Dalam urusan dunia, adalah sesuatu yang wajar, jika kita mengejar yang lebih banyak dan lebih besar. Misalnya: Gaji yang lebih banyak, untung yang banyak, harta warisan yang banyak, membeli buah yang besar-besar, rumah yang besar, dan lain-lain. Namun, tidak demikan dalam masalah agama. Tidak selamanya yang lebih besar dan lebih banyak itu baik. Malah bisa jadi ia merupakan perkara rendah dan buruk. Karena suatu amalan dinyatakan baik dan benar yang nantinya Allah ‘Azza wa Jalla menerimanya kalau terpenuhi 2 syarat, yaitu: ikhlash dan mutaba’atur Rasul (sesuai tuntunan Rasulullah). Allah ‘Azza wa jalla berfirman:
بَلَى مَنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَلَهُ أَجْرُهُ عِنْدَ رَبِّهِ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ (البقرة: 112)
“Tidak! Bararangsiapa menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, dan dia berbuat baik, dia mendapat pahala di sisi Tuhannya dan tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.” (QS. Al-Baqarah: 112)
Maksud ayat ini, sebagaimana disebutkan di dalam Tafsir As-Sa’di, adalah orang yang mengikhlaskan amalannya untuk Allah dengan sepenuh hatinya, dan amalan tersebut sesuai dengan petunjuk syariat-Nya, maka dia adalah ahli Surga []. Lalu, bagaimanakah kita mengetahui bahwa amalan yang kita lakukan sudah sesuai syariat yang Dia ‘Azza wa jalla kehendaki. Jawabannya adalah ketika amalan tersebut sesuai dengan petunjuk Nabi. Beliau bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا ، فَهْوَ رَدٌّ) رواه البخارى)
“Barangsiapa yang melakukan suatu amalan (urusan syareat) yang tidak pernah ada pada kami niscaya tertolak.” (HR. Bukhari).
Contoh: Ada orang dengan kecintaan yang tinggi kepada Allah melakukan shalat zhuhur 12 rakaat (tiga kali lipat dari yang semestinya). Sementara saudaranya hanya 4 rakaat. Mana yang lebih baik? Siapapun pasti akan menjawab yang baik dan benar adalah yang 4 rakaat. Karena ia yang sesuai dengan tuntunan syariat. Jika dikatakan, bukankah yang 12 rakaat itu lebih banyak membaca al-fatihahnya, tasbihnya, dan dzikir-dzikir lainnya? Bukankah lebih banyak energi yang dibutuhkan? Jadi, lebih baik dong dari pada yang cuma 4 rakaat? Betul, memang ia lebih banyak bacaan Qur’an-nya, tasbihnya, takbirnya, dzikirnya dan lebih banyak energinya, tapi jelas ia merupakan kesesatan karena bikin-bikin ibadah sendiri. Dan, secara tidak langsung orang yang melakukannya mengkhianati ke-rasul-an Muhammad. Bukankah beliau diangkat oleh Allah menjadi Rasul agar seluruh syariat yang Dia ‘Azza wa Jalla tetapkan bisa sampai kepada manusia? Nah, berarti kan kalau ada orang bikin-bikin ibadah sendiri seakan-akan mengatakan “nggak usah ada Rasul, kita gak butuh Rasul…wong kita bisa bikin ibadah sendiri koq…” Perlu ditegaskan di sini, Allah lah satu-satunya Dzat yang memiliki hak prerogative untuk menciptakan syariat: ibadah dan yang lainnya. Sementara Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam diangkat sebagai Rasul dengan tugas menyampaikan syariat-Nya tidak lain adalah agar jangan ada satupun manusia yang membikin-bikin syariat sendiri.
Manakah yang lebih baik orang yang ketika shalat takbirnya cukup dengan bacaan “Allahu Akbar”? Ataukah orang yang membacanya dengan tambahan, sehingga ia membaca “Allahu Akbar, Al-Jalil, Al-Karim, Ar-Rohman, Ar-Rohim, Al-‘Azhim, Ar-Rozzaq, Al-Fattah, Al-Hayyu…”? Semua orang Islam pasti akan mengatakan bahwa yang mencukupkan diri dengan lafadz “Allahu Akbar” itu yang baik dan benar. Jika dikatakan, bukankah yang lebih dari “Allahu Akbar” berarti menyebut sifat-sifat Allah sebanyak-banyaknya…, sementara yang “Allahu Akbar” saja kan hanya menyebut satu sifat Allah saja, berarti lebih baik dong…? Semua muslim pasti akan menolak argumentasi ini dan bersikukuh dengan jawabannya yang pertama, karena yang sesuai dengan syariat adalah yang mencukupkan diri dengan lafadz “Allahu Akbar” saja, dan itulah yang syariat tuntunkan di dalam masalah shalat.
Manakah yang lebih baik, setelah shalat fardhu membaca tashbih, tahmid dan takbir masing-masing 33x? Ataukah yang membaca hingga ribuan kali? Seorang muslim pasti mengetahui bahwa yang 33x adalah yang baik dan benar? Bagaimana jika dikatakan bukankah yang ribuan kali berarti lebih banyak membaca dzikir dan lebih banyak meluangkan waktu dan tenaga untuk taqorrub kepada Allah? Betul, tetapi harus diingat Hadits Nabi di atas bahwa dalam masalah ibadah tidak boleh bikin-bikin sendiri, dan ia pasti tertolak. Jadi, harus sesuai yang disyariatkan saja. Dan, dalam masalah dzikir setelah shalat fardhu bilangan yang ditetapkan syariat adalah 33x. Lalu, bagaimana dengan firman Allah yang menganjurkan kita agar berdzikir sebanyak-banyaknya? Untuk menjawab pertanyaan ini perlu diketahui bahwa dzikir ada dua macam: mutlak dan muqoyyad. Dzikir mutlak adalah dzikir yang tidak terikat dengan suatu ibadah tertentu. Dzikir ini lafadz dan bilangan serta waktunya tidak ditentukan. Sebaliknya, dzikir muqoyyad adalah dzikir yang terikat dengan ibadah tertentu, di mana lafadz dan bilangan serta waktunya ditentukan. Kita tidak boleh menjadikan muqoyyad menjadi mutlak, atau sebaliknya mutlak menjadi muqoyyad. Jelaslah, dzikir setelah shalat fardhu adalah muqoyyad, maka lakukanlah dengan lafadz dan bilangan yang sudah ditentukan, jangan diubah, ditambahi, atau dikurangi.
Kalau kita sedang mengendarai kendaraan, duduk-duduk santai di taman, menunggu kawan, menunggu antrean dan lain-lain lalu kita memanfaatkan keadaan-keadaan tersebut untuk berdzikir, maka dzikir di sini dinamakan dzikir mutlak. Terserah, mau membaca lafadz dzikir yang mana dan bilangannya juga tidak terbatas. Dan jangan membuat tata cara tersendiri, sementara syariat tidak mengajarkan.
Abdullah bin Masu’d radhiyallahu ‘anhu mengingkari orang-orang yang menjadikan dzikir mutlak menjadi muqayyad. Mereka berdzikir di sepertiga malam terakhir dengan menentukan bilangan tertentu dan dengan tata cara tertentu, yaitu berjama’ah atau dikomandoi. Riwayatnya berikut ini: Al-Imaam Ad-Daarimiy dalam Sunan-nya berkata : “Telah memberi kabar kepada kami Al-Hakam bin Al-Mubarak :
Telah memberitakan kepada kami ‘Amru bin Yahya, ia berkata : Aku mendengar ayahku meriwayatkan Hadits dari ayahnya, ia berkata : Sebelum shalat shubuh, kami biasa duduk di depan pintu ‘Abdullah bin Mas’ud radliyallaahu ‘anhu. Jika dia sudah keluar rumah, maka kami pun berjalan bersamanya menuju masjid. Tiba-tiba kami didatangi oleh Abu Musa Al- Asy’ariy radhiyallaahu ‘anhu, seraya bertanya : “Apakah Abu ‘Abdirrahman (‘Abdullah bin Mas’ud) sudah keluar menemui kalian ?” Kami menjawab : “Belum”. Lalu dia pun duduk bersama kami hingga ‘Abdullah bin Mas’ud keluar rumah. Setelah dia keluar, kami pun bangkit menemuinya. Abu Musa berkata : “Wahai Abu ‘Abdirrahman, tadi aku melihat kejadian yang aku ingkari di masjid, namun aku menganggap – segala puji bagi Allah – hal itu adalah baik”. Kata Ibnu Mas’ud : “Apakah itu ?” Abu Musa menjawab : “Jika engkau berumur panjang, engkau akan mengetahui. Ada sekelompok orang di masjid, mereka duduk berkelompok sedang menunggu shalat. Setiap kelompok dipimpin oleh seseorang, sedang di tangan mereka terdapat kerikil. Lalu pimpinan kelompok tadi berkata : ‘Bertakbirlah 100x’, maka mereka pun bertakbir seratus kali. ‘Bertahlillah 100x’, maka mereka pun bertahlil seratus kali. ‘Bertasbihlah 100x’, maka mereka pun bertasbih seratus kali” Ibnu Mas’ud bertanya : “Lalu apa yang engkau katakan kepada mereka?” Abu Musa menjawab : “Aku tidak berkata apa-apa hingga aku menunggu apa yang akan engkau katakan atau perintahkan.”
Ibnu Mas’ud berkata : “Tidakkah engkau katakan kepada mereka agar mereka menghitung kesalahan mereka dan kamu jamin bahwa kebaikan mereka tidak akan disia-siakan.” Lalu Ibnu Mas’ud berlalu menuju masjid tersebut dan kami pun mengikuti di belakangnya hingga sampai di tempat itu. Ibnu Mas’ud bertanya kepada mereka : “Benda apa yang kalian pergunakan ini?” Mereka menjawab : “Kerikil wahai Abu ‘Abdirrahman. Kami bertakbir, bertahlil, dan bertasbih dengan mempergunakannya.” Ibnu Mas’ud berkata : “Hitunglah kesalahan-kesalahan kalian, aku jamin kebaikan-kebaikan kalian tidak akan disia-siakan sedikitpun. Celaka kalian wahai umat Muhammad ! Betapa cepat kebinasaan/penyimpangan yang kalian lakukan. Para sahabat Nabi kalian masih banyak yang hidup. Sementara baju beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga belum lagi usang, bejana beliau belum juga retak. Demi Dzat yang diriku berada di Tangan-Nya! Apakah kalian merasa berada di atas agama yang lebih benar daripada agama Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ataukah kalian akan menjadi pembuka pintu kesesatan?” Mereka menjawab : “Wahai Abu ‘Abdirrahman, kami tidaklah menghendaki kecuali kebaikan.”Ibnu Mas’ud menjawab : “Betapa banyak orang yang menghendaki kebaikan namun ia tidak mendapatkannya. Sesungguhnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepada kami : ‘Akan ada segolongan orang yang membaca Al-Qur’an, namun apa yang dibacanya itu tidak melewati kerongkongannya.’ Demi Allah, aku tidak tahu, boleh jadi kebanyakan dari mereka adalah sebagian di antara kalian.” ‘Amr bin Salamah berkata : “Kami melihat mayoritas di antara orang-orang yang ikut dalam kelompok-kelompok itu adalah orang yang menyerang kami dalam Perang Nahrawaan yang bergabung bersama orang- orang Khawarij.” []
Mereka tidak rela diingkari Abudullah Ibnu Mas’ud, karena mereka merasa bahwa amalannya itu adalah bentuk ibadah dan taqorrub kepada Allah, bahkan waktu yang mereka pilih adalah sebaik-baiknya waktu yaitu sepertiga malam terakhir. Mari kita perhatikan kembali jawaban mereka, “Wahai Abu ‘Abdirrahman (kunyah Abdullah ibnu Mas’ud), kami tidaklah menghendaki kecuali kebaikan.” Dan, apa jawaban Abdullah Ibnu Mas’ud? Perhatikan jawabannya, “Betapa banyak orang yang menghendaki kebaikan namun ia tidak mendapatkannya.” Tegasnya, amalan apapun yang seseorang memandangnya sebuah kebaikan dan bentuk taqorrub kepada Allah, tetapi tidak ada tuntunan syariatnya maka itu bukan kebaikan. Oleh karena itu, jika seseorang melakukan amalan hanya sekali tetapi sesuai dengan tuntunan syariat maka itu lebih baik daripada orang yang melakukannya sejuta kali tetapi tidak ada tuntunan syariatnya. Dan pasti sia-sia sebagaimana disebutkan dalam Hadits di atas. Jadi, dari sisi pahala satu kali lebih banyak daripada satu juta kali. Bahkan yang sejuta kali tertolak dan berdosa.
Seorang Sahabat, Abu Burdah bin Niyar radhiyallahu ‘anhu bersemangat ibadah hingga membikin-bikin ketentuan sendiri. Idul Adha adalah hari makan-makan, dia ingin kambingnya yang pertama kali disembelih. Dia pun menyembelihnya sebelum shalat ‘Idh. Nabi langsung menegurnya. Riwayatnya berikut ini:
يَا رَسُولَ اللَّهِ ، فَإِنِّى نَسَكْتُ شَاتِى قَبْلَ الصَّلاَةِ ، وَعَرَفْتُ أَنَّ الْيَوْمَ يَوْمُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ ، وَأَحْبَبْتُ أَنْ تَكُونَ شَاتِى أَوَّلَ مَا يُذْبَحُ فِى بَيْتِى ، فَذَبَحْتُ شَاتِى وَتَغَدَّيْتُ قَبْلَ أَنْ آتِىَ الصَّلاَةَ . قَالَ : شَاتُكَ شَاةُ لَحْمٍ (رواه البخارى)
Ya Rasulullah, saya menyembelih kambingku sebelum shalat. Karena saya tahu ini hari makan dan minum. Saya ingin agar kambingku pertama kali disembelih di rumahku. Saya pun menyembelih kambingku, dan saya sarapan dengannnya sebelum berangkat shalat. Beliau bersabda:“Kambingmu hanya kambing daging.” (HR. Bukhari)
Dalam riwayat Imam Muslim, Abu Burdah berkata,
وَإنِّي عَجَّلْتُ نَسِيْكَتِي لِأُطْعِمَ أهلي وجيراني وأهلَ دَاري
“Ya Rasulullah, aku bersegera memotong sembelihanku untuk memberi makan keluargaku, para tetanggaku, dan para familiku!”
Yang dimaksud ‘kambingmu hanya kambing daging’adalah dia hanya sembelihan biasa, tidak dinilai berqurban, sehingga tidak mendapatkan pahala berqurban. Di dalam Fathul Bari, Ibnu Hajar berkata: “Syaikh Abu Muhammad bin Abi Hamzah berkata, Hadits ini menunjukan bahwa suatu amalan meskipun dibangun di atas niat yang baik namun jika tidak sesuai dengan syari’at maka tidak sah.”
Tentang hal ini, Ustadz Firanda Andirja (Doktor di Madinah University) menuturkan: Lihatlah bagaimana niat baik Abu Burdah tidak menjadikan sembelihan kurbannya diterima padahal ia melakukannya bukan karena sengaja melanggar syari’at Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, namun ia melakukannya karena tidak tahu akan hal itu. Padahal kalau kita renungkan bisa jadi ide Abu Burdah tersebut merupakan ide yang sangat cemerlang, apalagi di zaman kita sekarang ini yang terkadang sholat ‘iednya lama, kalau para jama’ah pulang dari sholat dalam keadaan lapar dan hewan sembelihan kurban telah siap dihidangkan (karena telah disembelih sebelum sholat ‘ied) maka sungguh baik. Namun ide yang cemerlang ini melanggar syariat Nabi dan meskipun disertai dengan niat yang baik tidak bisa menjadikan amalan tersebut diterima.
Kesimpulannya adalah meskipun seseorang berkorban dengan harta sebanyak-banyaknya, juga tenaga, pemikiran, waktu, dan lain-lain untuk mewujudkan suatu amalan di dalam masalah ibadah tetapi syariat tidak pernah menganjurkan dan mencontohkannya, maka hal itu sia-sia belaka. Meskipun dilakukan sejuta kali. Jika seseorang melakukannya hanya sekali tetapi sesuai tuntunan syariat, maka itulah kebaikan di sisi Allah yang diterima dan berpahala. InsyaAllah. Satu kali lebih banyak daripada sejuta kali.
Penulis : Muhammad Nur Yasin Zain, Lc. Hafizhahullah
(Pengasuh Pesantren Mahasiswa THAYBAH Surabaya)
Majalah Bulan Maret, 2015 Edisi 33