Sebagian akhlak mulia adalah memuliakan orang yang sepatutnya dimuliakan. Di antara orang yang harus dimuliakan adalah ulama, Pemilik keutamaan, dan orang yang lebih tua atau orang yang diseniorkan. Kita harus mengedapankan dan mengutamakan mereka daripada yang lainnya. Tentu sesuai bidangnya masing-masing.
- Tentang ulama….
Muliakanlah Ulama. Karena mereka adalah petinggi kehidupan. Mereka pemilik keutamaan yang Nabi nyatakan sebagi pewarisnya. Tanpa ulama, kita akan senantiasa dalam kegelapan tidak mengetahui hak atau bathil. Akhirnya kacaulah kehidupan dunia kita dan menderitalah kita di Akherat nanti. Nabi shallalalhu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلاَ دِرْهَمًا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ (رواه أبو داود)
“Sesungguhnya keutamaan seorang ‘Alim (baca:ulama) dibandingkan dengan ‘Abid adalah seperti bulan purnama dibandingkan dengan seluruh bintang. Sesungguhnya Ulama itu pewaris para Nabi. Sungguh Para Nabi tidak mewariskan dinar juga tidak dirham, melainkan mewariskan ilmu. Maka, siapa mengambilnya ia telah mengambil bagian yang besar” (HR. Abu Daud)
Muliakanlah Ulama. Tidak ada alasan untuk tidak memuliakan mereka sehebat apapun Anda, apakah sebagai milyarder, pemilik popularitas, hartawan, penguasa, atau bahkan Anda adalah seorang raja, rendahkanlah diri Anda untuk bisa memuliakan ulama.
Ada kisah menarik yang bisa kita ambil ‘ibrah (pelajaran)nya dari nasehat Imam Abu Daud. Beliau adalah penulis kitab Sunan Abu Daud, lahir tahun 202 H di Sajistan. Diceritakan oleh Al- Khattabi dari Abu Bakar bin Jabir pembantu Abu Daud, ia berkata: Aku dan Abu Daud tinggal di Baghdad. Di suatu saat ketika kami selesai menunaikan shalat Maghrib, tiba-tiba pintu rumah diketuk seseorang, lalu ku buka pintu dan seorang pelayan melaporkan bahwa Amir Abu Ahmad Al-Muwaffaq minta izin masuk. Kemudian aku membertahu Abu Daud dan diapun mengizinkan. Sang Amir duduk. Abu Daud bertanya kepadanya: “Apa yang mendorong Amir ke sini? Amir menjawab: Ada tiga kepentingan. Kepentingan apa? Tanya Abu Daud. Amir mengatakan: Sebaiknya Anda tinggal di Basrah agar para pelajar dari seluruh penjuru negeri belajar kepadamu. Dengan demikian kota Basrah akan makmur lagi. Karena Basrah telah hancur dan ditinggalkan orang akibat tragedi Zenji.
Abu Daud mengatakan: Itu yang pertama, lalu apa yang kedua? Amir menjawab: Hendaknya engkau mau mengajarkan Sunan kepada anak-anakku. Yang ketiga? Tanya Abu Daud. Hendaklah Anda membuat majlis tersendiri untuk mengajarkan Hadits kepada Khalifah karena mereka enggan duduk bersama orang umum.
Abu Daud menjawab: Permintaan ketiga tidak bisa kukabulkan. Sebab derajat manusia itu baik pejabat terhormat ataupun rakyat jelata dalam menuntut ilmu dipandang sama. Ibnu Jabir menjelaskan: Sejak itulah putra-putra khalifah menghadiri majlis taklim, duduk bersama orang umum dengan tirai pemisah.
- Tentang pemilik keutamaan….
Siapakah yang dikedepankan untuk menjadi Imam shalat? Tentu orang yang memiliki keutamaan bidang tersebut. Yaitu orang yang hapalan al-Qur’annya paling banyak kemudian yang lainnya sesuai urutan yang telah ditetapkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Masih banyak dijumpai di banyak tempat adanya ketetapan bahwa yang mengimami shalat haruslah orang yang dipandang paling tua dalam hal usia. Ini tentu keliru. Disebutkan dalam Hadits,
عَنْ أَبِى مَسْعُودٍ الأَنْصَارِىِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللَّهِ فَإِنْ كَانُوا فِى الْقِرَاءَةِ سَوَاءً فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ فَإِنْ كَانُوا فِى السُّنَّةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً فَإِنْ كَانُوا فِى الْهِجْرَةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ سِلْمًا وَلاَ يَؤُمَّنَّ الرَّجُلُ الرَّجُلَ فِى سُلْطَانِهِ وَلاَ يَقْعُدْ فِى بَيْتِهِ عَلَى تَكْرِمَتِهِ إِلاَّ بِإِذْنِهِ (رواه مسلم)
“Dari Abu Mas’ud al-Anshori, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Yang menjadi imam bagi suatu kaum adalah yang paling banyak hapalan al-Qur’annya di antara mereka. Jika mereka memiliki tingkatan yang sama dalam hal hapalan maka yang paling mengerti Sunnah Nabi lah yang menjadi Imam. Dan jika mereka satu tingkatan dalam hal pendalaman tentang sunnah maka yang menjadi imam adalah yang lebih dahulu berhijrah. Dan jika mereka satu tingkatan dalam berhijrah, maka orang yang paling tua di antara mereka. Dan janganlah seseorang menjadi imam di tempat kekuasaan orang lain dan janganlah seseorang duduk di tempat kehormatan orang lain kecuali atas izinnya.” (HR. Muslim)
Jadi, kriteria pertama adalah orang yang paling banyak hapalannya meskipun dia anak kecil. |
Disebutkan dalam Hadits:
عَنْ مِسْعَرِ بْنِ حَبِيبٍ الْجَرْمِىِّ حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ سَلِمَةَ عَنْ أَبِيهِ أَنَّهُمْ وَفَدُوا إِلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَلَمَّا أَرَادُوا أَنْ يَنْصَرِفُوا قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ يَؤُمُّنَا قَالَ « أَكْثَرُكُمْ جَمْعًا لِلْقُرْآنِ ». أَوْ « أَخْذًا لِلْقُرْآنِ ». قَالَ فَلَمْ يَكُنْ أَحَدٌ مِنَ الْقَوْمِ جَمَعَ مَا جَمَعْتُهُ – قَالَ – فَقَدَّمُونِى وَأَنَا غُلاَمٌ وَعَلَىَّ شَمْلَةٌ لِى فَمَا شَهِدْتُ مَجْمَعًا مِنْ جَرْمٍ إِلاَّ كُنْتُ إِمَامَهُمْ وَكُنْتُ أُصَلِّى عَلَى جَنَائِزِهِمْ إِلَى يَوْمِى هَذَا (رواه أبو داود)
“Dari Mis’ar bin Habib Al-Jarmy, dia berkata: ‘Amr bin Salamah memberitahu kami. Ia (meriwayatkan) dari ayahnya bahwa mereka mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tatkala mereka hendak pergi, mereka bertanya: ya Rasulullah siapakah di antara kami yang berhak menjadi imam? Beliau menjawab: orang yang paling banyak hapalan Al-Qur’annya di antara kalian. Dia berkata: Tidak ada seorang pun dari kaum itu yang menghapal lebih banyak daripada hapalanku, mereka akhirnya memajukan aku (untuk menjadi imam) padahal saya masih bocah. Akhirnya saya ditetapkan. Tidaklah saya melihat jamaah dari kaum Jarm kecuali sayalah imam mereka. Dan saya juga menjadi imam shalat jenazah mereka hingga hari ini” (HR. Abu Daud)
Jelaslah, usia paling tua adalah kriteria terakhir dalam penetapan orang yang berhak menjadi imam shalat. |
Inilah beberapa contoh keharusan menghormati orang yang memiliki keutamaan. Tentang siapa saja pemilik keutamaan yang harus dihormati tentu sangatlah banyak dalam kehidupan kita sehari-hari, misalnya:
Pasien harus menghormati dokternya
Murid harus menghormati gurunya
Mahasiswa harus menghormati dosennya
Peserta latihan harus menghormati pelatihnya
Dan lain-lain
- Tentang orang yang lebih tua usianya
Kita juga harus memuliakan orang yang lebih tua atau orang yang diseniorkan. Yang dimaksud orang yang lebih tua adalah orang yang lebih tua usianya daripada kita. Siapapun orangnya, meskipun dalam pandangan kita adalah orang “pinggiran” tapi usianya lebih tua daripada kita maka rendahkanlah diri kita untuk bisa memuiiakannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
عَنْ أَنَسٍ ، أَنّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم ، قَالَ : لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يُوَقِّرْ كَبِيرَنَا ، وَيَرْحَمْ صَغِيرَنَا (مسند أبي يعلى)
“Dari Anas radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Tidaklah termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati yang lebih tua dan tidak menyayangi yang lebih muda” (Musnad Abu Ya’la)
عَنْ أَبِى مُوسَى الأَشْعَرِىِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِنَّ مِنْ إِجْلاَلِ اللَّهِ إِكْرَامَ ذِى الشَّيْبَةِ الْمُسْلِمِ وَحَامِلِ الْقُرْآنِ غَيْرِ الْغَالِى فِيهِ وَالْجَافِى عَنْهُ وَإِكْرَامَ ذِى السُّلْطَانِ الْمُقْسِطِ (سنن أبى داود)
“Dari Abu Musa Al-Asy’ari, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya termasuk bentuk mengagungkan Allah adalah memuliakan orang muslim yang sudah beruban, orang yang hapal Al-Qur’an yang tidak berlebih-lebihan di dalamnya dan tidak kering darinya, dan memuliakan penguasa yang adil” ( Sunan Abu Daud)
Sesungguhnya termasuk bentuk mengagungkan Allah adalah memuliakan orang muslim yang sudah beruban…. |
- Tentang orang yang diseniorkan….
Perlu ditegaskan bahwa akhlak yang baik mengajarkan kita agar menempatkan menusia sesuai kedudukannya. Jika ada tamu terpandang datang kepada kita, tentu kita harus mensikapinya berbeda dengan orang yang “biasa-biasa saja”.
Orang yang “biasa-biasa saja” sudah merasa terhormat dengan – misalnya – suguhan ala kadarnya. Jika suguhan yang sama disuguhkan kepada orang terpandang lalu dia merasa kurang terhormat maka janganlah kita melakukannya. Kita tidak boleh beralasan bahwa kedudukan semua orang dihadapan Allah adalah sama, maka siapapun harus diperlukan dengan sama. Sekali lagi, pandangan seperti ini tidaklah benar dan merupakan pemahaman yang keliru. Namun, jika yang dimaksud adalah dia hendak mengangkat derajat orang yang “biasa-biasa saja” dengan menyuguhkan suguhan yang sama sebagaimana suguhan untuk orang yang terpandang maka itu adalah suatu kebajikan.
Coba kita perhatikan sebuah riwayat tentang sikap ‘Aisyah,
عَنْ مَيْمُونِ بْنِ أَبِى شَبِيبٍ أَنَّ عَائِشَةَ عَلَيْهَا السَّلاَمُ مَرَّ بِهَا سَائِلٌ فَأَعْطَتْهُ كِسْرَةً وَمَرَّ بِهَا رَجُلٌ عَلَيْهِ ثِيَابٌ وَهَيْئَةٌ فَأَقْعَدَتْهُ فَأَكَلَ فَقِيلَ لَهَا فِى ذَلِكَ فَقَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَنْزِلُوا النَّاسَ مَنَازِلَهُمْ
(رواه أبو دواود)
“Dari Maimun bin Abi Syabib, ia berkata: Ada seorang pengemis lewat di depan Aisyah, maka ia memberinya sepotong roti. Kemudian datang lagi seorang berpakaian dan berperilaku sopan kemudian ia mempersilakannya duduk dan disuruh makan. Ketika ia ditegur tentang sikapnya, maka ia berkata: “Rasulullah saw. bersabda: ‘Tempatkanlah manusia itu sesuai dengan kedudukannya.” (HR Abu Daud).
Hadits ini dinyatakan dhoif (lemah) oleh Syaikh Al-Albani, dan Abu Daud sendiri sebagai periwayat Hadits mengatakan bahwa Maimun tidak menjumpai Aisyah sehingga menjadikan derajatnya dhoif. Namun, maknanya adalah shohih karena adanya perintah Nabi untuk memuliakan orang yang memiliki keutamaan. Imam Muslim menyebutkan makna Hadits tersebut pada muqoddimah Shohihnya |
Yang dimaksud Sabda Nabi: ( أنزلوا الناس منازلهم ) ‘Tempatkanlah manusia itu sesuai dengan kedudukannya”, sebagaimana dijelaskan di dalam kitab Faidhul Qodir karya Syaikh Abdurrouf Al-Munawi adalah:
( أنزلوا الناس منازلهم ) أي احفظوا حرمة كل واحد على قدره وعاملوه بما يلائم حاله في عمر ودين وعلم وشرف فلا تسووا بين الخادم والمخدوم والرئيس والمرؤوس فإنه يورث عداوة وحقدا في النفوس والخطاب للأئمة أو عام وقد عد العسكري هذا الحديث من الأمثال والحكم وقال : هذا مما أدب به المصطفى صلى الله عليه و سلم أمته من إيفاء الناس حقوقهم من تعظيم العلماء والأولياء وإكرام ذي الشيبة وإجلال الكبير وما أشبهه (فيض القدير -3/ 57)
“Maksudnya adalah Jagalah kehormatan setiap orang sesuai keberadaannya. Pergaulilah dia sesuai dengan keadaannya, baik dalam masalah umurnya, agama, ilmu, dan kedudukan. Janganlah kalian menyamakan antara pembantu dan tuannya, ketua dan anak buahnya dan bedakanlah di dalam berkomunikasi antara pemuka dan orang umum karena hal itu bisa berdampak terjadinya permusuhan dan kedengkian di dalam jiwa manusia. Al-Askari mengatakan, Hadits ini (mengajarkan) keteladanan dan hikmah-hikmah. Demikianlah Nabi Al-Mushtofa mengajarkan adab kepada ummatnya agar memenuhi hak-hak manusia berupa memuliakan ulama, para pemimpin, orang tua/dituakan dan yang semisalnya”
Pada akhir pembahasan ini, saya akan menyampaikan suatu bentuk penghormatan atau pemuliaan kepada orang lain yang seringkali terlupakan, yaitu JANGAN MENDAHULUI BERBICARA atau JANGAN MEMULAI BERBICARA sehingga orang yang berhak dihormati berbicara terlebih dahulu atau sudah mempersilahkan. Ini berdasarkan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam sebuah riwayat,
….ثُمَّ قَدِمَ الْمَدِينَةَ ، فَانْطَلَقَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ سَهْلٍ وَمُحَيِّصَةُ وَحُوَيِّصَةُ ابْنَا مَسْعُودٍ إِلَى النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – ، فَذَهَبَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ يَتَكَلَّمُ فَقَالَ « كَبِّرْ كَبِّرْ » . وَهْوَ أَحْدَثُ الْقَوْمِ ….(رواه البخارى)
“…..kemudian datang ke Madinah, berangkatlah Abdurrahman bin Sahl dan Huwayyishoh, keduanya putra Mas’ud, menuju Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Abdurrahman pun memulai. Lalu Nabi (langsung menghentikannya), “dahulukanlah yang lebih tua…dahulukanlah yang lebih tua”. Dia (Abdurrahman) adalah yang paling muda” (HR. Bukhari)