MUQODDIMAH
بسم الله الرحمن الرحيم الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على أشرف الأنبياء والمرسلين وعلى أله وأصحابه أجمعين، أما بعد:
Alhamdulillah dengan taufiq Allah, saya bisa menyelesaikan buku sederhana ini yang saya beri judul MUTIARA FITHRAH DARI AHADITS MUKHTARAH artinya mutiara fithrah dari hadits-hadits pilihan. Mutiara fithrah maksudnya sesuatu berharga yang suci. Bagaimana tidak suci, semua poin-poin hukumnya berasal dari hadiits-hadits nabi yang tidak pernah berbicara dari hawa nafsunya, tetapi semuanya berasal dari wahyu ilahi. Selanjutnya, semoga saya berkemampuan untuk memilah-milah hadits dengan syarh-nya dari banyak sumber sebagai ”suguhan yang nikmat”. Dalam buku sederhana ini, saya mengambil hadits-haditsnya dari modul pelajaran hadits oleh Syaikh Dr. Thoriq al-Audah untuk mahasiswa semester tujuh KKJ (Kuliah Jarak Jauh) Jami’atul Imam Muhammad bin Sa’ud al- Islamiyyah).
Methode yang saya gunakan dalam penulisan ini adalah membaca secara keseluruhan per judul. Lalu, meringkasnya. Saya juga melakukan penambahan-penambahan yang diperlukan sebagai penjelas atau penguat. Misalnya dalam suatu pembahasan Syaikh menyebut tentang kisah ‘Asif, dan beliau tidak mencantumkan haditsnya dan tidak banyak menjelaskannya. Maka, saya mencantumkan hadits tersebut dan menambahkan penjelasannya.
Dalam buku sederhana ini, hadits-hadits yang saya angkat semuanya tentang hudud (Hukuman-hukuman). Saya memandang bahwa bab ini sangat jarang dibahas dalam kajian-kajian umum. Maka, paling tidak dengan mengangkatnya sebagai topik akan membuka cakrawala hazanah keislaman bagi kaum muslimin.
Saya yang hanya berposisikan sebagai thalib (santri) menyadari bahwa tidak selayaknya menulis buku apalagi yang terkait dengan masalah-masalah hukum yang pelik. Tetapi, anjuran syariat agar kita menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain dengan apa saja yang dimiliki menjadikan saya ingin ikut andil dengan sedikit ilmu yang dimiliki agar bermanfaat bagi orang lain. Saya pun bersemangat menulis buku ini. Saya memohon kepada Allah jika dalam penulisan ini terdapat kesalahan syar’i, dan mengharapkan kepada para pembaca semuanya kiranya sudi memberikan koreksian dan masukan. Jazakumullahu khairan
Surabaya, 15 Muharram 1437 H/ 28 Oktober 2015 M
Al-Muhtaj ila rahmati wa fadhli robbihi
Muhammad Nur Yasin Zain
- عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ قَالَ كَانَ نَبِىُّ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ : خُذُوا عَنِّى فَقَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلاً الثَّيِّبُ بِالثَّيِّبِ وَالْبِكْرُ بِالْبِكْرِ الثَّيِّبُ جَلْدُ مِائَةٍ ثُمَّ رَجْمٌ بِالْحِجَارَةِ وَالْبِكْرُ جَلْدُ مِائَةٍ ثُمَّ نَفْىُ سَنَةٍ )رواه مسلم)
“Dari Ubadah bin Ash-Shamit, dia berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Ambillah dariku, Allah telah menjadikan jalan keluar bagi mereka. Orang yang sudah menikah dengan orang yang sudah menikah. Jejaka dengan gadis. Orang yang sudah menikah dicambuk seratus kali kemudian dirajam dengan batu. Orang yang belum menikah dicambuk seratus kali kemudian diasingkan selama setahun” (HR. Muslim)
Faedah Hadits:
- Penyebutan [orang yang sudah menikah dengan orang yang sudah menikah] bukan merupakan syarat bahwa hukuman bisa ditegakkan kalau orang yang sudah menikah berzina dengan orang yang sudah menikah juga. Demikian pula penyebutan [jejaka dengan gadis] bukanlah syarat bahwa hukuman bisa ditegakkan kalau jejaka berzina dengan gadis. Penyebutan tersebut hanyalah berdasarkan kebiasaan yang terjadi. Jadi, meskipun jejaka berzina dengan orang yang sudah menikah tetap dihukum. Demikian pula sebaliknya, jika orang yang sudah menikah berzina dengan gadis tetap dihukum.
- Hadits ini merupakan dalil bahwa hukuman jejaka dan gadis yang berzina adalah dicambuk 100x dan diasingkan dari negrinya selama satu tahun penuh. Hukuman cambuk, para ulama sepakat bahwa ia diberlakukan bagi jejaka dan gadis. Tetapi, hukuman pengasingan, menurut jumhurul ulama hanya diberlakukan untuk jejaka saja. Hal ini berdasarkan hadits:
….على ابنك جلد مائة وتغريب عام (رواه البخارى)
“….Anak lelakimu (jejaka)harus dicambuk seratus kali dan diasingkan selama satu tahun” (HR. Muslim)
- Para pengikut Imam Malik berkata: hukuman pengasingan tidak diberlakukan bagi wanita berdasarkan hadits-hadits shahih tentang dilarangnya wanita melakukan safar tanpa mahram. Jadi, ‘umum-nya hadits di atas di takhsish dengan hadits-hadits tentang dilarangnya wanita melakukan safar tanpa mahram. Ini adalah pendapat yang kuat karena mengasingkan wanita tanpa mahram berpotensi kuat terjadinya fitnah dan menyia-nyiakannya. Jika diasingkan dengan disertai mahram maka berarti menghukum seseorang yang tidak bersalah.
- Ibnu Qudamah berkata: Menurutku pendapat Imam Malik adalah pendapat yang paling tepat. Maka, gugurlah hukuman pengasingan bagi wanita. Yang diberlakukan hukuman cambuk saja. Imam Asy-Syinqity menyebutkan satu kaedah, bahwa “ Nash yang menunjukkan larangan lebih dikedepankan daripada yang menunjukkan perintah” adalah lebih kuat. Hal ini dikarenakan “dar-ul mafasid muqoddamun ‘ala jalbil mashalih” (mengantisipasi terjadinya kerusakan lebih dikedapankan daripada mengejar keutamaan). Oleh karena itu larangan wanita safar tanpa mahram lebih dikedepankan daripada perintah mengasingkannya[]
- Sebagian ulama memandang bahwa sebagai ganti dari pengasingan adalah ditahan agar dijauhkan dari manusia (pemutusan komunikasi)
- Di dalam hadits ini terdapat dalil bahwa hukuman zina bagi orang yang sudah menikah adalah rajam dan cambuk. Tentang rajam, merupakan ijma ulama. Adapun ditambah dengan cambuk, terdapat dua perbedaan pendapat:
- Rajam saja, tidak ada cambuk. Ibnu Katsir berkata: Ini adalah pandangan jumhur ulama. Dalil mereka adalah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam merajam para pelaku zina; Maiz, wanita Al-Ghomidiyah dan dua orang yahudi, beliau tidak mencambuk mereka.
- Dicambuk dulu sebelum dirajam. Dalil mereka adalah bahwa Ali bin Abi Tholib mencambuk Syurohah al-Hamdaniyyah pada hari Kamis dan merajamnya pada hari Jum’at. Ketika dia radhiyallallahu ‘anhu ditanya tentang hal ini, beliau menjawab: “Saya mencambuknya dengan Kitab Allah dan merajamnya dengan sunnah nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam” (Kitabullah yang dimaksud adalah QS. An-Nur: 2, Pen.)
∏. Yang rojih (yang kuat)-Allahu A’lam– adalah pendapat jumhur ulama karena kuatnya dalil mereka. Hadits kisah perajaman Maiz, Al-Ghomidiyyah dan dua orang Yahudi datangnya belakangan daripada Hadits Ubadah bin Ash- Shomit yang sedang dibahas sekarang. Dan Hadits yang datangnya belakangan menghapus Hadits yang datangnya lebih dahulu. Hadits Ubadah bin Ash-Shomit menjelaskan tentang hukuman zina yang sebelumnya hanya sekedar ditahan dalam rumah saja sebagaimana dalam QS. An-Nisa: 15, “…apabila mereka telah member kesaksian, maka kurunglah mereka dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan yang lain kepadanya”.
∏. Pembahasan Jumhur ulama tentang atsar Ali bin Abu Thalib sebagai berikut:
- Para ulama memperbincangkan ke-shashih-annya. Tambahan kata ‘jild (cambuk)’ adalah dhoif.
- Di dalam riwayat Al-Bukhari tidak disebutkan kata ‘jild (cambuk)’. Sementar Al-Bukhari adalah orang yang paling besar dalam meriwayatkan atsar Ali ini.
- Mengambil riwayat yang di dalamnya disebutkan ‘jild (cambuk)’ tidak lebih utama daripada mengambil riwayat yang di dalamnya mencukupkan dengan rajam saja. Karena riwayat Ali yang mauquf terdapat dua sisi yang harus diperhatikan:
→ penyebutan jild + rajam diperbincangkan keabsahannya oleh para ahli ilmu.
→ Imam Al-Bukhari tidak hanya menyebutkan rajam saja. Tidak diragukan lagi ini yang lebih utama.
- Jika kita terima Atsar Ali sebagai riwayat yang shahih, maka ia merupakan ijtihad Ali bin Abi Thalib radhiyallallahu anhu. Hal ini jelas dari jawaban beliau ketika para Sahabat mempertanyakannya; ““Saya mencambuknya dengan Kitab Allah dan merajamnya dengan sunnah nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam”
- Pertanyaan para Sahabat; “Anda menggabungkan dua hukuman, cambuk dan rajam?”. Pertanyaan ini menguatkan pendapat jumhur ulama dimana dipahami bahwa para sahabat tidak mengenal hukuman rajam yang didahui dengan cambuk.
Dari penjelasan ini semua, jelaslah yang rajih adalah jumhur ulama bahwa hukuman zina bagi orang yang sudah menikah adalah di rajam saja. Allahu A’lam.
- عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّهُ قَالَ أَتَى رَجُلٌ مِنَ الْمُسْلِمِينَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَهُوَ فِى الْمَسْجِدِ فَنَادَاهُ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّى زَنَيْتُ.
فَأَعْرَضَ عَنْهُ فَتَنَحَّى تِلْقَاءَ وَجْهِهِ فَقَالَ لَهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّى زَنَيْتُ. فَأَعْرَضَ عَنْهُ حَتَّى ثَنَى ذَلِكَ عَلَيْهِ أَرْبَعَ مَرَّاتٍ فَلَمَّا شَهِدَ عَلَى نَفْسِهِ أَرْبَعَ شَهَادَاتٍ دَعَاهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ « أَبِكَ جُنُونٌ ». قَالَ لاَ. قَالَ « فَهَلْ أَحْصَنْتَ ». قَالَ نَعَمْ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « اذْهَبُوا بِهِ فَارْجُمُوهُ ).رواه البخاري ومسلم)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ada seorang muslim datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau sedang di masjid. Dia memanggilnya, “Ya Rasulullah saya telah berzina. ( Mendengar perkataan itu), beliau langsung memalingkan wajahnya. Lalu orang itu kembali menghadapkan wajahnya kepada Rasulullah dan berkata: Ya Rasullah saya telah berzina. Beliaupun kembali memalingkan wajahnya. Hal ini terjadi berulang empat kali. Setelah orang itu bersumpah atas dirinya sebanyak empat kali, Rasulullah memanggilnya dengan mengatakan: Apakah kamu gila? Tidak. Jawabnya. Beliau bertanya lagi: Apakah kamu sudah menikah? Ya. Jawabnya. Maka beliau bersabda: bawalah dia dan rajamlah dia” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Faedah Hadits:
- Yang dimaksud seorang muslim yang berzina adalah Maiz bin Malik al-Aslamy. Di dalam riwayat Bukhari juga riwayat Muslim yang lainnya disebutkan namanya secara jelas.
- Nabi hanya bertanya tentang dua perkara saja, yaitu; Anda gila? dan Anda sudah menikah?. Karena dua perkara ini adalah sesuatu yang tidak bisa diketahui secara zhahir.
- Pertanyaan Anda gila? untuk kepastian hukumnya, karena orang gila tidak mendapatkan taklif syar’i. Pertanyaan Anda sudah menikah? Untuk menentukan hukumannya antara cambuk atau rajam.
- Hadits ini menunjukkan bahwa hukuman zina bisa ditegakkan dengan pengakuan sebagaimana dengan persaksian oleh empat orang lelaki. Barangsiapa yang mengaku bahwa dirinya berbuat zina dan dia dalam keadaan sadar tidak dipaksa dan akalnya sempurna maka hukuman zina ditegakkan. Dalam perjalanan sejarah kaum muslimin sejak zaman Nabi dan zaman setelahnya telah terjadi beberapa kali hukuman zina dengan pengakuan. Adapun hukuman zina dengan persaksian oleh empat orang saksi justru sangat jarang tejadi. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa dirinya tidak mengetahui adanya ekskusi atas perbuatan zina dengan persaksian empat orang saksi, bisa jadi hal ini sangatlah susah karena keempat orang saksi tersebut harus benar-benar menyaksikannya ketika batang celak masuk ke dalam wadah celak.
- Para ulama terjadi perbedaan pendapat apakah pengakuan cukup diucapkan sekali atau harus berulang kali sebagaimana dalam hadits ini, Maiz mengulang-ngulang pengakuannya.
- Madzhab Hanafy dan Hambaly memandang harus ada pengulangan pengakuan sebanyak empat kali. Dalil mereka adalah nash dan qiyas. Nashnya adalah hadits di atas, Nabi meresponnya setelah pelaku mengulangi persaksian sebanyak empat kali bahwa dirinya telah berbuat zina. Ini menunjukkan bahwa pengulangan empat kali merupakan persyaratan dimana Nabi tidak meresponnya langsung dari awal. Kalau bukan merupakan persyaratan, niscaya Nabi sudah memerintahkan ditegakkan hukuman ketika awal pengakuan. Dalil lainnya, hal ini diqiyaskan dengan persaksian oleh empat orang lelaki. Demikian pula pengakuan, maka harus ada pengulangan sebanyak empat kali.
- Madzhab Syafi’i dan Maliki memandang cukup pengakuan sekali saja. Dalilnya adalah Hadits berikut ini:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ وَزَيْدِ بْنِ خَالِدٍ الْجُهَنِىِّ رضى الله عنهم أَنَّهُمَا قَالاَ إِنَّ رَجُلاً مِنَ الأَعْرَابِ أَتَى رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ رَسُولَ اللَّهِ أَنْشُدُكَ اللَّهَ إِلاَّ قَضَيْتَ لِى بِكِتَابِ اللَّهِ . فَقَالَ الْخَصْمُ الآخَرُ وَهْوَ أَفْقَهُ مِنْهُ نَعَمْ فَاقْضِ بَيْنَنَا بِكِتَابِ اللَّهِ ، وَائْذَنْ لِى . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « قُلْ » . قَالَ إِنَّ ابْنِى كَانَ عَسِيفًا عَلَى هَذَا ، فَزَنَى بِامْرَأَتِهِ ، وَإِنِّى أُخْبِرْتُ أَنَّ عَلَى ابْنِى الرَّجْمَ ، فَافْتَدَيْتُ مِنْهُ بِمِائَةِ شَاةٍ وَوَلِيدَةٍ ، فَسَأَلْتُ أَهْلَ الْعِلْمِ فَأَخْبَرُونِى أَنَّمَا عَلَى ابْنِى جَلْدُ مِائَةٍ ، وَتَغْرِيبُ عَامٍ ، وَأَنَّ عَلَى امْرَأَةِ هَذَا الرَّجْمَ . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لأَقْضِيَنَّ بَيْنَكُمَا بِكِتَابِ اللَّهِ ، الْوَلِيدَةُ وَالْغَنَمُ رَدٌّ ، وَعَلَى ابْنِكَ جَلْدُ مِائَةٍ وَتَغْرِيبُ عَامٍ ، اغْدُ يَا أُنَيْسُ إِلَى امْرَأَةِ هَذَا فَإِنِ اعْتَرَفَتْ فَارْجُمْهَا » . قَالَ فَغَدَا عَلَيْهَا فَاعْتَرَفَتْ ، فَأَمَرَ بِهَا رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَرُجِمَتْ (رواه البخارى و مسلم)
“Dari Abu Hurairah dan Zaid bin Khalid al-Juhany radhiyallahu ‘anhuma, keduanya mengatakan: Sesungguhnya ada seorang baduwi mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia mengatakan; Ya Rasullah saya bersumpah atas nama Allah kepadamu, putuskanlah di antara kami dengan Kitabullah. Lalu berdirilah lawan sengketanya yang lebih faqih/berilmu daripada laki-laki pertama, dan berujar: Benar ya Rasulullah putuskanlah di antara kami dengan kitabullah dan izinkanlah aku berbicara. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merespon: Katakanlah. Maka ia pun berbicara. Lanjutnya; Anakku bekerja pada lelaki ini, lalu anakku berzina dengan istrinya. Aku diberitahu bahwa anakku harus dirajam, maka aku menebusnya dengan seratus ekor kambing dan satu pembantu. Lalu aku bertanya kepada ahli ilmu dan mereka memberitahuku bahwa anakku harus dicambuk 100 kali dan diasingkan selama setahun sedangkan istri orang ini harus dirajam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ’ Demi Dzat yang jiwaku berada di Tangan-NYa, sungguh aku akan memutuskan perkara kalian berdua dengan Kitabullah. Pembantu dan kambing dikembalikan kepadamu, anakmu dicambuk 100 kali dan diasingkan selama setahun. Pergilah wahai Unais ke istri orang ini, jika dia mengakuinya maka rajamlah dia’. Keesokan harinya Unais pergi ke istri orang tersebut, dia pun mengakuinya maka Rasulullah memerintahkan agar dirajam”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini tidak menunjukkan empat kali pengakuan, tetapi hanya sekali pengakuan. Dan keberadaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang dimintai fatwa, maka tidak mungkin penjelasannya tidak tuntas alias tertunda. Rasulullah juga merajam wanita Ghomidiyyah hanya dengan sekali pengakuan. Di dalam riwayat tersebut wanita Ghomiyyah menyatakan:
يَا رَسُولَ اللَّهِ لِمَ تَرُدُّنِى لَعَلَّكَ أَنْ تَرُدَّنِى كَمَا رَدَدْتَ مَاعِزًا فَوَاللَّهِ إِنِّى لَحُبْلَى. قَالَ « إِمَّا لاَ فَاذْهَبِى حَتَّى تَلِدِى
( رواه مسلم)
“Ya Rasulullah, kenapa engkau menolak saya, jangan-jangan engkau akan menolak saya sebagaimana engkau telah menolak Maiz, sungguh demi Allah, saya hamil.’ Beliau merespon: Jika tidak, pergilah kamu sampai melahirkan)” (HR. Muslim). Di dalam Hadits ini telah jelas bahwa penolakan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah agar dia melahirkan terlebih dahulu bukan karena pengakuan yang cuma sekali. Satu hal penting lainnya adalah bahwa wanita Ghamidiyyah ini mengisyaratkan tentang Maiz yang berarti bahwa kejadiannya adalah setelah kejadian Maiz (yang mengaku sampai empat kali pengakuan). Hadits yang datangnya belakangan merupakan nasikh (penghapus) atas Hadits yang datangnya lebih dahulu.
∏. Yang rojih (yang kuat)-Allahu A’lam– adalah menggabungkan semua dalil yang ada. Siapa yang akalnya diragukan berarti urusannya juga diragukan sehingga perlu empat kali pengakuan. Dan siapa yang dipastikan akalnya sehat maka cukup dengan sekali pengakuan.
- Di dalam Hadits ini terdapat dalil bahwa seorang qodhi atau mufti harus meminta perincian atas suatu perkara yang membutuhkan rincian karena berpengaruh terhadap keputusan hukum. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya tentang gila untuk dipastikan kesehatan akalnya karena orang gila terbebas dari hukum, dan bertanya tentang nikah karena hukuman untuk jejaka dan orang yang sudah menikah tidaklah sama.
- Hadits ini menunjukkan jiwa besar dari seorang Maiz dan yang sepertinya di mana dia benar-benar taubat nasuha sehingga dengan besar hati datang menemui Nabi untuk mengakui perbuatannya yang beresiko dirajam yang menghilangkan nyawanya. Di dalam riwayat lain Nabi memuji Maiz,
لَقَدْ تَابَ تَوْبَةً لَوْ قُسِمَتْ بَيْنَ أُمَّةٍ لَوَسِعَتْهُمْ (رواه مسلم)
“Dia telah bertaubat jika (kwalitas taubatnya) dibagi pada umat ini niscaya telah mencukupi” (HR. Muslim)
- Adanya kejadian yang langka seperti ini pada masyarakat suci, yaitu komunitas para Sahabat Nabi dan di zaman ketika beliau masih hidup terdapat hikmah dan rahmat.
- Hikmah → Agar seluruh kaum muslimin hingga hari Kiamat mengetahui bahwa bisa saja suatu masyarakat di dalamnya terdapat kemaksiatan. Janganlah hal itu yang menjadi patokan untuk menilai suatu masyarakat, tapi kebaikan yang dominanlah menjadi patokan.
- Rahmat→ Bagi yang mengalami kehidupan orang-orang yang bertaubat di zaman sekarang, ketika dia mengetahui bahwa dari kalangan sahabat Nabi (lelaki dan perempuan) yang tergelincir ke dalam suatu kemaksiatan mudah bertaubat.
- عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – قَالَ سَمِعْتُ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – يَقُولُ « إِذَا زَنَتْ أَمَةُ أَحَدِكُمْ ، فَتَبَيَّنَ زِنَاهَا فَلْيَجْلِدْهَا الْحَدَّ ، وَلاَ يُثَرِّبْ عَلَيْهَا ، ثُمَّ إِنْ زَنَتْ فَلْيَجْلِدْهَا الْحَدَّ وَلاَ يُثَرِّبْ ، ثُمَّ إِنْ زَنَتِ الثَّالِثَةَ فَتَبَيَّنَ زِنَاهَا فَلْيَبِعْهَا وَلَوْ بِحَبْلٍ مِنْ شَعَرٍ
“Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Apabila budak perempuan salah seorang kalian berzina, dan telah terang perzinaannya maka berlakukanlah hukuman jild (cambuk) kepadanya dan janganlah menghinanya. Jika dia berzina lagi maka berlakukanlah hukuman jild (cambuk) dan janganlah menghinanya. Jika zina lagi yang ketiga kalinya dan telah terang perzinaannya maka juallah dia meskipun dengan tali rambut” (HR. Muslim)
Faedah Hadits
- Yang dimaksud dengan “telah terang” ada dua makana:
- sebagaimana terjadi pada orang merdeka. Yaitu dengan pengakuan dan persaksian 4 orang saksi
- telah terang bagi tuannya. Maksudnya tuannya tahu persis tentang perzinaannya
- Perintah agar budak tersebut dijual ada perbedaan pendapat. Menurut Jumhur ulama ulama: mustahab (dianjurkan). Karena seseorang tidak boleh dipaksa untuk mengeluarkan apa yang dimilikinya. Menurut madzhab adz-Dzahiriyah: wajib sebagaimana dzahirnya Hadits.
- “Juallah ia meskipun dengan tali rambut” maksudnya adalah meskipun dengan harga yang sangat rendah. Yang terpenting adalah agar segera terbebas dari keberadaannya.
- Hadits ini menunjukkan wajibnya menegakkan had (hukuman) bagi budak
- Had bagi budak ketika berzina adalah cambuk, tidak dibedakan sudah menikah atau belum. Dia dicambuk 50 kali. Yaitu, setengahnya orang merdeka sebagaimana firman Allah’
فَإِنْ أَتَيْنَ بِفَاحِشَةٍ فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ مَا عَلَى الْمُحْصَنَاتِ مِنَ الْعَذَابِ (النيساء: 25)
“Jika mereka melakukan perbuatan zina maka hukuman mereka setengah dari hukuman orang merdeka (QS. An-Nisa: 25). Dan tidak ada pengasingan bagi budak menurut jumhur ulama.
- Jika budak berzina yang ketiga kalinya, maka ia dijual meskipun dengan harga yang sangat murah.
- عَنْ عَلِىِّ بْنِ أَبِى طَالِبٍ قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسمل: أَقِيمُوا الْحُدُودَ عَلَى مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ (رواه أبو داود و النسائى و أحمد)
“Dari Ali bin Abu Thalib berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Tegakkanlah hudud (hukuman) terhadap budak-budak kalian” (HR. Abu Daud, An-Nasa’i, Ahmad). Isnadnya dhoif. Semuanya meriwayatkan dari jalan Abdul A’la bin Amir at-Taghlaby yang di-dhoif-kan oleh banyak ulama Hadits. Imam Muslim meriwayatkan secara mauquf dari Ali yang shahih dari jalur periwayatan yang lain,
عَنْ أَبِى عَبْدِ الرَّحْمَنِ السُّلَمِىِّ قَالَ خَطَبَ عَلِىٌّ فَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَقِيمُوا الْحُدُودَ عَلَى أَرِقَّائِكُمْ
“Dari Abu Abdurrahman as-Sulami, dia berkata, Ali berkhutbah: Wahai manusia tegakkanlah hudud terhadap budak-budak kalian”
Faedah Hadits:
- Yang menegakkan hudud atas orang merdeka adalah waliyyul amri atau yang merupakan jajarannnya seperti hakim yang semisalnya. Adapun budak yang menegakkan hudud atas mereka adalah tuannya sendiri.
(Muhammad Nur Yasin)