Sekitar tahun 1995 saya pernah tinggal di sebuah kos-kosan kecil bersama dengan seseorang selama beberapa bulan. Setiap hari dia selalu terkena pileg dan bersin-bersin sangat keras. Kalau sedang kambuh, dia tampak sangat tersiksa. Suatu ketika dia membuka diri tentang apa yang dialaminya itu. Dia pun membeberkan permasalahannya kepada saya. “Gini mas Yasin, dulu saya berbuat dzalim terhadap teman saya. Saya bersin-bersin sengaja di depan wajah teman saya itu. Dia sangat marah hingga sekarang. Dan dia pun mendoakan kejelekan untuk saya. Barangkali sebabnya itu mas Yasin, yang menyebabkan saya kena pileg terus-menerus”. Allahu Akbar…bisa jadi benar tuh, bukankah doanya orang yang dizhalimi itu mustajab”, saya menimpalinya.
Beralih ke kisah lain. Emak saya sering sekali berpesan kepada anak-anaknya agar kalau punya hutang, dan sudah punya duit, maka harus langsung dibayar, tidak boleh ditunda-tunda. “Ditunda-tunda juga nanti-nantinya mesti harus bayar kan?” Demikian nasehat beliau yang selalu terngiang-ngiang di telinga anak-anaknya. Cara berpikir Emak saya sederhana, bukankah kita tidak mau kalau ada orang berhutang kepada kita lantas dia menunda-nunda membayarnya padahal sudah punya duit? Demikian pula orang lain, oleh karena itu jangan sampai kita berbuat dzalim.
Kebiasaan di desa saya, warung sayur mayur atau toko klontong tidak akan laku kecuali harus memberi utangan. Yang terjadi adalah banyak yang rugi yang kemudian tidak sedikit yang bangkrut karena didzalimi oleh orang-orang yang berhutang. Saya seringsekali melihat pemandangan ketika orang-orang berbelanja. Mereka mengambil ini dan itu sesukanya. Ketika dihitung oleh pemilik warung untuk ditotal harganya biasanya dia mengatakan, maaf ya ini nggak usah…yang ini nggak usah nanti kebanyakan hutangnya, sambil mengurangi barang-barang yang sudah dipilihnya. Si Pembeli pun tampak kecewa. Ya… itulah akibat yang harus ditanggung karena ulahnya sendiri, susah bayar hutang. Lain halnya dengan Emak saya, ke warung manapun, beliau selalu ditawari untuk ngambil apa saja sesukanya dan kalau mau sebanyak-banyaknya. Biasanya Emak saya menolak dengan mengatakan, “ Nggak mau ah…nanti banyak utangnya”, Pemilik warung pun menjawab, “Khusus untuk njenengan nggak apa Yuk, soalnya bayarnya gampang.” Emak saya memang dikenal mudah membayar hutang. Beliau tidak ingin mendzalimi orang lain. Beliupun meninggal dalam keadaan tidak punya hutang, malah memiliki piutang.
Saya sendiri mendengar seseorang yang menggerutu kecewa atas ulah tetangganya yang berhutang Rp.500.000 tetapi belum membayarnya padahal sudah cukup lama, tetapi ia malah membeli binatang kurban. “Buat apa berkurban, wong punya utang ga dibayar-bayar kok, mestinya kan bayar utang dulu. Kira-kiranya kurbannya syah gak tuh, menyakitkan eh”, demikian ungkapan sesalnya. Demikian juga yang terjadi pada jamaah haji atau umroh. Mereka mendorong dan menyikut orang lain demi mencium hajar aswad. Inilah sebagian potret yang terjadi di masyarakat; mereka mengejar keutamaan dengan menciptkan kerusakan. Apa kaitannya dengan judul? Mari kita ikuti di Bahasan Utama
(Ustadz Muhammad Nur Yasin)