena nikmat Allah; dan kamu telah berada di tepi jurang Neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu darinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk” (QS. Ali Imran:103)
Ayat ini menjelaskan tentang kondisi bangsa Arab sebelum datangnya Islam. Mereka selalu dalam permusuhan dan peperangan. Di antaranya adalah suku Aus dan Khazraj yang satu sebagai musuh bebuyutan bagi yang lainnya. Ketika Nabi shallahu’alaihi wasallam datang berdakwah, mereka berduyun-duyun masuk Islam. Maka, berubahlah kondisinya. Mereka menjadi ummat yang bersatu dan bersaudara. Nabi shallahu’alaihi wasallam bersabda,
إنَّ اللَّهَ يَرْضَى لَكُمْ ثَلاثًا، ويَكْرَهُ لَكُمْ ثَلاثًا، فَيَرْضَى لَكُمْ: أنْ تَعْبُدُوهُ، ولا تُشْرِكُوا به شيئًا، وأَنْ تَعْتَصِمُوا بحَبْلِ اللهِ جَمِيعًا ولا تَفَرَّقُوا، ويَكْرَهُ لَكُمْ: قيلَ وقالَ، وكَثْرَةَ السُّؤالِ، وإضاعَةِ المالِ (رواه مسلم عن أبى هريرة)
“Allah ta’ala meridhoi untuk kalian pada tiga perkara dan membenci untuk kalian pada tiga perkara. Dia ridho untuk kalian menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, kalian berpegang teguh dengan tali Allah semuanya dan janganlah kalian bercerai berai, Dia ta’ala membenci untuk kalian “katanya-katanya”, banyak bertanya, dan menyia-nyiakan harta” (HR. Muslim dari Abu Hurairah)
Secara gamblang Allah ta’ala perintahkan jika ada kaum muslimin bertikai agar didamaikan. Dia ta’ala berfirman,
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ (الحجرات:10)
“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, maka damaikanlah di antara saudara kalian. Dan bertaqwalah kepada Allah ta’ala agar kalian mendapatkan rahmat” (QS. Al-Hujurot:10)
Bahkan saking tidak diperbolehkan adanya perselisihan dan pertikaian di dalam tubuh kaum muslimin, syareat menyatakan mendamaikan pihak-pihak yang bertikai itu termasuk salah satu dari sebaik-baiknya pembicaraan. Allah ta’ala berfirman,
لَا خَيْرَ فِيْ كَثِيْرٍ مِّنْ نَّجْوٰىهُمْ اِلَّا مَنْ اَمَرَ بِصَدَقَةٍ اَوْ مَعْرُوْفٍ اَوْ اِصْلَاحٍۢ بَيْنَ النَّاسِۗ وَمَنْ يَّفْعَلْ ذٰلِكَ ابْتِغَاۤءَ مَرْضَاتِ اللّٰهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيْهِ اَجْرًا عَظِيْمًا (النساء:114)
“Tidak ada kebaikan dari banyak pembicaraan rahasia mereka, kecuali pembicaraan rahasia dari orang yang menyuruh (orang) bersedekah, atau berbuat kebaikan, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Barangsiapa berbuat demikian karena mencari keridaan Allah, maka kelak Kami akan memberinya pahala yang besar” (QS. An-Nisa:114)
b. Nabi shallahu’alaihi wasallam mempersaudarakan sesama Sahabat padahal mereka tidak ada ikatan nasab.
Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan…. Nabi mempersaudarakan sesama Shahabat sebanyak dua kali. Pertama: khusus sesama muhajirin. Diantaranya dipersaudarakannya Zaid bin Haritsah dengan Hamzah bin Abdul Mutholib. Kedua: antara Muhajirin dan Anshor setelah hijrah ke Madinah.
Jadi, sesampainya di Madinah selain mendirikan masjid Nabi shallahu’alaihi wasallam mempersaudarakan antara Muhajirin dan Anshor yang menunjukkan pentingnya kedua hal tersebut. Masjid terkait hubungan vertikal dan persaudaraan terkait hubungan horizontal.
Bahkan persaudaraan ini yang ia tidak ada kaitannya dengan nashab bukan saja pada ikatan saling menolong, memperhatikan dan mempedulikan, tetapi lebih dari itu mereka juga saling mewarisi. Disebutkan di dalam Hadits,
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عنْهمَا كانَ المُهَاجِرُونَ لَمَّا قَدِمُوا المَدِينَةَ يَرِثُ المُهَاجِرُ الأنْصَارِيَّ دُونَ ذَوِي رَحِمِهِ؛ لِلْأُخُوَّةِ الَّتي آخَى النَّبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ بيْنَهُمْ (رواه البخارى)
“Dari Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma, ia mengatakan bahwa ketika orang-orang Muhajirin datang ke Madinah mereka mewarisi Anshor padahal tidak ada hubungan rahim. Itu tidak lain karena ikatan setelah Nabi persaudarakan sesama mereka” (HR. Bukhari)
Namun, ikatan saling mewarisi ini dihapus. Yang masih tetap berlangsung adalah ikatan saling menolong dan mempedulikan. Sebagaimana hal ini dijelaskan oleh Ibnu Abbas,
فَلَمَّا نَزَلَتْ: {وَلِكُلٍّ جَعَلْنَا مَوَالِيَ} [النساء: 33] نَسَخَتْ، ثُمَّ قالَ: (وَالَّذِينَ عَاقَدَتْ أَيْمَانُكُمْ) إلَّا النَّصْرَ، وَالرِّفَادَةَ، وَالنَّصِيحَةَ، وَقَدْ ذَهَبَ المِيرَاثُ، وَيُوصِي له (رواه البخارى)
“Ketika turun ayat “ وَلِكُلٍّ جَعَلْنَا مَوَالِيَ ” (QS. An-Nisa:33) ia (saling mewarisi) dihapus. Kemudian firman-Nya “ وَالَّذِينَ عَاقَدَتْ أَيْمَانُكُمْ “ menunjukkan (yang masih dilanjutkan) adalah saling menolong, menjamin, dan menasehati. Adapun saling mewarisi sudah ditiadakan” (HR. Bukhari)
Berikut ini pasangan-pasangan persaudaran yang Rasulullah shallahu’alaihi wasallam lakukan terhadap Muhajirin dan Anshor:
- Abu Bakar Ash-Shiddiq dengan Kharijah bin Zaid
- Umar bin Al-Khottob dengan ‘Utban bin Malik
- Ubaidah bin Al-Jarroh dengan Abu Tholhah
- Abdurrahman bin ‘Auf dengan Sa’ad bin Ar-Robi’
- Ja’far bin Abu Tholib dengan Mu’adz bin Jabal
- Mush’ab bin ‘Umair dengan Abu Ayyub Al-Anshory
- Abu Dzar Al-Ghifari dengan Al-Mundzir bin ‘Amr
- Salman Al-Farisi dengan Abu Darda’
- Tholhah bin ‘Ubaidillah dengan Ka’ab bin Malik
- Zubair bin Al-Awam dengan Salmah bin Salamah bin Waqsy
- Bilal bin Robah dengan Abu Rouhah Al-Khots’amy
Judul buku : UKHUWWAH ISLAMIYYAH
Penulis : Muhammad Nur Yasin Zain, Lc. Hafidzahullah
(Pengasuh Pesantren Mahasiswa Thaybah Surabaya)
