Manusia disifati dengan zhalim dan jahil sebagaimana dalam QS. Al-Ahzab:72,
إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا [الأحزاب: 72]
“Sesungguhnya manusia itu zhalim dan jahil.” (QS: Al-Ahzab:72)
Berbuat kemungkaran dengan sengaja berarti zhalim, dan jika karena ketidaktahuan berarti jahil. Demikianlah keadaan manusia kecuali yang Allah ‘Azza wa Jalla menjaganya dan melimpahkan kepadanya ilmu dan keadilan. Nah, jika manusia bertabiatkan penuh kekurangan dan aib, berpotensi melakukan kesalahan dan kehinaan, maka kewajiban setiap muslim adalah menjaga aurat saudaranya itu dan tidak menyebarkannya kecuali karena suatu darurat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ : أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ. قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ : ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ. قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِى أَخِى مَا أَقُولُ قَالَ : إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ (رواه مسلم)
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tahukah kalian apa itu ghibah?” Mereka menjawab: “Allah dan Rasul-Nya lah yang lebih tahu.” Beliau menjelaskan: “Kamu menyebut-nyebut tentang saudaramu dengan apa yang dia tidak suka.” Beliau ditanya: “Bagaimana menurut engkau jika pada saudaraku terdapat apa yang aku katakan.” Beliau menjawab: “Jika padanya terdapat apa yang kamu katakan maka kamu telah meng-ghibah-i nya, jika tidak terdapat apa yang kamu katakan maka kamu telah berdusta tentangnya.” (HR. Muslim)
Sebagai contoh: Jika Anda menjumpai seorang muslim melakukan penipuan di dalam jual beli, maka janganlah Anda membeberkannya ke tengah-tengah manusia tetapi sembunyikanlah aibnya dan nasihatilah. Jika dia berubah membaik, Alhamdulillah. Jika tidak, maka dengan terpaksa Anda memberitahukan kepada manusia agar mereka jangan sampai tertipu.
Jika ada seorang muslim ditangkap lalu diserahkan kepada qadhi atau hakim untuk dihukum, maka kita tidak boleh mencaci makinya tetapi harus mendoakan kebaikan, lalu bagimana mungkin membeberkan aibnya. Disebutkan dalam sebuah riwayat,
عن أبى هريرة قال اتى النبي صلى الله عليه وسلم برجل قد شرب فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم اضربوه قال فمنا الضارب بيده ومنا الضارب بنعله ومنا الضارب بثوبه فلما انصرف قال بعض القوم أخزاك الله قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لا تقولوا هكذا ولا تعينوا الشيطان عليه ولكن قولوا رحمك الله (رواه البخارى)
Dari Abu Hurairah, ia berkata: “Pernah dihadapkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seorang yang minum (khamr). Beliau bersabda: “Pukullah dia.” Lebih lanjut, Abu Hurairah berkata: “Maka di antara kami ada yang memukul dengan tangannya, ada yang memukul dengan sandalnya, dan ada juga yang memukul dengan pakaiannya. Ketika orang itu telah kembali (pulang) sebagian orang berkata: “Semoga Allah menghinakanmu.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah kalian mengatakan seperti itu. Janganlah kalian membantu syetan (untuk mencelakakan)nya, tetapi katakanlah semoga Allah merahmatimu.” (HR. Bukhari)
Jangankan menyebarkan aib, padahal sekedar senang atau ridha dengan tersebarnya aib dan keburukan di tengah-tengah kaum muslimin diancam oleh Allah dengan adzab yang pedih di dunia dan Akhirat. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَنْ تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ آمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ [النور: 19]
“Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar perbuatan yang sangat keji itu (berita bohong) tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, mereka mendapatkan adzab yang pedih di dunia dan Akhirat. Dan Allah mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Nur:19)
Senang atau ridha dengan tersebarnya keburukan dibagi menjadi 2: Pertama:senang atau ridha dengan tersebarnya keburukan pada masyarakat/komunitas muslim. Contoh: tersebarnya gambar-gambar yang mengumbar aurat, budaya pacaran, dan lain-lain. Kedua: senang atau ridha dengan tersebarnya keburukan pada seseorang muslim. Contoh: menghambur-hamburkan harta, gemar nikah cerai, dan lain-lain. Keduanya diancam dengan adzab yang pedih padahal sekedar meridhainya, lalu bagaimana dengan berbuatnya (menyebarkan aib kaum muslimin).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ : لاَ يَسْتُرُ عَبْدٌ عَبْدًا فِى الدُّنْيَا إِلاَّ سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ (رواه مسلم)
Dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Tidaklah seorang hamba menutupi (aib) hamba lain di dunia melainkan Allah akan menutupi (aib) nya pada hari Kiamat kelak.” (HR.Muslim)
Di dalam Syarh Nawawi ‘ala Muslim, Al-Qodhi menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “Allah akan menutupi (aib) nya pada hari Kiamat kelak” ada dua pengertian. Pertama: Allah tidak akan menampakkan maksiat-maksiat dan aib-aibnya di hadapan ahli mauqif (manusia yang tengah menghadapi pengadilan di hadapan Allah). Kedua: Allah tidak meng-hisab-nya dan tidak menyebut-nyebut aibnya. Tampaknya yang pertama lebih rojih karena ada riwayat lain, yaitu:
قَالَ رَجُلٌ لاِبْنِ عُمَرَ كَيْفَ سَمِعْتَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ فِى النَّجْوَى قَالَ سَمِعْتُهُ يَقُولُ :إِنَّ اللَّهَ يُدْنِى الْمُؤْمِنَ فَيَضَعُ عَلَيْهِ كَنَفَهُ ، وَيَسْتُرُهُ فَيَقُولُ أَتَعْرِفُ ذَنْبَ كَذَا أَتَعْرِفُ ذَنْبَ كَذَا فَيَقُولُ نَعَمْ أَىْ رَبِّ . حَتَّى إِذَا قَرَّرَهُ بِذُنُوبِهِ وَرَأَى فِى نَفْسِهِ أَنَّهُ هَلَكَ قَالَ سَتَرْتُهَا عَلَيْكَ فِى الدُّنْيَا ، وَأَنَا أَغْفِرُهَا لَكَ الْيَوْمَ . فَيُعْطَى كِتَابَ حَسَنَاتِهِ
(رواه البخارى ومسلم)
“Sesungguhnya (pada hari kiamat) Allah akan mendekatkan seorang mukmin, lalu Allah meletakkan tabir dan menutupinya. Lalu Allah berfirman, “Apakah kamu mengetahui dosa ini? Apakah engkau tahu dosa itu?” Dia menjawab, “Ia, betul saya tahu wahai Rabbku.” Hingga ketika Allah telah membuat dia mengakui semua dosanya dan dia mengira dirinya sudah akan binasa, Allah berfirman kepadanya, “Aku telah menutupi dosa-dosa ini di dunia, maka pada hari ini Aku mengampuni dosa-dosamu itu.” Lalu diberikanlah padanya catatan kebaikan-kebaikannya.” (HR. Bukhari dan Muslim) [ Selesai nukilan dari Al-Qodhi].
Dalam Hadits ini, jelaslah bahwa Allah memperlihatkan dosa-dosa kepada pelakunya. Jadi, yang dimaksud Allah menutupi aib seseorang adalah pengertian yang pertama, yaitu: Allah tidak akan menampakkan maksiat-maksiat dan aib-aibnya di hadapan ahli mauqif. Tetapi, satu hal yang sangat menggembirakan adalah firmanNya: “Aku telah menutupi dosa-dosa ini di dunia, maka pada hari ini Aku mengampuni dosa-dosamu itu.” Allahu Akbar!!! Semoga dengan menyembunyikan dan menutupi aib saudara kita, kita akan mendapatkan keutamaan besar ini.
Bukan hanya menyembunyikan aib orang lain, tetapi juga aib diri kita harus disembunyikan. Barangkali dalam perjalanan hidup kita pernah tergelincir dalam perbuatan dosa, maka sembunyikanlah jangan dibeberkan kepada orang lain. Cukuplah diri kita dengan Allah ‘Azza wa Jalla. Disebutkan dalam Hadits,
عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ : كُلُّ أُمَّتِى مُعَافًى إِلاَّ الْمُجَاهِرِينَ وَإِنَّ مِنَ الْمَجَانَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلاً ، ثُمَّ يُصْبِحَ وَقَدْ سَتَرَهُ اللَّهُ ، فَيَقُولَ يَا فُلاَنُ عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا ، وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللَّهِ عَنْهُ (رواه البخارى)
Dari Salim bin Abdullah, dia mengatakan: “Saya mendengar Abu Hurairah berkata: “Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Setiap ummatku akan mendapatkan ampunan kecuali orang yang terang-terangan berbuat dosa. Dan yang termasuk terang-terangan dalam berbuat dosa adalah seseorang berbuat (dosa) di malam hari kemudian pada pagi hari dia menceritakannya, padahal Allah telah menutupi perbuatannya itu, di mana dia berkata: “Hai Fulan, tadi malam aku berbuat begini dan begitu. Sebenarnya pada malam hari Rabbnya telah menutupi perbuatannya itu, tetapi pada pagi hari dia membuka sendiri perbuatannya yang telah ditutupi oleh Allah tersebut.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Mujahir (orang yang terang-terangan dengan dosa) terbagi menjadi dua. Pertama: Seseorang berbuat maksiat terang-terangan di hadapan manusia. Mereka menyaksikannya. Orang semacam ini telah berbuat dua kezhaliman: terhadap dirinya dan orang lain. Terhadap dirinya, bukankah ia menempatkan dirinya dalam kondisi menentang Allah dan Rasul-Nya? Terhadap orang lain, bukankah ia telah memancing orang lain untuk berbuat serupa. Di mana orang yang melihatnya, jiwanya akan bergoncang dan bergejolak sehingga kalau benteng keimanannya tidak kuat niscaya bisa ‘jebol’ akhirnya diapun mengikutinya untuk berbuat yang serupa. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ (رواه مسلم)
“Barangsiapa yang yang menciptakan tradisi yang jelek di dalam Islam, maka baginya dosa dan dosa orang yang mengikuti setelahnya tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun.” (HR. Muslim)
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
وَجَعَلْنَاهُمْ أَئِمَّةً يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا يُنْصَرُونَ (القصص:41)
“Dan Kami menjadikan mereka para pemimpin yang mengajak (manusia) ke Neraka, dan pada hari Kiamat mereka tidak akan ditolong.” (QS. Al-Qashash)
Kedua: Seseorang melakukan maksiat. Allah sendiri telah menutupi aib orang tersebut sehingga tidak ada orang lain yang mengetahui aibnya, tetapi dia malah membeberkan aibnya kepada orang lain. Orang yang menyadari akan dosanya pasti malu kepada Allah dan malu untuk diketahui orang lain. Sehingga pasti dia menutup rapat-rapat aib tersebut. Dia hanya lari kepada Allah agar mengampuninya. Jika ada orang malah membeberkannya kepada orang lain, jelaslah hal ini menunjukkan tidak ada penyesalan malah terkesan bangga dengan kemaksiatan atau dosa. Wal ‘iyadzu billah.
Jika kita renungkan 2 macam mujahir ini, kita pasti mengatakan wajarlah jika dia tidak akan diampuni oleh Allah. Namun, pada saat yang sama, Allah Yang Maha Pengampun mengampuni seluruh ummat Nabi. Allahul Musta’an, betapa rugi mujahir itu!!!
Penulis : Muhammad Nur Yasin Zain, Lc. Hafizhahullah
(Pengasuh Pesantren Mahasiswa THAYBAH Surabaya)
Majalah Bulan Januari, 2016 Edisi 42