Solusi Investasi Akhirat Anda

Kembali Kepada Fithrah

Assalamu’alaikum wa Rahmatullah wa Barakatuh

Segala puji bagi Allah yang telah memberikan nikmat Islam kepada kita sehingga kita bisa berislam sejak kita lahir, sementara banyak juga orang yang tidak tahu cara untuk mencari Islam dan tidak punya hasrat untuk belajar Islam, atau bahkan benci setengah mati dengan Islam.

Mengapa kita perlu bersyukur? Karena Islam adalah fithrah kita. Sejak kita di dalam kandangan ibu, hingga kita lahir, kita sudah beragama Islam. Jadi Islam adalah fithrah kita semenjak lahir. Mengikuti Islam, berarti kita mengikuti fithrah kita. Menolak Islam, berarti kita menolak fithrah kita.

Padahal fithrah adalah kondisi di mana seluruh komponen tubuh jasmani maupun rohani kita suci dari kotoran apapun, fisik maupun nonfisik. Mengikuti Islam, diri kita akan suci, berbanding lurus dengan seberapa jauh tingkat pengamalan kita terhadap ajaran-ajaran Islam.

Alhamdulillah, majalah Fithrah edisi perdana dapat hadir di hadapan Anda. Semoga kehadiran edisi perdana ini mampu menginspirasi kita untuk meningkatkan keislaman kita. Dan semoga edisi perdana ini menjadi awal yang baik bagi terjalinnya hubungan antara kami, Yayasan Nida’ul Fithrah dengan para donatur, juga para penerima infaq. Kami sadar banyak sekali kekurangan di edisi perdana ini, karena kami masih mencari format yang terbaik. Semoga ke depan semakin baik.

Tepat sekali redaksi Majalah DONATUR (MD) Fithrah mengawali edisi perdananya dengan tajuk “Kembali Kepada Fithrah” karena di samping memasyarakatkan kembali nama Yayasan Nida’ul Fithrah (YNF) juga menjadi semacam panduan bagi MD Fithrah ini menapaki edisi-edisi ke depan yang semoga sebagaimana namanya senantiasa berada di atas fithrah dan seruan utamanya juga fithrah.

Secara pribadi, kami merasa sangat senang dengan hadirnya MD Fithrahini. Kami menaruh harapan besar kepada MD Fithrah semoga mampu menjadi media komunikasi segitiga, antara donator dengan penerima donasi dan dengan kami, YNF.

Insya Allah, MD Fithrah akan menginspirasi para pembaca untuk meningkatkan simpati kepada Islam dan kaum muslimin untuk bersama-sama kembali kepada fithrah, yaitu tauhid dan sunnah. MD Fithrah disusun atas pertimbangan kondisi global sehingga insya Allah MD Fithrah akan dapat mengkafer semua kalangan dan semua lini.

Mengawali majalah ini, kami ingin menyampaikan jazakumullahu khairan katsiran kepada semua pihak yang telah ikut andil mulai proses persiapan hingga penyebaran. Kami juga ingin meminta dukungan dari semua pihak. Kami tak lupa mengucapkan syukran kepada para donator. Terakhir, kami mewakili dewan redaksi meminta maaf atas kekurangan di sana-sini. Kami mengundang partisipasi pembaca untuk memberikan saran dan kritik yang konstruktif.

Islam adalah Fithrah kita. Kita lahir dalam keadaan Islam. Kembali kepada fithrah, berarti kembali kepada Islam.

Allah berfirman,

فَأَقِمْ وَجْهَكَ للدِّينِ حَنِيفًا فِطرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تبديل لخلق الله ذلك الدِّينُ الْقَيِّمُ ولَكنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

“Hadapkanlah wajahmu dengan lurus pada agama (Allah), (tetaplah atas) fithrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fithrah itu. Tidak ada perubahan atas fithrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” [QS. Ar-Rum (30): 30]

Hadapkanlah wajahmu dengan lurus pada agama.

Kata agama bermakna din al-Islâm. Hanif, maknanya cenderung pada jalan lurus yaitu jalan kebenaran dan meninggalkan jalan-jalan kesesatan. Penggalan firman Allah ini memberikan faedah, setiap yang mengikrarkan diri sebagai muslim wajib untuk menghadapkan wajah pada Islam dengan pandangan lurus; tidak menoleh ke kiri atau ke kanan, tidak condong pada agama-agama lain yang batil dan menyimpang, tidak boleh mengikuti Nashrani, Yahudi, Hindu, Budha, Konghuchu, Shinto, Baha’i, Syiah, Zoroaster, dan sebagainya, tidak boleh pula mencampurkan Islam dengan agama-agama lainnya. Penggalan firman Allah ini menyeru setiap muslim untuk sepenuhnya hanya menerima Islam dan menolak agama lain, sedikit pun tidak terpengaruh oleh agama lain.

Tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.

Fithrah berarti al-khilqah (naluri, pembawaan) dan ath-thabi’ah (tabiat, karakter) yang diciptakan Allah pada manusia. Kata fithrah Allah berarti kecenderungan dan kerelaan manusia untuk menganut agama yang haq. Allah menciptakan manusia dengna fithrah untuk cenderung pada tauhid dan din al-Islâm sehingga manusia tidak bisa menolak dan mengingkarinya. Bisa pula dimaknai dengan Islam dan Tauhid. Ditafsirkannya kata fithrah dengan Islam karena untuk fithrah itulah manusia diciptakan.

Allah berfirman,”Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah (kepada-Ku semata).” [QS. Adz-Dzariyat (51):56]

Kata fithrah Allah berkedudukan sebagai maf’ûl bih (obyek) dari fi’il (kata kerja) yang tersembunyi, yaitu ilzamů (tetaplah) atau ittabi’ü (ikutilah). Dengan kata lain, manusia diperintahkan untuk mengikuti fithrah Allah. Maka fithrah yang dimaksudkan tentu tidak cukup hanya sebatas keyakinan fithri (naluri suci) tentang ketuhanan atau kecenderungan pada tauhid. Fithrah di sini harus diartikan sebagai akidah tauhid atau din al-Islam itu sendiri. Ini sama seperti firman Allah, “Tetaplah kamu pada jalan yang benar sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang-orang yang telah taubat beserta kamu.” [QS. Hud (11): 112]

Tidak ada perubahan atas fithrah Allah.

Ibnu Abbas, Ibrahim an-Nakha’i, Said bin Jubair, Mujahid, Ikrimah, Qatadah, adh-Dhahak, dan Ibnu Zaid, semuanya berpandangan, li khalqillah maksudnya adalah li dînillâh. Karena kata fithrah sepadan dengan kata al-khilqah.

Allah menetapkan, tidak ada perubahan bagi agama Islam yang diciptakan-Nya untuk manusia. Maka tidak ada satupun manusia yang berhak mengubah agama-Nya atau menggantikannya dengan agama lain. Menurut sebagian mufassir, sekalipun berbentuk khabar nafi (berita yang menafikan), kalimat ini memberikan makna thalab nahi (tuntutan untuk meninggalkan). Jadi, penggalan ayat tersebut maknanya, “Janganlah kamu mengubah ciptaan Allah dan agamanya dengan kemusyrikan; janganlah mengubah fithrahmu yang asli dengan mengikuti syaithan dan jalan-jalan yang dibuat oleh syaithan untuk menuju kesesatan; dan kembalilah pada agama fithrah, yakni agama Islam.”

Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.

Kata al-qayyum merupakan bentuk mubalaghah dari kata al-qiyâm (lurus). Allah Swt. menegaskan, perintah untuk mengikuti agama tauhid dan berpegang teguh pada syariah dan fitrah yang sehat itu adalah agama yang lurus; tidak ada kebengkokan dan penyimpangan di dalamnya.

Dari sini, kita mengambil pelajaran, jika seorang anak manusia mau jujur mendengarkan kata fithrah, seharusnya tidak ada akan ada rasa keberatan sama sekali untuk memeluk dan mengamalkan Islam. Sebaliknya, dia akan merasa berat dan susah ketika harus keluar dari Islam atau meninggalkannya. Para mufassir menafsirkan kata fithrah Allâh dengan kecenderungan pada akidah tauhid dan Islam, bahkan Islam itu sendiri. Selain ayat ini, kesesuaian Islam dengan fitrah manusia juga dapat terlihat pada beberapa fakta berikut:

Pertama: adanya gharizah at-tadayyun (naluri beragama) pada diri setiap manusia. Bagaimanapun keadaan manusia, ketika ia mendengarkan nuraninya, pasti ia mengakui kelemahan dirinya. Ia akan selalu merasa membutuhkan sesuatu yang bisa membantunya dalam hidup ini yang itu bukan sesuatu yang biasa, melainkan sesuatu yang agung, mulia, tinggi, besar, yang berhak untuk disembah dan dimintai pertolongan.

Kedua: dengan akal yang diberikan Allah pada setiap manusia, ia mampu memastikan adanya Tuhan, Pencipta alam semesta dan segala sesuatu. Sebab, keberadaan alam semesta yang lemah, terbatas, serba kurang, dan saling membutuhkan pasti merupakan sesuatu yang diciptakan. Hal itu memastikan adanya al-Khaliq yang menciptakannya.

Lebih jauh, akal manusia juga mampu memilah dan memilih agama yang benar. Agama batil akan dengan mudah diketahui dan dibantah oleh akal manusia. Sebaliknya, argumentasi agama yang haq pasti tak terbantahkan.

Jadi, secara fithrah manusia membutuhkan sebuah agama yang haq, agama yang menenteramkan perasaan sekaligus memuaskan akal. Islamlah satu-satunya yang haq. Islam dapat memenuhi dahaga naluri beragama manusia dengan benar sehingga menenteramkannya. Islam juga memuaskan akalnya dengan argumentasi-argumentasinya yang kokoh dan tak terbantahkan.

Dengan demikian, Islam benar-benar sesuai dengan fithrah dan tabiat manusia. Karena begitu sesuainya, An-Nasafi dan Az-Zamakhsyari menyatakan, “Seandainya seseorang meninggalkan Islam, mereka tidak akan bisa memilih selain Islam menjadi agamanya.” [/B]

Allah berfirman, “Barangsiapa dikehendaki Allah akan mendapat hidayah (petunjuk), Dia akan membukakan dadanya untuk (menerima) Islam. Dan barangsiapa dikehendaki-Nya menjadi sesat, Dia jadikan dadanya sempit dan sesak, seakan-akan dia (sedang) mendaki ke langit. Demikianlah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.” [Al-An’am: 125] Lihat juga Az- Zumar ayat 22.

Orang yang tidak mendapat hidayah akan senantiasa berada dalam kegelapan dan kerugian. Bagaimana jika seandainya seseorang tidak diberi hidayah oleh Allah? Maka pasti ia menderita dalam kekafirannya, hidupnya sengsara dan tidak tenteram, serta di akhirat akan disiksa dengan siksaan yang abadi. [Lihat surat Ali ‘Imran ayat 91 dan al-Maidah ayat 36-37]

Allah menunjuki hamba-Nya dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang melalui Rasul-Nya. Kewajiban kita adalah mengikuti, meneladani dan mentaati Rasulullah dalam segala perilaku kehidupan kita, jika kita menginginkan hidup di bawah cahaya Islam.

Allah menyatakan bahwa Dia telah memberikan karunia yang besar dengan diutusnya Nabi dan Rasul-Nya. Simak Ali ‘Imran ayat 164.

Setiap muslim niscaya meyakini bahwasanya karunia Allah yang terbesar di dunia ini adalah agama Islam. Seorang muslim akan senantiasa bersyukur kepada Allah yang telah memberinya petunjuk ke dalam Islam dan mengikuti ajaran Nabi Muhammad. Allah sendiri telah menyatakan Islam sebagai karunia-Nya yang terbesar yang Dia berikan kepada hamba-hamba-Nya. Allah berfirman, “Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu.” [Al-Maidah: 3]

Sesungguhnya wajib bagi kita bersyukur kepada Allah dengan cara melaksanakan kewajiban terhadap- Nya. Setiap muslim wajib bersyukur atas nikmat Islam yang telah diberikan Allah kepadanya. Jika seseorang yang tidak melaksanakan kewajibannya kepada orang lain yang telah memberikan sesuatu yang sangat berharga baginya, maka ia adalah orang yang tidak tahu berterima kasih. Demikian juga jika manusia tidak melaksanakan kewajibannya kepada Allah Azza wa Jalla, maka dia adalah manusia yang paling tidak tahu berterima kasih. Renungi Al-Baqarah ayat 152.

Kewajiban apakah yang harus kita laksanakan kepada Allah yang telah memberikan karunia-Nya kepada kita? Jawabannya, karena Allah telah memberikan karunia-Nya kepada kita dengan petunjuk ke dalam Islam, maka bukti terima kasih kita yang paling baik adalah dengan beribadah hanya kepada Allah secara ikhlas mentauhidkan Allah menjauhkan segala bentuk kesyirikan, ittiba’ (mengikuti) Nabi Muhammad serta taat kepada Allah dan Rasul-Nya, yang dengan hal itu kita menjadi muslim yang benar.

Oleh karena itu, agar menjadi seorang muslim yang benar, kita harus menuntut ilmu syar’i. Kita harus belajar agama Islam karena Islam adalah ilmu dan amal shalih. Rasulullah diutus oleh Allah dengan membawa keduanya. Allah berfirman, “Dia-lah yang telah mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk (Al-Qur-an} dan agama yang benar untuk diunggulkan atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai.” [At-Taubah: 33] Juga lihat Al-Fat-h ayat 28 dan Ash-Shaff ayat 9. Lebih dari itu, seorang muslim tidaklah cukup hanya dengan menyatakan keislamannya tanpa memahami dan mengamalkannya.

Penulis : Muhammad Nur Yasin Zain, Lc. Hafizhahullah
(Pengasuh Pesantren Mahasiswa THAYBAH Surabaya)

Majalah Bulan Juli, 2012 Edisi 1