Solusi Investasi Akhirat Anda

Tongkat Para Rasul

Apa yang Anda bayangkan ketika mendengar kata “tongkat”? Tentu yang terbersit dalam benak Anda adalah bahwa ia sesuatu yang kokoh dan kuat, yang kalau seseorang berpegang dengannya ikut menjadi kokoh. “Tongkat” (baca: mengimani secara kuat kepada) para rasul adalah wajib. Setiap muslim pasti menyatakan dirinya beriman kepada rasul. Bagaimana tidak, ia adalah rukun iman. Permasalahannya adalah apakah dia telah mengimaninya secara benar dan kuat? Agar kita bisa mengimani rasul dengan benar dan kuat, kita harus mengetahui bahwa ia meliputi empat perkara:

  • Mengimani bahwa setiap rasul dipilih oleh Allah ‘azza wa jalla langsung. Manusia siapapun tidak dapat mencapai derajat kerasulan dengan upaya-upaya apapun sebagaimana dikatakan oleh sebagian orang bahwa derajat kerasulan bisa dicapai dengan upaya-upaya tertentu. Adalah hak Allah’azza wa jalla untuk memilih menjadi rasul dari para hambahambanya. Oleh karena itu mendustakan seorang rasul berarti mendustakan seluruh rasul. Allah ‘azza wa jalla berfirman: “Kaum ‘Ad mendustakan para rasul “ (QS. AsySyu’ara:123). Siapakah rasul yang diutus ke kaum ‘Ad? Tidak lain adalah Hud . Kenapa Allah menyatakan bahwa kaum ‘Ad mendustakan para rasul atau semua rasul, padahal Hud hanyalah seorang diri? Ini menunjukkan mengingkari satu orang rasul berarti mengingkari seluruh rasul. Jadi, semua rasul harus diimani. Juga tidak boleh sebagian mereka dicintai dan sebagian lainnya dibenci. Allah ‘azza wa jalla berfirman: “Adapun orangorang yang beriman kepada Allah dan rasul-rasulNya dan tidak membedabedakan di antara mereka (para rasul), kelak Allah akan memberikan pahala kepada mereka. Allah Maha pengampun, Maha Penyayang” (QS. An-Nisa:152).
  • Mengimani nama-nama rasul yang alQur’an dan hadits informasikan. Seperti Musa, Isa, Nuh, Ibrahim, Muhammad dan lain-lain. Adapun yang tidak diinformasikan kita tidak boleh menebak-nebak. Cukuplah bagi kita untuk mengatakan Wallahu a’lam. Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak mengetahui seluruh rasul, melainkan hanya yang Allah ‘azza wa jalla informasikan saja. “Dan sungguh Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum engkau (Muhammad) diantara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan diantara mereka ada yang tidak Kami ceritakan kepadamu” (QS.Ghafir:78)
  • Memperercayai berita-berita yang shahih tentang mereka? Pernah suatu ketika penulis di tengah-tengah ceramahnya menyampaikan tentang kisah nabi Musa yang menampar malaikat hingga matanya rusak. Setelah kajian usai ada seorang peserta kajian yang “ngomel-ngomel” tidak percaya dengan kisah ini dan terus memprovokasi kawan-kawannnya untuk tidak percaya. Padahal kisah ini shahih. Subhanallah. …Ada kisah sangat popular tentang nabi Daud bahwa dia tertarik kepada seorang wanita yang ternyata telah bersuami, maka dia perintahkan agar suaminya ikut perang supaya terbunuh lalu dia bisa menikahi istrinya. Ini adalah salah satu kisah popular tetapi dusta. Tersebar pula kisah tentang Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau pernah mendatangi rumah Zaid bin Haritsah radhiallahu ‘anhu untuk mencarinya, tetapi ternyata dia sedang keluar rumah. Tiba-tiba Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Zainab bin Jahsy radhiallahu ‘anha tengah berdiri mengenakan kerudung, dan dia adalah termasuk wantia Quraisy yang paling cantik. Nabi pun tertarik dan jatuh cinta padanya, kemudian beliau berharap seandainya Zaid menceraikannya. Laa haula wa laa quwwata illa billah… Para ulama menyatakan ini adalah kisah palsu. Ditinjau dari berbagai sisi ini adalah kisah batil. Kisah ini dimanfaatkan oleh orang-orang kafir bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat mementingkan kebutuhan seksual sehingga sampai hati menyuruh anak angkatnya sendiri menceraikan istrinya agar dia bisa menikahi istrinya hanya sekedar untuk kepuasan seksual! Laa haula wa laa quwwata illa billah. Jadi, berhati-hatilah dengan bukubuku yang beredar atau ceramahceramah tetapi tidak bisa dipertanggungjawabkan.
  • Mengamalkan syari’at rasul yang diutus kepada kita, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Suatu ketika penulis mendengar ceramah dari kaset pita oleh seorang penceramah. Di situ, dia menjelaskan kurang lebih begini bahwa seandainya zaman sekarang ini di Roma ada sebuah keluarga yang secara turun-temurun mengamalkan syareat nabi Isa ‘alaihis salam maka mereka adalah orang-orang Islam. Karena setiap nabi adalah muslim, maka siapa saja pengikutnya harus disebut muslim, meskipun mereka hidup zaman sekarang ini. Demikianlah yang disampaikan oleh penceramah tersebut. Tentu ini tidaklah benar. Perlu diketahui, Muhammad sebagai rasul terakhir yang tidak ada rasul lagi setelahnya diutus kepada seluruh umat sampai hari kiamat. Tidak sebagaimana rasul-rasul sebelumnya yang hanya diutus untuk umatnya saja. Oleh karena itu sejak beliau diutus, umat manapun yang mengalami zaman kerasulan beliau wajib mengamalkan syari’atnya. Bukan mengamalkan syari’at nabi sebelumnya yang diutus kepada mereka. Kalau mereka bersikukuh dengan syariat nabi sebelumnya tidak mau dengan syariat nabi Muhammad, maka mereka tidak disebut muslim lagi, alias kafir. Beliau bersabda: “Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tanganNya tidaklah mendengar kedatanganku seseorang dari umat ini baik Yahudi atau Nashrani kemudian mati dalam keadaan tidak mengimani apa yang aku bawa kecuali dia termasuk penghuni neraka” (HR.Muslim)

Definisi Nabi dan Rasul

Nabi dalam bahasa Arab berasal dari kata naba. Dinamakan Nabi karena mereka a dalah orang yang menceritakan suatu berita dan mereka adalah orang yang diberitahu beritanya (lewat wahyu). Sedangkan kata rasul secara bahasa berasal dari kata irsal yang bermakna membimbing atau memberi arahan. Definisi secara syar’i yang masyhur, nabi adalah orang yang mendapatkan wahyu namun tidak diperintahkan untuk menyampaikan sedangkan Rasul adalah orang yang mendapatkan wahyu dalam syari’at dan diperintahkan untuk menyampaikannnya.

Sebagian ulama menyatakan bahwa definisi ini memiliki kelemahan, karena tidaklah wahyu disampaikan Allah ke bumi kecuali untuk disampaikan, dan jika Nabi tidak menyampaikan maka termasuk menyembunyikan wahyu Allah. Kelemahan lain dari definisi ini ditunjukkan dalam hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ditampakkan kepadaku umatumat, aku melihat seorang nabi dengan sekelompok orang banyak, dan nabi bersama satu dua orang dan nabi tidak bersama seorang pun.” (HR. Bukhori dan Muslim)

Hadits ini menunjukkan bahwa Nabi juga menyampaikan wahyu kepada umatnya. Ulama lain menyatakan bahwa ketika Nabi tidak diperintahkan untuk menyampaikan wahyu bukan berarti Nabi tidak boleh menyampaikan wahyu. Wallahu’alam. Perbedaan yang lebih jelas antara Nabi dan Rasul adalah seorang Rasul mendapatkan syari’at baru sedangkan Nabi diutus untuk mempertahankan syari’at yang sebelumnya.

Wajibnya beriman Kepada Para Rasul

Beriman kepada para Rasul merupakan salah satu rukun iman. Para rasul inilah perantara antara Allah Ta’ala dan hamba-Nya dalam penyampaian risalah (wahyu) dan penegakkan hujjah. Keimanan kepada para Rasul adalah dengan membenarkan risalah (wahyu) dan menetapkan nubuwwah (kenabian) mereka.

Dalil yang menunjukkan wajibnya beriman kepada para rasul amatlah banyak. Di antaranya Allah Ta’ala berfirman, “Akan tetapi, sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikatmalaikat, kitab-kitab, nabinabi.” (QS. Al Baqarah: 177)

“Rasul telah beriman kepada Al Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasulrasul-Nya.” (QS. Al Baqarah: 285) “Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan: “Kami beriman kepada yang sebahagian dan kami kafir terhadap sebahagian (yang lain)”, serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir), merekalah orangorang yang kafir sebenarbenarnya.” (QS. An Nisa’ [4] : 150-151). “Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan: “Kami beriman kepada yang sebahagian dan kami kafir terhadap sebahagian (yang lain)”, serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir), merekalah orangorang yang kafir sebenarbenarnya.” (QS. An Nisa’ [4] : 150-151).

Allah menghukumi kafir orang-orang yang membedakan antara beriman kepada Allah dan beriman kepada Rasul-Nya karena dia telah beriman pada sebagian dan kufur pada sebagian yang lain. Maka hal ini menunjukkan bahwa beriman kepada para rasul mulai dari Nabi Adam ‘alaihis salam hingga Nabi kita – Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallamadalah wajib.

Kebutuhan manusia pada para Nabi dan Rasul-Nya adalah sangat primer. Ahmad bin Taimiyyah Al-Harrani mengatakan, “Risalah kenabian adalah hal yang pasti dibutuhkan oleh hamba. Dan hajatnya mereka pada risalah ini di atas hajat mereka atas segala sesuatu. Risalah adalah ruhnya alam dunia ini, cahaya dan kehidupan. Lalu bagaimana mau baik alam semesta ini jika tidak ada ruhnya, tidak ada kehidupannya dan tidak ada cahayanya.”

Diantara bukti butuhnya manusia kepada nabi dan rasul khususnya Nabi Muhammad adalah ketika sudah berada di alam qubur kelak. Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Qatadah, dari Anas bin Malik berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya seorang hamba apabila dimasukkan dalam kuburnya, dan para kerabatnya telah meninggalkannya, maka sungguh, dia akan mendengar bunyi (kepergian) sendal mereka. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “(Pada saat itu), dua malaikat mendatanginya, lalu mendudukinya, dan mengatakan padanya, “Apa yang kamu katakan tentang laki-laki ini (yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam)?” ” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Adapun mu’min, dia a ka n menjawab,’Saya bersaksi bahwa dia adalah hamba Allah dan utusan-Nya.’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Maka dikatakan padanya: “Lihat tempat dudukmu di neraka, sungguh Allah telah menggantimu dengan tempat duduk di surga.” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Maka hamba tersebut melihat keduanya.”

Hikmah Diutusnya Para Rasul

Pengutusan para rasul merupakan nikmat Allah bagi para hamba-Nya, karena kebutuhan hamba kepada para rasul sangat mendesak (primer). Seorang hamba tidak mungkin mengatur kondisi dan menegakkan agama tanpa perantara mereka. Kebutuhan hamba pada rasul melebihi kebutuhannya pada makan dan minum. Karena Allah Ta’ala telah menjadikan para rasul sebagai perantara antara Dia dan hamba-Nya, dalam mengenal Allah, mengetahui sesuatu yang bermanfaat atau membahayakannya, juga dalam mengenal rincian syari’at berupa perintah, larangan, dan hal yang dibolehkan, serta menjelaskan pula hal-hal yang dicintai Allah dan dibenci-Nya. Tidak ada jalan mengetahui yang demikian kecuali melalui para rasul, karena akal tidak dapat menunjuki pada rincian perkara ini. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),”Manusia itu adalah umat yang satu (setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan.” (QS. AL Baqarah [2]: 213).

Kenabian (Nubuwwah) Adalah Pilihan Allah

Kenabian (nubuwwah) merupakan pilihan Allah Ta’ala, sebagaimana firman-Nya (yang artinya),”Allah memilih utusan-utusan-(Nya) dari malaikat dan dari manusia. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Al Hajj [22]: 75). Kenabian (nubuwah) bukanlah hasil kerja keras hamba, yang dicari dengan membebani diri melakukan berbagai macam ibadah, menghiasi diri dengan akhlaq dan selalu melatih diri, sebagaimana dikatakan para filosof dan juga diyakini oleh ahli tasawuf. Allah membantah perkataan mereka ini dalam firman Allah lainnya (yang artinya), “Mereka berkata: “Kami tidak akan beriman sehingga diberikan kepada kami yang serupa dengan apa yang telah diberikan kepada utusan-utusan Allah.” Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan.” (QS. Al An’am [6] : 124). Oleh karena itu, kenabian merupakan pilihan Allah sesuai dengan hikmah dan ilmu-Nya siapa yang pantas mengemban kenabian ini. Kenabian bukanlah usaha seorang hamba sedikitpun.

Bagaimana Beriman kepada nabi dan Rasul?

  1. Mengimani bahwa Allah benar-benar mengutus para Nabi dan Rasul. Orang yang mengingkari – walaupun satu Rasul – sama saja mengingkari seluruh Rasul. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Kaum Nuh telah mendustakan para rasul.” (QS. Asy-Syu’ara: 105). Walaupun kaum Nuh hanya mendustakan nabi Nuh, akan tetapi Allah menjadikan mereka kaum yang mendustai seluruh Rasul. Lihat juga QS. AsySyu’araa’: 123, 141 dan 160.
  2. Mengimani nama-nama Nabi dan Rasul yang kita ketahui dan mengimani secara global nama-nama Nabi dan Rasul yang tidak ketahui. Jumlah Nabi dan Rasul banyak sekali. Menurut riwayat bahwa jumlah Nabi ada 124.000 dan jumlah Rasul ada 315. Adapun yang terkenal ada 25 Rasul. Tentang jumlah ini telah diriwayatkan Ahmad (V/178, 179, 265) dan al-Hakim (II/262) dari Sahabat Abu Umamah. Diriwayatkan juga oleh Ibnu Hibban (no. 94) dari Sahabat Abu Dzarr. Tentang jumlah Nabi dan Rasul riwayatnya shahih dari Sahabat Abu Umamah dan Abu Dzarr Radhiyallahu anhuma, hanya saja terdapat sedikit perbedaan tentang jumlah Rasul, pada sebagian riwayat disebutkan 313 dan pada riwayat yang lain 315, wallaahu a’lam. Lihat Zaadul Ma’aad fii Hadyi Khairil ‘baad (1743-44).

Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan tentang para Nabi dan Rasul di dalam Al-Qur-an ada 25, yaitu Adam, Idris, Nuh, Hud, Shalih, Ibrahim, Luth, Isma’il, Is-haq, Ya’qub, Yusuf, Syu’aib, Ayyub, Dzulkifli, Musa, Harun, Dawud, Sulaiman, Ilyas, Ilyasa’, Yunus, Zakariya, Yahya, ‘Isa dan Muhammad. Lihat surat

Ali ‘Imran: 33; Hud: 50, 61, 84; |al-Anbiyaa’: 85; al-An’aam: 8386 dan al-Fat-h: 29.

Di antara nama para Nabi yang juga disebutkan di dalam As-Sunnah, yaitu Syiit dan Yuusya’ bin Nun. Sedangkan yang diperselisihkan ulama, apakah ia Nabi ataukah hamba yang shalih, adalah Khidhir, Dzul Qarnain dan Luqman, wallaahu a’lam. [Tentang kisah Khidir, dapat dilihat dalam zhahir surat al-Kahfi ayat 65-82. Khi-dir dan Dzul Qarnain adalah Nabi, sedangkan Luqman adalah seorang hakim. Lihat Fat-hul Baari (VI/382-383) dan ar-Rusul war Risaalah (hal. 1724) oleh Dr. ‘Umar Sulaiman alAsyqar. Cet. III/ Maktabah alFalaah, 1405 H] Namun terdapat hadits dimana Rasulullah shalallahu’alaihi wa salam bersabda, “Aku tidak mengetahui Tubba nabi atau bukan dan aku tidak tahu Dzul Qarnain nabi atau bukan.” (HR. Hakim). Untuk Khidir, dari ayatayat yang ada dalam surat AlKahfi, seandainya ia bukan Nabi, tentu ia tidak ma’shum dari berbagai perbuatan yang dilakukan dan Nabi Musa ‘alaihissalam tidak akan mau mencari ilmu pada Khidir.

Allah memberikan keutamaan sebagian Rasul atas sebagian yang lainnya. Rasul dan Nabi yang paling utama ada lima, yaitu Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Ibrahim , Musa, ‘lsa, dan Nuh Alaihimussallam. Kelima Nabi dan Rasul itu disebut Ulul ‘Azmi. Allah menyebut mereka dalam dua tempat, yakni dalam surat al-Ahzaab ayat 7 dan asySyuura’ ayat 13.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Dan (ingatlah) ketika kami mengambil perjanjian dari Nabi-nabi dan dari kamu (sendiri), dari Nuh, Ibrahim, Musa dan ‘Isa putera Maryam, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh.” [AlAhzaab: 7]

Terhadap para Rasul yang tidak kita ketahui nama-nama mereka, maka kita wajib mengimaninya secara global. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Dan sesungguhnya telah kami utus beberapa orang Rasul sebelum kamu, di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antara mereka ada (pula) yang tidak kami ceritakan kepadamu…”[Al-Mu’min: 78]

  • Membenarkan berita-berita yang shahih dari para Nabi dan Rasul.
  • Mengamalkan syari’at Nabi dimana Nabi diutus kepada kita. Dan penutup para nabi adalah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang beliau diutus untuk seluruh umat manusia. Sehingga ketika telah datang Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka wajib bagi ahlu kitab tunduk dan berserah diri pada Islam Sebagaimana dalam firmanNya yang artinya, “Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. AnNisa’: 65).
  • Tidak memberikan sifat rububiyah atau uluhiyah pada nabi. Nabi adalah manusia seperti kita. Mereka juga merupakan makhluk yang diciptakan Allah ta’ala, walaupun mereka diberi berbagai kelebihan dari manusia biasa lainnya, namun mereka tidak berhak disembah ataupun diagungkan seperti pengagungan pada Allah ta’ala.

Tugas Para Rasul ‘Alaihissalam

Allah mengutus pada setiap umat seorang Rasul. Walaupun penerapan syari’at dari tiap Rasul berbeda-beda, namun Allah mengutus para Rasul dengan tugas yang sama. Beberapa tugas tersebut adalah: (1) Menyampaikan risalah Allah ta’ala dan wahyu-Nya; (2) Dakwah kepada Allah subhanahu wa ta’ala; (3) Memberikan kabar gembira dan memperingatkan manusia dari segala kejelekan; (4) Memperbaiki jiwa dan mensucikannya; (5) Meluruskan pemikiran dan aqidah yang menyimpang; (6) Menegakkan hujjah atas manusia; (7) Mengatur umat manusia untuk berkumpul dalam satu aqidah.

Para Nabi dan Rasul memiliki kekhususan yang tidak dimiliki oleh manusia lainnya: (1) Mendapatkan wahyu; (2) Ma’shum (terbebas dari kesalahan); (3) Ada pilihan ketika akan meninggal; (4) Nabi dikubur ditempat mereka meninggal; (5) Jasadnya tidak dimakan bumi. [Selesai]

Penulis : Muhammad Nur Yasin Zain, Lc. Hafizhahullah
(Pengasuh Pesantren Mahasiswa THAYBAH Surabaya)

Majalah Bulan Agustus, 2013 Edisi 14