Iman kepada takdir meliputi empat (4)
perkara;
- Mengetahui
- Mencatat
- Menghendaki
- Menciptakan
Apapun yang akan terjadi pada semua makhluk sejak diciptakannya hingga hari Kiamat, Allah ‘Azza mengetahui semuanya dan mencatatnya di lauhul mahfudz. Mari kita pahami dengan seksama!
Ketika seseorang di lauhul mahfudz dicatat sebagai ahli Surga, apakah berarti Allah memaksakannya agar berbuat ketaatan ketaatan yang akan menghantarkannya ke Surga?
Jawab: Tidak, tetapi Allah mencatatnya berdasarkan ilmu-Nya. Artinya apa yang akan dilakukan orang tersebut per detiknya hingga wafatnya sebagai ahli Surga, Allah telah mengetahuinya. Dan itulah yang Allah catat.
Ketika seseorang di lauhul mahfudz dicatat sebagai ahli Neraka, apakah berarti Allah memaksakannya agar berbuat kemaksiatan – kemaksiatan yang akan menghantarkannya ke Neraka?
Jawab: Tidak, tetapi Allah mencatatnya sebagai ahli Neraka berdasarkan ilmu-Nya. Artinya apa yang akan dilakukan orang tersebut per detiknya hingga wafatnya sebagai ahli Neraka, Allah telah mengetahuinya. Dan itulah yang Allah catat.
Ketika seseorang di lauhul mahfudz dicatat pada umur sekian dan sekian akan berbuat zina, atau mencuri, atau membunuh. Apakah Allah memaksakannya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tersebut?
Jawab: Tidak, tetapi Allah mencatatnya berdasarkan ilmu-Nya. Allah mengetahui persis bahwa dia kelak akan melakukan perbuatan-perbuatan tersebut. Itu lah yang Allah catat.
Perlu ditegaskan di sini bahwa Dia ‘Azza wa Jalla tidak memaksakan seseorang untuk berbuat ini dan itu. Tidak, tetapi semua yang akan diperbuat oleh seorang hamba, Allah telah mengetahui semuanya dan itulah yang Allah catat.
SEKALI LAGI INGAT BAIK-BAIK !!!!!
SEGALA HAL TERKAIT DENGAN
MAKHLUK YANG TELAH ALLAH ‘AZZA
WA JALLA TETAPKAN DI LAUHUL
MAHFUDZ ADALAH BERDASARKAN
ILMUNYA. DIA ‘AZZA WA JALLA TIDAK
MEMAKSAKANNYA
Jangankan Allah ‘Azza wa Jalla, pada
manusia saja ada suatu fenomena yang
telah diketahui oleh seseorang sebelum
terjadi. Contoh: Seorang ahli pembuatan
kursi membuat berbagai macam
model kursi dengan bahan kayu yang
bervariasi. Setelah selesai dia melaporkan
hasil pekerjaannya kepada the owner
(bossnya) dalam bentuk catatan bahwa:
- Kursi A tidak akan rusak kecuali
setelah melewati masa sekitar 60 tahun.
(Bahan bakunya murni jati tua) - Kursi B tidak akan rusak kecuali
setelah melewati masa sekitar 30 tahun.
(Bahan bakunya jati muda) - Kursi C tidak akan rusak kecuali
setelah melewati masa sekitar 10 tahun.
(Bahan bakunya kayu pinus)
Kemudian terjadilah persis sesuai catatan
sang ahli tersebut. Pertanyaannya adalah
apakah sang ahli mencatat kursi A, B, C
harus sudah rusak dalam masa sekian
dan sekian alias memaksakan ataukah
mencatat berdasarkan ilmunya?
Jawab: Ia mencatat berdasarkan ilmunya.
Ini baru ilmu manusia, ada fenomena
tertentu yang bisa diketahuinya sebelum
terjadi, lalu bagaimana dengan ilmu
Allah ‘Azza wa Jalla?
Untuk kandungan yang pertama dan kedua (mengetahui dan mencatat), Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ ٱللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِى ٱلسَّمَآءِ وَٱلْأَرْضِ ۗ إِنَّ ذَٰلِكَ فِى كِتَٰبٍ ۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى ٱللَّهِ يَسِيرٌۭ
“Tidakkah engkau tahu bahwa Allah mengetahui apa yang di langit dan di bumi? Sungguh yang demikian itu sudah terdapat dalam sebuah kitab (lauhul mahfudz). Sesungguhnya yang demikian itu sangat mudah bagi Allah” (QS. Al-Hajj: 70)
Kapan Allah mencatatnya dalam lauhul mahfudz? Allah ‘Azza wa Jalla telah mencatatnya 50.000 tahun sebelum menciptakan langit dan bumi. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan,
“Dari Abdullah bin Amr bin al-Ash, dia berkata: Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda: Allah telah menetapkan takdir-takdir makhluknya lima puluh ribu tahun sebelum menciptakan langit dan bumi” (HR. Muslim)
Judul buku : Memahami Takdir
Penulis : Muhammad Nur Yasin Zain, Lc. Hafidzahullah
(Pengasuh Pesantren Mahasiswa Thaybah Surabaya)