Syaikh Khalid az-Zahrany Hafidhohullahu ketika berkunjung ke Pesantren mahasiswa ‘ath-Thaybah’ bercerita: “Seorang imam masjid di kota Riyadh ditimpa musibah. Rumahnya kebakaran yang mengakibatkan seluruh keluarganya-istri dan anak-anaknya tewas. Tetangga dan kawan-kawannya berdatangan untuk bertakziah. Yang aneh adalah- kata beliau lebih lanjut- pada raut wajahnya sama sekali tidak ada tanda-tanda kesedihan. Beliau menyambut setiap tamunya dengan terus mengumbar senyum. Seakan-akan tidak ada kejadian apa-apa. Kondisinya terbalik, seakan-akan para tamunya adalah yang ditimpa musibah sementara beliau adalah tamu yang datang untuk menghiburnya. Subhanallah” Bagaimana bisa orang ditimpa musibah, bukannya sedih malah mengumbar senyum? Ini tidak lain karena orang tersebut memiliki keimanan yang benar terhadap takdir.
Di suatu kampung, seorang da’i bertanya kepada tukang becak: “Apakah kamu tidak takut adzab Allah , kamu tidak pernah shalat, puasa dan amal shalih lainnya. Hidupmu hanya untuk berjudi dan bersenang-senang? “Dia menjawab: “Lho, bukankah segala sesuatu sudah ditakdirkan oleh Allah ? Jadi, saya menjadi begini ya.. sudah ditakdirkan Allah. Jadi, jangan salahkan saya. Salahkan Allah dong!” Maa syaa’a Allah Laa haula wa laa quwwata illa billah. Jawabannya menunjukkan ia tidak mengerti tentang hakekat takdir.
Agar kita beriman kepada takdir dengan keimanan yang benar, maka kita harus mengetahui kandungannya.
- Meyakini bahwa Allah subhanahu wata’ala mengetahui segala sesuatu sekecil-kecilnya secara terperinci.
- Meyakini bahwa Allahl subhanahu wata’ala dengan mencatat pengetahuannya tentang segala sesuatu itu di lauh mahfudz. Bahkan Dia telah mencatatnya 50.000 tahun sebelum menciptakan langit dan bumi, sebagaimana disebutkan di dalam Hadits Imam Muslim dari Abdullah bin Amr bin al-Asha “Allah subhanahu wata’ala telah mencatat takdir seluruh makhluk limapuluh ribu tahun sebelum menciptakan langit dan bumi” (HR. Muslim).
Untuk kandungan pertama dan kedua bahwa Allah subhanahu wata’ala mengetahui segala sesuatu dan telah mencatatnya dalam lauh mahfudz, Dia subhanahu wata’ala telah menjelaskan dalam firmanNya: “Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi? Yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (lauh mahfudz). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah” (Qs. Al-Hajj:70)
- Meyakini bahwa segala sesuatu terjadi dengan kehendak Allah subhanahu wata’ala. Dia befirman: “Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya”. (Qs. Al-Qashash: 68)
- Meyakini bahwa segala sesuatu diciptakan oleh Allah subhanahu wata’ala. Dia subhanahu wata’ala berfirman: “Allah menciptakan segala sesuatu”. (Qs. Az-Zumar: 62). “Allah menciptakan kalian dan apa yang kalian perbuat“. (Qs. Ash-shoffat: 96).
Inilah empat kandungan takdir yang harus diketahui oleh setiap muslim. Adakah sesuatu yang tidak diketahui oleh Allah? Tidak mungkin, Segala sesuatu pasti diketahui Nya, bukan saja yang telah terjadi tetapi juga yang akan terjadi sampai hari Kiamat. Tuhan itu sempurna, kalau ada sesuatu yang tidak diketahui maka ada sifat kurang pada diriNya. Mahasuci Allah dari hal yang demikian.
Adakah sesuatu yang terjadi diluar kehendakNya? Mustahil, segala sesuatu pasti terjadi dengan kehendakNya. Dialah Raja di dalam kerajaan Nya yang meliputi seluruh alam. Jika ada sesuatu yang terjadi diluar kehendakNya, berarti ada cacat pada diriNya sebagai Raja. Mahasuci Allah dari yang demikian. Kalau ditanya; berarti maksiat-maksiat seperti perzinaan, pencurian, pembunuhan, perampokan dengan kehendaknya ? Jawabannya adalah betul. Tetapi, perlu diketahui bahwa tidak setiap yang Allah subhanahu wata’ala kehendaki Dia meridhainya/ mencintainya. Segala kemaksiatan terjadi dengan kehendak Allahsubhanahu wata’ala akan tetapi Allah tidak meridhainya. Dia subhanahu wata’ala berfirman: “Dan Allah tidak mencintai kerusakan” (alBaqoroh: 205). “Dan Allah tidak menyukai setiap orang kafir dan berbuat dosa” (al-Baqarah; 276).
Untuk lebih memudahkan dalam pemahaman, kita ambil contoh dari kehidupan manusia; Penderita kencing manis berstadium tinggi diputuskan dokter harus diamputasi kakinya karena itu satu-satunya solusi, kalau tidak maka akibatnya fatal. Penderita ini tentunya menghendaki amputasi ini untuk kemaslahatan dirinya, meskipun sebenarnya dia tidak suka dengan tindakan ini. Tetapi bagaimana lagi, inilah yang harus ditempuh untuk kemaslahatan dirinya. Demikian pula Allah, Dia menghendaki sesuatu yang Dia tidak meridhainya untuk suatu hikmah. Yang jelas, Allah telah menjelaskan kepada manusia mana yang harus ditempuh/ diambil sehingga bisa selamat di dunia dan masuk Surga di Akherat nanti.
Adakah sesuatu yang terjadi diluar ciptaanNya? Mustahil, segala sesuatu baik dzat, sifat, dan gerakan pasti semuanya diciptakan oleh Allah. Tidak mungkin ada sesuatu tercipta dengan sendirinya. Jika dikatakan; berarti syarr (perbuatan/sifat buruk) diciptakan oleh Allah? Jawabannya adalah betul. Tetapi, perlu diketahui bahwa Allahlah Pencipta syarr, tetapi pelakunya adalah manusia. Allah sendiri telah memberikan pilihan kepada manusia akankah mengambil syarr atau khair (perkara/sifat baik)? Allah telah menjelaskan mana yang harus ditempuh agar menuju Surga, tentunya khair. Tetapi manusia itu sendiri yang menempuh syarr yang menuju Neraka? Jadi, Allah tidak berbuat dzalim. “Allah tidak berbuat dzalim kepada mereka, merekalah yang mendzalimi diri mereka sendiri” (Qs. Ali Imran: 117)
Mari kita memperhatikan beberapa hal berikut ini untuk lebih memahami masalah takdir:
- Segala sesuatu yang terjadi adalah dengan kehendak Allah. Ini tidak berarti manusia tidak punya kehendak. Realitanya memang demikian, kita semua tidak ada yang mengingkari bahwa kita punya kehendak. Contoh: ketika kita menyengaja pergi dari rumah ke suatu tempat adalah bukti bahwa manusia mempunyai kehendak. Allah subhanahu wata’ala tentang ini berfirman: “Datangilah ladang-ladang kalian (istri-istri) dari arah mana saja yang kalian kehendaki” (Qs. Al-Baqarah: 223). Tetapi, kehendak Allah subhanahu wata’ala berada diatas kehendak manusia.
- Segala sesuatu yang ada itu diciptakan oleh Allah . Ini tidak berarti bahwa manusia tidak punya kemampuan. Realitanya memang demikian dan tidak ada seorangpun yang mengingkari hal ini. Contoh: Pak Ali mampu mengangkat beras 50 kg, kalau Pak Ahmad mampu 60 kg. Allah subhanahu wata’ala berfirman: “Bertakwalah kepada Allah sesuai dengan kesanggupan kalian” (Qs. At-Taghobun: 16). Tetapi, kemampuan Allah subhanahu wata’ala itu diatas kemampuan manusia.
- Adakalanya sesuatu yang telah ditakdirkan terikat dengan sebab/ikhtiarnya, apabila sebabnya direalisasikan, maka takdirnya akan terjadi. Contoh: Ada umur seseorang yang terikat dengan silaturrahim. Kalau melakukan silaturrahim maka umurnya diperpanjang, kalau tidak maka tidak diperpanjang. Contoh lain: Takdir suatu kebaikan pada seseorang Allah mengikatkannya dengan doa. Jika dia berdoa, maka takdir kebaikan akan terwujud, dan kalau tidak maka tidak akan terwujud. Inilah maksud dari Hadits Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam “Barangsiapa yang ingin rizkinya dilapangkan dan umurnya dipanjangkan maka bersilaturrahimlah” (HR. Bukhari dan Muslim). “Tidak ada yang bisa menolak takdir kecuali doa” (HR. al-Hakim). Tentu kita tidak mengetahui; apakah sesuatu yang ditakdirkan bagi kita terikat dengan ikhtiar ataukah tidak? Yang terpenting kita harus tetap ikhtiar. Jika ternyata suatu takdir tersebut dikaitkan dengan ikhtiar, maka ia akan terwujud. Jika tidak, maka ikhtiar kita tidak akan siasia. Ia akan dinilai sebagai amal shaleh yang memperberat timbangan kebaikan kita. d. Untuk urusan dunia, seringkali manusia tidak beralasan dengan takdir. Contoh: ketika seseorang dilempar kepalanya dengan batu, pasti dia akan menghindar, tidak mungkin dia berdiam diri dan menyandarkan kepada takdir, “kalau takdirnya kena ya kena, kalau gak ya gak”. Lalu kenapa untuk urusan akherat (berupa mengerjakan perintah dan meninggalkan larangan) mudah-mudahnya menyandarkan kepada takdir. Contoh: ketika dikatakan kepada seseorang, “kenapa berjudi?” jawabannya, “kan semua nya sudah ditakdirkan”. “kenapa tidak shalat?” jawabannya, “kan sudah ditakdirkan”. Inilah bentuk ketidakadilan manusia. Sehingga berbeda sikap untuk urusan dunia dan akherat. Mestinya keduanya harus disikapi sama persis, tanpa membedakan.
- Allah subhanahu wata’ala tidak memaksakan hambaNya untuk melakukan suatu hal (mengerjakan perintah atau meninggalkan larangan). Manusia telah diberikan pilihan oleh Allah subhanahu wata’ala dengan seluas-luasnya. Bersamaan dengan itu Allah subhanahu wata’ala menjelaskan dengan penjelasan yang sangat banyak baik dalam al-Qur’an ataupun melalui Hadits-Hadits Nabinya apa yang seharusnya ditempuh untuk bisa selamat di dunia dan Akherat. Jadi, salah kaprah jika manusia menyandarkan maksiatnya kepada takdir.
- Hikmah beriman kepada takdir. Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan tidak pula pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (lauh mahfudz) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu mudah bagi Allah subhanahu wata’ala. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu bergembira terhadap apa yang diberikanNya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri (QS. Al-Hadid : 22-23).
Penulis : Muhammad Nur Yasin Zain, Lc. Hafizhahullah
(Pengasuh Pesantren Mahasiswa THAYBAH Surabaya)
Majalah Bulan Oktober, 2013 Edisi 16