Solusi Investasi Akhirat Anda

Awal Mula Babat Alas

Ahad, 29 Muharram 1425 H/ 21 Maret 2004 M adalah hari pertama saya menghirup udara Pesantren Mahasiswa THAYBAH. Ini bertepatan dengan diresmikannya pesantren oleh MUI Jatim. Betapa mengagetkan, melihat kondisi pesantren. Terpencil, di tengah petambakan, dan jauh dari pemukiman. Memang ia dibangun di atas tambak yang baru saja diurug. Di depannya, hamparan tanah bekas tambak yang baru saja diurug juga. Belum ada bangunan kecuali dua rumah yang sudah dihuni. Empat bangunan lainnya rumah contoh yang tidak berpenghuni. Di depannya lagi hamparan tambak sangat luas bersambung sampai ke laut, Nampak sebagiannya sudah tidak produktif. Di sebelah kiri pesantren hamparan pohon bakau yang bersambung dengan tambak-tambak sampai laut. Sebelah kanannya hamparan tanah kosong yang bersambung dengan perkampungan pinggir sungai. Dan, di belakang pesantren hamparan tambak yang sebagian besarnya masih produktif.

Pesantren dengan enam ruang tidur yang bangunannya belum selesai kecuali baru lantai pertamanya ini mengelilingi masjid yang ada di tengah-tengahnya. Masjidnya tebuka seperti pendopo kelurahan. Seringkali orang yang singgah untuk shalat ragu-ragu, dikiranya bukan masjid. Tidak jarang yang urung, tidak jadi shalat di situ. Lampu penerangannya sering “byar pet….byar pet” (baca: sering mati). Mungkin karena mengambil salurannya dari rumah warga yang cukup jauh dan dayanya kecil. Nyamuknya sangat banyak. Orang bilang biasanya umumnya masjid berhamparan karpet. Tapi masjid Thaybah berhamparan nyamuk di atas lantai putih bak hamparan karpet hitam. Sekali Anda memukulkan tangan ke lantai, niscaya tangan Anda akan berlumuran darah. Kalau shalat khususnya waktu Maghrib, kami menggunakan lotion anti nyamuk. Tapi subhanallah, kayaknya tidak berfungsi. Nyamuk masih tetap menggigit. Mungkin karena saking banyaknya.

Jaringan PDAM belum masuk. Pesantren mengandalkan air sumber yang sangat asin. Paling-paling digunakan untuk berwudhu. Karena kalau digunakan untuk mandi dan mencuci baju, sabun tidak akan berbusa. Malah membikin lengket di badan dan merusak baju. Pager besi sudah terpasang memageri komplek pesantren, tetapi belum berpintu. Sebagai gantinya, ketika hari mulai malam papan triplek dipasang dengan cara diganjal. Suasananya sangat sunyi, tidak terdengar apapun kecuali suara kodok, jangkrik, dan hewan-hewan lainnya.

Awal kedatangan di pesantren ini bersama ayah dan istri kami membawa perabotan rumah tangga seperlunya.; 1 panci, 1 wajan, 1 termos, beberapa piring, gelas, sendok ditambah beberapa helai baju dan beberapa kitab. Meskipun sederhana, tetapi cukup repot. Karena jarak cukup jauh dan berganti-ganti kendaraan. Kami berangkat dari rumah ba’da shalat Isya naik angkot. Bus baru melaju dari pool-nya di Tegal sekitar pukul 22.00. Setelah berganti bus, dari terminal Solo kami berangkat menuju Surabaya. Sekitar pukul tujuh pagi, dari terminal Bungurasih Surabaya kami naik taksi menuju kantor Yayasan Nidaul Fithrah (YNF). Kami  dipersilahkan untuk langsung istirahat di pesantren, di kamar berukuran 3×4 m yang memang telah disediakan untuk kami. Pesantren ini tidak lain adalah milik YNF. Ketika itu saya melihat ayah menangis tersedu-sedu. Mengapa? Saya tidak tahu. Saya berpikir pada saatnya nanti juga akan tahu sendiri. Tidak lama setelah itu, pas ayah keluar kamar, istri menginformasikan bahwa ayah sangat sedih. “Maryam, maafkan Bapak yah… (sambil menangis) Bapak gak tega melihat Yasin sama kamu…..masak tinggal di daerah terpencil seperti ini. Bapak merasa seperti membuang anak di hutan…. Maafkan Bapak yahh, Bapak gak tega…”. Kata istri meniru ucapan ayah yang sangat bersedih.

Ternyata sedihnya beliau tidak lain karena melihat kondisi pesantren. Dalam pandangan beliau belum layak dihuni. Ayah menemani kami beberapa hari. Selama hari-hari itu, beliau sering mencandai kami, “Yasin sama Maryam akan berkepanjangan hidup di tengah belantara…. (sambi tertawa), kalau Bapak kan akan pulang”. Kami pun meresponnya dengan tertawa menghibur diri. Namun, tidak jarang pula beliau menghibur kami bahwa inilah tantangan berdakwah, harus siap sengsara. “In tanshurullah yanshurkum wa yutsabbit aqdaamakum” (kalau kamu menolong agama Allah pasti Allah menolong kamu), ayat al-Qur’an ini sering meluncur dari lisan beliau ketika menasehati sekaligus menghibur kami. Ayah pulang kampung, mulailah kami menjalani hidup di tengah “belantara” berdua. Bersambung…

Judul buku : BABAT ALAS DI DAERAH PINGGIRAN

Penulis : Muhammad Nur Yasin Zain, Lc.Hafizhahullah
(Pengasuh Pesantren Mahasiswa Thaybah Surabaya)