Maukah Kita bekerja mati-matian di suatu perusahaan tetapi tidak dibayar? Padahal kita melakukannya demi bayaran yang gedhe. Tentu tidak ada seorangpun yang mau. Maukah kita bekerja dengan sedikit energi tetapi bayaran pedhe? Pasti semua orang menginginkannya. Nah, demikian pula di dalam kita “bekerja untuk Allah” (baca: ibadah), adakalanya kita banyak berbuat tetapi tidak mendapatkan pahala sedikitpun. Malahan bisa jadi yang didapatkan adalah dosa. Sebaliknya, bisa jadi kita hanya sedikit berbuat tetapi berpahala besar. Kenapa bisa demikian? Ketahuilah ini semuanya bergantung kepada niat kita, apakah kita mengikhlaskannya karena Allah, atau karena yang lainnya. Imam Ahmad berkata: “Ikhlas adalah seseorang mengkontrol dirinya ketika melakukan amaliyah jangan sampai tendensinya pujian manusia”. Nabi bersabda: “Sesungguhnya orang yang pertama akan diadili oleh Allah adalah seorang yang mati syahid (dimata manusia), maka orang ini didatangkan (menghadap Allah), diberitahukan kepadanya nikmat-nikmatnya dan iapun mengetahuinya. Maka Allah bertanya kepadanya, “Apa yang engkau lakukan di dalam nikmat tersebut?” Maka ia menjawab,”Sungguh aku telah berperang karena Engkau, sehingga aku mati syahid.” Maka Allah berfirman, “Engkau dusta. Akan tetapi, engkau berperang supaya dikatakan pemberani, dan pujian itu telah engkau dapatkan,” kemudian orang ini diperintahkan agar dicampakkan Wajahnya ke dalam api neraka. Kemudian orang yang mempelajari ilmu dan mengajarkannya serta membaca Al-Qur’an, maka orang ini didatangkan (menghadap Allah), maka diberitahukan kepadanya nikmat-nikmatNya, dan iapun mengetahuinya. Maka Allah bertanya kepadanya, “apa yang telah engkau lakukan di dalam nikmat tersebut?”, Orang ini menjawab, “Sesungguhnya aku telah mempelajari ilmu dan mengajarkannya, dan aku membaca Al-Qur’an karena Engkau.” Maka Allah berfirman, “Engkau berdusta, akan tetapi engkau belajar ilmu agar dikatakan ‘alim dan membaca Al-Qur’an agar dikatakan qari’, dan pujian itu telah engkau dapatkan.” Kemudian orang ini diperintahkan agar dicampakkan wajahnya ke dalam api neraka. Kemudian orang yang diberi keluasan rizki oleh Allah, maka Allah memberikan kepadanya berbagai macam harta. Maka orang ini didatangkan (menghadap Allah). Diberitahukan kepadanya nikmat-nikmatNya, dan iapun mengetahuinya. Maka Allah bertanya kepadanya, “Apa yang telah engkau lakukan di dalam nikmat tersebut?” Orang ini menjawab,”Tidaklah aku meninggalkan satu jalan yang Engkau cintai atau diinfakkan di dalamnya, kecuali aku menginfakkan di jalan tersebut karena Engkau,” maka Allah berfirman, “engkau dusta, akan tetapi engkau berinfak supaya dikatakan dermawan, dan pujian itu telah dikatakan.” Kemudian orang ini diperintahkan agar dicampakkan wajahnya kedalam api neraka. (HR Muslim)
Di dalam al-Qur’an Allah mengumpamakan dengan susu murni, “Dan sesungguhnya pada binatang ternak itu benar-benar terdapat pelajaran bagi kamu. Kami memberimu minum dari apa yang berada dalam perutnya berupa susu yang murni (murni al- Qur’an menyebutnya dengan خَالِصًا, dari sinilah asal kata ikhlas) antara tahi dan darah yang mudah ditelan bagi orang-orang yang meminumnya” (QS. An-Nahl: 66). Perhatikanlah Allah menyebutkan “benar-benar terdapat pelajaran bagi kamu”, ini agar kita men-tadabbur-i betapa susu itu murni padahal keluar dari antara tahi dan darah, sedikitpun tidak tercampur dengan tahi atau darah hewannya, meskipun sekedar 0,001%. Kalau masih tercampur tahi atau darahnya meskipun dengan kadar sangat sedikit, maka tidak dikatakan murni. Demikian pula ibadah, yang seharusnya murni (ikhlas) untuk Allah jika tercampur dengan suatu hal lain meskipun dengan kadar sangat sedikit, maka tidak dikatakan ikhlas.
Ikhlas atau niat yang tulus adalah perkara besar dan sangat penting sehingga membutuhkan perhatian tersendiri. Kondisi manusia di mahsyar nanti setelah dibangkitkan dari alam barzah bergantung kepada niatnya ketika menjalani hidup di dunia sebagai hamba-Nya. Nabi bersabda: “(Kondisi) manusia ketika dibangkitkan (nanti) itu sesuai dengan niatnya” (HR. Ibnu Majah). Niat tempatnya di hati. Jadi, segumpal daging yang ada dalam tubuh kita ini harus senantiasa di kontrol. Sufyan Ats-Tsauri, seorang ulama tabiut-tabi’in mengatakan: “Tidak ada sesuatu yang lebih berat untuk saya kontrol melebihi beratnya mengkontrol hati, karena ia bersifat bolak-balik”. Kalau hati berhasil kita kendalikan, maka akan selamat di Akherat kelak. Allah berfirman: “Pada hari ketika harta dan anak-anak tidak berguna kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang selamat” (QS. Asy-Syu’ara: 88-89). Hanya orang-orang ikhlas yang tidak bisa digoda syetan. Allah menginformasikan tentang hal ini, “la (iblis) berkata: ‘Tuhanku, oleh karena Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, aku pasti akan jadikan (kejahatan) terasa indah bagi mereka di bumi, dan aku akan menyesatkan mereka semuanya kecuali hamba-hamba-Mu yang ikhlas dari antara mereka’” (QS. Al-Hijr: 39-40)
Agar keikhlasan bisa tetap terjaga kontrollah hati sebelum, ketika dan sesudah melakukan suatu amaliyah. Misalnya; kita bangun tengah malam dan hendak shalat tahajud, mantapkan hati terlebih dahulu bahwa shalat ini murni karena Allah. Lalu, ketika sedang melakukannya jagalah hati jangan sampai dicuri oleh syetan yang akhirnya tidak murni karena Allah lagi tetapi karena suatu pandangan atau riya. Kemudian, ketika sudah berakhir hati tetap harus dijaga. Karena bisa saja kita selamat dari perangkap riya pada fase sebelum dan ketika tetapi tidak selamat dari perangkap lainnya yang berupa ‘ujub (bangga diri dengan suatu amaliyah) pada fase sesudah, di mana sebelum dan ketika shalat tahajjud niat tetap terjaga murni karena Allah, tidak ada riya, begitu selesai tahajjud lalu tengok kanan dan kiri djumpainya semua manusia tidur tidak ada yang bangun shalat tahajjud kecuali dirinya lalu muncullah ‘ujub. Akhirnya gagal lah dia dengan amaliyahnya tersebut.
Pembahasan di atas adalah niat dalam masalah aqidah. Adapun dalam masalah fiqh, pembahasannya berikut ini. Niat adalah untuk membedakan ibadah yang satu dari ibadah yang lainnya. Bagaimanakah tatacara shalat dzuhur, ashar, isya? Tatacara, bacaan dan jumlah rokaatnya sama persis. Yang membedakan adalah niatnya. Bagaimana tatacara puasa Ramadhan, Syawal, Senin, Kamis, Daud dan lain-lain? Tatacaranya sama persis. Yang membedakan adalah niatnya. Wujud pengeluaran infak wajib dan infak sunah sama sekali tidak ada bedanya, yang membedakan adalah niatnya. Syareat menetapkan niat itu letaknya di dalam hati. Tidak ada niat dilafadzkan dengan lisan kecuali niat haji dan umroh. Jadi, yang dilakukan sebagian kaum muslimin dengan melafadzkan niat seperti; usholli fardho al-maghrib…, nawaitu al-wudhu-a…, nawaitu at-tayammuma dan lain-lain semuanya ini tidak diajarkan oleh Nabi. Mereka menyandarkan hal ini kepada Imam Asy-Syafi’i, padahal beliau tidak pernah mengatakannya. Tetapi sebagian kaum muslimin menukil ucapan beliau lalu salah di dalam memahaminya. Beliau mengatakan (dinukil oleh Ibnu Qoyim dalam “Zadul Ma’ad): “Shalat itu tidak seperti puasa, dimana seseorang tidak dikatakan memulai shalat kecuali dengan dzikir”. Lain halnya dengan puasa, untuk memulainya seseorang tidak perlu melafadzkan dzikir tertentu, asal sudah masuk waktu shubuh otomatis seseorang memulai melakukan puasa. Ibnu Qoyim mengatakan bahwa mereka salah memahami “dzikir” yang diucapkan Imam Asy-Syafi’i sebagai melafadzkan niat, padahal yang dimaksud adalah takbiratul ihram dan tidak ada satu haditspun, atau atsar atau ucapan ulama termasuk ulama 4 madzhab yang menetapkan pelafadzan niat.
Beberapa Perkara yang Perlu Diketahui
1. Jika seseorang berniat melakukan suatu kebaikan lalu benar-benar merealisasikannya maka dicatat baginya pahala sepuluh kali lipat sampai tujuh ratus kali lipat. Tetapi jika tidak merealisasikannya maka baginya pahala satu kali lipatnya.
2. Jika seseorang berniat melakukan suatu kejelekan lalu mewujudkannya maka dicatat baginya dosa satu kali lipatnya. Tetapi, jika tidak melakukannya dicatat baginya satu kebaikan.
3. Kalau seseorang telah membiasakan suatu amalan, lalu tidak bisa melakukannya karena ada udzur maka dicatat baginya pahala secara sempurna; pahala niat dan pahala amalan. Misalnya: Seseorang setiap malam melakukan shalat tahajud, lalu suatu malam tidak bisa bangun karena kelelahan padahal dia sudah niat untuk bangun, maka dia mendapatkan pahala sempurna, yaitu pahala niat dan pahala amalan. Kalau dia belum membiasakan shalat tahajud, lalu suatu malam berniat untuk melakukannya tetapi tidak bisa bangun maka hanya mendapatkan pahala niat saja, tidak mendapatkan pahala amalan.
4. Yang dinilai oleh syareat adalah niatnya, bukan dzahirnya. Misalnya seseorang memiliki 10 rumah. Dia berniat untuk mewakafkan yang terkecil kepada suatu yayasan. Lalu dia menunjuk rumah yang paling besar ketika menyerahkan kepada yayasan tersebut. Maka yang dia dapatkan adalah pahala wakaf rumah terkecil karena itulah yang diniatkan meskipun kenyataannya yang diwakafkan adalah rumah yang paling besar.
5. Shalat berjama’ah, boleh berbeda niat antara Imam dan makmum; Imam berniat shalat sunnah sementara makmum berniat shalat wajib atau sebaliknya asalkan gerakan shalatnya sama. Tidak boleh berjamaah shalat dzuhur- misalnya dengan shalat jenazah atau shalat istisqo’ karena gerakannya berbeda.
Penulis : Muhammad Nur Yasin Zain, Lc. Hafizhahullah
(Pengasuh Pesantren Mahasiswa THAYBAH Surabaya)
Majalah Bulan Mei, 2014 Edisi 23