Ketika Anda berbakti kepada kedua orang tua dan terus mengupayakan bakti tersebut dari waktu ke waktu, maka pujilah Allah yang telah memberikan kemampuan tersebut di saat banyak orang belum mampu melakukannya. Mereka melupakan kedua orang tuanya dan hanya disibukkan dengan istri dan anak-anaknya. Na’udzu billah min dzalik.
Namun, bisa jadi di tengah-tengah berbakti kepada kedua orang tua atau salah satunya ada seorang anak yang merasa jengkel dan kesal terhadap mereka. Terlebih ketika orang tua sudah berusia lanjut yang seringkali bersikap menjengkelkan. Jika Anda merasakan demikian, bagaimanakah solusinya?
Coba renungkan, Nikmat apakah yang paling besar yang telah Anda dapatkan? Dan, tidak ada nikmat apapun yang lebih besar darinya? Nikmat tersebut tidak lain adalah memeluk agama Islam. Karena dialah tiket menuju Surga. Coba lebih lanjut renungkanlah! Jika orang tua Anda bukan muslim, apakah bisa dipastikan Anda menjadi muslim? Tidak bisa dipastikan. Buktinya banyak sekali mereka yang non muslim disebabkan orang tuanya juga non muslim. Sebaliknya, mereka yang muslim juga kebanyakan disebabkan orang tuanya muslim. Jadi, Anda menjadi muslim tidak lain disebabkan orang tua Anda. Bukankah begitu? Dengan menyadari hal ini, Anda tidak pernah mangkel dan jengkel lagi kepada orang tua bahkan akan terus bersabar melayaninya. InsyaAllah, inilah di antara solusinya.
Agar solusi di atas semakin kuat, maka kita perlu me-refresh lagi wawasan kita tentang petunjuk syariat dalam masalah birrul walidain.
- Allah memerintahkan manusia agar berbakti kepada orang tuanya di dalam banyak ayat. Diantaranya:
Pertama:
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا [النساء: 36[
“Sembahlah Allah dan janganlah menyekutukannya dengan sesuatu apapun, dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahayamu, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” (QS. An-Nisa: 36)
Dalam ayat ini, Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkan berbakti kepada kedua orang tua setelah berbakti kepada Allah yang berupa tidak menyekutukannya, setelah itu Dia memerintahkan untuk berbuat baik kepada yang lainnya: tetangga dekat, anak yatim, dan seterusnya. Ini menunjukkan betapa posisi birrul walidain dalam Islam sangatlah tinggi.
Kedua:
وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا [الإسراء: 23]
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS. Al-Isra: 23).
Dari ayat ini, paling tidak ada tiga faedah:
- Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkan manusia untuk berbakti kepada orang tua setelah perintah berbakti (baca: tidak berbuat syirik) kepada Allah. Ini menunjukkan birrul walidain dalam Islam posisinya sangatlah tinggi.
- Tidak boleh menyakiti orang tua ketika sudah lanjut usia. Apakah berarti ketika belum lanjut usia boleh disakiti? Bukan demikian. Tetapi, maksudnya adalah secara umum orang tua itu semakin lanjut usia seringkali rewel dan membikin ulah yang menyebalkan. Maka, perlu mempertebal kesabaran sehingga tetap bisa berbuat baik kepadanya dengan maksimal.
- Anak tidak boleh menyakiti orang tua dalam bentuk apapun meskipun sesuatu yang dipandang remeh, seperti mengatakan “ah” . Semacam ini saja tidak boleh apalagi suatu hal menyakitkan yang lebih dari itu.
Ketiga:
وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا [الإسراء: 24]
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah, wahai Tuhanku kasihanilah mereka berdua, sebagaimana mereka telah mendidik aku di waktu kecil.” (QS. Al-Isra’:24)
Allah ‘Azza wa Jalla menggunakan kata “ جَنَاحَ “ yang artinya sayap. Apa maksudnya? Coba perhatikanlah burung ketika terbang tinggi? Dia selalu merendahkan kedua sayapnya. Bukankah demikian? Jadi, ayat ini memerintahkan agar anak harus selalu tawadhu’ atau merendahkan diri di hadapan orang tuanya betapapun tingginya kedudukan. Sedikitpun tidak boleh meremehkan orangtua. Terkadang masih terjadi seorang anak yang meremehkan ayah atau ibunya karena gelar Doktor atau Professor yang disandangnya sementara ayah atau ibunya hanyalah tamatan SD. Allahu Akbar.
Keempat:
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ [لقمان: 14]
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada kedua orang tua ibu bapaknya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tua ibu bapakmu. Hanya kepada-Kulah kembalimu.” (QS. Lukman:14)
Dari ayat ini, paling tidak ada dua poin yang kita garis bawahi, yaitu:
- Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkan kita untuk berterimakasih kepada orang tua setelah bersyukur kepada Allah. Ini menunjukkan betapa tingginya kedudukan birrul walidain dalam Islam.
- Khususnya Ibu, Allah menyebutkannya telah berjuang dengan susah payah sejak mengandung hingga menyapihnya sehingga seorang anak berwujud di dunia dengan keadaan baik. Makanya Nabi menyatakan bahwa bakti kepada ibu itu tiga kali lipat daripada bakti kepada ayah.
Barangkali seorang anak sering mendengar ayat ini dan memahami maksudnya, tetapi kurang bisa merasakan bagaimana jerih payahnya sang Ibu. Tunggulah nanti kalau sudah menikah, niscaya akan melihatnya sendiri bagaimana susah payahnya mengandung, melahirkan hingga menyusui dan menyapihnya. Adakah kondisi kepayahan seseorang yang Allah nyatakan dalam Al-Qur’an dengan bahasa yang sangat lugas “وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ “ selain kepayahan seorang Ibu?
- Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak mengarahkan kita dalam masalah birrul walidain. Di antaranya:
Pertama:
عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِى حَبِيبٍ أَنَّ نَاعِمًا مَوْلَى أُمِّ سَلَمَةَ حَدَّثَهُ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ قَالَ أَقْبَلَ رَجُلٌ إِلَى نَبِىِّ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ أُبَايِعُكَ عَلَى الْهِجْرَةِ وَالْجِهَادِ أَبْتَغِى الأَجْرَ مِنَ اللَّهِ. قَالَ « فَهَلْ مِنْ وَالِدَيْكَ أَحَدٌ حَىٌّ ». قَالَ نَعَمْ بَلْ كِلاَهُمَا. قَالَ « فَتَبْتَغِى الأَجْرَ مِنَ اللَّهِ ». قَالَ نَعَمْ. قَالَ « فَارْجِعْ إِلَى وَالِدَيْكَ فَأَحْسِنْ صُحْبَتَهُمَا (رواه مسلم)
Dari Yazid bin Abi Habib bahwa Na’im mantan budak Ummu Salamah, dia memberitahukannya bahwa Abdullah bin Amr bin Al-Ash berkata: Ada seseorang mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: “Saya berbai’at kepadamu untuk berhijrah dan berjihad demi mencari pahala dari Allah.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “Apakah salah satu dari kedua orangtuamu masih hidup?” Dia menjawab: “Ya, bahkan keduanya masih hidup.” Beliau bertanya: “Kamu mengharapkan pahala dari Allah?” Dia menjawab: Ya. Beliau bersabda: “Pulanglah kepada kedua orantuamu dan pergaulilah keduanya dengan baik.” (HR. Muslim)
Dari Hadits ini, paling tidak ada satu poin yang kita garis bawahi yaitu: Seseorang yang telah berbai’at untuk berjihad yang merupakan sebaik-baiknya amalan karena kalau mati maka mendapat derajat kematian tertinggi, syahid. Namun, orang tersebut tidak diperkenankan berangkat jihad oleh Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam karena keberadaan orang tuanya yang harus mendapatakan perhatian sebaik-baiknya. Dalam ungkapan sederhananya: jihad dikalahkan oleh birrul walidain.
Kedua:
عَنْ أَسْمَاءَ بِنْتِ أَبِى بَكْرٍ – رضى الله عنهما – قَالَتْ قَدِمَتْ عَلَىَّ أُمِّى وَهْىَ مُشْرِكَةٌ ، فِى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – ، فَاسْتَفْتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – قُلْتُ إِنَّ أُمِّى قَدِمَتْ وَهْىَ رَاغِبَةٌ ، أَفَأَصِلُ أُمِّى قَالَ « نَعَمْ صِلِى أُمَّكِ »
Dari Asma binti Abi Bakar radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Pada zaman Rasullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Ibuku datang menemuiku sementara dia seorang musyrik. Aku pun meminta fatwa kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Ibuku datang menemuiku, dia sangat berkeinginan sekali agar saya tetap menjaga silaturrahim dengannya. Apakah saya tetap menyambungnya?” Beliau menjawab: “Iya, Jagalah silaturrahim dengannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari Hadits ini, di antara poin yang bisa diambil adalah bahwa seorang anak tetap harus menjaga silaturrahim dengan orang tuanya meskipun orang tuanya non muslim. Disebutkan juga di dalam Al-Qur’an, “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (QS. Lukman:15)
Ketiga:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ كَانَتْ تَحْتِى امْرَأَةٌ أُحِبُّهَا وَكَانَ أَبِى يَكْرَهُهَا فَأَمَرَنِى أَبِى أَنْ أُطَلِّقَهَا فَأَبَيْتُ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِلنَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ : يَا عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ طَلِّقِ امْرَأَتَكَ (رواه الترمذى)
Dari Abdullah Ibnu Umar, dia berkata: Saya mempunyai seorang istri yang saya mencintainya. Namun, ayahku membencinya dan memerintahkanku untuk menceraikannya dan saya menolaknya. Saya menyebutkan hal itu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda: “Wahai Abdullah bin Umar, ceraikanlah istrimu.” (HR. At-Tirmidzi)
Keempat:
عَنْ أَبِى الدَّرْدَاءِ أَنَّ رَجُلاً أَتَاهُ فَقَالَ إِنَّ لِى امْرَأَةً وَإِنَّ أُمِّى تَأْمُرُنِى بِطَلاَقِهَا. قَالَ أَبُو الدَّرْدَاءِ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ : الْوَالِدُ أَوْسَطُ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ فَإِنْ شِئْتَ فَأَضِعْ ذَلِكَ الْبَابَ أَوِ احْفَظْهُ )رواه الترمذى)
Dari Abu Darda’ bahwa ada seseorang mendatanginya dan berkata: Sesungguhnya saya mempunyai istri dan ibuku menyuruhku untuk menceraikannya. Abu Darda’ berkata: Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Orang tua adalah pintu Surga yang paling baik, terserah kamu mau menyia-nyiakan pintu itu atau engkau akan menjaganya.” (HR. At-Tirmidzi)
Dari dua Hadits di atas (ketiga dan keempat) ada faedah penting, di antaranya:
- Di dalam berbakti kepada orang tua, seorang anak harus melakukannya maksimal. Tidak boleh membantahnya di dalam perkara yang ma’ruf hingga seandainya orang tua menyuruh anak menceraikan istrinya, maka dia harus melakukannya.
- Ketentuan di atas tentu dengan syarat pertimbangan-pertimbangan yang syar’i. Oleh karena itu ketika Imam Ahmad ditanya oleh seseorang tentang orang tuanya yang menyuruhnya untuk meceraikan istrinya dan dia merasa harus memenuhi permintaan ayahnya itu karena adanya Hadits tentang Umar bin Khaththab, maka beliau menjawab: Kalau ayahmu adalah Umar bin Khaththab maka lakukanlah.
- Diantara kisah tentang birrul walidain:
- Coba kita mengingat kembali kisah Uways Al-Qorny. Seorang anak yang sangat berbakti kepada Ibunya hingga tidak sempat bertemu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam padahal hidup di zaman beliau. Setelah mengkondisikan keadaan ibunya untuk bisa ditinggal, dia memohon kepada ibunya agar diizinkan berangkat dari Yaman ke Madinah untuk bisa bertemu dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah diizinkan, diapun berangkat. Sesampai di depan rumah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ternyata hanya ada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhu. Beliau tidak di rumah, sedang dalam peperangan. Pikiran Uways berkecamuk antara menunggu hingga bertemu Nabi atau pulang karena ibunya berpesan agar segera kembali. Tingginya bakti kepada ibunya menjadikannya untuk memilih kembali ke Yaman dengan tidak bertemu Nabi. Tentang Uways al-Qorny, Nabi berpesan kepada para Sahabat, “Kalau kalian berjumpa dengan Uways al-Qorni maka mintalah kepadanya untuk memohonkan ampun kepada Allah.” Masya Allah….
- Coba renungkan kembali kisah tentang Juraij, seorang pemuda Bani Israil yang memilih melanjutkan shalat daripada memenuhi panggilan ibunya akhirnya diapun mendapatkan ujian besar dari Allah ‘Azza wa Jalla. Sebagian ulama mengatakan syariat ketika itu menyatakan boleh membatalkan shalat demi memenuhi panggilan orang tuanya.
Marilah kita tingkatkan kualitas birrul walidain kita. Bersyukurlah Anda yang masih memiliki dua pintu Surga atau salah satunya. Bagi yang sudah tidak memilikinya sama sekali, Anda tetap bisa berbakti dengan cara yang telah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ajarkan. Disebutkan dalam Hadits:
عَنْ أَبِى أُسَيْدٍ مَالِكِ بْنِ رَبِيعَةَ السَّاعِدِىِّ قَالَ بَيْنَا نَحْنُ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا جَاءَهُ رَجُلٌ مِنْ بَنِى سَلِمَةَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلْ بَقِىَ مِنْ بِرِّ أَبَوَىَّ شَىْءٌ أَبَرُّهُمَا بِهِ بَعْدَ مَوْتِهِمَا قَالَ : نَعَمِ الصَّلاَةُ عَلَيْهِمَا وَالاِسْتِغْفَارُ لَهُمَا وَإِنْفَاذُ عَهْدِهِمَا مِنْ بَعْدِهِمَا وَصِلَةُ الرَّحِمِ الَّتِى لاَ تُوصَلُ إِلاَّ بِهِمَا وَإِكْرَامُ صَدِيقِهِمَا (رواه أبو داود)
Dari Abu Usaid Malik bin Robi’ah As-Sa’idi berkata: Ketika kami berada di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datanglah seseorang dari Bani Salamah seraya berkata: “Ya Rasulullah, apakah masih ada kebaikan yang bisa saya lakukan untuk kedua orang tua saya setelah keduanya meninggal dunia?” Beliau menjawab: “Ya. Yaitu: mendoakan untuk keduanya, memohonkan ampun untuk keduanya, melaksanakan janji-janji keduanya setelah keduanya meninggal dunia, menyambung tali persaudaraan yang tidak tersambung kecuali dengan keduanya, dan memuliakan sahabat-sahabat mereka.” (HR. Abu Daud)
Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin
Penulis : Muhammad Nur Yasin Zain, Lc. Hafizhahullah
(Pengasuh Pesantren Mahasiswa THAYBAH Surabaya)
Majalah Bulan Desember, 2016 Edisi 52