Setiap manusia pasti berbuat salah, dan sebaik-baiknya yang berbuat salah adalah yang bertaubat. Demikian makna hadits Nabi ﷺ. Katagori kesalahan atau dosa manusia dibagi menjadi tiga:
- Kufur dan syirik
- Dosa besar
- Dosa kecil
Katagori pertama cara taubatnya dengan keimanan (baca: masuk Islam). Katagori kedua dan ketiga cara taubatnya dengan memenuhi lima perkara, yaitu: Ikhlas semata-mata karena Allah dan tidak terpaksa, Penyesalan atas dosa yang telah diperbuatnya, Adanya tekad untuk tidak pernah mengulanginya, Merealisasikan tekadnya, Dilakukan ketika belum sakaratul maut atau sebelum matahari terbit dari barat.
Allah At-Tawwab bergembira dengan taubatnya seorang hamba. Nabi ﷺ bersabda: “Sesungguhnya Allah sangat gembira dengan taubat hamba-Nya ketika ia bertaubat pada-Nya melebihi kegembiraan seseorang di antara kalian yang berada di atas hewan tunggangannya dan berada di suatu tanah yang luas (padang pasir), kemudian hewan yang ditungganginya lari meninggalkannya. Padahal di hewan tunggangannya itu ada perbekalan makan dan minumnya. Sehingga ia pun menjadi putus asa. Kemudian ia mendatangi sebuah pohon dan tidur berbaring di bawah naungannya dalam keadaan hati yang telah berputus asa. Tiba-tiba ketika ia dalam keadaan seperti itu, kendaraannya tampak berdiri di sisinya, lalu ia mengambil ikatnya. Karena sangat gembiranya, maka ia berkata, ‘Ya Allah, Engkau adalah hambaku dan aku adalah Rabb-Mu.’ la telah salah mengucapkan karena sangat gembiranya.” (HR. Muslim).
Allah al-Ghofur mudah mengampuni dosa para hamba sebesar apapun dosanya, meskipun sebesar gunung, sebanyak apapun meskipun sebanyak pasir di padang pasir, firmanNya: “Katakanlah, ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang’ (QS.Az-Zumar:53). Lihatlah kisah tentang seorang yang membunuh 100 orang lalu matinya khusnul khotimah. Kisah ini disampaikan oleh Rasulullah ﷺ : “Dahulu, di zaman orang-orang sebelum kalian, ada seorang laki-laki yang telah membunuh 99 jiwa. Dia pun bertanya tentang orang yang paling alim di muka bumi ketika itu, lalu ditunjukkan kepadanya tentang seorang rahib (pendeta, ahli ibadah). Maka dia pun mendatangi rahib tersebut lalu mengatakan bahwa sesungguhnya dia telah membunuh 99 jiwa, apakah ada taubat baginya? Ahli ibadah itu berkata: “Tidak.” Seketika laki-laki itu membunuhnya. Maka dia pun menggenapi dengan itu (membunuh rahib) menjadi 100 jiwa. Kemudian dia menanyakan apakah ada orang yang paling alim di muka bumi ketika itu? Lalu ditunjukkanlah kepadanya tentang seorang yang berilmu. Maka dia pun mengatakan bahwa sesungguhnya dia telah membunuh 100 jiwa, apakah ada taubat baginya? Orang alim itu berkata: “Ya. Siapa yang menghalangi dia dari taubatnya? Pergilah ke daerah ini dan ini. Karena sesungguhnya di sana ada orang-orang yang senantiasa beribadah kepada Allah, maka beribadahlah kamu kepada Allah bersama mereka. Dan jangan kamu kembali ke negerimu, karena negerimu itu adalah negeri yang buruk/jahat.”Maka dia pun berangkat. Akhirnya, ketika tiba di tengah perjalanan datanglah kematian menjemputnya, (lalu dia pun mati). Maka berselisihlah malaikat rahmat dan malaikat azab tentang dia. Malaikat rahmat mengatakan: “Dia sudah datang dalam keadaan
bertaubat, menghadap kepada Allah dengan sepenuh hatinya.”Sementara malaikat azab berkata: “Sesungguhnya dia belum pernah mengerjakan satu amalan kebaikan sama sekali.”Datanglah seorang malaikat dalam wujud seorang manusia, lalu mereka jadikan dia (sebagai hakim pemutus) di antara mereka berdua. Maka kata malaikat itu: “Ukurlah jarak antara (dia dengan) kedua negeri tersebut. Maka ke arah negeri mana yang lebih dekat, maka dialah yang berhak membawanya.”Lalu keduanya mengukurnya, dan ternyata mereka dapatkan bahwa orang itu lebih dekat kepada negeri yang diinginkannya. Maka malaikat rahmat pun segera membawanya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Beruntunglah si pembunuh itu, dia telah membunuh 100 orang tetapi matinya bersama malaikat rahmat. Apa rahasianya? Rahasianya tidak lain adalah bahwa dia telah bertaubat nasuha.
Orang yang melakukan maksiat, perbuatan keji, dan perbuatan dosa apapun baik disengaja atau tidak disengaja berada dalam kebodohon. Mereka baru terbebas dari kebodohon jika telah bertaubat. Demikian penjelasan Imam Mujahid (seorang ulama Tabi’in murid Ibnu Abbas) tentang surat An-Nisa: 17: “Sesungguhnya bertaubat kepada Allah itu hanya pantas bagi mereka yang melakukan kejahatan karena kebodohan, kemudian segera bertaubat. Taubat mereka itulah yang diterima Allah. Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana”. Bagaimana mungkin Allah, Dialah yang menciptakan kita, memenuhi segala kebutuhan, melapangkan kesulitan dan kita berharap agar kembali kepadaNya dengan memasuki SurgaNya…lantas kita melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak diridhoiNya. Sungguh ini adalah puncak kebodohan!!!
Jika dosa yang dilakukan seseorang berkaitan dengan hak manusia, seperti: mencuri, ghibah
(membicarakan aib orang), menfitnah, mencaci-maki dan lain sebagainya maka dia tidak bisa bertaubat langsung kepada Allah hingga meminta maaf atau meminta halal terlebih dahulu kepada pihak yang bersangkutan.
Janganlah seseorang yang berdosa menunda-nunda taubatnya. Tidak takutkah dia jika dicabut
nyawanya dalam keadaan belum bertaubat. Sementara malaikat Malakul maut mencabut nyawa kapan saja tanpa memberitahu terlebih dahulu. Tidak bisakah menjadi pelajaran baginya berita tentang orang yang dicabut nyawanya dalam keadaan sedang pacaran, mencuri, menikmati harta riba, mendengarkan musik, durhaka kepada orang tuanya, safar untuk ngalap berkah di kuburan yang dikeramatkan…!!! Na’udzu billah min dzalik. Segeralah bertaubat sebagaimana Fudhail bin ‘lyadh sang perampok yang akhirnya menjadi ulama besar. Proses taubatnya sungguh sangat spektakuler, ketika sedang memanjat tembok untuk mengintip wanita yang disukainya terdengarlah ayat: “Bukankah telah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka mengingat Allah?” (QS. Al- Hadid:16). Begitu dia mendengar lantunan ayat ini, diapun langsung bergumam:”Tentu saja wahai Rabbku. Sungguh telah tiba saatku (untuk tunduk hati mereka mengingat Allah).” Fudhail pun kembali (tidak melanjutkan keinginannya), dan beristirahat di sebuah bangunan rusak. Tiba-tiba datang sekelompok rombongan yang sedang lewat. Sebagian anggota rombongan itu berkata: “Kita jalan terus,” sementara yang lain berkata: “Kita istirahat saja sampai pagi, karena si Fudhail berada di arah jalan kita ini, dan dia akan menghadang dan merampok kita.” Mendengar hal ini, Fudhail-pun merenung: ‘Aku sedang melakukan kemaksiatan di malam hari (mengintip sang wanita) sementara kaum muslimin di sini ketakutan karenaku (khawatir Fudhail akan menghadang mereka), dan menurutku tidaklah Allah menggiringku kepada mereka ini melainkan agar aku berhenti (dari kemaksiatan). Ya Allah, sungguh aku telah bertaubat kepada-Mu dan aku jadikan taubatku itu dengan tinggal di Baitul Haram’.”
Subhanallah…
Penulis : Muhammad Nur Yasin Zain, Lc. Hafizhahullah
(Pengasuh Pesantren Mahasiswa THAYBAH Surabaya)
Majalah Bulan Juni, 2014 Edisi 24