“Nrimo” Itu Berarti Kaya
Saudaraku! Masih ingatkah Anda? Siapakah Hakim bin Hizam? Dia adalah sahabat Nabi yang sangat “nrimo” dengan kondisinya yang telah Allah takdirkan. Dia benar-benar “nrimo” dengan kondisinya bahkan sampai menolak pemberian dari orang lain hingga wafatnya. Dia menjadi sebaik-baiknya orang setelah dinasehati oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Selengkapnya disebutkan dalam riwayat berikut ini,
عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ وَسَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ أَنَّ حَكِيمَ بْنَ حِزَامٍ – رضى الله عنه – قَالَ سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَأَعْطَانِى ، ثُمَّ سَأَلْتُهُ فَأَعْطَانِى ، ثُمَّ سَأَلْتُهُ فَأَعْطَانِى ثُمَّ قَالَ « يَا حَكِيمُ إِنَّ هَذَا الْمَالَ خَضِرَةٌ حُلْوَةٌ ، فَمَنْ أَخَذَهُ بِسَخَاوَةِ نَفْسٍ بُورِكَ لَهُ فِيهِ ، وَمَنْ أَخَذَهُ بِإِشْرَافِ نَفْسٍ لَمْ يُبَارَكْ لَهُ فِيهِ كَالَّذِى يَأْكُلُ وَلاَ يَشْبَعُ ، الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى » . قَالَ حَكِيمٌ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَالَّذِى بَعَثَكَ بِالْحَقِّ لاَ أَرْزَأُ أَحَدًا بَعْدَكَ شَيْئًا حَتَّى أُفَارِقَ الدُّنْيَا ، فَكَانَ أَبُو بَكْرٍ – رضى الله عنه – يَدْعُو حَكِيمًا إِلَى الْعَطَاءِ فَيَأْبَى أَنْ يَقْبَلَهُ مِنْهُ ، ثُمَّ إِنَّ عُمَرَ – رضى الله عنه – دَعَاهُ لِيُعْطِيَهُ فَأَبَى أَنْ يَقْبَلَ مِنْهُ شَيْئًا . فَقَالَ عُمَرُ إِنِّى أُشْهِدُكُمْ يَا مَعْشَرَ الْمُسْلِمِينَ عَلَى حَكِيمٍ ، أَنِّى أَعْرِضُ عَلَيْهِ حَقَّهُ مِنْ هَذَا الْفَىْءِ فَيَأْبَى أَنْ يَأْخُذَهُ . فَلَمْ يَرْزَأْ حَكِيمٌ أَحَدًا مِنَ النَّاسِ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – حَتَّى تُوُفِّىَ . (رواه البخارى و مسلم)
Dari Urwah bin Zubair dan Sa’id bin al-Musayyab bahwa Hakim bin Hizam radhiyallallahu anhu menuturkan: Aku pernah meminta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau memberiku. Aku meminta lagi kepada beliau, beliau pun memberiku. Lalu aku meminta lagi kepada beliu, beliau pun memberiku dan bersabda: “Wahai Hakim, sesungguhnya harta ini mempesona lagi manis. Barangsiapa mengambilnya dengan kemurahan jiwa maka ia akan memperoleh berkah padanya. Dan barangsiapa mengambilnya dengan ketamakan jiwa maka dia tidak akan memperoleh keberkahan padanya, dan dia itu seperti orang makan yang tak pernah kenyang. Tangan di atas itu lebih baik daripada tangan di bawah.” Lebih lanjut Hakim menuturkan: Lalu aku katakan: “Ya Rasulullah, Demi Dzat yang mengutusmu dengan hak, aku tidak akan menerima pemberian apapun dari orang lain sepeninggalmu sampai aku meninggal dunia.” Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu pernah memanggil Hakim untuk diberi sesuatu, tetapi Hakim menolak untuk menerimanya. Kemudian Umar radhiyallahu ‘anhu juga pernah memanggilnya untuk diberi sesuatu, tetapi Hakim tetap tidak mau menerimanya. Umar berkata: “Wahai sekalian kaum muslimin, aku mempersaksikan kepada kalian bahwa aku telah menawarkan sebagian harta rampasan yang menjadi hak Hakim sebagaimana yang diatur oleh Allah, tetapi dia enggan mengambilnya.” Demikianlah, Hakim tetap tidak mau menerima pemberian dari seorangpun sepeninggal Nabi hingga menemui ajalnya. (HR. Bukhari dan Muslim)
Perhatikanlah! Betapa “nrimo” nya Hakim bin Hizam dengan kondisi yang telah ditakdirkan oleh Allah. Dia tidak pernah meminta sesuatu apa pun kepada orang lain hingga wafatnya. Bahkan dia tidak mau menerima suatu pemberian ketika dikasih oleh Abu Bakar dan Umar. Meskipun menerima pemberian itu diperbolehkan Syari’at selama dia tidak meminta. Tentu, dia lebih mempersilahkan orang lain untuk memanfaatkannya. Adapun dirinya telah “nrimo” dengan yang ada. Hakim bisa seperti ini tidak lain setelah dinasehati oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allahu Akbar.
- Resep Untuk Menjadi “Tangan di Atas”
Sekarang, mari kita memperhatikan nasehat-nasehat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semoga kita bisa seperti Hakim bin Hizam.
Pada Hadits di atas disebutkan,
الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى
“Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah”
Maksud Hadits ini, tangan di atas itu memberi, tangan di bawah itu menerima. Orang yang memberi itu lebih baik daripada orang yang menerima. Karena memberi berarti berbuat kebaikan dan bermanfaat bagi orang lain. Sementara menerima tidak demikian. Oleh karena itu janganlah sekali-kali berpikir untuk menjadi penerima, tapi berpikirlah untuk menjadi pemberi. Apakah mungkin dilakukan oleh orang yang “berkekurangan”? Tentu, sangat mungkin. Caranya berikut ini, perhatikanlah!
- Pandai-pandailah bersyukur. Orang yang pandai bersyukur tidak akan pernah gelisah dengan kekurangannya. Karena dia pasti segera akan melihat nikmat-nikmat lain yang ada pada dirinya yang ternyata jauh lebih banyak dan tak terhitung. Akhirnya dia bisa memandang kekurangan pada dirinya sebagai sesuatu yang kecil dan remeh.
- Ketahuilah bahwa kehidupan dunia ini sebenarnya hanya ‘sawang- sinawang’. Ketika Anda melihat orang lain lebih enak kehidupannya, sesungguhnya yang terjadi tidak demikan. Dia juga melihat orang lain lebih enak dari dirinya. Kenapa demikian? Bagaimana tidak, bukankah dunia ini tempat ujian? Yang tidak ada sawang-sinawang hanyalah di Akherat (Surga). Karena ia adalah tempat balasan, tidak ada ujian lagi. Dengan memperkuat kesadaran ini, tentu Anda akan sangat bisa “nrimo” dan jauh dari berharap kepada orang lain. Sebaliknya, Anda hanya akan memperkuat roja’ kepada Allah.
- Sadarilah! Sebaik-baik infaq adalah dalam keadaan sulit. Ketika Anda selalu menghadirkan kesadaran ini, tentu Anda ingin memberi apapun yang Anda mampu di tengah-tengah kesulitan Anda. Ditambah lagi adanya pengetahuan bahwa orang yang memudahkan orang lain akan dimudahkan urusannya oleh Allah.
- Jika -qoddarallah- tidak ada apapun yang bisa diberikan, maka berusalah untuk memberi selain yang sifatnya materi. Bisa dengan tenaga atau apapun sehingga Anda merasa sudah menjadi orang yang ringan tangan.
Dengan resep ini, insyaAllah Anda menjadi TANGAN DI ATAS meskipun “berkekurangan”
- “Nrimo” adalah Solusi
Perhatikanlah Hadits Nabi berikut ini,
عَنْ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ – رضى الله عنه – عَنِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ : …. وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللَّهُ (رواه البخارى و مسلم)
Dari Hakim bin Hizam radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: “…. Barangsiapa merasa dirinya berkecukupan (dengan yang Allah berikan), niscaya Allah akan mencukupkan baginya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menguatkan kita bahwa berkecukupan atau tidak, letaknya bukanlah pada banyaknya harta melainkan “nrimo” atau tidaknya kita dengan pembagian oleh Allah. Bukankah Anda tahu banyak orang kaya raya tetapi korupsi? Hal ini tidak lain, karena mereka tidak “nrimo”. Harta sebanyak apapun akan dirasanya kurang. Akhirnya mereka pun terus mengejar dan mengejarnya. Sungguh, pada hakekatnya mereka adalah orang miskin meskipun hartanya berlimpah. Sebaliknya, orang yang “nrimo” pada hakekatnya adalah orang kaya meskipun dengan ketiadaan harta.
Bagaimana bisa berkecukupan dengan ketiadaan harta? Bukankah biaya sekolah mahal…. kebutuhan pokok mahal… transportasi mahal, lauk-pauk mahal dan apapun semuanya mahal? Jawabannya berikut ini:
- Biaya sekolah mahal.
Carilah sekolah dengan SPP dan semacamnya yang sesuai dengan kemampuan Anda. Andaikan tetap saja tidak mampu karena minimnya duit, maka ajarilah sendiri putra-putri Anda! Bukankah yang terpenting mereka bisa tumbuh sebagai generasi sholeh-sholehah?
- Kebutuhan pokok mahal.
Sebut saja misalnya rumah. Kalau Anda tidak mampu membeli cash, belilah kredit. Kalau kredit tidak mampu, Anda bisa kontrak. Kalau kontrak juga tidak mampu, Anda bisa kost. Kalau kost juga mahal, maka carilah kost meskipun sangat sederhana. Yang terpenting fungsi sebagai tempat tinggal: berlindung dari panas, dingin, dan beristirahat telah Anda dapatkan.
Contoh lain, sebut saja misalnya pakaian. Kalau Anda tidak mampu membeli yang bahannya bagus, maka belilah yang sesuai kemampuan Anda. Kalau Anda tidak mampu membeli banyak baju sehingga bisa nyaman bergantian, maka belilah beberapa potong yang dimampui. Untuk bergantian, Anda bisa segera mencuci baju yang telah dipakai. Bagaimana kalau modenya kuno? Tidak mengapa, bukankah yang terpenting bisa menutup aurat sehingga tidak berdosa?
- Transportasi mahal.
Kalau tidak mampu membeli mobil, belilah sepeda motor yang sesuai kemampuan Anda. Jika tidak mampu pula, belilah sepeda goes. Jika tidak mampu juga, maka bisa dengan jalan kaki atau naik angkot. Bukankah yang terpenting sampai di tempat tujuan.
- Lauk-pauk mahal.
Belilah lauk-pauk yang tidak mahal. Dan, harga mahal tidak ada jaminan sehat dan dibutuhkan tubuh. Bukankah yang terpenting asupan makanan bergizi dan berimbang? Semuanya bisa didapatkan dengan murah-meriah. Bahkan sebagian di antaranya bisa didapatkan dengan menanam di pekarangan atau di pot-pot. Atau bisa dicari di sungai dan tambak-tambak secara gratis.
- Dan, kebutuhan-kebutuhan lainnya mahal-mahal.
Santai saja. Nikmatilah hidup Anda. Dengan mencukup-cukupkan apa yang telah Allah bagikan untuk Anda, insyaAllah semuanya menjadi cukup. Ini bukan sekedar teori. Tetapi, ini adalah fakta atas kebenaran arahan dari Nabi yang seluruh ucapannya berdasarkan wahyu ilahi, ”Barangsiapa merasa dirinya berkecukupan (dengan yang Allah berikan), niscaya Allah akan mencukupkan baginya.”
- “Nrimo”, Meminta Saja Tidak Apalagi Meminta-Minta
Marilah kita perhatikan Hadits berikut ini,
عَنْ بْن عُمَرَ – رضى الله عنه – قَالَ قَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ حَتَّى يَأْتِىَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِى وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ
(رواه البخارى و مسلم)
Dari Ibnu Umar, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Seseorang terus-menerus meminta-minta kepada manusia hingga dia datang pada Hari Kiamat dalam kondisi tidak ada segumpal daging pada wajahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dengan melatih diri untuk senantiasa menjadi “tangan di atas” (pemberi) dan merasa berkecukupan dengan yang telah Allah bagikan, niscaya seseorang jauh dari keinginan meminta-minta. Jangankan menjadikannya sebagai profesi, meminta hanya sesekali saja pun tidak. Meskipun meminta ketika darurat itu diperbolehkan sebagaimana disabdakan Nabi,
عَنْ قَبِيصَةَ بْنِ مُخَارِقٍ الْهِلاَلِىِّ قَالَ تَحَمَّلْتُ حَمَالَةً فَأَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَسْأَلُهُ فِيهَا فَقَالَ « أَقِمْ حَتَّى تَأْتِيَنَا الصَّدَقَةُ فَنَأْمُرَ لَكَ بِهَا ». قَالَ ثُمَّ قَالَ « يَا قَبِيصَةُ إِنَّ الْمَسْأَلَةَ لاَ تَحِلُّ إِلاَّ لأَحَدِ ثَلاَثَةٍ رَجُلٍ تَحَمَّلَ حَمَالَةً فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَهَا ثُمَّ يُمْسِكُ وَرَجُلٍ أَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ اجْتَاحَتْ مَالَهُ فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ – أَوْ قَالَ سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ – وَرَجُلٍ أَصَابَتْهُ فَاقَةٌ حَتَّى يَقُومَ ثَلاَثَةٌ مِنْ ذَوِى الْحِجَا مِنْ قَوْمِهِ لَقَدْ أَصَابَتْ فُلاَنًا فَاقَةٌ فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ – أَوْ قَالَ سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ – فَمَا سِوَاهُنَّ مِنَ الْمَسْأَلَةِ يَا قَبِيصَةُ سُحْتًا يَأْكُلُهَا صَاحِبُهَا سُحْتًا » (رواه مسلم)
Dari Qobishoh bin Mukhoriq al-Hilaly, dia berkata: Aku dalam keadaan menanggung beban yang sangat berat, lalu aku mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta kepada beliau tentang tanggungan tersebut, maka beliau bersabda: “Tunggulah hingga ada shodaqoh (zakat) yang datang kepada kami. Nanti, akan aku perintahkan (amil) untuk menyerahkannya kepadamu. Lebih lanjut beliau bersabda: “Wahai Qobishoh, sesungguhnya meminta-minta itu tidak diperbolehkan kecuali karena salah satu dari tiga alasan berikut ini, yaitu: 1). Orang yang menanggung beban yang sangat berat, maka diperbolehkan baginya meminta-minta hingga dia berhasil meringankan bebannya dan kemudian menahan diri untuk tidak meminta-minta lagi. 2). Seseorang yang ditimpa musibah yang menghancurkan hartanya sehingga dibolehkan baginya meminta-minta sampai dia berhasil memperoleh kehidupannya berjalan normal. Atau beliau bersabda: “Kemudahan hidup.” 3). Seseorang yang ditimpa kesusahan sehingga ada tiga orang bijak dari antara kaumnya mengatakan: ‘Si Fulan telah tertimpa kesusahan’, maka diperbolehkan baginya meminta-minta sehingga dia bisa mendapatkan kehidupan yang normal. Wahai Qobishoh, meminta-minta dengan selain alasan-alasan tersebut maka hasilnya merupakan barang haram, di mana pelakunya telah memakan barang tersebut secara haram.” (HR. Muslim)
Jelaslah meminta-minta itu hukumnya haram kecuali salah satu dari tiga macam kondisi yang disebutkan dalam Hadits. Namun, orang yang “nrimo” dia tidak akan melakukannya. Dia telah bisa menikmati pemberian apa adanya dari Allah |
- Penegasan Haramnya Meminta-Minta
Nabi shalllallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدَبٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِنَّ الْمَسْأَلَةَ كَدٌّ يَكُدُّ بِهَا الرَّجُلُ وَجْهَهُ إِلاَّ أَنْ يَسْأَلَ الرَّجُلُ سُلْطَانًا أَوْ فِى أَمْرٍ لاَ بُدَّ مِنْهُ »
(رواه الترمذى)
Dari Samuroh bin Jundab, dia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya meminta-minta adalah cakaran yang dengannya seseorang mencakar-cakar wajahnya kecuali jika seseorang meminta kepada penguasa atau meminta sesuatu yang menjadi keharusan baginya” (HR. At-Tirmidzi)
Jelaslah, dari Hadits ini meminta-minta itu hukumnya haram. Dan merupakan dosa besar karena larangannya disebutkan dengan ancaman: wajahnya dicakar-cakar.
Disebutkan di dalam kitab Subulussalam tentang diperbolehkannya meminta kepada penguasa. Kenapa diperbolehkan? Karena sesungguhnya seseorang yang meminta kepada penguasa itu mengambil haknya dari Baitul Mal. Ia bukanlah harta si penguasa. Jadi, seseorang tersebut tidak meminta harta si penguasa. Tidaklah penguasa melainkan sebagai wakil atas rakyatnya untuk mengambilkan hak-hak rakyat dari Baitul Mal.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
عَنْ حَمْزَةَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « لاَ تَزَالُ الْمَسْأَلَةُ بِأَحَدِكُمْ حَتَّى يَلْقَى اللَّهَ وَلَيْسَ فِى وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ »(رواه مسلم)
Dari Hamzah bin Abdillah dari ayahnya bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Seseorang di antara kalian terus saja meminta-minta hingga dia bertemu Allah Ta’ala kelak dalam keadaan wajahnya tidak terdapat segumpal daging pun.” (HR. Muslim)
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ سَأَلَ النَّاسَ أَمْوَالَهُمْ تَكَثُّرًا فَإِنَّمَا يَسْأَلُ جَمْرًا فَلْيَسْتَقِلَّ أَوْ لِيَسْتَكْثِرْ »(رواه مسلم)
Dari Abu Hurairah radhiyallallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa meminta harta kepada orang lain dengan tujuan memperbanyak harta (memperkaya diri) maka sebenarnya memakan bara api. Oleh karena itu, terserah padanya, mau memperoleh sedikit atau memperoleh banyak.” (HR. Muslim)
“Oleh karena itu, terserah padanya, mau memperoleh sedikit atau memperoleh banyak” Makna sabda Nabi ini bukan berarti Beliau mempersilahkan untuk meminta-minta. Justru sabda beliau ini adalah ancaman bagi pelakunya. Ini sebagaimana perkataan orangtua kepada anaknya yang nakal “Terserah kamu mau jadi orang pinter atau mau jadi orang goblok”. Ini bukan berarti mempersilahkan tapi ancaman.
Semoga kita semua menjadi hamba-hamba Allah yang pandai bersyukur. Di mana jumlah orang bersyukur hanya sedikit. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
وَقَلِيلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ (سبأ:13)
“Dan sedikit dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur.” (QS. Saba’:13)
Tulisan ini saya tutup dengan doa Nabi yang diriwayatkan At-Tirmidzi dari Ali bin Abi Tholib agar Allah senantiasa membimbing kita untuk menjadi orang-orang yang bersyukur,
اللَّهُمَّ اكْفِنِى بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنِى بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ.
“Ya Allah cukupkanlah aku dengan yang halal dan jauhkanlah aku dari yang haram, dan cukupkanlah aku dengan karunia-Mu dari bergantung pada selain-Mu.”
Penulis : Muhammad Nur Yasin Zain, Lc. Hafizhahullah
(Pengasuh Pesantren Mahasiswa THAYBAH Surabaya)
Majalah Bulan Februari, 2019 Edisi 74