Tidak diragukan lagi bahwa berpegang kepada Al Qur’an dan As Sunnah adalah jalan yang lurus untuk terhindar dari jalan-jalan menyimpang yang berupa bid’ah dan penyimpangan dalam agama. Allah Ta’ala berfirman:
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ
“dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya” (QS. Al An’am: 153)
Karena jatuhnya seseorang ke dalam bid’ah dan penyimpangan sejatinya karena ia enggan berpegang pada Al Qur’an dan As Sunnah. Inilah sebab pokok dari kebid’ahan. Namun jika kita perinci lagi, ada beberapa sebab yang menjadi faktor utama tersebarnya bid’ah di tengah kaum Muslimin:
1. Jahil (tidak paham) terhadap hukum-hukum agama
Semakin jauh dari masa hidupnya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, ilmu semakin sedikit dan kejahilan semakin tersebar. Hal ini telah dikabarkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam :
من يعشْ منكم يرَ اختلافًا كثيرًا
“Barangsiapa yang hidup sepeninggalku akan melihat perselisihan yang banyak” (HR. At Tirmidzi 2676, ia berkata: “hasan shahih”)
juga sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:
إن اللهَ لا يقبضُ العلمَ انتزاعًا ينتزِعُهُ من العبادِ، ولكن يقبضُ العلمَ بقبضِ العلماءِ، حتى إذا لم يُبْقِ عالمًا، اتخذَ الناسُ رُؤوسًا جُهَّالًا، فسُئِلوا، فأفْتَوا بغيرِ علمٍ، فضلوا وأضلوا
“sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan seketika dari para hamba. Namun Allah mencabutnya dengan wafatnya para ulama. Hingga tidak tersisa satu orang alim pun, manusia lalu mengangkat orang jahil sebagai pemimpin. Ia ditanya, lalu berfatwa tanpa ilmu. Ia sesat dan menyesatkan” (HR. Al Bukhari 100, Muslim 2673).
Karena tidak ada yang bisa meluruskan perbuatan bid’ah kecuali para ulama, yaitu orang-orang yang mengilmui hukum-hukum agama dengan pemahaman yang shahih. Ketika para ulama sedikit jumlahnya atau tidak ada sama sekali maka perbuatan bid’ah merajalela dan menyebar.
2. Mengikuti hawa nafsu
Orang yang enggan untuk mengikuti tuntunan Al Qur’an dan As Sunnah, maka sebenarnya ia mengikuti hawa nafsunya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
فَإِنْ لَمْ يَسْتَجِيبُوا لَكَ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُونَ أَهْوَاءَهُمْ وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللَّهِ
“Maka jika mereka tidak menjawab seruanmu, maka ketahuilah bahwa mereka itu mengikuti hawa nafsu mereka. dan barangsiapa yang lebih sesat dari orang yang mengikuti hawa nafsu meeka tanpa petunjuk dari Allah” (QS. Al Qashash: 50)
أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَى عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْدِيهِ مِنْ بَعْدِ اللَّهِ
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat)” (QS. Al Jatsiyah: 23).
Dan kebid’ahan merupakan bentuk mengikuti hawa nafsu.
3. Fanatik buta kepada suatu pemikiran atau kepada tokoh
Sikap fanatik buta terhadap suatu pemikiran, seperti kepada madzhab, kepada prinsip organisasi, kepada tradisi, juga fanatik kepada tokoh tertentu seperti kepada ulama tertentu, kepada tokoh jihad tertentu, kepada nenek moyang, atau kepada orang yang dianggap mulia, ini dapat menghalangi seseorang untuk mengikuti dalil dan mengetahui kebenaran. Hal ini disinggung dalam Al Qur’an:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ
“Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab: “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apa pun, dan tidak mendapat petunjuk?”” (QS. Al Baqarah: 170).
Fanatik buta ini sebagaimana yang terjadi sekarang ini pada orang-orang sufi dan quburiyun (pengagung kuburan), ketika mereka disampaikan dalil-dalil yang shahih dan diajak kepada kebenaran, mereka berhujjah dan berargumen dengan perkataan-perkataan tokoh-tokoh mereka, syaikh-syaikh mereka, atau nenek moyang mereka.
4. Meniru-niru ciri khas orang kafir (tasyabbuh)
Sikap meniru-niru ciri khas orang kafir, baik dari kalangan ahlul jahiliyah, ahlul kitab atau pun para penyembah berhala juga merupakan penyebab timbulnya banyak kebid’ahan. Bahkan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mengisyaratkan hal ini memiliki peran yang besar dalam terjadinya kebid’ahan:
خرجنا مع رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ إلى حُنينٍ ونحن حُدثاءُ عهدٍ بكفرٍ وللمشركين سدرةٌ يعكفون عندَها وينُوطون بها أسلحتَهم يُقالُ لها ذاتُ أنواطٍ فمررنا بسدرةٍ فقلنا : يا رسولَ اللهِ اجعلْ لنا ذاتَ أنواطٍ كما لهم ذاتُ أنواطٍ فقال صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ: اللهُ أكبرُ إنها السننُ قلتم والذي نفسِي بيدِه كما قالت بنو إسرائيلَ لموسَى: اجعلْ لنا إلهًا كما لهم آلهةٌ؛ لتركَبُنَّ سنَنَ مَن كان قبلَكم
“kami keluar bersama Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menuju Hunain. ketika itu kami baru lepas dari kemusyrikan (baru masuk Islam). Dan orang-orang musyrik itu memiliki pohon yang dijadikan tempat i’tikaf dan menggantungkan senjata-senjata mereka. Pohon tersebut dinamai Dzatu Anwath. Kami pun lalu melewati sebuah pohon. Maka kami berkata: ‘Wahai Rasulullah, jadikan bagi kami Dzatu Anwath sebagaimana orang musyrik juga punya Dzatu Anwath’. Lalu Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘Allahu Akbar! Itu adalah bagian dari kebiasaan (jahiliyah). Kalian telah mengatakan seperti yang dikatakan Bani Israil kepada Nabi Musa: jadikan bagi kami sesembahan sebagaimana mereka juga punya sesembahan’. Sungguh kalian kelak akan mengikuti kebiasaan orang-orang terdahulu” (HR. At Tirmidzi no.2180, ia berkata: “hasan shahih”)
Dalam hadits ini dinyatakan bahwa sikap meniru-niru kebiasaan orang kafir dan musyrik membuat sebagian Bani Israil dan para sahabat Nabi meminta sebuah permintaan yang buruk, yaitu meminta dibuatkan sesuatu yang bisa untuk diibadahi dan ngalap berkah di sana.
Dan inilah yang terjadi di zaman ini, yaitu kebanyakan kaum Muslimin meniru-niru kebiasaan orang kafir kemudian diadopsi dalam kemasan Islam sehingga jadilah amalan-amalan yang bid’ah dan bahkan sebagiannya menjerumuskan dalam kesyirikan.
Semoga Allah senantiasa melimpahkan hidayah kepada kita dan kaum Muslimin secara umum agar senantiasa berjalan di jalan-Nya yang lurus dan terhindar dari jalan-jalan yang menyimpang.
[Disarikan dari kitab Al Irsyad ila Shahihil I’tiqad, karya Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan, hal.381-383, cetakan Darus Shahabah]
—
Penulis: Yulian Purnama
Artikel Muslim.Or.Id