A. Apa Itu Tawadhu’?
Tawadhu’, salah satu akhlak mulia dalam Islam. Ia adalah sikap menghormati orang lain yang ada di sekitarnya meskipun diri seseorang memiliki berbagai kelebihan yang menghantarkan dirinya untuk dipandang sebagai orang mulia dan terhormat. Kelebihan yang berupa harta, kepintaran, kedudukan, strata sosial, pangkat, dan lain-lain tidak menjadikannya merasa di atas angin. Ia senantiasa memperlakukan orang lain dengan penuh kehangatan dalam bergaul, menunjukkan sikap hormat, ringan tangan, dan mudah diajak bergaul. Sama sekali tidak tampak pada dirinya sebagai orang terhormat bahkan dia tak mempedulikan hal tersebut.
Sebaliknya, takabbur (sombong). Ia sikap angkuh dan meremehkan orang lain yang ada di sekitarnya karena suatu kelebihan yang ada pada diri seseorang.
B. Islam Sangat Memotivasi Ummatnya untuk Tawadhu’ dan Menghindarkan Kesombongan
Ada banyak ayat Al-Qur’an dan Hadits yang memerintahkan manusia untuk bertawadhu’ dan menjauhkan kesombongan. Di antaranya,
وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا [الفرقان: 63]
“Hamba-hamba Ar-Rahman adalah mereka yang berjalan di muka bumi dengan rendah hati.” (QS. Al-Furqon:63)
Di sebutkan di dalam Tafsir As-Sa’di yang kurang lebihnya berikut ini: Orang-orang muslim disebutkan dengan “Ibadurrahman”. Hal ini untuk menjelaskan bahwa mereka sampai pada kondisi penghambaan diri kepada Allah dengan sebaik-baiknya tidak lain karena rahmat-Nya. Tanpa rahmat-Nya tidak akan bisa mencapai kondisi demikian. Kemudian Allah menyebutkan sifat mereka (orang-orang yang dirahmati oleh Allah ini) sebagai orang-orang yang berjalan di muka bumi dengan tenang dan rendah hati di hadapan Allah.
Apakah Anda berhak untuk disebut “Ibadurrahman”? Jawabannya ada pada diri Anda. |
وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ (لقمان:18)
“Dan janganlah kamu memalingkan wajahmu dari manusia (karena sombong) dan janganlah berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri.” (QS. Lukman:18)
Di dalam Tafsir Ath-Thobari disebutkan bahwa ” تُصَعِّرْ” yang berarti memalingkan berasal dari kata “”صعر . Ia adalah sebuah penyakit pada leher unta. Unta yang terjangkit penyakit ini wajahnya akan terpalingkan dari lehernya. Orang yang sombong diserupakan dengan unta yang terserang penyakit ini. Karena dia memalingkan wajahnya dari orang-orang yang ada di hadapannya. Suatu kelebihan yang dimilikinya telah menjadikannya bersikap merendahkan orang lain yang tidak memiliki kelebihan sebagaimana dirinya.
Anda tentu tidak mau kehilangan cinta dari Allah. Oleh karena itu, janganlah Anda menjadi “unta yang diserang “”صعر. |
إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا (النساء:36)
“Sesungguhnya Allah tidak mencintai orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (Qs. An-Nisa:36)
Ayat ini terkait dengan keharusan menunaikan hak. Yaitu hak Allah, hak orang tua, kerabat dekat, anak yatim, orang miskin, tetangga dekat, tetangga jauh, dan teman sejawat. Di dalam Tafsir As-Sa’di disebutkan bahwa tidaklah seseorang bisa menunaikan semua hak tersebut kecuali orang yang tawadhu’ kepada Allah dan tawadhu’ kepada seluruh manusia yang ada di sekitarnya. Sebaliknya, orang yang sombong tidak bisa menunaikannya. Karena mereka telah takjub kepada dirinya, memandang dirinya besar dan terhormat serta terpatri untuk meremehkan orang lain akhirnya tidak bisa meng-orang-kan siapapun yang ada di hadapannya, kecuali terhadap orang yang lebih tinggi darinya.
Kehilangan cinta dari Allah, berarti kehilangan segala-galanya. Mau? Na’udzu billah min dzalik. |
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِى قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ ». قَالَ رَجُلٌ إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً. قَالَ « إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ » (صحيح مسلم)
Dari Abdullah bin Mas’ud, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Tidak akan masuk Surga orang yang di dalam hatinya ada kesombongan meskipun sebesar dzarroh (sesuatu yang sangat kecil).” Ada seseorang yang berkata: Bagaimana dengan orang yang suka mengenakan baju bagus dan sandal bagus? Beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah itu Jamil (indah) mencintai keindahan. Sombong itu menolak kebenaran dan meremehkan manusia.” (Shahih Muslim)
Hadits ini menunjukkan ancaman bagi orang yang sombong. Jangankan kadar kesombongan yang besar. Kadar yang kecil saja sudah menghalangi seseorang untuk masuk Surga. Penyebutan “sebesar dzarroh” di dalam Hadits ini, maksudnya apa? Dzarroh itu semut kecil, atau debu kecil beterbangan yang bisa terlihat kalau terkena sinar matahari.
Kontrol hati! Jangan pernah dihinggapi kesombongan sekecil apapun. |
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللَّهُ (رواه مسلم)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Shodaqoh tidak akan mengurangi harta. Tidaklah Allah menambahkan seorang hamba yang memaafkan kecuali kemuliaan. Dan, Tidak seseorang tawadhu’ karena Allah melainkan Allah akan mengangkat (derajat)nya.” (HR. Muslim)
Tawadhu’, berarti seseorang bersikap rendah hati. Sesungguhnya dengan tawadhu’ dia menghilangkan “hak” membangga-banggakan kelebihan yang ada pada dirinya. Padahal kalau dia tidak menghilangkan “hak” tersebut, penghormatan dan pemuliaan akan banyak menghampirinya. Tetapi dia tidak merasa rugi dengan menghilangkan “hak” tersebut. Dia sadar betul bahwa kemuliaan yang hakiki ada di sisi Allah ‘Azza wa Jalla. Dan, kemuliaan yang hakiki inilah yang dia harapkan. Adapun kemuliaan yang ada di sisi manusia itu semu belaka. Seberapa lamakah penghormatan dan pemuliaan dari manusia karena Anda menuntutnya sebagai suatu pembayaran atas kelebihan yang Anda miliki?
Ketahuilah! Ketika Anda menuntut orang lain untuk menghormati Anda karena suatu kelebihan yang Anda miliki, sesungguhnya dia memandang Anda rendah. Sebaliknya, ketika Anda menyembunyikan suatu kelebihan Anda dari orang lain karena khawatir akan ada sikap penghormatan kepada Anda, sesungguhnya dia akan memandang Anda tinggi.
Dengan tawadhu’, selain seseorang akan dimuliakan di dunia, Allah akan mengangkat derajatnya di Akhirat. |
عَنْ عِيَاضِ بْنِ حِمَارٍ أَنَّهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِنَّ اللَّهَ أَوْحَى إِلَىَّ أَنْ تَوَاضَعُوا حَتَّى لاَ يَفْخَرَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ وَلاَ يَبْغِى أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ »(رواه مسلم)
Dari ‘Iyadh bin Himar, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah mewahyukan kepadaku bertawadhu’lah kalian sehingga tidak ada seseorang yang membanggakan diri di hadapan orang lain dan tidak pula seseorang yang menzholimi orang lain.” (HR. Muslim)
Keistimewaan apapun yang Anda miliki baik harta, pangkat, derajat, strata sosial, keilmuan, dan lain-lain janganlah menjadikan Anda meremehkan orang yang tidak seperti Anda. Ikutilah jejak para pendahulu kita yang sholeh. Mereka sangat tawadhu’ kepada siapapun meskipun dirinya sebagai orang terhormat. Terhadap orang tua, disikapinya sebagaimana kepada ayahnya sendiri. Anak kecil, sebagaimana kepada anaknya sendiri. Orang yang sebaya, sebagaimana kepada kakak atau adiknya sendiri. Demikianlah yang dijelaskan oleh Syaikh Utsaimin.
Perhatikanlah! Betapa generasi sholih sebelum kita tidak menjadikan suatu keistimewaan duniawi sebagai hal yang dibangga-banggakan. |
C. Ungkapan-Ungkapan Tentang Tawadhu’
Tawadhu’ itu….
↗ Bersikap hangat ketika menyambut orang lain, senyum merekah di wajah, dan bergaul dengan siapapun dengan sikap sangat menghormati.
↗ Bersikap ramah dan lembut kepada siapapun yang di bawah Anda dalam hal kedudukan dan lainnya.
↗ Berbicara dengan suara yang tenang dan datar, tidak meninggikan suara meskipun ketika marah.
↗ Bermajelis dengan orang-orang miskin, merasa nyaman untuk makan-makan dengan mereka dan sama sekali tidak memandang mereka rendah.
↗ Menghindarkan diri dari bermegah-megahan untuk dipandang orang lain sebagai orang kaya dan terhormat.
↗ Tidak bersikap hangat kepada sebagian orang saja dan dingin kepada sebagian lainnya.
↗ Ketika diajak berbicara memperhatikan, tidak utak-utik HP.
D. Termasuk Tawadhu’: Tidak Menolak Kebenaran
Kebalikan tawadhu’ adalah sombong. Dan, pengertian sombong sebagaimana telah disebutkan pada Hadits di atas saya nukilkan kembali,
……الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ » (صحيح مسلم)
“…..Sombong itu menolak kebenaran dan meremehkan manusia.” (Shohih Muslim)
Jelaslah, sombong itu bukan saja meremehkan orang lain tapi juga menolak kebenaran. Pembahasan di atas telah banyak mengupas tentang meremehkan orang lain. Sekarang saya akan mengupas tawadhu’ dalam pengertian tidak menolak kebenaran.
Manusia diciptakan dengan fithrah cenderung kepada kebenaran. Jika datang suatu kebenaran dan seseorang mengetahui persis bahwa itu adalah kebenaran lalu dia menyambutnya maka berarti dia mengikuti fithrahnya. Inilah tawadhu’. Tapi jika dia menolaknya yang berarti melangkahi fithrahnya maka inilah bentuk kesombongan. Allah telah menyinggungnya di dalam beberapa ayat Al-Qur’an, di antaranya:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ [البقرة: 170]
“Dan apa bila dikatakan kepada mereka ikutilah apa yang Allah turunkan. Mereka mengatakan: Tidak, tetapi kami mengikuti apa yang kami dapati pada nenek moyang kami (melakukannya). Padahal nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apapun, dan tidak mendapat petunjuk.” (QS. Al-Baqoroh: 170)
Bayangkan! Betapa sombongnya mereka, petunjuk Allah dibenturkan dengan kebiasaan nenek moyang.
Disebutkan di dalam Hadits,
عَنْ عِكْرِمَةَ بْنِ عَمَّارٍ حَدَّثَنِى إِيَاسُ بْنُ سَلَمَةَ بْنِ الأَكْوَعِ أَنَّ أَبَاهُ حَدَّثَهُ أَنَّ رَجُلاً أَكَلَ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِشِمَالِهِ فَقَالَ « كُلْ بِيَمِينِكَ ». قَالَ لاَ أَسْتَطِيعُ قَالَ « لاَ اسْتَطَعْتَ ». مَا مَنَعَهُ إِلاَّ الْكِبْرُ. قَالَ فَمَا رَفَعَهَا إِلَى فِيهِ.( صحيح مسلم)
Dari Ikrimah bin ‘Ammar, dia berkata: Telah memberitahuku Iyas bin Salamah bin Al-Akwa’ dari ayahnya bahwa ada seseorang makan di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tangan kirinya. Beliau bersabda: “Makanlah dengan tangan kananmu.” Dia menjawab: “Saya tidak bisa.” Beliau bersabda: “Tidak, kamu bisa, tidak ada yang menghalangimu kecuali kesombongan.” Dia (periwayat) mengatakan: Dia pun tidak bisa mengangkat tangannya ke mulutnya. (Shahih Muslim)
Ada seseorang ditegur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk makan dengan tangan kanan. Tapi, dia menentang. Pantaskah? Fithrah pasti mendorong pemiliknya untuk mematuhi utusan Tuhan. Sikap menentang fithrah inilah bentuk kesombongan.
Renungkanlah! Mungkinkah kita menentang polisi?
Suatu hari Bapak Polisi mengatur lalu lintas. Semua kendaraan diarahkan ke Jalan Raya Manggis. Jalan Raya Apel ditutup portal, sedang tidak bisa dilewati akibat longsor. Tiba-tiba ada seorang pengendara mobil yang menerjang portal untuk memaksakan lewat di jalan tersebut. Apa kesan Anda tentang seseorang ini? Sombong, bukan? Tentu, karena melawan fithrahnya sendiri. Lalu bagaimanakah jika yang ditentang adalah Allah dan Rasul-Nya.
Sungguh, permasalahan ini sangatlah akut di tengah-tengah masyarakat kita. Betapa gamblang, jelas, dan sangat eksplisit bahwa Allah ‘Azza wa Jalla menyatakan keberagamaan Nabi dan para Sahabatnya sudah sempurna.
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا [المائدة: 3]
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian. Dan telah Ku cukupkan nikmat-Ku bagi kalian. Aku ridho Islam sebagai agama kalian.” (QS. Al-Maidah:3)
Sehingga ia harus dijadikan barometer. Apa yang merupakan pemahaman dan amaliyah mereka itulah yang harus ada kaum muslimin berikutnya hingga hari Kiamat. Apa yang bukan merupakan pemahaman dan amaliyah mereka janganlah sekali-kali ada pada kita. Dalam kata lain, kita tidak boleh mengada-ngadakan sesuatu yang baru yang tidak pernah ada pada mereka. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا [النساء: 115]
“Barangsiapa menyelisihi Rasul setelah petunjuk (kebenaran) jelas baginya, dan dia mengikuti selain jalan orang-orang mukmin (para Sahabat) maka Kami biarkan dia dalam kesesatan yang demikian dan akan Kami masukkan ke dalam Jahannam. Dan ia (Jahannam) itu seburuk-buruknya temapat kembali.” (QS. An-Nisa:115)
Bertawadhu’lah. Janganlah kita menyombongkan akal dan hawa kita hingga akhirnya tidak mau tunduk di bawah syariat. Ada sebagian orang menolak syariat jenggot –bahwa ia harus dibiarkan tidak boleh dicukur– dengan alasan karena hanya tumbuh dua helai. Mereka selalu berargumentasi bahwa kalau dibiarkan akan tampak seperti tusuk sate. Astaghfirullah…. Inilah kesombongan, tidak tunduk kepada syariat.
Ada sebagian orang menolak syariat poligami dengan alasan menzhalimi hak wanita. Betapa sombongnya mereka !!! Seberapa hebatnya mereka hingga berani menghakimi syariat Allah!
Ada sebagian orang menciptakan pemahaman dan ritual baru yang tidak pernah Nabi perintahkan atau contohkan atau tetapkan (taqrir). Mereka beralasan bahwa apa yang mereka ada-adakan itu adalah kebaikan. Betapa sombongnya mereka !!! Adakah kebaikan dalam agama yang tidak Nabi sampaikan? Secara tidak langsung mereka menuduh Nabi telah berkhianat, karena menyembunyikan suatu kebaikan yang semestinya disampaikan ke ummat. Sebagaimana dikatakan oleh Imam Malik,
مَن ابتدع في الإسلام بدعة يراها حسنة فقد زعم أنَّ محمداً خان الرسالة؛ لأنَّ الله يقول: ) الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ (، فما لم يكن يومئذ ديناً فلا يكون اليوم ديناً
“Barangsiapa mengada-ngadakan perkara baru dalam Islam dan memandangnya baik, maka berarti dia telah menuduh bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengkhianati risalah, karena Allah telah berfirman (Pada hari ini telah Ku sempurnakan bagi kalian agama kalian), maka sesuatu yang ketika itu bukanlah (ajaran) agama sekarangpun bukan (ajaran) agama
Jelaslah, tawadhu’ itu ada dua: a]. kepada sesama manusia dan b]. kepada syariat |
E. Akibat Hilangnya Tawa’dhu
Ketika tawadhu’ hilang, muncullah kesombongan. Karena keduanya senantiasa berlawanan. Sebagaimana kalau orang tidak tidur, berarti melek. Kalau bukan lelaki, berarti perempuan. Kalau tidak hidup, berarti mati. Berikut ini contoh beberapa orang yang sombong dan akibatnya:
a. Fir’aun
Kesombongannnya menjadikan tidak bisa menerima kebenaran. Meskipun hati mengakuinya. Dia baru mengakui kebenaran ketika kondisi sakaratul maut yang taubat seseorang tidak ada artinya. Akhirnya Allah tenggelamkan ke dalam laut. Disebutkan di dalam Al-Qur’an,
وَجَاوَزْنَا بِبَنِي إِسْرَائِيلَ الْبَحْرَ فَأَتْبَعَهُمْ فِرْعَوْنُ وَجُنُودُهُ بَغْيًا وَعَدْوًا حَتَّى إِذَا أَدْرَكَهُ الْغَرَقُ قَالَ آمَنْتُ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا الَّذِي آمَنَتْ بِهِ بَنُو إِسْرَائِيلَ وَأَنَا مِنَ الْمُسْلِمِينَ () آلْآنَ وَقَدْ عَصَيْتَ قَبْلُ وَكُنْتَ مِنَ الْمُفْسِدِينَ [يونس: 90، 91]
“Dan Kami selamatkan Bani Israil melintasi laut, kemudian Fir’aun dan bala tentaranya mengikuti mereka untuk menzhalimi dan menindas mereka. Sehingga ketika Fir’aun hampir tenggelam dan berkata: Aku percaya bahwa tidak ada tuhan melainkan Tuhan yang dipercaya oleh Bani Israil dan aku termasuk orang-orang muslim (berserah diri).” (QS. Yunus:20-21)
b. Qorun
Ia menyombongkan diri dengan hartanya. Ia merasa kekayaan didapatkan semata-mata karena kepintarannya. Kesombongannya menjadikannya tidak bisa tunduk patuh kepada dakwah haq. Akhirnya Allah benamkan dia ke dalam bumi.
قَالَ إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَى عِلْمٍ عِنْدِي أَوَلَمْ يَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ أَهْلَكَ مِنْ قَبْلِهِ مِنَ الْقُرُونِ مَنْ هُوَ أَشَدُّ مِنْهُ قُوَّةً وَأَكْثَرُ جَمْعًا وَلَا يُسْأَلُ عَنْ ذُنُوبِهِمُ الْمُجْرِمُونَ () فَخَرَجَ عَلَى قَوْمِهِ فِي زِينَتِهِ قَالَ الَّذِينَ يُرِيدُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا يَا لَيْتَ لَنَا مِثْلَ مَا أُوتِيَ قَارُونُ إِنَّهُ لَذُو حَظٍّ عَظِيمٍ () وَقَالَ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ وَيْلَكُمْ ثَوَابُ اللَّهِ خَيْرٌ لِمَنْ آمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا وَلَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الصَّابِرُونَ () فَخَسَفْنَا بِهِ وَبِدَارِهِ الْأَرْضَ فَمَا كَانَ لَهُ مِنْ فِئَةٍ يَنْصُرُونَهُ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَمَا كَانَ مِنَ الْمُنْتَصِرِينَ [القصص: 78 – 81]
“Dia (Qorun) berkata: Sesungguhnya aku diberi harta itu semata-mata karena ilmu yang aku dapatkan. Tidakkah dia tahu bahwa Allah telah membinasakan ummat-ummat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya dan lebih banyak mengumpulkan harta dan orang-orang yang berdosa itu tidak perlu ditanya tentang dosa-dosanya. Maka keluarlah dia (Qorun) kepada kaumnya dengan kemegahannya. Orang-orang yang menginginkan kehidupan dunia berkata mudah-mudahan kita mempunyai harta kekayaaan seperti apa yang telah diberikan kepada Qorun. Sesungguhnya dia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar. Tetapi orang-orang yang dianugerahi ilmu berkata: Celakalah kamu ketahuilah pahala Allah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan. Dan pahala yang besar itu haya diperoleh oleh orang-orang yang bersabar. Maka Kami benamkan dia (Qorun) bersama rumahnya ke dalam bumi, maka tidak ada baginya satu golonganpun yang akan menolongnya selain Alah. Dan dia tidak termasuk orang-orang yang dapat membela diri.” (QS. Al-Qoshosh:78-81)
c. Seorang raja pada zaman Nabi Ibrahim
Sungguh seorang raja ini sudah seharusnya beriman dan patuh kepada Nabi Ibrahim. Namun, kesombonganlah yang menghalanginya untuk menerima kebenaran. Disebutkan di dalam Al-Qur’an,
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِي حَاجَّ إِبْرَاهِيمَ فِي رَبِّهِ أَنْ آتَاهُ اللَّهُ الْمُلْكَ إِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّيَ الَّذِي يُحْيِي وَيُمِيتُ قَالَ أَنَا أُحْيِي وَأُمِيتُ قَالَ إِبْرَاهِيمُ فَإِنَّ اللَّهَ يَأْتِي بِالشَّمْسِ مِنَ الْمَشْرِقِ فَأْتِ بِهَا مِنَ الْمَغْرِبِ فَبُهِتَ الَّذِي كَفَرَ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ [البقرة: 258]
“Tidakkah kamu memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim mengenai Tuhannya, karena Allah telah memberinya kerajaan (kekuasaan). Ketika Ibrahim berkata: Tuhanku adalah Yang menghidupkan dan mematikan. Dia berkata: Aku pun dapat menghidupkan dan mematikan. Ibrahim berkata: Allah menerbitkan matahari dari Timur, maka terbitkanlah ia dari Barat. Maka, bingunglah orang yang kafir itu. Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim.” (QS. Al-Baqoroh:258)
Tentang ayat ini, disebutkan di dalam Tafsir Ath-Thobari, seorang raja ini bernama Namrudz. Ia berada di Mosul. Setiap kali ada orang masuk menemuinya, ia selalu bertanya: Siapa tuhanmu? Dan senatiasa dijawab: Engkaulah tuhan kami.
d. Beberapa orang Quraisy
Mereka menyombongkan suatu kedudukan yang ada pada mereka. Akhirnya mereka tidak mendapatkan hidayah untuk beriman kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Disebutkan di dalam Al-Qur’an,
وَقَالُوا لَوْلا نزلَ هَذَا الْقُرْآنُ عَلَى رَجُلٍ مِنَ الْقَرْيَتَيْنِ عَظِيمٍ (الزخرف:31)
“Dan mereka berkata: Mengapa Al-Qur’an ini tidak diturunkan kepada orang besar (kaya dan berpengaruh) dari salah satu negeri ini (Mekkah dan Thoif)?” (QS. Az-Zukhruf:31)
Disebutkan di dalam Tafsir Ath-Thobari, tatkala Al-Qur’an diturunkan dari sisi Allah. Mereka berkata: Ini pasti sihir. Jika benar ia wahyu dari Allah niscaya akan diturunkan kepada salah satu orang besar yaitu Alwalid bin Almughiroh Almakhzumy (penduduk Makkah) atau Habib bin Amr bin Umair Ats-Tsaqofy (Penduduk Thoif).
e. Seseorang yang ditegur karena makan dengan tangan kiri
Disebutkan di dalam Kitab Syarh An-Nawawi ‘ala Muslim, bahwa seorang Sahabat yang ditegur oleh Nabi di dalam kisah ini adalah Busr bin Ro’iy al-‘Ayr.
Kesombongannya terhadap syariat menjadikannya ditegur oleh Allah seketika itu pula. Tangannya lumpuh. Wal-‘iyadzu billah.
عَنْ عِكْرِمَةَ بْنِ عَمَّارٍ حَدَّثَنِى إِيَاسُ بْنُ سَلَمَةَ بْنِ الأَكْوَعِ أَنَّ أَبَاهُ حَدَّثَهُ أَنَّ رَجُلاً أَكَلَ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِشِمَالِهِ فَقَالَ « كُلْ بِيَمِينِكَ ». قَالَ لاَ أَسْتَطِيعُ قَالَ « لاَ اسْتَطَعْتَ ». مَا مَنَعَهُ إِلاَّ الْكِبْرُ. قَالَ فَمَا رَفَعَهَا إِلَى فِيهِ.( صحيح مسلم)
Dari Ikrimah bin ‘Ammar, dia berkata: Telah memberitahuku Iyas bin Salamah bin Al-Akwa’ dari ayahnya bahwa ada seseorang makan di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tangan kirinya. Beliau bersabda: “Makanlah dengan tangan kananmu”. Dia menjawab: Saya tidak bisa. Beliau bersabda: “Tidak, kamu bisa, tidak ada yang menghalangimu kecuali kesombongan. Dia (periwayat) mengatakan: Dia pun tidak bisa mengangkat tangannya ke mulutnya. (Shahih Muslim)
Semoga Allah ‘Azza wa Jalla menjadikan kita sebagai orang-orang yang tawadhu’. Baik tawadhu’ di hadapan manusia ataupun tawadhu’ di hadapan syari’at. Amin
Penulis : Muhammad Nur Yasin Zain, Lc. Hafizhahullah
(Pengasuh Pesantren Mahasiswa THAYBAH Surabaya)
Majalah Bulan Mei-Juni, 2019 Edisi 77