Sering terdengar orang Barat di dalam sambutan atau pidatonya mengatakan, “Ladies and Gentlemen…. Mereka mendahulukan wanita daripada lelaki. Ini adalah kekeliruan. Semestinya lelaki didahulukan atas wanita. Demikianlah nasehat Syaikh Utsaimin. Beliau menukil firman Allah ‘Azza wa Jalla,
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ -النساء: 34
“Lelaki itu pelindung bagi perempuan, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan) dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya” (QS. An-Nisa: 34)
Syaikh Utsaimin menjelaskan, lelakilah yang mengendalikan semua urusan atas wanita. Dia mengaturnya, mengarahkannya, dan memerintahkannya. Wanita harus mentaatinya selama dalam urusan yang ma’ruf bukan munkar. Lebih lanjut beliau menjelaskan, ….memang aneh orang Barat itu, mereka menyelisihi dan membalikkan hakekat, wanita ditinggikan sedemikian rupa atas lelaki. Itulah kelakukan orang yang menghargai anjing dengan harga selangit, ribuan real, yang tidak pernah mereka lakukan terhadap sabun dan alat-alat kebersihan lainnya.
Sebagai pemimpin, suami memiliki hak yang harus ditunaikan oleh istri. Sesuatu yang merupakan hak suami bagi istri adalah kewajiban. Ada beberapa hak suami, diantaranya:
- Mendapatkan pelayanan seksual
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رضى الله عنه أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ « لاَ يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ ، وَلاَ تَأْذَنَ فِى بَيْتِهِ إِلاَّ بِإِذْنِهِ -رواه البخارى
“Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Tidak halal bagi seorang wanita untuk berpuasa sedang suaminya ada bersamanya kecuali dengan izinnya. Dan juga dia tidak boleh memberi izin (kepada orang lain) kecuali dengan izinnya” (HR. Bukhari)
Seorang istri diharamkan berpuasa jika suaminya ada di rumah kecuali dengan izinnya. Puasa tathowwu’ atau wajib? Jawabannya adalah dua-duanya; tathowwu’ dan wajib. Kalau puasa tathowwu’, mutlak diharamkan. Jika istri memaksakan diri berpuasa maka ia berdosa. Karena puasa tathowwu’ itu hukumnya sunnah sementara melayani suami hukumnya wajib. Adapun kalau puasa wajib, dirinci. Kalau dia berhutang puasa Ramadhan dan waktu membayar atau mengqodhonya masih panjang maka dia tidak boleh berpuasa kecuali dengan izin suami. Tetapi kalau waktunya sudah sempit atau mepet maka dia boleh berpuasa tanpa izinnya. Tujuan ketetapan syariat ini tidak lain adalah jika suami membutuhkan pelayanan seksual maka istri bisa melayaninya.
وعن أَبي علي طَلْق بن علي رضي الله عنه : أنَّ رَسُول الله – صلى الله عليه وسلم – ، قَالَ : إِذَا دَعَا الرَّجُلُ زَوْجَتهُ لحَاجَتِهِ فَلْتَأتِهِ وَإنْ كَانَتْ عَلَى التَّنُور – رواه الترمذي والنسائي ، وَقالَ الترمذي : حديث حسن صحيح
“Dari Abu Ali Thalq bin Ali radhiyallahu ‘ahu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Jika seorang suami mengajak istrinya untuk memenuhi kebutuhan (biologis)nya, maka hendaklah dia memenuhinya meskipun dia sedang (menjaga masakan) di atas tungku api (HR. at Tirmidzi dan an Nasa’i. At-Tirmidzi mengatakan Hadits hasan Shohih)
Bagaimana dengan shalat? Apakah memiliki hukum yang sama sebagaimana puasa? Shalat tidak seperti puasa. Karena ia waktunya pendek. Sementara puasa waktunya panjang, sepanjang hari. Maka, istri tidak perlu meminta izin kepada suami untuk shalat. Kecuali jika suami melarangnya maka dia tidak boleh shalat. Misalnya: suami mengatakan “Kamu jangan shalat tahajud, saya ingin bersenang-senang dengan kamu”, maka ia tidak boleh shalat tahajud. Suami juga harus menyadari bahwa memiliki istri yang ahli ibadah adalah kenikmatan besar. Berbahagialah wahai suami!!!! Oleh karena itu janganlah suami menghalang-halangi istri untuk shalat kecuali kalau syahwatnya benar-benar bergejolak dan tak bisa dibendung. Tapi kalau tidak, bersabarlah!!!
- Istri tidak mempersilahkan siapapun untuk memasuki rumah kecuali dengan izin suami
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رضى الله عنه أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ ………… وَلاَ تَأْذَنَ فِى بَيْتِهِ إِلاَّ بِإِذْنِهِ -رواه البخارى
“Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ………………………… Dan juga dia tidak boleh memberi izin (kepada orang lain) kecuali dengan izinnya” (HR. Bukhari)
Jika yang datang lelaki non mahram, mutlak tidak diperbolehkan masuk rumah. Karena dia tidaklah ditemui kecuali oleh lelaki (suami). Jika yang datang adalah wanita atau lalaki mahramnya, maka izin di sini ada dua macam;
- Izin terkait ‘urf (kebiasaan).
Ada suatu kebiasaan di daerah tertentu bahwa wanita-wanita para tetangga, atau keluarga, kerabat dan teman-teman dekatnya bebas masuk ke rumahnya dan hal itu diketahui oleh sang suami dan tidak mempermasalahkannya. Maka istri boleh mempersilahkan mereka masuk tanpa izin terlebih dahulu, kecuali jika suami melarangnya.
- Izin yang ditetapkan
Misalnya suami mengatakan: “Jangan memasukkan wanita siapapun kecuali dengan seizin saya”. Dalam hal ini istri tidak boleh mempersilahkan siapapun memasuki rumahnya kecuali minta izin terlebih dahalu kepada suami.
- Wajib ditaati perintah dan keputusannya
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
حديث أبى هريرة – لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لأَحَدٍ لأَمَرْتُ النِّسَاءَ أَنْ يَسْجُدْنَ لأَزْوَاجِهِنَّ لِمَا جَعَلَ اللَّهُ لَهُمْ عَلَيْهِنَّ مِنَ الْحَقِّ – رواه أبو داود
“Hadits Abu Hurairah- (Beliau bersabda) Seandainya aku boleh menyuruh seseorang untuk bersujud kepada orang lain, niscaya aku akan menyuruh seorang istri untuk bersujud kepada suaminya karena Allah telah menjadikan baginya hak yang harus ditunaikan olehnya (istri) sebagai kewajibannya.” (HR. Abu Daud)
Mari kita renungkan hadits ini. Kepada siapa kita bersujud? Jawabannya tidak lain hanya kepada Allah. Merupakan syirik akbar dan bisa membatalkan keislaman kalau kita bersujud kepada selain Allah. Coba kita perhatikan sabda beliau bahwa jika diperbolehkan sujud kepada selain Allah, maka istri akan diperintahkan sujud kepada suaminya. Ini menunjukkan bahwa suami memiliki hak untuk ditaati segala perintah dan keputusannya selama dalam urusan ma’ruf. Janganlah istri menentang dan menyelisihi suami. Jika ia memiliki pandangan atau gagasan yang lebih baik dari suami maka bukan serta merta ia memutuskan sendiri. Tapi sampaikanlah kepada suami dengan baik sehingga ia berkesempatan untuk mempertimbangkan. Karena suamilah yang berhak memutuskan bukan istri. Suamilah kepala rumah tangga bukan istri. Suamilah decision maker.
Menentang dan menyelisihi suami serta tidak menempatkannya pada posisi semestinya yaitu sebagai pemimpin rumah tangga, maka ini semua bisa bisa menyakitinya. Perhatikanlah hadits berikut ini,
عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « لاَ تُؤْذِى امْرَأَةٌ زَوْجَهَا فِى الدُّنْيَا إِلاَّ قَالَتْ زَوْجَتُهُ مِنَ الْحُورِ الْعِينِ لاَ تُؤْذِيهِ قَاتَلَكِ اللَّهُ فَإِنَّمَا هُوَ عِنْدَكِ دَخِيلٌ يُوشِكُ أَنْ يُفَارِقَكِ إِلَيْنَا -رواه الترمذى
“Dari Mu’adz bin Jabal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: Tidaklah seorang istri menyakiti suaminya di dunia melainkan istrinya dari kalangan bidadari berkata: Jangan kamu sakiti dia, semoga Allah melaknatmu. Sesungguhnya dia di sisimu hanyalah tamu saja. Hampir tiba saatnya dia berpisah darimu dan menuju ke kami” (HR. At-Tirmidzi)
- Mendapati istri dalam penampilan menarik
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ : قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ قَالَ الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ…. رواه النسائي
“Siapakah sebaik-baiknya istri? Beliau menjawab: istri yang menyenangkan suaminya setiap kali dia memandangnya…” (HR. An-Nasai)
Beberapa perkara yang bisa menyenangkan suami adalah:
- Tampil seksi di hadapan suami.
Ada sebagian istri yang malas berpenampilan seksi di hadapan suami. Di antara sebabnya karena sudah terbiasa berhijab (berjilbab) ketika keluar rumah. Terbiasa berhijab di luar rumah adalah kewajiban dan merupakan nikmat besar, terlebih ketika mengetahui banyak wanita muslimah yang enggan berjilbab. Tetapi, semestinya jangan kebablasan sehingga akhirnya dibawa-bawa ke dalam rumah. Ia menjadi malas untuk berpenampilan seksi di hadapan suami.
- Berhias dan beraroma wangi
Alhamdulillah banyak wanita muslimah taat dengan ajaran agamanya. Mereka pun tidak pernah berhias/bersolek dan berparfum ketika keluar rumah karena takut melanggar ketentuan syariat yang menyatakan bahwa perbuatan tersebut sebagai pezina. Namun, sangat disayangkan kebiasaan mulia ini berlanjut sampai ke dalam rumah. Akhirnya, di hadapan suamipun mereka tidak berhias. Padahal semestinya di hadapan suami harus mempercantik diri dan beraroma wangi. Wahai para istri, tidak bisakah seperti Ummu Sulaim. Dalam kondisi bersedih anaknya meninggal dunia, ketika itu suaminya pulang. Dia tidak memberitahukannya keadaan yang sebenarnya terlebih dahulu, karena tidak ingin menambah beban suami yang lagi capek dan penat akibat bepergian. Ia ingin agar suaminya bisa rehat terlebih dahulu. Setelah menyiapkan hidangan makan malam, ia pun behias mempercantik diri dan memakai parfum. Suaminya pun tergoda, terjadilah “pengantin” di malam itu. Ketika dirasa suaminya sudah beristirahat, barulah Ummu Sulaim memberitahukan keadaan yang sebenarnya bahwa anaknya meninggal dunia. Wahai para istri shalehah ketika Anda dalam kondisi normal, haruslah lebih bisa tampil prima daripada Ummu Sulaim.
- Peka terhadap kebutuhan suami
Suami akan sangat senang ketika istri peka terhadap kebutuhan dan hajatnya. Dalam hal ini istri dituntut untuk mengerti dan memahami kebiasaan suami. Misalnya kalau pulang kerja senang mandi air hangat. Maka, sediakanlah air hangat tanpa menunggu suami memintanya. Kalau mau berangkat kerja suami selalu sibuk dengan persiapan dan perlengkapan laptop, kunci motor, sepatu, jam tangan, parfum dan lain-lain. Maka, istri langsung peka untuk menyiapkannya sebelum suami meminta bantuan.
- Mudah memaafkan dan meminta maaf
Suami akan sangat senang ketika istri mudah memberikan toleransi atas ketergelincirannya dan mudah meminta maaf ketika dirinya berbuat kesalahan. Coba renungkan baik-baik, niscaya istri akan mendapati bahwa bakhil dalam memaafkan dan meminta maaf sedikitpun tidak ada keuntungannya. Maka, berlapanglah untuk memaafkan dan meminta maaf. Akankah seorang istri mengambil sikap bermusuhan dengan suami padahal Surganya itu tergantung pada keridhoan suami. Nabi shallallhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
عَنْ كَعْبِ بن عُجْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:”أَلا أُخْبِرُكُمْ ……. بنسَائِكُمْ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ؟”، قَالُوا: بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ، قَالَ:”الْوَدُودُ الْوَلُودُ الَّتِي إِنْ ظَلَمَتْ أَوْ ظُلِمَتْ قَالَتْ: هَذِهِ نَاصِيَتِي بِيَدِكَ، لا أَذُوقُ غَمْضًا حَتَّى تَرْضَ – المعجم الكبير للطبراني
“Dari Ka’ab bin Ujroh, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Maukah aku kabarkan kepada kalian…..tentang wanita-wanita kalian penduduk Surga? Yaitu wanita yang penyayang (kepada suaminya), yang subur, yang selalau memberikan manfaat kepada suaminya, yang jika suami marah maka ia pun mendatangi suaminya seraya berkata: Aku tidak bisa tentram tidur hingga engkau ridha kepadaku”. (Syu’abul Iman lil Baihaqi, dishahihkan oleh Al-Albany dalam Ash-Shahihah no. 287)
Artikel ini saya tutup dengan sebuah harapan semoga semua wanita muslimah bisa menjadi istri shalihah yang memahami kewajiban-kewajibannya yang merupakan hak-hak suaminya sehingga suaminya ridha. Tidaklah bagi istri yang suaminya meridhainya melainkan balasannya Surga.
Penulis : Muhammad Nur Yasin Zain, Lc. Hafizhahullah
(Pengasuh Pesantren Mahasiswa THAYBAH Surabaya)
Majalah Bulan Juni, 2016 Edisi 47