Solusi Investasi Akhirat Anda

Buta Yang Tidak Buta

Ingatkah Anda tentang sosok Abdullah bin Ummi Maktum? Dia adalah seorang sahabat nabi yang buta matanya, tetapi tidak demikian hatinya. Allah ‘azza wa jalla telah menggantikan kebutaan matanya dengan cahaya pandangan di hatinya. Dia menjadi sandaran para Sahabat tentang masuknya waktu Shubuh. Juga pada bulan Ramadhan menjadi sandaran mereka tentang waktu sahur.

Rasulullah bersabda, “Makan dan minumlah kalian hingga Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan azan” (HR. Bukhari). Dia juga dipercaya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menggantikan beliau menjadi imam shalat ketika beliau pergi berperang. Koq…bisa demikian padahal dia seorang yang buta? Buta mata bukanlah penghalang. Cahaya pandangan di hatinya telah menghantarkannya menjadi orang yang istiqomah. Adakah kita yang mengikuti jejaknya? Dia seorang yang buta tapi bisa istiqomah.

Lalu bagaimana dengan kita yang sehat alias normal fisik? Maukah kita disebutkan “Melek yang buta?” Allahu al-Musta’an.

Para ulama menyatakan Istiqomah itu termasuk karomah. Karomah adalah mukjizat. Bedanya kalau mukjizat terjadi pada nabi-nabi, kalau karomah terjadi pada wali-wali Allah. Para sahabat tentunya para wali Allah, karena mereka adalah orang-orang shaleh dengan tingkat keshalehan yang sangat tinggi. Namun, apakah karomah tampak pada setiap diri mereka. Tidak. Karomah hanya tampak pada sebagian mereka saja. Tapi secara umum istiqomah ada pada mereka semuanya. Sebagai contoh: Para sahabat menghatamkan al-Qur’an dalam tujuh hari yang paling cepat tiga hari, Abu Hurairah senantiasa shalat witir sebelum tidur demikian pula Abu Bakar, karena mengkhawatirkan tidak bisa bangun malam. Jabir bin Abdullah selalu ikut perang bersama nabi, kecuali dalam perang Uhud, setelah ayahnya wafat ia selalu ikut perang bersama nabi.

Abdullah bin Amr bin al- Ash gemar berpuasa hingga akhirnya nabi menegur bahwa puasa sunnah yang paling afdhal adalah puasa Daud. Utsman bin Affan gemar bershadaqoh bahkan ada wakafnya yang sampai sekarang dimanfaatkan dan menghasilkan keuangan yang sangat besar bagi kaum muslimin yaitu sumur Raumah di Madinah yang dibeli dari orang Yahudi.

Uways al-Qorni (seseorang yang hidup pada zaman nabi tetapi belum sempat bertemu beliau) beristiqomah dalam merawat ibunya hingga meninggal dunia. Itulah sekilas tentang para sahabat yang tidak diragukan lagi keistiqomahan nya. Jangankan mereka, generasi yang mendapat pendidikan langsung dari Rasulullah, padahal manusia yang hidup sekarang saja ketika saya bersama beliau selama 18 bulan, melihat tindak-tanduk dan keputusannya saya selalu membayangkan zaman sahabat.

Betapa beliau dalam pandangan dan kesan saya sebagai orang yang sangat istiqomah dalam kebaikan. Beliau adalah Petta Lanre Sa’id yang pernah saya kisahkan pada rubrik kisah dengan judul “Tangan Lembut Sang Petta” edisi XII Rajab 1434 H/Juni 2013.

Beliau mengasuh pesantren selama 25 tahun (tahun 1999, ketika saya di sana) dengan santri 400 orang. Tapi semuanya digratiskan mulai dari kebutuhan harian; makan dan minum, buku-buku pelajaran, mushaf al-Qur’an, SPP sekolah, berobat di rumah sakit dan lain-lain. Padahal beliau sendiri bukan orang berpunya dan harus menafkahi anak istrinya.

Beliau rela memperjuangkan pembangunan pesantren dengan bangunan-bangunan modern yang kokoh (baca: bangunan dari batu) sementara rumah beliau sendiri terbuat dari kayu dengan atap daun rumbia. Kalau hujan deras, bocor di sana-sini. Kalau angin kencang, atap-atap berterbangan. Rata-Rata pengeluaran per bulan 16 juta rupiah.

Keuangan memang didapatkan dari para donatur, tetapi bukan berarti jalannya mulus tanpa kendala. Sering sekali beras dan lauk pauk kehabisan sehingga santri seharian tidak makan dan baru makan jam 9 malam. Tapi hal itu tidak menjadikan beliau putus asa yang akhirnya membubarkan pesantren.

Beliau sering sekali pontang panting mencari pinjaman uang dan beras demi santri-santrinya. Suatu ketika beliau kedatangan tamu konglomerat tersohor untuk bertanya-tanya tentang kondisi pesantren. Dia pun meniru dengan mendiri kan pesantren gratis. Tapi, hanya berjalan sekitar tiga bulan. Kenapa? Allahu A’lam, yang jelas letak permasalahannya ada pada “istiqomah”.

Allah ‘azza wa jalla berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang berkata: Tuhan kami adalah Allah kemudian mereka beristiqomah, maka malaikat-malaikat akan turun kepada mereka (dengan berkata): “Janganlah kalian merasa takut dan janganlah kalian bersedih hati, dan bergembiralah dengan (memperoleh) Surga yang telah dijanjikan untuk kalian. Kami (para malaikat) adalah pelindung-pelindung kalian dalam kehidupan dunia dan Akherat, di dalamnya (Surga) kalian memperoleh apa yang kalian inginkan dan memperoleh apa yang kalian minta. Sebagai penghormatan (bagi kalian) dari (Allah) Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang” (Qs. Fush- ilat: 30-32)

Maksud ayat di atas adalah orang yang berikrar bahwa Tuhannya adalah Allah lalu beristiqomah dengan semua konsekwensi-konsekwensinya maka malaikat secara bergantian akan turun kepadanya ketika dia dalam keadaan gelisah, takut, dan keadaan-keadaan lain yang membutuhkan pertolongan dan perlindungan.

Mereka mengatakan kepadanya “jangan takut dan jangan bersedih” terlebih ketika sedang sakaratul maut. Malaikat akan mengatakan “janganlah takut terhadap apa yang akan engkau hadapi dan janganlah bersedih atas kenikmatan-kenikmatan duniawi yang tidak kalian dapatkan, bergembiralah dengan Surga sebagai gantinya yang telah dijanjikan untuk kalian”.

Para malaikat juga menjadi penolong dan pelindung orang-orang yang istiqomah ketika di dunia, dengan menguatkan dan membantu mereka. Demikian pula ketika di Akherat, para malaikat akan menyambut mereka dengan mengatakan: “Inilah hari yang telah dijanjikan kepada kalian, dan apa saja yang kalian inginkan pasti terpenuhi tak ada yang terlewatkan dan keberadaannya di dalam Surga tanpa batas usia. Semuanya itu adalah perjamuan dari Allah ‘azza wa jalla untuk kalian”. Subhanallah.

Di antara upaya untuk bisa istiqomah adalah tidak berlebih-lebihan di dalam suatu amalan agar tidak merasa terpaksa, kelelahan yang bisa menimbulkan kejenuhan atau kebosanan yang akhirnya bisa meninggalkan amalan tersebut.

Berbuatlah secara sederhana (tidak berlebih-lebihan juga tidak meremehkan) sehingga bisa menikmatinya di dalam menjalan- kannya, inilah yang bisa menjadikannya istiqomah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Sesungguhnya amalan yang paling dicintai Allah Ta’ala adalah yang berkelanjutan (terus-menerus) meskipun sedikit(HR. Bukhari dan Muslim).

Tetapkanlah amalan yang mungkin di istiqomahi yang sifatnya harian, contoh: shalat sunnah rawatib 10 atau 12 rakaat, disebutkan dalam hadits nabi: “Tidaklah seorang hamba muslim shalat sunnah 12 rakaat setiap hari karena Allah, selain shalat fardhu, melainkan Allah akan membangunkan untuknya satu rumah di surga(HR. Muslim), berinfaq setiap kali memu- lai aktivitas, “Tidak satu hari pun di mana pada pagi harinya seorang hamba ada padanya melainkan dua Malaikat turun kepadanya, salah satu di antara keduanya berkata: Ya Allah, berikanlah ganti bagi orang yang berinfak.’ Dan yang lainnya berkata: Ya Allah, hancurkanlah (harta) orang yang kikir” (HR. Bukhari dan Muslim), membaca al-Qur’an satu halaman, menuntun anak menghapal 1 ayat al-Qur’an. Yang sifatnya mingguan, contoh: membaca surat al- Kahfi di hari Jum’at, berinfak setiap kali berangkat shalat jum’at, mengi- kuti kajian tafsir. Yang sifatnya bulanan, contoh: mengunjungi orang muslim yang sakit di rumah sakit-rumah sakit, mengunjungi panti asuhan, mentraktir anak-anak dhuafa, berinfaq di YNF dan lain-lain.

Janganlah berhenti dari keistiqomahan. Allah ‘azza wa jalla berfirman: “Janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat menjadi cerai-berai kembali(An-Nahl: 92). Nabi menegur seorang sahabat, Abdullah bin Amr bin al-Ash untuk selalu is- tiqomah:

“Wahai Abdullah, janganlah kamu seperti si fulan, dahulu ia shalat malam lalu ia mening- galkannya(HR. Bukhari dan Muslim).

Nabi shallallahu alaihi wa sallam senantiasa memotivasi ummatnya untuk istiqomah di atas kebaikan, untuk tujuan itu beliau memerintahkan agar beberapa amalan yang bisa diqodho (baca: diganti) maka diqodho. Beliau bersabda: “Barangsiapa tertidur di malam hari dan tidak mengerjakan suatu ibadah yang dibiasakan pada dirinya, atau tidak membaca beberapa bacaan darinya, lalu dia membacanya pada waktu antara shalat shubuh dan shalat dzuhur, maka ditetapkan baginya seakan-akan dia membacanya pada waktu malam(HR. Muslim).

Beliau bersabda: “Barangsiapa yang tertidur tidak melakukan shalat witir atau lupa belum melakukannya, maka hendaklah ia shalat witir di waktu shubuh atau ketika ia ingat”. (HR. Abu Daud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Imam Ahmad).

Tentang hadits ini Syaikh Abdullah Albassam menjelaskan dalam kitab Taudhihul Ahkam Min Bulughil Maram bahwa orang yang tertidur sehingga bangunnya sudah memasuki waktu shubuh maka waktu shalat witirnya ketika bangun itu. Juga orang yang lupa belum witir sementara waktunya sudah habis atau sudah memasuki waktu shubuh maka waktu witirnya itu ketika ia ingat meskipun waktu shalat witir sudah berlalu. Aisyah radhiyallahu ‘anha memberitakan apa yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa jika beliau tidak mengerjakan shalat pada suatu malam karena sakit atau alasan lainnya, maka beliau mengerjakan shalat 12 rakaat pada siang harinya” (HR. Muslim). Sekali lagi nash-nash di atas memotivasi kita untuk meng-istiqomah-I amalan-amalan yang sudah kita biasakan melakukannya. Allahu Alam

Penulis : Muhammad Nur Yasin Zain, Lc. Hafizhahullah
(Pengasuh Pesantren Mahasiswa THAYBAH Surabaya)

Majalah Bulan Oktober, 2014 Edisi 28