Sebuah kata yang sering kita dengar dalam kehidupan sehari-hari akan tetapi kita terkadang lupa. Sebuah kata yang seakan-akan kita sudah tahu maknanya, tetapi kita tidak tahu bagaimana cara menerapkannya. Dia adalah sabar, banyak dari manusia yang setiap harinya mendengar kata ini, namun ketika dia ditimpa sebuah ujian atau cobaan dari Allah ta’ala dia menjadi lupa.
Sudah seharusnya kita mengetahui apa itu makna sabar, dalil-dalil tentang sabar, lalu macam-macam kesabaran. Jangan sampai kita sebagai umat Islam dikatakan sebagai orang-orang yang hanya tahu kulitnya saja dari sebuah ilmu. Umat Islam adalah umat yang cerdas, karena umat Islam memiliki seorang nabi yang sangat cerdas, yaitu Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Terlebih di masa-masa penuh dengan fitnah dan cobaan, maka manusia harus lebih mengetahui makna sabar yang sesungguhnya. Agar ia bisa menjadi orang-orang yang beruntung ketika dia mengetahui makna sabar dan penerapnnya dalam kehidupan sehari-hari
Segala puji bagi Allah ta’ala yang telah memberikan kepada kita iman dan Islam, sehingga sampai pada hari ini kita masih bisa merasakan dua nikmat yang terbesar ini. Kehidupan kaum muslimin tidak akan pernah bisa lepas dari yang namanya cobaan dan ujian. Allah ta’ala akan senantiasa menguji kita dengan ujian yang berbeda-beda. Ada diantara kita yang diuji dengan sebuah penyakit, hilangnya sebuah kenikmatan dari sisinya, diambilnya orang yang ia cintai dari kehidupannya, serta ujian-ujian yang lainnya.
Maka dari itu, wajib bagi manusia untuk bersabar atas ujian yang Allah ta’ala berikan kepada dirinya, agar derajatnya di sisi Allah ta’ala dinaikkan lebih tinggi. Sabar secara makna bahasa itu berarti الحبس/Al Habsu yang berarti menahan dirinya atas sesuatu. Sabar secara makna Istilah syar’i menurut para ulama’ adalah menahan diri atas tiga perkara, yaitu: 1. Sabar dalam menjalankan keta’atan kepada Allah ta’ala, 2. Sabar dalam menjauhi larangan-larangan Allah ta’ala, 3. Sabar dalam menerima takdir-takdir Allah ta’ala yang buruk kepada dirinya.
Yang pertama ialah sabar dalam menjalankan keta’atan-keta’atan kepada Allah ta’ala. Menjalankan keta’atan kepada-Nya adalah hal yang berat pada sebagian manusia. Ditambah lagi hal itu menjadi sulit bagi badan ketika ingin menggerakkan tubuhnya dalam rangka menjalankan keta’atan tersebut. Yang paling berat ialah ketika keta’atan tersebut berkaitan dengan masalah harta, maka banyak sekali manusia yang meninggalkannya. Seperti zakat, naik haji, berkurban, bersedekah, berinfak dan lainnya.
Maka dari itu Allah ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اصْبِرُوا وَصَابِرُوا وَرَابِطُوا وَاتَّقُوا الله لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُون
“Wahai orang-orang yang beriman bersabarlah kamu, kuatkanlah kesabaranmu, dan tetaplah bersiaga (di perbatasan), dan bertakwalah kepada Allah agar kalian beruntung” (QS. Ali Imran ayat: 200)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullahu dalam kitabnya Syarah Riyadhus Shalihin “Sabar yang pertama ialah menahan diri dari perbuatan maksiat, yang kedua ialah sabar dalam menjalan kan keta’atan kepada-Nya”. Kenapa kita butuh sabar dalam menjalankan keta’atan? Yang pertama ialah karena keta’atan tadi akan membebani dan mewajibkan sesuatu pada jiwanya. Lalu yang kedua karena keta’atan itu akan terasa berat bagi jiwa, karena hampir sama dengan meninggalkan kemaksiatan yang dimana jiwa selalu memerintahkan untuk selalu berbuat maksiat. Maka dari itu sabar dalam menjalankan keta’atan kepada Allah ta’ala itu jauh lebih utama daripada sabar dalam meninggalkan kemaksiatan kepada- Nya.
Kita ambil contoh masalah shalat shubuh berjamaah di masjid bagi kaum laki-laki. Bagi laki-laki yang sudah baligh kemudian tidak ada halangan syar’i yang menghalangi mereka untuk berangkat ke masjid, maka wajib atasnya untuk shalat berjama’ah bersama kaum muslimin. Namun apa yang terjadi? Banyak dari mereka lebih memilih tempat tidur daripada pahala di sisi Allah ta’ala. Jiwanya merasakan keberatan yang amat berat saat membuka matanya, lalu melangkahkan kakinya ke kamar mandi untuk membersihkan diri lalu menuju ke masjid.
Seandainya dia betul-betul mengingat dan memahami dua sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam tentang shalat shubuh maka pasti dia akan memilih shalat shubuh di masjid daripada tidur di atas kasurnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَيْسَ صَلاةٌ أَثْقَلَ عَلَى المُنَافِقِينَ مِنْ صَلاةِ الفَجْرِ وَالعِشَاءِ
“Tidak ada shalat yang lebih berat bagi orang-orang munafik melainkan shalat fajar (shubuh), dan shalat isya” (HR. Bukhari)
Lalu juga sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam:
وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِيهِمَا لأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوا
“Seandainya mereka tahu keutamaan yang ada pada kedua shalat tersebut, maka mereka pasti akan mendatanginya walaupun dalam keadaan merangkak”. (HR. Bukhari)
Ini baru satu peribadatan saja, yaitu tentang masalah shalat. Belum lagi ditambah peribadatan-peribadatan yang lainnya seperti puasa yang mengharuskan mereka tidak makan dan minum serta hal-hal lain yang membatalkan puasa dari terbit fajar sampai terbenam matahari. Lalu kemudian ibadah haji dan berkurban yang mengharuskan mereka mengeluarkan biaya ketika ingin melaksanakannya. Maka dari itu hendaknya kita bersabar di dalam menjalankan keta’atan kepada-Nya.
Yang kedua ialah sabar dalam menjauhi larangan-larangan Allah ta’ala yaitu dengan manusia menahan dirinya agar tidak melakukan kemaksiatan-kemaksiatan yang telah Allah ta’ala haramkan kepada dirinya. Karena jiwa seseorang memiliki nafsu, sesuai yang difirmankan-Nya nafsu tersebut selalu memerintahkan dan mengajak kepada kemaksiatan. Allah ta’ala berfirman:
إِنَّ ٱلنَّفْسَ لَأَمَّارَةٌۢ بِٱلسُّوٓءِ
“Sesungguhnya nafsu selalu memerintahkan ke dalam kejahatan”. (QS. Yusuf ayat: 53)
Terlebih lagi ketika nanti maksiat yang ia lakukan ditiru oleh orang lain, maka maksiat tersebut akan menjadi dosa jariyyah bagi pelaku yang mencontohkannya. Maksudnya ialah maksiat tersebut akan terus mengalirkan dosa kepada pelaku yang mengerjakannya pertama kali. Seperti yang Allah ta’ala firmankan di dalam sebuah ayat:
لِيَحْمِلُوا أَوْزَارَهُمْ كَامِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَمِنْ أَوْزَارِ الَّذِينَ يُضِلُّونَهُمْ بِغَيْرِ عِلْمٍ أَلَا سَاءَ مَا يَزِرُونَ
“Mereka akan memikul dosa-dosa yang penuh pada hari kiamat, juga dosa orang-orang yang mereka sesatkan yang tidak tahu sedikitpun (bahwa mereka disesatkan)”. (QS. An Nahl ayat: 25)
Imam Ibnu Katsir rahimahullahu di dalam tafsirnya menukil perkataan imam Mujahid rahimahullahu yaitu “Mereka akan menanggung dosa-dosa mereka sendiri dan dosa-dosa orang lain yang mengikutinya. Serta mereka tidak akan diberikan keringanan azab atas dosa orang yang mengikutinya”.
Hal ini juga senada dengan apa yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sabdakan:
مَنْ دَعَا إِلَى ضَلَالَةٍ، كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الْإِثْمِ مِثْلُ أَثَامِ مَنْ تَبِعَهُ، لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا
“Siapa saja yang mengajak kepada kesesatan (kejelekan), maka bagi dirinya dosa dan dosa-dosa orang yang mengikutinya. Serta tidak akan dikurangi dosanya sedikitpun” (HR. Muslim dan Ahmad)
Kemudian yang selanjutnya ialah bersabar dengan takdir Allah ta’ala yang buruk. Karena takdir Allah ta’ala ada yang baik dan ada yang buruk. Ketika manusia ditakdikan kepadanya sebuah takdir yang baik, maka sudah sehendaknya dia bersyukur kepada Allah ta’ala. Namun sabar saat ditimpa musibah, ini merupakan perkara yang sangat berat. Dia menyabarkan dirinya, lisannya, serta anggota tubuhnya dari perbuatan-perbuatan yang menunjukkan dirinya tidak sabar.
Manusia ketika ditimpa musibah terbagi ke dalam empat golongan. Golongan yang pertama ialah golongan yang murka (tidak ridho) dengan ujian dari Allah ta’ala ini. Dia merasa bahwa Allah ta’ala menzaliminya, mengambil hak-haknya, merampas kebahagiannya. Maka ini adalah sejelek-jelek golongan saat ditimpa musibah. Bahkan sebagian dari mereka ada yang menjambak- jambak rambutnya, membenturkan kepalanya ke tembok, yang dimana ini semua akan menambah musibah bagi dirinya.
Padahal jika ia mau bersabar, maka baginya adalah surga Allah ta’ala. Seperti yang disabdakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ada seorang wanita berkulit hitam yang terkena penyakit ayan. Dia memohon kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berdo’a kepada Allah ta’ala agar menyembuhkan penyakitnya. Apa kata Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?
إِن شئت صبرتِ وَلَكِ الْجَنَّةُ وَإِنْ شِئْتِ دَعَوْتُ الله أَن يُعَافِيَكِ
“Jika engkau mau bersabar (atas penyakitmu), maka bagimu surga. Jika engkau mau, aku akan berdoa kepada Allah agar menyembuhkanmu”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Namun wanita tadi lebih memilih agar dia ketika terkena penyakit ayan agar auratnya tidak terbuka. Dia bersabar atas penyakit tersebut, dan dia mendapatkan surganya Allah ta’ala.
Lalu tingkatan yang kedua ketika ditimpa musibah ialah dia bersabar atas musibah tersebut. Dia tidak berbuat aniaya kepada dirinya saat ditimpa musibah, dia tidak mencela Allah ta’ala saat ditimpa musibah, namun dia membenci musibah itu datang kepada dirinya.
Lalu tingkatan yang selanjutnya ialah ridho terhadap apa-apa yang Allah ta’ala berikan kepada dirinya. Dia ridho atas musibah yang menimpa dirinya Dia berlapang dada, seakan-akan dia belum pernah tertimpa musibah itu sebelumnya. Maka ini adalah tingkatan yang jauh lebih baik dari tingkatan pertama dan kedua. Allah ta’ala berfirman:
مَآ أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ ٱللَّهِ ۗ وَمَن يُؤْمِنۢ بِٱللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُۥ ۚ وَٱللَّهُ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمٌ
“Tidak ada sesuatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah. Dan barang siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (At Taghabun ayat: 11)
Bahkan di dalam ayat di atas sudah sangat jelas, barangsiapa yang beriman atas takdir Allah ta’ala yang buruk (musibah) sehingga dia mampu untuk ridho akan takdir tersebut, maka Allah ta’ala akan memberinya taufik.
Tingkatan selanjutnya ialah tingkatan yang paling tinggi, yaitu bersyukur saat ditimpa sebuah musibah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika melihat sesuatu yang tidak menyenangkan, maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam malah bersyukur kepada-Nya. Seperti dalam sebuah hadisyang dibawakan Aisyah radhiallahu anha :
إِذَا رَأَى مَا يُحِبُّ قَالَ الحَمد لله الذى بنعمته تتم الصالحات. وإذا رأى ما يكره قَال الْحَمْدُ لِله على كل حال
“Apabila Rasulullah melihat sesuatu yang menyenangkan, beliau berkata Alhamdulillah bini’matihi tatimmus shalihat. Namun apabila beliau melihat sesuatu yang beliau tidak suka, maka beliau berkata Alhamdulillah ‘ala kulli haalin“. (HR. Ibnu Majah no: 3803)
Terakhir kami bawakan perkataan Imam Asy Syafi’i rahimahullahu yang dinukil Imam Ibnu Katsir rahimahullahu dalam tafsirnya. Beliau rahimahullahu berkata:
صبرا جميلا ما أقرب الفرجا … مَن رَاقب الله في
الأمور نجا
مَن صَدق الله لَم يَنله أَذَى … وَمَن رَجَاه يَكون حَيثُ رَجا
“Bersabarlah dengan yang baik, karena dekatnya kelapangan.
Barangsiapa yang mendekatkan diri kepada Allah (untuk bebas dari musibah), maka ia pasti akan selamat
Barangsiapa yang yakin dengan (takdir) Allah, ia pasti tidak merasakan penderitaan.
Barangsiapa yang hanya berharap kepada- Nya, maka Allah pasti akan memberi pertolongan”
Penulis : Ustadz Ananda Ridho Gusti
Majalah Bulan September-Oktober, 2017 Edisi 59