Pada edisi bulan Mei 2017, kita telah membahas “apakah takdir bisa diubah?”Jika dikatakan takdir bisa diubah. Maka bisa dipahami bahwa apa yang Allah ‘Azza wa Jalla catat dalam lauhul mahfudz itu keliru. Dan, ini mustahil, karena tidak mungkin ilmu Allah atas segala sesuatu, yang telah Dia catat di lauhul mahfudz, itu keliru. Lalu, apa yang lebih tepat untuk dikatakan? Yang lebih tepat, ada suatu takdir tertentu yang Allah ‘Azza wa Jalla kaitkan dengan takdir.
Apa pembahasan berikutnya dalam edisi ini….penasaran? Ayo kita ikuti saja
sambungan Edisi Ramadhan 1438H/Mei 2017M
عن علي رضي اللهُ عَنْهُ، قَالَ: كُنَّا جُلُوسًا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَعَهُ عُودٌ يَنْكُتُ فِي الْأَرْضِ، وَقَالَ: «مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا قَدْ كُتِبَ مَقْعَدُهُ مِنَ النَّارِ أوْ مِنَ الجَنَّةِ» فَقَالَ رَجُلٌ من القوم : أَلَا تَتَّكِلُ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: ” لا ، اعْمَلُوا فَكُلٌّ مُيَسَّر. ثُمَّ قَرَأَ : (فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى} [الليل: 5] رواه البخاري ومسلم
“Dari Ali radhiyallahu anhu, dia berkata. Kami duduk bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau memegang tongkat sambil digores-goreskan ke tanah dan bersabda: Tidaklah seseorang di antara kalian kecuali telah ditetapkan tempat duduknya di Neraka atau di Surga. Ada seseorang dari suatu kaum bertanya: Tidakkah kita sandarkan saja (kepada takdir tersebut) ya Rasulullah? Beliau menjawab: Tidak, berbuatlah karena setiap orang mudah (untuk berbuat apa yang dia ditakdirkan). Kemudian beliau membaca ayat (fa amma man a’tho wa at taqo)” (HR. Bukhari dan Muslim)
1. Dalil realita
Realita yang ada, untuk kemaslahatan dunia manusia begitu semangat melakukan ikhtiar atau mengambil sebab. Lalu kenapa untuk kemaslahatan Akherat begitu loyo dan dan mudah-mudahnya beralasan dengan takdir. Contoh: kalau seseorang merasa lapar, Apa yang dia lakukan? Berikhtiar atau menyandarkan kepada takdir? Dia pasti semangat berikhtiar. Dia pergi ke warung, jika ternyata warung tersebut tutup ia pergi ke warung lainnya, jika makanan sudah habis ia pun tetap mencari warung lainnya lagi. Sementara untuk kemaslahatan Akherat dia tidak bersikap demikian, tetapi mudah-mudahnya menyandarkan kepada takdir. Kenapa Anda tidak shalat? Kenapa Anda berjudi, Kenapa Anda tidak puasa? Jawabannya adalah: Bukankah semuanya sudah ditakdirkan, saya berbuat taat atau maksiat kan semuanya sudah ditakdirkan. Adilkah sikap terhadap kedua permasalahan; duniawi dan ukhrowi?
Ketika kehormatan diri seseorang diinjak-injak orang lain yang beralasan dengan takdir, dia tidak terima. Lalu kenapa dia menginjak-nginjak kehormatan Allah dengan beralasan takdir. Adilkah?
d. Dalil Logika
Berhujjah atau berargumentasi itu sandarannya sesuatu yang sudah diketahui. Contoh: Kenapa makan? Karena lapar. Kenapa tidur? Karena ngantuk. Kenapa minum? Karena haus. Jadi, orang bisa melakukan tindakan berupa makan, tidur atau minum disandarkan kepada suatu alasan yang gamblang dan terang, yaitu: lapar, ngantuk dan haus.
Sementara, takdir itu sesuatu yang belum diketahui, maka tidak mungkin seseorang berhujjah atau berargumentasi dengan sesuatu yang belum diketahui.
Manusia tidak boleh beralasan dengan takdir atas kemaksiatan yang diperbuatnya. Kenapa? Karena secara syar’iyyah, Allah Azza wa Jalla tidak pernah menghendaki manusia kecuali kebaikan-kebaikan dan endingnya masuk Surga. Jadi, semua kemaksiatan haruslah disandarkan kepada manusia itu sendiri, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ النساء: 79
“Apa saja kebaikan yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja kejelekan yang menimpamu, maka dari dirimu sendiri… “(an-Nisaa’: 79)
1. Macam-Macam Takdir
a. Takdir azali
Takdir azali adalah ketetapan Allah untuk seluruh makhluknya sejak 50.000 tahun sebelum menciptakan langit dan bumi. Allah Azza wa Jalla berfirman:
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلا في أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذلِكَ عَلَى اللهِ يَسِيرُ الحديد: 22
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (lauh mahfudz) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu mudah bagi Allah” (QS. Al-Hadid: 22)
b. Takdir umuri
Takdir umuri adalah ketetapan Allah untuk seseorang ketika berupa janin berumur empat bulan di dalam rahim ibunya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
عَنْ زَيْدِ بْنِ وَهْبٍ ، قَالَ : سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بن مسعود رضي اللَّهُ عَنْهُ ، يَقُولُ : حَدَّثَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ الصَّادِقُ المَصْدُوقُ : إِنَّ خَلْقَ أَحَدِكُمْ يُجْمَعُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أرْبَعِينَ يَوْمًا نُطْفَةً ، ثُمَّ يَكُونُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ ، ثُمَّ يَكُونُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ ، ثُمَّ يَبْعَثُ اللَّهُ إِلَيْهِ الْمَلَكَ ، أَوْ قَالَ : يُبْعَثُ إِلَيْهِ الْمَلَكُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ ، فَيَكْتُبُ رِزْقَهُ ، وَعَمَلَهُ ، وَأَجَلَهُ ، وَشَقِيٌّ ، أَوْ سَعِيدٌ رواه البخاری و مسلم
“Dari Zaid bin Wahb, dia berkata: Saya mendengar Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau adalah Ash-Shodiqul Masdhuq (orang yang benar lagi dibenarkan perkataannya) bersabda: Sesungguhnya penciptaan sperma seseorang di antara kalian dikumpulkan di dalam perut ibunya selama 40 hari dalam bentuk nuthfah (bercampurnya sperma dan ovum), lalu menjadi ‘alaqoh (gumpalan darah) seperti itu juga, lalu menjadi mudhghoh (segumpal daging) seperti itu juga. Kemudian Allah mengutus kepadanya Malaikat atau beliau bersabda: Malaikat diutus kepadanya (untuk mencatat) empat perkara. Maka ditulislah rizkinya, amalnya, ajalnya, dan sengsara atau bahagianya” (HR. Bukharidan Muslim)
c. Takdir sanawi
Takdir sanawi adalah ketetapan Allah Azza wa Jalla setiap setahun sekali yaitu di malam lailatul qadar Dia ‘Azza wa :Jalla berfirman
فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ () أَمْرًا مِنْ عِنْدِنَا إِنَّا كُنَّا مُرْسِلِينَ الدخان: 4-6
“Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah. (yaitu) urusan yang besar dari sisi Kami. Sesungguhnya Kami adalah yang mengutus Rasul-Rasul” (QS. Ad-Dukhan: 4-6)
Dijelaskan dalam Tafsir Ibnu Katsir bahwa di malam Lailatul Qodar urusan yang penuh hikmah dirinci dari lauhul mahfudz berupa ajal, rizki dan lain-lain..
d. Takdir yaumi
Takdir yaumi adalah ketetapan harian dari Allah untuk seluruh makhluknya. Dia Azza wa Jalla berfirman:
كُلَّ يَوْمٍ هُوَ فِي شَأْنٍ الرحمن 29
“Setiap waktu Dia dalam kesibukan” (QS. Ar-Rahman:29)
Dijelaskan dalam Tafsir Ibnu Katsir, A’masy berkata dari Mujahid dari Ubaid bin Umair bahwa di antara kesibukan Allah adalah mengabulkan doa, memberi hamba yang meminta, menyembuhkan orang yang sakit.
Baik takdir umuri, sanawi atau yaumi semuanya merupakan kandungan dari takdir azali
J. Kelompok yang menyimpang dalam masalah takdir
1. Jabriyyah, suatu paham yang memandang bahwa perbuatan manusia itu nisbi bukan hakiki. Manusia itu diibaratkan seperti wayang yang tidak punya kehendak dan tidak bisa menciptakan perbuatan sendiri. Perbuatannya itu diciptakan oleh dalang. Demikian pula manusia, Perbuatannya itu diciptakan oleh Allah. Diantara dalil mereka adalah:
وَمَا رَمَيْتَ إِذْ رَمَيْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ رَمَى الأنفال: 17
“Bukanlah kamu (Muhammad) yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah lah yang melempar” (QS. Al-Anfal:17)
Dalam ayat ini, Allah Azza wa Jalla menyatakan bahwa Nabi tidak melempar ketika beliau melempar. Tetapi Allah lah yang sesungguhnya melempar. Maka ayat ini menunjukkan bahwa manusia secara mutlak tidak bisa menciptakan perbuatannya sendiri. Dari ini lahirlah pemahaman bahwa suatu balasan bukanlah hasil dari suatu perbuatan, karena perbuatan manusia itu dipaksakan bukan perbuatannya sendiri. Mereka mendasarkan pemahaman ini kepada Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « لا يَدْخُلُ أَحَدُكُمُ الجَنَّةَ بِعَمَلِهِ . قَالُوا وَلا أَنْتَ يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ وَلَا أَنَا إِلَّا أَنْ يَتَغَمَّدَنِي اللَّهُ مِنْهُ بِرَحْمَةٍ وَفَضْلٍ مسند أحمد
“Dari Abu Hurairah, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Tidaklah seseorang di antara kalian yang masuk Surga dengan amalannya. Mereka bertanya” Tidak pula engkau ya Rasulullah? Beliau menjawab: Tidak pula saya, kecuali jika Allah melimpahkan kepadaku rahmat dan karuniaNya” (Musnad Imam Ahmad)
2. Qodariyyah, ia kebalikan Jabriyyah yaitu suatu paham yang memandang bahwa manusia menciptakan perbuatannya sendiri secara mutlak dan tidak terkait sedikitpun dengan kehendak dan perbuatan Allah ‘Azza wa Jalla. Diantara dalilnya adalah firman Allah Azza wa Jalla:
فَتَبَارَكَ اللهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ المؤمنون: 14
“Mahasuci Allah, Pencipta yang paling baik” (QS.AL-Muminum: 14)
Dari ayat ini, Allah mensifati dirinya dengan “Ahsanul Khaliqin” yaitu Pencipta yang paling baik. Kekufuran dan kemaksiatan tidak termasuk ciptaan yang baik Maka Allah tidak menciptakan kekufuran dan kemaksiatan. Karena keduanya adalah kejelekan. Sementara perbuatan manusia tidak lepas dari kekufuran dan kemaksiatan, ini menunjukkan bahwa manusia menciptakan perbuatannya sendiri tidak terkait dengan kehendak dan perbuatan Allah. Jadi, suatu balasan itu tidak lain adalah hasil dari suatu perbuatan manusia, seperti orang yang bekerja lalu mendapatkan upah atas pekerjaannya. Allah berfirman:
جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ السجدة: 17
“Sebagai balasan atas apa yang mereka telah kerjakan” (QS. As-Sajdah: 17)
وَتِلْكَ الجَنَّةُ الَّتِي أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ الزخرف : 72
“Dan itulah Surga yang diwariskan kepadamu disebabkan amal perbuatan yang telah kamu kerjakan” (QS.Az- Zukhruf: 72)
Jelaslah, Allah menyatakan dalam nash bahwa Surga itu diraih karena amalan manusia.
K. Bantahan untuk Jabriyyah dan Qodariyyah
Jabariyyah tidak menjadikan amal sholeh sebagai sebab untuk meraih Surga, sebaliknya Qodariyyah menjadikan amal sholeh sebagai satu-satunya sebab secara mutlak untuk meraih Surga
Bantahan untuk Jabriyyah
Mereka menukil ayat sebagai dalil yang mendukung paham mereka. Namun, sesungguhnya dengan dalil yang sama hujjah mereka terpatahkan. Ayat tersebut adalah:
وَمَا رَمَيْتَ إِذْ رَمَيْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ رَمَى الأنفال: 17
“Bukanlah kamu (Muhammad) yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah lah yang melempar” (QS. Al-Anfal:17)
Sangat jelas, Allah menetapkan perbuatan Nabi yang berupa melempar Allah tidak menafikan atau meniadakannya. Pahamilah bahwa melempar itu ada start dan finish-nya. Start-nya adalah perbuatan melempar, dan finish-nya adalah tepat sasaran. Allah menetapkan start-nya (perbuatan melempar), tetapi Allah tidak menetapkan finish-nya (tepat sasaran). Karena finish-nya (tepat sasaran) adalah urusan Allah.
Dalil kedua yang mereka nukil adalah:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « لاَ يَدْخُلُ أَحَدُكُمُ الْجَنَّةَ بِعَمَلِهِ . قَالُوا وَلَا أَنْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ ولا أَنَا إِلَّا أَنْ يَتَغَمَّدَنِي اللَّهُ مِنْهُ بِرَحْمَةٍ مسند أحمد
“Dari Abu Hurairah, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Tidaklah seseorang di antara kalian yang masuk Surga dengan amalannya. Mereka bertanya” Tidak pula engkau ya Rasulullah? Beliau menjawab: Tidak pula saya, kecuali jika Allah melimpahkan kepadaku rahmat dan karuniaNya” (Musnad Imam Ahmad)
Makna huruf “BA” (الباء) pada kata kalimat “بعمله”adalah BA’iwadh (pengganti). Maksudnya adalah seperti contoh berikut ini: Saya punya uang Rp. 100,- maka bisa diganti dengan permen. Kalau Rp.1000,- bisa diganti dengan roti. Kalau Rp. 10.000,- bisa diganti dengan bakso sapi. Artinya seseorang itu masuk Surga dengan amalannya, dimana amalannya itu ditukar dan diganti dengan Surga, atau amalan adalah suatu nilai harga tertentu untuk membayar Surga. Pemahaman seperti inilah yang Nabi menafikannya dengan sabdanya “Tidaklah seseorang di antara kalian yang masuk Surga dengan amalannya”. Dan ini mustahil, karena jika seseorang berbuat baik dengan kadar kebaikan yang sangat maksimal pun tidak akan bisa menyamai tingginya nilai Surga. Jadi, seseorang masuk Surga itu dengan rahmat Allah. Amal shalehnya tidak lain adalah upaya untuk meraih rahmat Allah itu.
Untuk memudahkan pemahaman, saya ambilkan contoh dari real kehidupan kita. Misalnya secara umum pembantu rumah tangga di suatu daerah digaji per bulan dua juta. Tetapi, ada seorang pembantu yang digaji satu milyar. Apakah satu milyar yang didapatkan itu karena pekerjaannya atau karena kemurahan sang majikan? Jelas, tidak mungkin karena pekerjaannya. bersambung……
Judul buku : Memahami Takdir
Penulis : Muhammad Nur Yasin Zain, Lc.Hafizhahullah
(Pengasuh Pesantren Mahasiswa Thaybah Surabaya)