Solusi Investasi Akhirat Anda

PEGAWAI, SURGA MERINDUKANMU (Saling Menasehati, Bag. 4)

7. Saling Menasehati
Ada empat kewajiban bagi setiap muslim. Siapapun orangnya tanpa terkecuali, yaitu: berilmu, beramal, berwasiat dalam haq dan sabar. Allah ta’ala berfirman,

وَالْعَصْرِ () إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ () إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ

“Demi masa () Sesungguhnya manusia benar-benar dalam keadaan rugi () kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan saling berwasiat dalam al-Haqq dan saling berwasiat agar menetapi kesabaran” (QS. Al-‘Ashr: 1-3)
Dari keempat kewajiban ini salah satunya adalah berwasiat dalam haq. Dalam ungkapan lain yaitu menasehati. Dan, nash menyebutkannya dengan lafadz “ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ“. bentuk kalimatnya menunjukkan makna “lil musyarokah baina-ts-nain” yang artinya SALING. Jadi, artinya SALING MENASEHATI. Berarti Anda harus siap untuk memberi nasehat juga harus siap untuk diberi nasehat. Jadi, kita harus siap dengan keduanya. Adakalanya sebagai subyek juga sebagai obyek. Tidak usah “gumedhe” sehingga maunya hanya menasehati saja tidak mau dinasehati, kalau dinasehati marah.

Untuk menguatkan mental kita agar senang DINASEHATI, TIDAK HANYA MENASEHATI adalah hadirkanlah kesadaran bahwa:
a.] Tidak ada manusia yang sempurna, setiap orang ada kekurangannya
b.] Yang menilai diri kita adalah orang lain, bukan kita sendiri
c.] Mencerminkan sifat tawadhu’ yang dicintai semua orang
d.] Suatu kesalahan atau kekeliruan tidak akan terbiarkan

Ketika milieu SALING MENASEHATI DAN DINASEHATI berjalan, maka sebuah team work di dalam kantor atau perusahaan akan terjaga eksistensinya.
8. Qona’ah dan Tawakkal
Anda tentu melihat orang bergelimang harta tetapi seringkali gelisah seakan-akan tak memiliki kekayaan. Sebaliknya, Anda melihat orang yang serba kekurangan sehingga untuk memenuhi kebutuhan primer saja seringkali harus “ngempet-ngempet”, tetapi ia tampak seperti orang yang berkecukupan. Kenapa bisa demikian? Jawabannya, orang pertama tidak “qona’ah dan tawakkal” (menerima apa yang didapatkan dan bersandar kepada Allah ta’ala) sehingga selalu merasa kurang dan tidak pernah puas. Sedangkan orang kedua, ia “qona’ah dan tawakkal” sehingga harta yang didapatkannya dirasakan bisa mencukupi dan akhirnya menjadi orang yang pandai-pandai mensyukuri nikmat. Hati pun merasa plong dan jiwa merasa tenang. Allah ta’ala berfirman,

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِى لَشَدِيدٌ (إبراهيم:7)

“Dan (ingatlah), tatkala Tuhanmu memaklumatkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih” (QS. Ibrahim:7)
Nabi shallahu’alaihi wasallam bersabda,

لو أنكم تتوكلون على الله حقَّ توكُّله ؛ لرزقكم كما يرزق الطيرَ : تغدوا خماصًا وتروح بطانًا(رواه أحمد والترمذي وابن ماجه عن عمر ابن الخطاب)

“Sekiranya kalian bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakkal, niscaya Dia akan memberi rizki kepada kalian sebagaimana Dia memberi rizki terhadap burung, ia pergi dalam keadaan lapar dan pulang dalam keadaan kenyang.” (HR. Ahmad, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah dari Umar bin al-Khoththob)
Orang yang tidak bisa “qona’ah dan tawakkal” akan terdorong untuk berbuat apapun demi memenuhi hasratnya. Ini sangat membahayakan karena bisa terperangkap ke dalam “gelap mata gelap hati” yang akhirnya mengambil jalan pintas menghalalkan segala macam cara. Dia tidak merasa risih untuk mengabaikan hukum-hukum Allah ta’ala. Tidak merasa beban untuk melanggar syariat-Nya. Perdukunan dan berbagai praktek kesyirikanpun dipandangnya sebagai solusi, padahal rizki tidak akan diraihnya kecuali sebatas yang telah Allah ta’ala taqdirkan. Orang semacam ini Allah ta’ala telah cerai-beraikan urusan-urusannya sehingga jiwanya gersang, hidupnya tidak pernah tenang dan selalu sumpek. Disebutkan di dalam Hadits,

من كانتِ الآخرةُ هَمَّهُ جعلَ اللَّهُ غناهُ في قلبِهِ وجمعَ لَه شملَهُ وأتتهُ الدُّنيا وَهيَ راغمةٌ ، ومن كانتِ الدُّنيا همَّهُ جعلَ اللَّهُ فقرَهُ بينَ عينيهِ وفرَّقَ عليهِ شملَهُ ، ولم يأتِهِ منَ الدُّنيا إلَّا ما قُدِّرَ له (رواه الترمذى عن أنس مالك)

“Barangsiapa yang menjadikan Akhirat sebagai tujuannya, maka Allah ta’ala akan menjadikan kekayaan berada di dalam hatinya, Allah ta’ala akan mengumpulkan (memudahkan) baginya urusannya, dan dunia akan mendatanginya dalam kondisi rendah dan hina.
Dan barangsiapa yang menjadikan dunia sebagai tujuannya, maka Allah ta’ala akan menjadikan kemiskinan selalu berada di depan kedua matanya, Allah ta’ala akan mencerai-beraikan urusannya, dan dunia tidak akan mendatanginya kecuali apa yang telah ditaqdirkan untuknya.” (HR. At-Tirmidzi dari Anas bin Malik)
9. Tidak Membiarkan Waktu untuk Bengong
Berapa lama waktu yang Anda tempuh untuk berangkat menuju tempat kerja? Gunakanlah sebaik-baiknya untuk mendulang pahala. Caranya, gunakanlah kesempatan tersebut untuk berdzikir; membaca al-Qur’an yang telah dihafal, tasbih, tahmid, takbir, istighfar, shalawat dan lain-lain. Semakin jauh tempat kerjanya, maka semakin banyak kesempatan untuk berdzikir. Dengan berdzikir Anda tidak membiarkan pikiran Anda kosong alias bengong. Justru akan menguatkan ibadah mahdhoh sebagaimana yang dibahas pada poin (a). Yaitu “menyematkan ibadah pada aktivitas”. Dzikir selain akan menjadikan Anda ke dalam kelompok “adz-dzakirin wadz–dzakirot” yang fadhilahnya adalah mendapatkan maghfiroh dan rahmat Allah ta’ala juga akan mendatangan ketenangan jiwa. Disebutkan di dalam Al-Qur’an,

وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا (الأحزاب:35)

“Laki-laki dan perempuan yang banyak berdzikir (menyebut nama Allah), Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar” (QS. Al-Ahzab: 35)

الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ (الرعد:28)

(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram (QS. Ar-Ro’d: 28)
Kesempatan ini juga bisa dimanfaatkan untuk tidak terlalu jauh dari keteladanan Nabi shallahu’alaihi wasallam. Keteladanan yang manakah itu? Beliau shallahu’alaihi wasallam orang yang tidak memiliki dosa tetapi setiap hari ber-istighfar tidak kurang dari 100x. Jadi, kita bisa khususkan untuk ber-istighfar sepanjang perjalanan menuju kantor atau pulangnya. Coba kita introspeksi, kapan sajakah kita ber-istighfar hingga mencapai 100x? Jika hanya seusai shalat maka hanya 3x, atau 15x dalam 5 waktu shalat. Sementara yang dituntut minimal 100x. Kapan kita bisa memenuhinya? Tidak ada cara, kecuali kita harus mengagendakannya. Nah, pada kesempatan inilah kita bisa melakukannya. Nabi shallahu’alaihi wasallam bersabda,

إنِّي لأستغفرُ اللهَ وأتوبُ إليهِ في اليومِ مائةَ مرةٍ (رواه ابن ماجه عن أبى هريرة)

“Sesungguhnya saya memohon ampun dan bertaubat kepada-Nya di dalam sehari seratus kali” (HR. Ibnu Majah dari Abu Hurairah)

Hal ini ringan untuk dilakukan tetapi susah untuk direalisasikan. Karena kecenderungan sesorang itu bolak-balik antara kosong pikiran alias bengong atau ngobrol. Untuk itu, ia butuh pembiasaan yang terus-menerus hingga terbiasa dan akhirnya bisa menjadi kebiasaan.

Judul buku : PEGAWAI, SURGA MERINDUKANMU

Penulis : Muhammad Nur Yasin Zain, Lc. Hafidzahullah
(Pengasuh Pesantren Mahasiswa Thaybah Surabaya)