Pada edisi sebelumnya, edisi bulan April 2017 telah dijelaskan bahwa takdir meliputi empat perkara:
1. Allah mengetahui
2. Allah mencatat
3. Allah menghendaki
4. Allah menciptakan
Tidak ada apapun yang terkait dengan alam semesta dan isinya, melainkan Allah telah mengetahuinya dan semuanya itu telah Allah catat dalam lauhul mahfuzh sejak 50.000 tahun sebelum menciptakan langit dan bumi.
Allah lah satu-satunya Penguasa atas alam semesta ini. Maka, tidak ada pun yang terjadi di dalamnya termasuk kebaikan dan keburukan kecuali dengan kehendak-Nya. Karena jika ada sesuatu yang terjadi tanpa kehendak-Nya maka berarti ada Penguasa lain atau Tuhan lain, dan ini mustahil karena Tuhan itu hanya satu.
Demikian pula tidak ada apapun yang berwujud di alam semesta melainkan semuanya itu diciptkan oleh-Nya. Jika ada sesuatu tanpa diciptakan oleh-Nya maka berarti ada Tuhan lain atau Pencipta lain. Dan, ini mustahil Kalau memang demikian pemahamannya, lalu apakah takdir tidak bisa diubah? Mari ikuti edisi berikut ini….
Sambungan…
“Mereka berkata: Kami tidak kuat lagi pada hari ini untuk menghadapi Jalut dan balatentaranya. Mereka yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah berkata: Betapa banyak kelompok kecil mengalahkan kelompok besar dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar” (QS. Al-Baqoroh: 249)
Ayat ini menunjukkan bahwa:
e. Kemampuan manusia berada di bawah kemampuan Allah
f. Tidaklah manusia berbuat melainkan karena Allah menjadikannya mampu berbuat. Kalau Allah tidak menjadikannya mampu berbuat niscaya manusia tidak pernah bisa berbuat apapun.
Adalah keliru orang yang berpandangan bahwa Allah lah yang berkehendak dan berbuat, sementara manusia tidak sama sekali.
F. Ada dua macam kehendak Allah
1. Kehendak kauniyyah
Adalah kehendak yang terkait dengan hukum kausalitas (hubungan sebab akibat)
2. Kehendak Syar’iyyah
Adalah kehendak yang berkaitan dengan pahala dan dosa.
Kita sudah mengetahui dari pembahasan di atas bahwa segala apa pun; yang baik dan buruk tidaklah terjadi melainkan dengan kehendak Allah. Mari kita pahami baik-baik.
1. Apakah orang merampok dengan kehendak Allah? Ya
2. Apakah orang mencuri dengan kehendak Allah? Ya
3. Apakah orang berinfak dengan kehendak Allah? Ya
4. Apakah orang berdakwah dengan kehendak Allah? Ya
5. Apakah orang berzina dengan kehendak Allah? Ya
6. Apakah orang berbuat maksiat dengan kehendak Allah? Ya
7. Apakah anak yang birrul walidain dengan kehendak,Allah? Ya
8. Apakah anak durhaka kepada orang tuanya dengan kehendak Allah? Ya
Jika orang berbuat keburukan dengan kehendak Allah, lalu, kenapa Allah memasukkannya ke dalam Neraka? Bukankah ini kezhaliman….Tunggu dulu, Anda jangan terburu-buru….
Allah ‘Azza wa Jalla tidak pernah berbuat dzalim dan tidak pernah menghendaki kezhaliman bagi hamba-Nya. Dia Azza wa Jalla tegaskan,
عَنْ أَبِي ذَرٍ عَنِ النَّبِيِّ – صلى الله عليه وسلم – فيمَا رَوَى عَنِ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَنَّهُ قَالَ : يَا عِبَادِي إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِى وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا فَلَا تَظَالَمُوا رواه مسلم
“Dari Abu Dzar, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam meriwayatkan (firman) dari Allah Tabaroka wa Ta’ala. Dia berfirman: “Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya Aku haramkan kezhaliman atas diri-Ku dan Aku menjadikannya haram bagi kalian maka janganlah saling menzhalimi” (HR. Muslim)
وَمَا اللَّهُ يُرِيدُ ظُلْمًا لِلْعِبَادِ غافر: 31
“Dan Allah tidak menghendaki kezaliman bagi hamba-hamba-Nya” (QS. Ghafir:31)
Pahamilah baik-baik tentang pembagian kehendak (kauniyyah dan syar’iyyah)
Orang merampok, mencuri, berzina, berbuat maksiat, durhaka kepada orang tua dan lain-lain adalah dengan kehendak Allah yang sifatnya kauniyyah
bukan syar’iyyah. Artinya Allah lah yang yang menjadikan manusia bisa berkehendak, tinggal manusia itu sendiri menggunakan kehendak tersebut untuk apa? Jadi, siapa yang mewujudkan kejahatan? jelas, manusia yang mewujudkannya. Maka, wajar jika manusia yang dimintai pertanggungjawaban dan menanggung resiko dosa. Bukan Allah yang menanggungnya. Karena secara syar’iyyah Allah tidak pernah menghendaki hamba-hamba-Nya berbuat keburukan; merampok, mencuri, berzina, berbuat maksiat, durhaka kepada orang tua dan lain-lain. Allah tidak pernah menghendaki hamba-hamba-Nya masuk Neraka. Yang Dia ‘Azza wa Jalla kehendaki adalah agar semua manusia beragama Islam dan berbuat ketaatan lalu masuk
PENEGASAN: Perbuatan manusia; yang baik dan buruk seluruhnya dinisbatkan kepada kehendak Allah karena Allah lah yang menjadikan manusia berkehendak. Selebihnya manusia yang menggunakan kehendak tersebut, jika untuk kebaikan maka diberi pahala dan jika untuk keburukan maka diberi dosa.
G. Apakah takdir bisa diubah?
Kita sudah membahas di atas bahwa apapun yang akan terjadi hingga hari Kiamat, Allah ‘Azza wa Jalla telah mengetahuinya dan mencatatnya di lauhul mahfudz sejak 50.000 tahun sebelum menciptakan langit dan bumi. Dalam pengertian bahwa semua yang Allah catat adalah berdasarkan ilmu-Nya. Karena ilmu-Nya meliputi segala sesuatu yang belum terjadi.
Jika dikatakan, takdir bisa diubah. Maka bisa dipahami bahwa apa yang Allah ‘Azza wa Jalla catat dalam lauhul mahfudz itu keliru. Dan ini mustahil. karena tidak mungkin ilmu Allah atas segala sesuatu itu keliru. Lalu apa yang lebih tepat untuk dikatakan?
Yang lebih tepat, ada suatu takdir tertentu yang Allah ‘Azza wa Jalla. kaitkan dengan ikhtiar. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
حديث أَنَسُ بْنُ مَالِكِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم- قَالَ « مَنْ أَحَبُّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ رواه البخاري و مسلم
“Hadits Anas bin Malik- Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Barangsiapa ingin dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya maka bersilaturrahimlah” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menunjukkan seseorang bisa dipanjangkan umurnya atau dilapangkan rizkinya dengan ikhtiar yang berupa silaturrahim. Takdirnya tercatat;
a. Jika seseorang ikhtiar yang berupa silaturrahim maka umurnya 100 tahun (misalnya), jika tidak maka umurnya 60 tahun. Takdir mana yang berlaku 100 atau 60 tahun? Tergantung orangnya; silaturrahim atau tidak. Kalau silaturrahim maka takdir yang berlaku 100 tahun, kalau tidak maka 60 tahun.
b. Jika seseorang ikhtiar yang berupa silaturrahim maka rizkinya 500 juta (misalnya), jika tidak maka rizkinya 300 juta (misalnya). Takdir mana yang berlaku 500 juta atau 300 juta? Tergantung orangnya; silaturrahim atau tidak. Kalau silaturrahim maka takdir yang berlaku 500 juta, jika tidak maka 300 juta.
Demikian juga Hadits berikut ini,
عَنْ سَلْمَانَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « لا يَردُّ الْقَضَاءَ إِلا الدُّعَاءُ وَلَا يَزِيدُ فِي الْعُمُرِ إلا البر رواه الترمذى
“Dari Salman, dia berkata, Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Tidak ada yang menolak takdir kecuali do’a dan tidak ada yang menambah umur kecuali kebaikan (silaturrahim)” (HR. At-Tirmidzi)
Hadits ini menunjukkan bahwa ada takdir seseorang dikaitkan dengan ikhtiar yang berupa doa. Takdirnya tercatat;
a. Jika seseorang ikhtiar yang berupa doa, maka bisnisnya lancar (misalnya), jika tidak maka gagal. Takdir mana yang berlaku bisnisnya lancar atau gagal? Tergantung orangnya; berdoa atau tidak. Kalau berdoa maka takdir yang berlaku bisnis lancar, kalau tidak maka gagal.
b. Jika seseorang ikhtiar yang berupa doa maka umurnya panjang (misalnya), jika tidak maka umurnya pendek. Takdir mana yang berlaku panjang atau pendek? Tergantung orangnya; berdoa atau tidak. Kalau berdoa maka takdir yang berlaku panjang, kalau tidak maka umurnya pendek.
Jadi, bukan takdir bisa diubah. Tetapi ada suatu takdir tertentu pada seseorang yang Allah kehendaki yang dikaitkan dengan ikhtiar. Sebagaimana dikatakan oleh Umar bin Khottob radhiyallahu ‘anhu;
نَعَمْ نَفِرُّ مِنْ قَدَرِ اللَّهِ إِلَى قَدَرِ اللَّهِ رواه البخاري ومسلم
“Iya, saya lari dari takdir Allah menuju takdir Allah yang lain” (HR. Bukhari dan Muslim)
PERMASALAHAN: Apakah kita tahu bahwa suatu takdir tertentu yang telah Allah ‘Azza wa Jalla tetapkan untuk kita dikaitkan dengan ikhtiar? Tentu kita tidak tahu. Dengan demikian yang seharusnya kita lakukan adalah senantiasa tetap berikhtiar. Karena jika takdir kita dikaitkan dengan ikhtiar, maka kita akan meraih apa yang kita inginkan. Dan jika tidak dikaitkan dengan ikhtiar dimana Allah hanya menetapkan satu ketentuan saja, “GAGAL” (misalnya), ikhtiar atau tidak ikhtiar hasilnya tetap “GAGAL”, maka ikhtiar kita tidak sia-sia. Karena ikhtiar tersebut akan bernilai ibadah dan diberi pahala di sisi Allah Azza wa Jalla.
PERHATIKANLAH: Takdir yang berhubungan dengan pahala dan dosa. Surga dan Neraka pasti dikaitkan dengan ikhtiar. Sementara takdir yang tidak berhubungan dengan pahala dan dosa, Surga dan Neraka bisa saja tidak dikaitkan dengan ikhtiar. Misalnya: sakit, sehat, sembuh, kaya, miskin, sukses, gagal, tinggi, pendek, kurus, gemuk, untung, rugi, dan lain-lain
H. Beriman kepada takdir tidak menjadikan seseorang berhujjah dengannya untuk berbuat maksiat dan meninggalkan kewajiban
Dalil-dalil sebagai bantahan untuk orang yang menyandarkan kepada takdir dalam meninggalkan kewajiban atau menyandarkan kepadanya dalam mengerjakan maksiat adalah berikut ini:
a. Dalil dari Al-Qur’an
سَيَقُولُ الَّذِينَ أَشْرَكُوا لَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا أَشْرَكْنَا وَلَا آبَاؤُنَا وَلَا حَرَّمْنَا مِنْ شَيْءٍ كَذلِكَ كَذَّبَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ حَتَّى ذَاقُوا بَأْسَنَا قُلْ هَلْ عِنْدَكُمْ مِنْ عِلْمٍ فَتُخْرِجُوهُ لَنَا إِنْ تَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ أَنتُمْ إِلَّا تَخْرُصُونَ الأنعام: 148
“Orang-orang yang mempersekutukan Allah akan mengatakan: Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak. mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) kami mengharamkan barang sesuatu apa pun. Demikian pulalah orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (para Rasul) sampai mereka merasakan siksaan Kami” (QS. Al-An’am: 148)
Ayat ini menunjukkan, Allah mengazab pelaku kesyirikan yang menyadarkannya kepada takdir
رُسُلًا مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ وَكَانَ اللَّهُ عَزِيزًا حَكِيمًا النساء: 165
“(Mereka kami utus) selaku Rasul-Rasul pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan agar tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Allah setelah diutusnya Rasu- Rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS.An-Nisa’: 165)
Ayat ini menunjukkan, berhujjah dengan takdir untuk berbuat maksiat berarti meniadakan fungsi diutusnya para Rasul bahwa diutusnya mereka tidak lain adalah untuk menjelaskan kepada manusia mana yang haq dan mana yang batil sehingga manusia tidak lagi bisa berhujjah di hadapan Allah.
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُم التغابن: 16
“Bertakwalah kepada Allah semampu kalian” (QS.At-Taghobun:16)
لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ البقرة: 286
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapatkan pahala (dari kebaikan) yang diusahakannya dan ia mendapatkan siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya“. (QS. Al- Bagoroh: 286)
Dua ayat di atas menunjukkan bahwa Allah memerintah dan melarang hamba tidaklah dengan memaksanya, semuanya masih dalam kemampuan hamba. Kenyataannya jika hamba berbuat maksiat karena lupa, kebodohan, atau terpaksa maka Allah memaafkannya dan tidak mencatatnya sebagai dosa.
b. Dalil dari Hadits.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan ummatnya untuk berbuat atau berikhtiar, tidak menyandarkan kepada takdir. Beliau bersabda:
bersambung….
Judul buku : Memahami Takdir
Penulis : Muhammad Nur Yasin Zain, Lc.Hafizhahullah
(Pengasuh Pesantren Mahasiswa Thaybah Surabaya)