“Orang shalih belumlah shalih” maksudnya adalah sekedar menjadi orang shalih itu belum cukup, tetapi juga harus menjadi mushlih (memperbaiki). Inilah yang diperintahkan oleh syariat, agar setiap orang menjadi shalih dan mushlih. Artinya, setelah seseorang mengupayakan dirinya menjadi sebaik-baiknya muslim, dia juga harus memperhatikan kondisi muslim lainnya yang belum baik agar sama-sama menjadi orang baik. Tentunya, menjadi orang baik di dalam semua aspek. Isyarat semacam ini ditujukan oleh banyak nash (ayat dan hadits Nabi). Di antaranya adalah ‘ wa tawaashow bil haqq wa tawaashow bish shobri ‘ ( perintah saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran), ‘ idza ro-aa minkum munkaron fal yughoyyirhu ‘ ( perintah mengubah kondisi kemungkaran). Dan juga firman Allah ﷻ tentang ucapan Nabi Syu’aib:
إِنْ أُرِيدُ إِلا الإصْلاحَ مَا اسْتَطَعْتُ (هود:88)
“Tidaklah aku menghendaki kecuali melakukan perbaikan sesuai kemampuanku.” (QS. Huud: 88)
Kita yang terus berupaya untuk menjadi orang shalih, jangan sampai lupa untuk juga menjadi mushlih dengan segala kemampuan dan kelebihan yang kita miliki baik tenaga, harta, kesempatan, jabatan, kedudukan, popularitas, ilmu, dan lain-lain. Jangan lewatkan begitu saja semua potensi ini, karena orang kafir terus mengintai kelengahan kita. Seorang komandan di sebuah instansi militer yang saya mengenalnya, dia mengadakan kajian rutin mingguan dan mewajibkan semua prajuritnya yang berjumlah sekitar 200 orang untuk mengikutinya. Inilah contoh menjadi mushlih dengan jabatan. Jangan sampai kalah, orang kafir ketika menjadi pejabat pasti dia akan gunakan sebaik-baikanya untuk menyerang Islam, dengan program-programnya yang membuat marah kaum muslimin, seperti penghancuran masjid, mendirikan lokalisasi prostitusi, melarang berqurban di sekolah-sekolah, dan lain-lain.
Seorang kawan datang ke YNF, dia mengatakan agar kalau ada program-program dakwah dan sosial yang membutuhkan kendaraan maka dia siap dengan kendaraannya. Inilah contoh menjadi mushlih dengan hartanya. Lakukanlah dengan potensi apapun demi menjadi mushlih setelah dirinya menjadi orang shalih.
Lihatlah hikmah dari pernikahan Nabi ﷺ . Beliau menikahi Ummu Salamah, kerabat Khalid bin Walid. Akibatnya Khalid tidak lagi bersikap keras terhadap kaum muslimin sebagaimana sikap kerasnya dalam perang Uhud, bahkan tidak lama setelah itu dia masuk Islam dengan suka rela. Beliau menikahi Ummu Habibah, putri Abu Sufyan. Setelah itu Abu Sufyan tidak pernah menghadapi Rasulullah ﷺ dalam peperangan apapun. Begitu juga terror dan permusuhan dari dua kabilah Bani Mushthaliq dan Bani An-Nadhir tidak pernah kaum muslimin dapati lagi setelah Nabi ﷺ menikahi Juwariyyah dan Shafiyyah. Beliau melakukan ini semua, memang, adat kebiasaan orang Arab memandang bahwa ikatan perkawinan merupakan salah satu pintu untuk mengakrabkan kabilah-kabilah yang berbeda-beda. Dan mereka juga memandang bahwa memusuhi dan memerangi orang-orang yang ada dalam ikatan perkawinan adalah aib dan tercela.
Untuk mewujudkan kebaikan bagi kaum muslimin dalam semua aspek, sangat dibutuhkan kerjasama dan tolong-menolong sesama mereka. Allah ﷻ berfirman:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى [المائدة: 2]
“Dan saling tolong menolonglah kalian dalam birr (kebaikan) dan taqwa.” (Qs. Al-Maidah:2)
Apa yang dimaksud dengan birr dan taqwa? Syaikh Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa birr dan taqwa jika disebutkan secara berbarengan maka memiliki arti sendiri-sendiri. Birr maknanya mengerjakan semua perintah Allah, sementara taqwa maknanya meninggalkan semua larangan Allah. Tetapi jika disebutkan secara sendiri-sendiri maka maknanya berbarengan. Ketika disebutkan birr secara tersendiri maka makna taqwa masuk di dalamnya. Demikian pula ketika disebutkan taqwa secara tersendiri maka makna birr masuk di dalamnya. Jelaslah, ini menunjukkan bahwa kaum muslimin harus bekerja sama (ta’awun) dalam semua aspek untuk meraih kemuliaan (‘izzah) ummat di dunia dan di Akhirat.
Lihatlah hikmah dari pernikahan Nabi ﷺ dan empat Sahabat Khulafaurrasyidin. Beliau ﷺ menikahi Aisyah (putri Abu Bakar) dan Hafshoh (putri Umar bin Khottob). Beliau ﷺ menikahkan dua putrinya, Ruqoyyah kemudian Ummu Kultsum dengan Utsman bin Affan. Beliau ﷺ juga menikahkan putrinya yang bernama Fathimah dengan Ali bin Abi Thalib. Apa hikmahnya? Syaikh Shofiyurrahman al-Mubarokfuri di dalam kitabnya ar-Rohiqul Makhtum, menyebutkan bahwa beliau ﷺ ingin memperkuat hubungan beliau dengan keempat orang sahabat yang terkenal dengan perjuangan dan pengorbanan mereka untuk Islam pada masa-masa berat perjalanan dakwah Islam. Inilah contoh ta’awun di dalam al-birr demi izzatul Islam wal muslimin.
Kita harus menyadari bahwa tidak ada manusia yang sempurna. Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Oleh karena itu, kaum muslimin harus bekerja sama untuk merajut semua kelebihan dan menutupi semua kekurangan sehingga lahirlah sebuah kekuatan besar bagi pemberdayaan ummat dalam berbagai aspek. Bisakah seorang da’i menyampaikan ceramah ber-amar ma’ruf nahi munkar di suatu instansi yang tidak mengenalnya? Tidak mungkin. Dalam hal ini, dia memiliki kelebihan berupa ilmu syariat tetapi memiliki kelemahan dari sisi akses untuk masuk ke instansi tersebut. Apa yang dibutuhkan? Yang dibutuhkan adalah mediator yang bisa menjembataninya.
Pernahkan Anda blusukan ke daerah-daerah miskin dan minus pendidikan? Penduduknya, meskipun sudah dewasa dan berusia senja tetapi banyak sekali yang tidak shalat dan tidak bisa membaca al-Qur’an. Apa lagi anak-anaknya. Melihat kondisi yang demikian, seharusnya sebagai orang Islam haruslah risau dan tersentuh hatinya. Jika Anda mengatakan, “Hati saya terpanggil tapi tidak ada kemampuan untuk berceramah?” Jika Anda mengatakan, “Saya bisa berceramah tapi tidak punya anggaran untuk transportasi ke sana?” Jika Anda mengatakan, “Saya punya dana untuk transportasi tetapi sangat sibuk dengan bisnis saya”. Jika Anda mengatakan, “Sebagian keuangan saya, saya alokasikan untuk beasiswa, tapi tidak ada yang mengantarkannya ke sana”. Kalau masing-masing dibiarkan dengan kekurangannya, niscaya proyek ukhrowi ini tidak akan terwujud. Akhirnya daerah minus tersebut selama-lamanya terbelakang dan tidak mengenal Islam, agamanya sendiri. Terus apa solusinya. Solusinya adalah bekerjasamalah di antara Anda!! Himpunlah kekuatan: Rekrutlah siapa yang bisa berceramah dan mengajar? Siapa bagian yang mengumpulkan dana? Siapa donatur tetapnya? Kalau memang memungkinkan, sediakanlah rumah di daerah minus tersebut untuk da’i dan keluarganya tentu sekaligus dengan kesejahteraannya sehingga dia bisa mengajar setiap saat.
Ketahuilah, permasalahan ini yaitu kemiskinan dan keterbelakangan justru banyak melanda kaum muslimin di pedesaan. Selama ini dakwah hanya terpusat di kota-kota besar. Akhirnya mereka menjadi sasaran empuk syiahisasi dan kristenisasi. Mereka pun banyak yang murtad. Saya mendapatkan info dari seorang teman bahwa di suatu desa di Jawa Timur awalnya jumlah muslim 100% sekarang hanya 40%. Bahkan di suatu desa di Jawa Tengah awalnya jumlah muslim 100% sekarang hampir semuanya telah murtad. Teman saya bercerita bahwa dia mendatangi seseorang yang dikenal sebagai juru kebersihan masjid. Penampilannya masih seperti yang dulu memakai sarung dan peci, tetapi sudah bukan sebagai muslim lagi. Dia mengatakan kepada teman saya, “Mas, sekarang saya masuk Kristen, sama-sama ibadah kepada tuhan kan, Mas.” Dan memang, kata teman saya, gereja yang dibangun di desa itu menyerupai masjid, memakai karpet bukan kursi. Laa haula wa laa quwwata illa billah. Saya juga mendapatkan informasi dari seorang Ibu bahwa di suatu desa di Bengkulu, mereka semuanya telah berpindah agama dari Islam ke syiah. Nama jalan-jalannya juga diubah dengan term-term syiah: jalan Husain, jalan Karbala dan lain-lain. Dan dalam waktu tertentu mereka saling berbagi makanan dengan mengatakan, “Ini slametan untuk sayyidina Husain.” Laa haula wa laa quwwata illa billah.
Lihatlah ta’awun ‘alal birr wat taqwa yang dilakukan antara Muhammad bin Abdul Wahhab (seorang ulama Ahlussunnah wal Jama’ah) dan Muhammad bin Sa’ud (seorang penguasa wilayah Dir’iyyah) sekitar tahun 1100 H/ 1700 M. Kerjasama keduanya ulama dan umara ini telah menghasilkan sesuatu yang sangat besar yaitu berdirinya Kerajaan Arab Saudi yang berdasarkan syariat Islam yang bisa dirasakan hingga saat ini.
Lihatlah ta’awun ‘alal birri wat taqwa antara Pemkot Surabaya dengan para tokoh agama dan masyarakat Surabaya yang telah membuahkan sesuatu yang luar biasa yaitu ditutupnya lokalisasi prostitusi Dolly pada tanggal 19 Juni 2014 / 2 Rajab 1435 H. Sebelumnya telah dilakukan hal yang sama yaitu ditutupnya lokalisasi prostitusi Kramat Tunggak yang menampung 1615 WTS dengan 277 unit bangunan di Kelurahan Tugu Utara, Kecamatan Koja, Jakarta Utara pada tanggal 31 Desember 1999. Lokalisasi ini telah berubah wajah menjadi Jakarta Islamic Center. Sekali lagi, ini adalah hasil ta’awun antara beberapa elemen: pemerintah, para ustadz, dan masyarakat.
Nabi ﷺ mensugesti kita dengan sabdanya:
عن زَيْد بْنُ خَالِدٍ – رضى الله عنه – أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ « مَنْ جَهَّزَ غَازِيًا فِى سَبِيلِ اللَّهِ فَقَدْ غَزَا ، وَمَنْ خَلَفَ غَازِيًا فِى سَبِيلِ اللَّهِ بِخَيْرٍ فَقَدْ غَزَا (رواه البخاري و مسلم)
Dari Zaid bin Khalid radhiyallahu ‘anhu, dia bercerita, Rasulullah ﷺ bersabda: “Barangsiapa yang menyediakan bekal bagi orang yang berperang di jalan Allah berarti dia telah ikut berperang. Dan barangsiapa yang memberikan nafkah kepada keluarga orang yang berperang dengan kebaikan, berarti dia telah berperang.” (HR. Bukhari dan Muslim)
عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بَعَثَ بَعْثًا إِلَى بَنِى لِحْيَانَ – مِنْ هُذَيْلٍ – فَقَالَ « لِيَنْبَعِثْ مِنْ كُلِّ رَجُلَيْنِ أَحَدُهُمَا وَالأَجْرُ بَيْنَهُمَا
(رواه مسلم)
Dari Abu Said Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah ﷺ mengirim utusan kepada Bani Lihyan dan Suku Hudzail, lalu beliau bersabda: “Hendaklah ada seseorang dari setiap dua orang (untuk berangkat dan yang lainnya menetap) dan pahalanya dibagi untuk keduanya.” (HR. Muslim)
Semoga kita termotivasi untuk menjadi mushlih setelah mengupayakan menjadi orang shaleh dengan ber – ta’awun ‘alal birri wat taqwa.
Penulis : Muhammad Nur Yasin Zain, Lc. Hafizhahullah
(Pengasuh Pesantren Mahasiswa THAYBAH Surabaya)
Majalah Bulan Juli, 2015 edisi 37