Solusi Investasi Akhirat Anda

Menginginkan Sengsara

Seharusnya anak tidak sengsara jika orang tuanya menafkahi kebutuhannya. Ayah dan ibu tidak menderita jika anak menafkahinya. Kakak atau adik tidak terlunta-lunta di jalanan jika saudaranya memperhatikan nafkahnya. Tetapi jika mereka dengan sengaja tidak melakukannya, berarti  menginginkan sengsara pada orang yang menjadi tanggung jawabnya. Oleh karena itu, haruslah dipertegas siapa yang menafkahi dan dinafkahi?  Dalam hal ini, Islam telah menjelaskan dengan gamblang.

A. Definisi Nafkah

Nafkah secara bahasa adalah membelanjakan. Secara syar’i adalah mencukupi kebutuhan siapapun yang menjadi tanggungjawabnya berupa makanan, minuman, pakaian, dan tempat tinggal, dan kebutuhan lainnya sesuai dengan ‘urf (kebiasaan) suatu tempat.

B. Kewajiban Menafkahi

Ketika seseorang terpenuhi tiga (3) syarat berikut ini, maka dia wajib menafkahi orang yang menjadi tanggung jawabnya, yaitu:

  1. Mampu menafkahi

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

لِيُنْفِقْ ذو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ [الطلاق: 7]

“Hendaklah orang yang memiliki kelapangan memberi nafkah sesuai kemampuannya.” (QS. Ath-Thalaq: 7)

  1. Orang yang diberi nafkah adalah orang yang lemah, tidak mampu membiayai kebutuhannya sendiri
  2. Ada hubungan saling mewarisi antara orang yang menafkahi dan dinafkahi

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ [البقرة: 233]

“Ahli warispun berkewajiban seperti itu (menafkahi)” (QS. Al-Baqarah: 233)

Hubungan saling mewarisi dirinci sebagai berikut:

a. Hubungan pernikahan

Seorang suami harus menafkahi istrinya. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ (البقرة:228)

“Dan bagi mereka (para istri) mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya dengan cara yang baik.(QS. Al-Baqoroh: 228)

Dijelaskan dalam tafsir As-Sa’di, istri harus mendapatkan sebaik-baiknya apa saja yang merupakan kebutuhannya sebagaimana dia telah melayani apa yang merupakan kebutuhan suaminya sebaik-baiknya.

Istri yang telah ditalak atau dicerai bukan merupakan tanggungjawab mantan suaminya, karena dia tidak lagi melayani suami.  Sementara hak yang didapatkannya tidak lain sebagai timbal balik dari melayani sang suami. Kecuali kalau dalam keadaan hamil dan menyusui, maka ia tetap mendapatkannya sebagai timbal balik atas perawatan bayi. Lain halnya dengan istri yang dalam masa ‘iddah, ia masih berhak mendapatkan jaminan dari suami dengan dalil bahwa ketika  suami menghendaki kembali, maka tinggal kembali saja tanpa ada mahar. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا [البقرة: 228]

“Para suami mereka lebih berhak untuk kembali kepada mereka (para istri) di dalam masa itu (‘iddah) jika mereka menghendaki perbaikan.” (QS. Al-Baqoroh: 228)

  • Kadar nafkah yang harus diberikan oleh suami

Kadar nafkah yang harus diterima oleh istri, apakah dengan mempertimbangkan kondisi suami atau kondisi istri? Disebutkan dalam sebuah riwayat,

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ هِنْدَ بِنْتَ عُتْبَةَ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيحٌ ، وَلَيْسَ يُعْطِينِى مَا يَكْفِينِى وَوَلَدِى ، إِلاَّ مَا أَخَذْتُ مِنْهُ وَهْوَ لاَ يَعْلَمُ فَقَالَ « خُذِى مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ (رواه البخارى)

Dari Aisyah bahwa Hindun bin ‘Utbah berkata: “Ya Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan (suaminya) adalah orang yang pelit. Dia tidak memberiku yang cukup untuk diriku dan anakku, kecuali kalau aku mengambil darinya tanpa sepengetahuannya.” Beliau bersabda: “Ambillah hartanya dengan kadar yang mencukupi kamu dan anakmu dengan cara yang baik.” (HR. Bukhari)

Hadits di atas ini menunjukkan bahwa kadar nafkah itu dengan mempertimbangkan kondisi istri.

Disebutkan di dalam  Al-Qur’an,

لِيُنْفِقْ ذو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آتَاهَا [الطلاق: 7]

“Hendaklah orang yang memiliki keluasan memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang terbatas rizkinya hendaklah memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang terbatas rizkinya, hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya.” (QS. Ath-Tholaq: 7)

Dari dua nash di atas menunjukkan bahwa pertimbangan besarnya nafkah didasarkan pada dua pihak yaitu suami dan istri.  Maksudnya adalah suami harus mengupayakan secara maksimal apa yang merupakan kebutuhan-kebutuhan istri seperti tempat tinggal, makan, minum, dan yang lainnya berdasarkan ‘urf (kebiasaan) setempat. Jika suami sudah mengupayakannya secara maksimal tetapi qaddarallah belum bisa memenuhi dengan semestinya maka istri harus bersabar dan memahami kondisinya.

Tidak jarang terjadi, seorang istri menuntut kebutuhan yang standard sementara suaminya tidak bisa memenuhinya, lantas sang istri marah-marah bahkan menuntut cerai. Ketahuilah wahai para istri!! Ini perkara besar. Disebutkan di dalam Hadits Nabi bahwa wanita mana saja yang menuntut cerai dari suaminya padahal suaminya adalah orang shaleh maka ia tidak akan mencium bau Surga. Demikian makna dari Hadits Nabi. Kecuali jika sang suami bukanlah orang shaleh dan pemalas tidak mau berikhtiar kerja, maka ia boleh “gak nrimo” dan menuntut cerai.

Ada faedah lain dari Hadits ‘Aisyah di atas tentang Hindun yang melaporkan keadaan suaminya yang pelit. Ia juga menunjukkan bahwa pemegang kendali perekonomian rumah tangga adalah sang suami. Suamilah yang memegang keuangan keluarga.  Jika suami sudah memberikan kepada istri uang dan kebutuhan sesuai dengan kemampuannya berarti dia telah menjalankan amanah dan menunaikan tugas sebagai suami dengan baik. Istri tidak boleh menuntut agar gaji atau penghasilan suami harus diberikan semua kepadanya untuk diatur penggunaannya.

 Jika ada suami yang menyerahkan seluruh gaji atau penghasilannya kepada istri maka itu adalah kebaikan suami, bukan dikarenakan istri sebagai pengatur kebutuhan rumah tangga.

b. Hubungan kekerabatan

Kerabat meliputi: orang tua dan seterusnya ke atas, anak dan seterusnya ke bawah, dan saudara (kakak dan adik) dan siapa saja yang ada hubungan warisan.  Tentang menafkahi orang tua, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا  [الإسراء: 23]

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu dan bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau dua-duanya telah lanjut usia dalam pemeliharaanmu, maka janganlah kamu sekali-kali mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik.”  (QS. Al-Isra’: 23)

Tentang menafkahi anak, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ [الطلاق: 6]

“Dan jika mereka (para istri yang telah dicerai) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya.” (QS. Ath-Thalaq: 6)

Istilah “mantan anak” tidak pernah ada dalam Islam. Bagaimanapun, dimanapun, dan kapanpun anak tetaplah anak. Meskipun ia tidak ikut ayah tetapi ikut ibunya, maka anak tetaplah anak yang sang ayah harus menafkahinya.

عَنْ ثَعْلَبَةَ بْنِ زَهْدَمٍ الْحَنْظَلِىِّ قَالَ : قَدِمْنَا عَلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- نَفَرٌ مِنْ بَنِى تَمِيمٍ فَانْتَهَيْنَا إِلَيْهِ وَهُوَ يَقُولُ :« يَدُ الْمُعْطِى الْعُلْيَا ابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ أُمَّكَ وَأَبَاكَ وَأُخْتَكَ وَأَخَاكَ ثُمَّ أَدْنَاكَ أَدْنَاكَ   (رواه البيهقى)

Dari Tsa’labah bin Zahdam al Hanzhali, ia berkata: Kami menuju Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, rombongan dari bani Tamim. Kami pun sampai kepada beliau. Beliau bersabda: “Tangan yang memberi  itulah yang di atas. Mulailah (memberi nafkah) dari orang yang menjadi tanggungan kamu: ibumu, ayahmu, saudara perempuanmu, saudara lelaki kamu, kemudian berikutnya dan berikutnya.” (HR. Baihaqi)

C. Keutamaan  Memberi Nafkah Keluarga

Bersemangatlah Anda di dalam menafkahi keluarga mengingat besarnya pahala yang didapatkan. Disebutkan di dalam sebuah riwayat,

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « دِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِى رَقَبَةٍ وَدِينَارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلَى مِسْكِينٍ وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ أَعْظَمُهَا أَجْرًا الَّذِى أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ (رواه مسلم).

Dari Abu Hurairah, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Dinar yang Anda infakkan fi sabilillah, dinar yang Anda infakkan untuk membebaskan budak, dinar yang Anda shodaqohkan untuk orang miskin, dan dinar yang Anda infakkan untuk keluarga Anda maka (di antara semuanya itu)  yang paling besar pahalanya adalah yang Anda infakkan untuk keluarga Anda.” (HR. Muslim)

D. Memberi Nafkah pada Selain Hubungan Saling Mewarisi

Telah disebutkan di atas bahwa memberi nafkah itu pada orang-orang yang memiliki hubungan saling mewarisi. Namun, perlu diketahui Islam juga telah menetapkan kewajiban menafkahi lainnya yang bukan karena adanya hubungan saling mewarisi.  Yaitu budak dan binatang piaraan.

Tentang menafkahi budak, disebutkan dalam sebuah riwayat:

هُمْ إِخْوَانُكُمْ ، جَعَلَهُمُ اللَّهُ تَحْتَ أَيْدِيكُمْ ، فَمَنْ جَعَلَ اللَّهُ أَخَاهُ تَحْتَ يَدِهِ فَلْيُطْعِمْهُ مِمَّا يَأْكُلُ ، وَلْيُلْبِسْهُ مِمَّا يَلْبَسُ ، وَلاَ يُكَلِّفُهُ مِنَ الْعَمَلِ مَا يَغْلِبُهُ ، فَإِنْ كَلَّفَهُ مَا يَغْلِبُهُ فَلْيُعِنْهُ عَلَيْهِ (رواه الخارى)

“Mereka adalah saudara kalian. Allah menjadikan mereka di bawah kekuasaan kalian. Barangsiapa yang Allah menjadikan saudaranya ada di bawah kekuasaannya maka dia harus memberinya makan dari apa yang dia makan, memberinya pakaian dari apa yang dia pakai. Janganlah membebaninya dengan pekerjaan yang dia tidak mampu melakukannya. Jika dia membebaninya dengan pekerjaan yang dia (budak) tidak mampu mengerjakannya maka bantulah dia.(HR. Bukhari)

Tentang menafkahi hewan piaraan, disebutkan dalam sebuah riwayat:

عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ – رضى الله عنهما – أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ : عُذِّبَتِ امْرَأَةٌ فِى هِرَّةٍ حَبَسَتْهَا ، حَتَّى مَاتَتْ جُوعًا ، فَدَخَلَتْ فِيهَا النَّارَ – قَالَ فَقَالَ وَاللَّهُ أَعْلَمُ – لاَ أَنْتِ أَطْعَمْتِهَا وَلاَ سَقَيْتِهَا حِينَ حَبَسْتِيهَا ، وَلاَ أَنْتِ أَرْسَلْتِيهَا فَأَكَلَتْ مِنْ خَشَاشِ الأَرْضِ (رواه البخارى ومسلم)

Dari Nafi’ dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘’Seorang wanita disiksa dalam neraka sebab mengurung seekor kucing sampai mati, dia tidak memberinya makan, tidak memberinya minuman, dan dia tidak melepaskannya supaya makan apa yang tumbuh di bumi.’’ (HR. Bukhari dan Muslim)

Dengan dipertegas kembali siapa yang menafkahi dan dinafkahi, kadar nafkah, dan keutamaan menafkahi semoga tidak ada lagi orang yang menerlantarkan orang yang menjadi tanggung jawabnya yang berarti mengingkan sengsara pada orang tersebut. Allahu A’lam

Penulis : Muhammad Nur Yasin Zain, Lc. Hafizhahullah
(Pengasuh Pesantren Mahasiswa THAYBAH Surabaya)

Majalah Bulan Juli, 2016 Edisi 48