Solusi Investasi Akhirat Anda

Yang Berlari Kencang

Allah ta’ala ketika menciptakan manusia, langsung memberi kepada manusia sifat-sifat dasar manusia. Ada diantara sifat dasar manusia itu yang baik dan ada juga yang buruk. Diantara sifat dasar manusia yang buruk adalah:

  1. Manusia memiliki sifat tergesa-gesa. Allah ta’ala berfirman dalam sebuah ayat:

وَيَدْعُ الإنْسَانُ بِالشَّرِّ دُعَاءَهُ بِالْخَيْرِ وَكَانَ الإنْسَانُ عَجُولا

“Dan manusia berdo’a untuk kejahatan sebagaimana ia berdo’a untuk kebaikan. Dan adalah manusia bersifat tergesa-gesa”. (QS. Al Isra’ ayat: 11)

Sering sekali manusia mendoakan kejelekan layaknya ia menjelekkan kebaikan kepada orang lain. Contoh seorang ibu mendo’akan anaknya ‘kualat’ dikarenakan kenakalan yang dibuat anaknya. Sering sekali manusia berbuat sesuatu tanpa ada pikir yang panjang yang akhirnya membuat dirinya atau orang lain celaka.

2. Manusia juga memiliki sifat suka membantah. Seperti yang Allah ta’ala ceritakan di dalam Al Qur’an:

خَلَقَ ٱلْإِنسَٰنَ مِن نُّطْفَةٍ فَإِذَا هُوَ خَصِيمٌ مُّبِينٌ

“Dia telah menciptakan manusia dari mani, tiba-tiba ia menjadi pembantah yang nyata”. (QS. An Nahl ayat: 4)

Mani adalah sesuatu yang hina, dan manusia diciptakan darinya. Namun manusia menjadi orang yang suka membantah. Contoh banyak wanita yang enggan menggunakan jilbab dengan berbagai macam alasan, diantaranya kepanasan. Atau yang lain sudah memakai kerudung namun dimodifikasi. Jilbab secara asal fungsinya ialah menutup aurat dan meminimalisir ketertarikan lawan jenis. Karena memiliki sifat membantah, maka syari’at pun mau dibantah olehnya.

3. Diantara sifat dasar manusia yang buruk ialah pelit.

Allah ta’ala berkata:

قُلْ لَوْ أَنْتُمْ تَمْلِكُونَ خَزَائِنَ رَحْمَةِ رَبِّي إِذًا لأَمْسَكْتُمْ خَشْيَةَ الإِنْفَاقِ وَكَانَ الإِنْسَانُ قَتُورًا

“Katakanlah, ‘Kalau seandainya kalian menguasai perbendaharaan-perbendaharaan rahmat Tuhanku, niscaya perbendaharaan itu kalian tahan, karena takut membelanjakannya (berkurang)’. Dan adalah manusia itu sangat kikir”. (QS. Al Isra’ ayat 100)

Disinilah perbedaan sifat manusia dengan Allah ta’ala. Allah ta’ala menyuruh kita meminta kepada-Nya dan Dia senang apabila Dia diminta oleh manusia yang telah Dia ciptakan. Berbeda dengan manusia merasa tidak senang ketika diminta.

4. Diantara sifat dasar buruk manusia adalah suka berkeluh kesah.

Allah ta’ala berfirman:

 إِنَّ الإنْسَانَ خُلِقَ هَلُوعًا (١٩) إِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوعًا (٢٠) وَإِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوعًا (٢١)

“Sungguh, manusia diciptakan bersifat suka mengeluh. Apabila dia ditimpa kesusahan dia berkeluh kesah. Dan apabila mendapat kebaikan (harta) dia jadi kikir”. (QS. Al Ma’arij ayat 19-21)

5. Manusia juga senang ingkar kepada Allah ta’ala. Sudah diberikan kepadanya banyak nikmat, namun banyak manusia tidak mau beribadah kepada-Nya.

Allah ta’ala berkata:

إِنَّ الْإِنْسَانَ لِرَبِّهِ لَكَنُودٌ

“Sesungguhnya manusia itu sangat ingkar”. (QS. Al ‘Adiyat ayat: 6)

Sebagai manusia apakah dia akan pasrah kepada ayat-ayat di atas? Lalu ia menjadi orang yang ingkar, pelit, tergesa-gesa? Jawabannya adalah manusia tidak boleh menyerah akan hal ini semua, kenapa?

a. Karena manusia memiliki fitrah (Kecenderungan untuk memilih yang bagus). Kata Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :

كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الفِطْرَةِ

“Setiap anak yang terlahir, maka dalam keadaan fithrah”. (HR. Syu’aib Al Arnauth no: 10241)

b. Kita sudah dibantu Allah ta’ala untuk melawan sifat buruk tersebut. Diantaranya dengan diutusnya para rasul. Allah ta’ala berkata:

لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin”. (QS. At Taubah ayat 128)

Dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah ﷺ bersabda:

“Perumpamaan diriku dan perumpamaan kalian, bagaikan seorang yang menyalakan api. Lalu mulailah laron-laron dan kupu-kupu berjatuhan pada api itu,sedangkan ia selalu mengusir (serangga-serangga tersebut) dari api tersebut. Demikian pula aku. Memegang (menarik) ujung-ujung pakaian kalian dari Neraka, namun kalian (ingin) melepaskan diri dari tanganku”.  (HR Muslim)

c. Manusia diberikan akal oleh Allah ta’ala. Inilah letak perbedaan manusia dengan binatang. Hewan diberikan otak namun mereka tidak bisa berpikir. Jikalau kita melihat induk ayam melindungi anaknya itu adalah insting bukan akal. Allah ta’ala berkata:

وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا ۚ أُولَٰئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ

“ Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai”. (QS. Al ‘Araf ayat: 11)

d. Karena kita dikaruniai Allah ta’ala pembisik (malaikat) untuk melakukan kebaikan. Semua manusia ketika terlahir dibekali teman yaitu jin dan malaikat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ما منكم مِن أحدٍ إلا وقد وُكِّلَ به قرينُه من الجنِّ وقرينُه من الملائكةِ قالوا : وإيَّاك يا رسولَ اللهِ قال : وإيَّايَ لكنَّ اللهَ أعانني عليه فأسلمَ فلا يأمرُني إلا بخيرٍ

“Tidaklah salah seorang diantara kalian lahir, melainkan sudah ditetapkan memiliki teman dari jin (setan) dan juga malaikat. Para sahabat berkata: Apakah engkau juga ya Rasulullah? Begitu juga aku, akan tetapi Allah membantuku untuknya akhirnya dia masuk Islam dan tidak memerintahkanku kecuali yag baik”.

5. Kita sudah dijanjikan oleh Allah dengan pahala.

Surat Al ‘Adiyat memiliki dua nama:

  1. Surat Al ‘Adiyat

2. Surat Wal ‘Adiyat

Tidak ada sebab khusus yang menceritakan tentang mengapa surat Al ‘Adiyat turun. Surat Al ‘Adiyat adalah surat Makiyyah dan ini dikatakan oleh Ibnu Mas’ud dan Jabir bin ‘Abdillah radhiallahu ‘anhum. Sedangkan ulama’ lain dari sahabat diantaranya Ibnu ‘Abbas dan Anas bin Malik radhiallahu ‘anhum mengatakan surat ini ialah surat Madaniyyah. Begitu juga keutamannya surat Al ‘Adiyat tidak ada keutamaannya, namun dia termasuk surat Al Mufashshal

  • Al Mufashshal ada yang mengatakan bahwa awalnya dari surat Qaaf, ada yang mengatakan awalnya surat al-Hujurat, dan ada pendapat-pendapat yang lain. Macamnya ada tiga, Thiwaal al-Mufashshal, Ausaath al-Mufashshal, dan Qishaar al-Mufashshal. Dinamakan dengan surat Al-Mufashal karena banyaknya pemisah antara satu surat dengan surat yang lain dengan kalimat Basmalah. Thiwaal al-Mufashshal dimulai dari surat Qaaf atau dari surat al-Hujurat sampai surat an-Naba’ atau sampai surat al-Buruuj. Ausaath al-Mufashshal, dari surat an-Naba’ atau dari surat al-Buruuj sampai surat adh-Dhuhaa atau sampai surat al-Bayyinah. Qishaar al-Mufashshal dari surat adh-Dhuhaa atau dari surat al-Bayyinah sampai akhir al-Qur’an, sesuai dengan perbedaan pendapat dalam masalah ini.

Secara Global, tafsir surat Al ‘Adiyat berbicara tentang tiga hal:

  1. Ayat ke 1 – ke 5 berbicara tentang kuda yang dipakai berperang di jalan Allah ta’ala. Lalu di dalam ayat-ayat tersebut Allah ta’ala bersumpah dengan kuda. Hal ini menandakan kuda itu memiliki kedudukan di dalam kehidupan manusia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الْبَرَكَةُ فِي نَوَاصِي الْخَيْلِ

“Keberkahan itu ada pada ubun-ubun kuda”. (HR. Al Bukhari no: 2851 dan Muslim no: 1874)

Kata Imam Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullahu berkata:

فِيهِ إِشَارَةٌ إِلَى تَفْضِيل الْخَيْل عَلَى غَيْرِهَا مِنْ اَلدَّوَابِّ لِأَنَّهُ لَمْ يَأْتِ عَنْهُ صَلَّى اَللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي شَيْءٍ غَيْرِهَا مِثْلَ هَذَا الْقَوْلِ

“Dalam hadits ini terdapat isyarat terhadap pengutamaan kuda atas hewan-hewan yang lain, karena tidak ada perkataan dari beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam sedikitpun semisal perkataan ini sedikitpun selain dari kuda”. (Fathul Bari 6/56)

Begitu juga sabdanya shallallahu ‘alaihi wa sallam:

عَنْ عُرْوَة الْبَارِقِيُّ، أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: الْخَيْلُ مَعْقُودٌ فِي نَوَاصِيهَا الْخَيْرُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ الْأَجْرُ وَالْمَغْنَمُ

 “Kebaikan terikat pada ubun-ubun kuda hingga hari kiamat, yaitu : adanya pahala (kelak di akhirat) dan ghaniimah (harta rampasan perang)” (HR. Al Bukhari no: 2850 dan Muslim no: 1873)

Lalu juga sabdanya shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مَنِ احْتَبَسَ فَرَسًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ إِيمَانًا بِاللَّهِ، وَتَصْدِيقًا بِوَعْدِهِ فَإِنَّ شِبَعَهُ وَرِيَّهُ، وَرَوْثَهُ، وَبَوْلَهُ فِي مِيزَانِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Barangsiapa yang menahan seekor kuda di jalan Allah dengan keimanan dan membenarkan janji-Nya, maka kenyangnya kuda itu, kotorannya, dan air kencingnya akan ada di dalam timbangan (miizaan) kebaikannya kelak di hari kiamat”. (HR. Al Bukhari no: 2853 dan  An Naaa’i no: 3582)

Maka dari itu di dalam Islam, kuda dibagi menjadi tiga:

الْخَيْلُ ثَلَاثَةٌ، فَفَرَسٌ لِلرَّحْمَنِ، وَفَرَسٌ لِلْإِنْسَانِ، وَفَرَسٌ لِلشَّيْطَانِ، فَأَمَّا فَرَسُ الرَّحْمَنِ: فَالَّذِي يُرْبَطُ  فِي سَبِيلِ اللهِ، فَعَلَفُهُ وَرَوْثُهُ وَبَوْلُهُ، وَذَكَرَ مَا شَاءَ اللهُ، وَأَمَّا فَرَسُ الشَّيْطَانِ: فَالَّذِي يُقَامَرُ أَوْ يُرَاهَنُ عَلَيْهِ، وَأَمَّا فَرَسُ الْإِنْسَانِ: فَالْفَرَسُ يَرْتَبِطُهَا الْإِنْسَانُ يَلْتَمِسُ بَطْنَهَا، فَهِيَ تَسْتُرُ مِنْ فَقْرٍ

“Kuda itu ada tiga, kuda untuk Ar Rahman, kuda untuk manusia, dan kuda untuk setan. Adapun kuda untuk Ar Rahman adalah kuda yang ditambat di jalan Allah, maka makanannya, kotorannya dan kencingnya (menjadi pahala bagi pemiliknya) , lalu Beliau menyebutkan apa yang dikehendaki Allah- , kuda untuk setan adalah kuda yang dipakai untuk judi atau taruhan, sedangkan kuda untuk manusia adalah kuda yang ditambat seseorang dengan maksud menutupi kebutuhan perutnya (mencari nafkah), maka kuda itu hanya menutupinya dari kefakirannya”. (HR. Al Albani dalam Shahihul Jami’ no: 3350)

2. Lalu yang kedua di dalam surat Al ‘Adiyat menjelaskan sifat-sifat dasar manusia. Yang dimana sifat-sifat dasar manusia tadi tertuang di dalam surat Al ‘Adiyat ayat 6 – 8. Di dalam ketiga ayat tersebut Allah ta’ala menceritakan manusia itu suka ingkar dan cintanya terhadap harta sangat berlebihan.

3. Lalu tafsir global dari Surat Al ‘Adiyat ialah solusi yang Allah ta’ala berikan agar manusia tidak terjerat dari sifat-sifat buruk tersebut.

 وَالْعَادِيَاتِ ضَبْحًا (1)

“Demi kuda perang yang berlari kencang dengan terengah-engah”

Di dalam ayat ini Allah ta’ala bersumpah dengan makhluknya yaitu kuda. Kenapa Allah ta’ala bersumpah dengan makhluknya? Ini adalah sebuah pertanyaan yang sering terlintas pada sebagian manusia. Maka sebagian ulama’ menjawabnya.

  1. Kita harus meyakini bahwa setiap yang Allah ta’ala lakukan itu merupakan Hak-Nya. Dia tidak ditanya atas apa-apa yang Dia lakukan. Kemudian seorang hamba juga tidak patut bertanya atas apa-apa yang Allah ta’ala lakukan. Lalu seorang hamba akan ditanya atas apa-apa yang telah ia lakukan. Imam Al Qurthubi rahimahullahu ia berkata:

لله أن يقسم بما شاء من مخلوقاته من حيوان وجماد ، وإن لم يُعلم وجه الحكمة في ذلك

الجامع لأحكام القرآن (19 /237)

“Bagi Allah bersumpah dengan apa yang disukai dari makhluk-Nya baik hewan dan makhluk padat. Meskipun tidak diketahui hikmah hal itu”. (Al Jami’ Li Ahkam Al Qur’an 19/237)

2. Ketika Allah ta’ala bersumpah dengan makhluk-Nya, maka ini menunjukkan keagungan, kebesaran, dan kesempurnaan Allah ta’ala yang tidak dimiliki oleh makhluk-Nya.  Hak Allah ta’ala juga bersumpah dengan makhluk ciptaan-Nya. Namun bagi manusia, dia tidak boleh bersumpah selain atas nama Allah ta’ala atau kalau tidak dia akan jatuh pada kekufuran. Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullahu berkata:

قسم الله بهذه الآيات دليل على عظمته وكمال قدرته وحكمته ، فيكون القسم به الدال على تعظيمها ورفع شأنها متضمنا للثناء على الله عز وجل ، بما تقتضيه من الدلالة على عظمته . وأما نحن ، فلا نقسم بغير الله أو صفاته ؛ لأننا منهيون عن ذلك

مجموع فتاوى ورسائل ابن عثيمين (10 /798)

“Allah bersumpah dengan ayat-ayat ini sebagai dalil atas keagungan dan kesempurnaan kekuasaan dan hikmah-Nya. Sehingga bersumpah dengannya menunjukkan keagungannya dan Tingginya kedudukannya yang mengandung pujian kepada Allah Azza Wa Jalla. Sementara kita tidak dibolehkan bersumpah dengan selain nama Allah atau sifat-Nya, karena kami dilarang melakukan hal itu”. (Majmu Fatawa wa Rasail Ibnu Utsaimin 10/798)

Kalau kita menerjemahkan secara bahasa maka ayat pertama berarti “Demi yang berlari kencang sambil terengah-engah”. Di dalam ayat ini Allah ta’ala tidak menyebutkan secara tegas tentang siapa yang berlari kencang. Maka terjadi perbedaan pendapat pada kalangan ahli tafsir. Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin berkata:

“Sesungguhnya yang berlari kencang ialah unta. Yaitu unta yang dipakai untuk ibadah haji dari ‘Arafah ke Muzdalifah lalu ke Mina. Mereka berdalil bahwasanya ini adalah surat Makiyyah, dan tidak ada syari’at untuk berjihad ketika berada di Mekkah. Adapun jumhur (kebanyakan) ulama’ tafsir berkata yang dimaksud di dalam ayat di atas adalah kuda. Karena kuda sudah terkenal di Bangsa Arab pada masa itu meski belum ada syari’at jihad. Disana ada kuda yang dipakai berperang di jalan kebenaran atau tidak meskipun agama Islam belum datang. Adapun setelah datang Islam, kuda dipakai berperang di jalan kebenaran”. (Tafsir Al Qur’an Al Karim hal: 291)

Kita harus menghormati perbedaan pendapat ulama’ yang sangat kuat ini. Lalu juga menghormati perbedaan guru  atau ustad yang berbeda pendapat dalam masalah menafsirkan ayat di atas. Lalu kalimat ‘Dhobha’ dalam bahasa Indonesia artinya terengah-engah. Adapun kata para ulama’ adalah:

صوت أنفاس الخيل إذا عدون

“Suara nafas kuda saat berlari kencang”. (Tafsir Al Qurthubi hal: 599)

Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu juga berkata:

ليس شيء من الدواب يضبح غير الفرس والكلب والثعلب

“Tidak ada sesuatu dari hewan yang bisa terengah-engah melainkan kuda, anjing, dan musang”. (Tafsir Al Qurthubi hal: 599)

Sebagian ulama’ lagi Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin berkata tentang makna ‘Dhobha’ adalah:

“Suara yang terdengar dari dalam rongga mulut kuda saat berlari kencang”. (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azim hal: 292)

فَالْمُورِيَاتِ قَدْحًا (2)

“Dan kuda yang mencetuskan api dengan pukulan (kuku kakinya)”

Lalu pada ayat yang kedua kita melihat betapa perkasanya kuda sehingga menimbulkan bunga api. Kata ‘Ikrimah dan Atho’ rahimahumullahu maksud dari ayat yang kedua adalah:

الخيل حين توري النار بحوافرها

“Kuda yang memercikkan api dengan kukunya” (Tafsir Al Qurthubi hal: 599)

 فَالْمُغِيرَاتِ صُبْحًا (3)

“Dan kuda yang menyerang dengan tiba-tiba di waktu pagi”

Kuda-kuda yang ditunggangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerang musuh pada waktu shubuh. Di dalam ayat ini juga mengajarkan kepada kita bahwa tentang salah satu siasat berperang. Karena pada saat shubuh (pagi buta) musuh-musuh dalam keadaan tidur. Kalaupun sudah bangun, maka mereka pun belum siap untuk berperang. Ada di dalam sebuah hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

أن النبيَّ كان إذا غزَا بنا قومًا لم يكن يغْزُو بنا حتى يُصْبِحَ وينظرَ, فإن سَمِعَ أذانًا كَفَّ عنهم ، وإن لم يسمعْ أذانًا أغارَ عليهِم

“Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mengajak kami berperang ke sebuah negeri, maka tidak pernah menyerang kecuali saat waktu shubuh dan menunggu. Apabila beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar azan shubuh, maka tidak terjadi penyerangan. Apabila beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam  tidak mendengar azan dari sebuah negeri, maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerangnya”. (HR. Al Bukhari no: 610)

Diantara faedah yang sangat besar dari hadis di atas kata Imam Ibnu Hajar Al Atsqolani rahimahullahu ia berkata:

أنه  كان يجعل الأذان  فرق ما بين دار الكفر ودار الإسلام، فإن سمع مؤذنا  للدار  كحكم ديار الإسلام ، فيكف عن دمائهم وأموالهم ، وإن لم يسمع أذانا أغار عليهم بعدما يصبح

“Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan azan sebagai pembeda antara negeri (kampung) kafir dan negeri muslim. Apabila beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar azan, maka negeri tersebut adalah negeri Islam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjamin darah dan harta-harta mereka. Namun apabila tidak terdengar azan, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerangnya setelah shalat shubuh”. (Fathul Bari hal: 610)

Lantas kita lihat negeri kita ini. Negeri kita ini dikacaukan oleh sebagian orang yang mengatasnamakan Islam dengan pemboman di negeri itu. Lebih bodohnya lagi, pernah di negeri ini salah satu masjidnya diserang dengan bom. Ini adalah kejahilan di atas kejahilan tentang syari’at agama Islam. Niat yang bagus untuk menegakkan syari’at harus selalu diiringin dengan ilmu dalam menegakkannya.

 فَأَثَرْنَ بِهِ نَقْعًا (4)

“Maka ia menerbangkan debu”

Kemudian pada ayat yang ke 4 kata Imam Al Qurthubi rahimahullahu berkata:

الخيل تثير الغبار بشدة العدو في المكان الذي أغارت به

“Yaitu kuda-kuda tersebut menerbangkan debu-debu yang ada di medan peperangan karena dahsyatnya”. (Tafsir Al Qurthubi hal: 599)

فَوَسَطْنَ بِهِ جَمْعًا (5)

“Dan menyerbu ke tengah-tengah kumpulan musuh”

Lalu pada ayat yang ke 5 Allah ta’ala berkata bahwasanya kuda-kuda tadi masuk ke tengah-tengah barisan musuh. Inilah pasukan Islam terdahulu, ketika mereka berperang tidak hanya pada bagian depan musuh saja. Namun mereka merangsek masuk ke dalam tengah-tengah barisan musuh. Mereka kaum muslimin berperang karena perintah Allah, menegakkan keadilan, serta kedamaian. Bukan untuk membinasakan sebuah negeri.

Peperangan dalam masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ataupun setelahnya selalu kalah dalam jumlah pasukan. Pada Perang Badar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya membawa 300 ditambah belasan orang, lalu menghadapi 1000 orang kafir. Lalu pada perang Mu’tah, jumlah kaum muslimin hanya 3000 orang yang harus menghadapi 200.000 orang pasukan Romawi. Namun apakah kemenangan selalu dimutlakkan dengan banyaknya jumlah pasukan? Ternyata tidak, pada peperangan-peperangan tersebut, justru kaum muslimin lah yang memenangkannya

Pada sisi lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada kita agar kita tidak berharap bertemu musuh. Di dalam sabdanya shalallahu ‘alaihi wa sallam berkata:

لاَ تَتَمَنَّوْا لِقَاءَ الْعَدُوِّ ، وَسَلُوا اللَّهَ الْعَافِيَةَ ، فَإِذَا لَقِيتُمُوهُمْ فَاصْبِرُوا

“Janganlah kalian mengharapkan bertemu dengan musuh (perang), tapi mintalah kepada Allah keselamatan. Dan bila kalian telah berjumpa dengan musuh, bersabarlah”. (HR. Al Bukhari no: 2966 dan Muslim no: 1742)

Namun apabila kita harus bertemu musuh-musuh Islam dalam medan peperangan, maka janganlah sekali-kali kita mundur. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَاعْلَمُوا أَنَّ الْجَنَّةَ تَحْتَ ظِلَالِ السُّيُوفِ

“Ketahuilah bahwa surga itu di bawah kilatan pedang”. (HR. Al Bukhari no: 3024 dan Muslim no: 1742)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَات: … التَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ

“Jauhilah oleh kalian tujuh dosa yang membinasakan: …Lari dari medan peperangan”. (HR. Al Bukhari no: 3456 dan Muslim no: 2669)

إِنَّ الْإِنْسَانَ لِرَبِّهِ لَكَنُودٌ (6)

“Sesungguhnya manusia itu sangat ingkar kepada Rabb-Nya”

Para ulama’ berbeda pendapat tentang makna ‘Al Insan/Manusia’. Sebagian ulama’ mengatakan yang dikatakan dalam ayat ini hanya orang kafir. Sebagian lagi berkata yaitu manusia pada umumnya ingkar kepada Allah ta’ala. Wallahu ‘ala, yang paling dekat ialah manusia pada umumnya berbuat ingkar kepada Allah ta’ala. Kata Imam Al Qurthubi rahimahullahuia berkata:

هذا جواب القسم ; أي طبع الإنسان على كفران النعمة

 “Ini adalah jawaban dari sumpah-Nya Allah. Yaitu diantara tabi’at manusia ialah suka mengkufuri (mengingkari) nikmat Allah”.  (Tafsir Al Qurthubi hal: 600)

Sedang makna ‘Kanud’ dalam ayat di atas ialah ingkar. Diantara sifat manusia yang buruk ialah suka ingkar.  Sebagaimana yang Allah ta’ala terangkan dalam sebuah surat:

إِنَّا عَرَضْنَا الأمَانَةَ عَلَى السَّمَوَاتِ وَالأرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الإنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولا

“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh”. (QS. Al Ahzab ayat: 72)

Diantara contoh dari makna ‘Kanud’ ialah:

  1. Imam Al Hasan Al Bashri rahimahullahu berkata tentang makna ‘Kanud’:

يذكر المصائب وينسى النعم

“Mengingat-ingat musibah dan melupakan kenikmatan-kenikmatan”. (Tafsir Al Quran Al Azim 7/634)

2. Makna ‘Kanud’ yang lainnya adalah:

هو الذي يكفر اليسير ، ولا يشكر الكثير

“Mengingkari yang sedikit, dan tidak mensyukuri yang banyak”. (Adhwaul Bayan Fii Idhohi Al Qur’an Bii Al Qur’an 9/65)

3. Lalu makna ‘Kanud’ yang lainnnya adalah:

الذي ينفق نعم الله في معاصي الله

“Yaitu yang menginfakkan (memakai) nikmat Allah di dalam kemaksiatan kepada-Nya”, (Tafsir Al Qurthubi hal: 600)

4. Diantara makna ‘Kanud’ yang dijelaskan Imam At Tirmidzi rahimahullahu adalah:

الذي يرى النعمة ولا يرى المنعم

“Mengingat nikmat, namun lupa dengan Sang Pemberi Nikmat”. (Tafsir Al Qurthubi: 600) Inilah kebiasaan manusia ketika dia melihat nikmat, maka dia melupakan Sang Pemberi Nikmat. Lebih parah lagi dia menisbatkan nikmat tersebut kepada selain Allah ta’ala.

وَإِنَّهُ عَلَى ذَلِكَ لَشَهِيدٌ (7)

“Sesungguhnya dia akan perbuatan itu benar-benar melihat”

Para ulama berbeda pendapat tentang kata ganti (Dia) di dalam ayat ini. Sebagian ulama diantaranya Imam Qatadah dan Ats Tsauri rahimahumullahu mengatakan kata ganti (Dia) dalam ayat ini adalah Allah ta’ala. Karena dalam bahasa Arab untuk mengetahui makna kata ganti dikembalikan kepada nama yang paling dekat dengan kata ganti tersebut. Lalu pendapat yang kedua tentang makna kata ganti (Dia) di dalam ayat ini adalah manusia ini adalah pendapat yang dipegang oleh Muhammad bin Ka’ab Al Qurazi. Argumennya  ialah pada ayat sebelumnya objek yang sedang dibicarakan ialah manusia. Kemudian pada ayat selanjutnya yang dibicarakan juga manusia. Namun kata Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimini rahimahullahu berkata:

والصواب أن الآية شاملة لهذا وهذا، فالله شهيد على ما في قلب ابن آدم، وشهيد على عمله، والإنسان أيضاً شهيد على نفسه،  لكن قد يقر بهذه الشهادة في الدنيا، وقد لا يقر بها فيشهد على نفسه يوم القيامة

“Yang benar adalah ayat ini mencakup makna yang ini (Allah) dan mencakup makna yang itu (Manusia). Allah melihat apa yang ada di dalam hati anak Adam, dan juga manusia melihat dirinya melakukan sebuah amalan. Akan tetapi terkadang menetapkan kesaksiannya ini di dunia dan juga terkadang di akhirat”. (Tafsir Al Qur’an Al Karim hal: 293)

Manusia akan melihat perbuatannya ketika di akhirat sebagaimana yang Allah ta’ala sebutkan:

يَّوْمَ تَشْهَدُ عَلَيْهِمْ اَلْسِنَتُهُمْ وَاَيْدِيْهِمْ وَاَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ

“… Pada hari (ketika), lidah, tangan, dan kaki mereka menjadi saksi atas (perbuatan) yang dahulu mereka kerjakan”. (QS. An Nuur ayat: 24)

وَإِنَّهُ لِحُبِّ الْخَيْرِ لَشَدِيدٌ (8)

Dan sesungguhnya dia sangat bakhil karena cintanya kepada harta

Kata “Al Khoir” di dalam ayat ini diartikan oleh para ulama’ adalah harta. Sebagaimana yang Allah ta’ala katakan:

كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ

‘Diwajibkan atas kalian, apabila seorang diantara kalian kedatangan (tanda-tanda) kematian, jika ia meninggalkan harta yang banyak (agar) berwasiat”. (QS. Al Baqarah ayat: 180)

Dengan kata lain, apabila manusia memiliki harta yang banyak maka dia akan begitu mencintai hartanya dan menjadi pelit karenanya. Allah ta’ala berkata tentang cintanya manusia terhadap harta:

وَتُحِبُّونَ ٱلْمَالَ حُبًّا جَمًّا

“Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan”. (QS. Al fajr ayat: 20)

أَفَلَا يَعْلَمُ إِذَا بُعْثِرَ مَا فِي الْقُبُورِ (9)

Kemudian Islam memotivasi manusia agar berlaku zuhud ketika di dunia dan bersemangat untuk mengingat akhirat. Manusia akan dibangkitkan dan dikeluarkan dari dalam kubur menuju Allah ta’ala. Semuanya akan keluar dengan satu seruan seperti yang Allah ta’ala katakan:

إِن كَانَتْ إِلَّا صَيْحَةً وَٰحِدَةً فَإِذَا هُمْ جَمِيعٌ لَّدَيْنَا مُحْضَرُونَ

“Tidak adalah teriakan itu selain sekali teriakan saja, maka tiba-tiba mereka semua dikumpulkan kepada Kami”. (QS. Yaasiin ayat: 53)

Apabila manusia senantiasa mencari harta saja lalu melupakan kehidupan akhirat , maka dia bisa tergelincir ke dalam api neraka. Banyak orang sibuk mencari harta, sehingga ia lupa mengerjakan shalat. Allah ta’ala berkata:

مَا سَلَكَكُمْ فِى سَقَرَ (42) قَالُوا۟ لَمْ نَكُ مِنَ ٱلْمُصَلِّينَ (43)

“Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)? Mereka menjawab: “Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat”. (QS. Al Mudatstsir ayat: 42-43)

Diantara rahasia agar seseorang zuhud ketika di dunia adalah, sebuah perkataan dari Imam Al Hasan Al Bashri rahimahullahu:

علمت بأن رزقى لن يأخذه غيرى فاطمأن قلبى له, وعلمت بأن عملى لا يقوم به غيرى فاشتغلت به, وعلمت أن الله مطلع على فاستحييت أن أقابله على معصية, وعلمت أن الموت ينتظرنى فأعددت الزاد للقاء الله

“Aku yakin bahwa rezekiku tidak akan diambil orang lain, sehingga hatiku tenang dalam mencarinya. Aku yakin bahwa amalku tidak akan diwakilkan kepada orang lain, sehingga aku sendiri yang sibuk menjalankannya. Aku yakin bahwa Allah selalu mengawasi diriku, hingga aku malu merespon pengawasannya dengan melakukan maksiat. Aku yakin bahwa kematian menantiku, sehingga aku siapkan bekal untuk bertemu dengan Allah”. (Alfu Qishshoh wa Qishshoh Min Qoshoshi Ash Shalihin wa As Shalihaat hal: 466)

وَحُصِّلَ مَا فِي الصُّدُورِ (10)

Dan dibuka apa yang ada di dalam dada?

Di dalam ayat ini Allah ta’ala akan membuka seluruh apa yang ada di dalam hati-hati manusia. Berbagai macam niat dan pekerjaan hati akan dinampakkan. Seperti tawakkal, suka, enggan, takut, harap, dan sebagainya. Allah ta’ala berfirman:

يَوْمَ تُبْلَى ٱلسَّرَآئِرُ (9) فَمَا لَهُۥ مِن قُوَّةٍ وَلَا نَاصِرٍ (10)

“Pada hari dinampakkan segala rahasia. Maka sekali-kali tidak ada bagi manusia itu suatu kekuatanpun dan tidak (pula) seorang penolong”. (QS. Ath Thariq ayat 9-10)

 يَوْمَئِذٍ تُعْرَضُونَ لَا تَخْفَىٰ مِنكُمْ خَافِيَةٌ

“Pada hari itu kamu dihadapkan (kepada Tuhanmu), tiada sesuatupun dari keadaanmu yang tersembunyi (bagi Allah)”. (QS. Al Haaqqah ayat: 18)

Allah ta’ala tahu terhadap seluruh isi hati kita. Allah ta’ala berfirman:

قُلْ إِن تُخْفُوا مَافِي صُدُورِكُمْ أَوْ تُبْدُوهُ يَعْلَمْهُ اللهُ

“Katakanlah: Jika kamu menyembunyikan apa yang ada di dalam hatimu atau menampakkannya, pasti Allah mengetahuinya”.  (QS. Ali ‘Imran ayat: 29).

Ketika di dunia Allah ta’ala memperlakukan sama antara muslim dan munafik. Sampai-sampai kita tidak bisa membedakannya. Namun pada hari kiamat Allah ta’ala akan menilai perbuatan seorang hamba berdasarkan apa yang ada di dalam hatinya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

إِنَّ اللهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَ أَمْوَالِكُمْ وَ لَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوْبِكُمْ وَ أَعْمَالِكُمْ

”Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada rupa kalian, juga tidak kepada harta kalian, akan tetapi Dia melihat kepada hati dan amal kalian”. (HR. Muslim no: 2564)

Imam Ibnul Qoyyim rahimahullahu berkata:

”Amal hati adalah pokok, sedangkan amal badan sebagai penyerta dan penyempurna. Sesungguhnya niat itu laksana ruh, sedangkan amal laksana badan. Jika ruh meninggalkan badan, ia akan mati. Maka mempelajari hukum-hukum hati lebih penting dari pada mempelajari hukum perbuatan atau badan”. (Badai’ Al Fawaid hal:  511)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullahu berkata:

فالبعثرة بعثرة ما في القبور عما تكنه الأرض، وهنا عما يكنه الصدر، والتناسب بينهما ظاهر

“Pembangkitan (kebangkitan) adalah kebangkitan apa-apa yang ada di dalam kubur berupa apa-apa yang disimpan oleh bumi. Sedangkan dalam ayat ini yaitu (kebangkitan) apa-apa yang disimpan di dalam dada. Keserasian kedua ayat ini (9 dan 10) sangat jelas”. (Tafsir Al Qur’an Al Karim hal: 294)

إِنَّ رَبَّهُم بِهِمْ يَوْمَئِذٍ لَّخَبِيرٌۢ

Sesungguhnya Tuhan mereka pada hari itu Maha Mengetahui keadaan mereka

Imam Al Qurthubi rahimahullahu berkata:

عالم لا يخفى عليه منهم خافية. وهو عالم بهم في ذلك اليوم وفي غيره ; ولكن المعنى أنه يجازيهم في ذلك اليوم

“(Dia) Maha Mengetahui serta tidak ada yang tersembunyi baginya keadaan mereka (manusia). Dia Maha Mengetahui tentang keadaan mereka dan selain mereka. Akan tetapi maknanya (ayat ini) adalah Dia akan membalas segala perbuatan-perbuatan mereka. (Tafsir Al Qurthubi hal: 600)

Inilah penjelasan yang sangat singkat dari tafsir Surat Al ‘Adiyat, bagi siapa yang ingin membaca lebih banyak tentang surat ini, maka hendaknya membuka buku-buku tafsir para ulama’.

Penulis : Ustadz Ananda Ridho Gusti

Majalah Bulan Januari, 2019 Edisi 73