Imam Adz-Dzahabi berkata, “Imam Baqi bin Mikhlad Al-Andalusi
berangkat dengan berjalan kaki dari Andalusia (sekarang Spanyol) menuju Baghdad pada tahun 221 H untuk menemui Imam Ahmad & belajar dari beliau. Imam Baqi berkata, ‘Ketika mendekati Baghdad, saya mendapat informasi mengenai mihnah (ujian) yang dihadapi Imam Ahmad (fitnah pendapat bahwa Alquran adalah makhluk). Saya menyadari Imam Ahmad dilarang mengumpulkan orang & mengajari mereka. Hal itu mambuat saya sedih berkepanjangan. Setelah sampai di Baghdad, saya menaruh barang-barang saya di sebuah kamar & langsung menuju Masjid Al-Jami’ untuk mendengarkan kajian. Kemudian saya keluar mencari rumah Imam Ahmad & ditunjukkanlah tempatnya. Saya mengetuk pintu rumah itu & beliau sendiri yang membuka pintu.
Saya berkata : ‘Wahai Abu Abdullah, saya seorang yang rumahnya jauh, pencari Hadits dan penulis sunnah. Saya tak datang ke sini kecuali untuk itu.’
Beliau berkata : ‘Dari mana Anda?’
Saya menjawab : ‘Dari Maghrib Al-Aqsa`’
Beliau berkata : ‘Dari Afrika?’
Saya menjawab : ‘Lebih jauh dari itu, saya melewati laut dari negeri saya ke Afrika.’
Imam Ahmad berkata : ‘Negara asalmu sangat jauh. Tidak ada yang lebih saya senangi melebihi pemenuhanku atas keinginan Anda, saya akan ajari apa yang Anda inginkan, tapi saat ini saya sedang difitnah dan dilarang mengajar.’
Saya berkata kepadanya : ‘Saya sudah tahu hal itu, wahai Abu Abdillah. Saya tak dikenal orang di daerah sini, dan asing di tempat ini. Jika Anda mengizinkan, saya akan mendatangi Anda setiap hari dengan memakai pakaian seorang pengemis, kemudian berdiri di pintu Anda berpura-pura meminta sedekah dan bantuan. Anda keluar, wahai Abu Abdillah lalu memasukkan saya lewat pintu ini. Lalu ajarkan kepada saya, walaupun satu Hadits Rasul.’
Beliau berkata kepadaku : ‘Saya sanggup dengan syarat Anda jangan datang ke tempat-tempat kajian dan ulama-ulama Hadits, agar mereka tak mengenal Anda sebagai seorang penuntut ilmu.’
Saya menjawab : ‘Saya terima persyaratan itu.”
Baqi berkata : ‘Setiap hari saya mengambil tongkat, membalut kepala saya dgn sobekan kain, & memasukkan kertas serta alat tulis saya di dalam kantung baju saya, kemudian saya mendatangi rumah
Imam Ahmad.
Saya berdiri di depan pintunya dan berkata: ‘Bersedekahlah kepada seorang yang miskin agar mendapat pahala dari Allah.’ Imam Ahmad keluar menemui saya dan memasukkan saya lewat pintunya. Kemudian beliau mengajari saya dua atau tiga Hadits Rasululllah,
bahkan lebih dari itu, hingga saya memiliki sekitar tiga ratus Hadits. Setelah itu, Allah mengangkat kesulitan yang ada pada Imam Ahmad; Khalifah Al-Makmun yang mengajak kepada perbuatan bid’ah meninggal dunia digantikan oleh Al-Mutawakkil, seseorang yang membela sunnah. Imam Ahmad menjadi terkenal dan kedudukan beliau semakin tinggi. Setelah itu, setiap saya mendatangi Imam Ahmad di kajian beliau yang besar dan murid-muridnya yang banyak, beliau melapangkan tempat buat saya dan menyuruh saya mendekat kepada beliau dan berkata kepada ahli-ahli Hadits yang ada di samping beliau: ‘Inilah orang yang berhak dinamakan penuntut ilmu.’ Kemudian beliau menceritakan kisahnya yang terjadi bersama saya.’” (Imam Adz-Dzahabi,
Siyar A’lamin Nubala’, 13:292)
Subhanallah… dari Spanyol ke Irak jalan kaki?!! Apa yang membuat Abdul Baqi’ bisa melakukan demikian? Tidak lain, adalah ‘sungguh-sungguh’. Pepatah Arab bilang ‘Man jadda wajada’ (siapa yang bersungguhsungguh pasti dapat). Pepatah ini selaras dengan janji Allah ‘Azza wa Jalla dalam Al-Qur’an: “Dan orang-orang yang bersungguhsungguh (mencari keridhoan) Kami, Kami akan tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sungguh, Allah bersama orangorang yang berbuat baik”. (QS. Al-Ankabut:69).
Lihatlah Allah ‘Azza wa jalla tidak menyebutkan ‘jalan’ (singular) tetapi ‘jalanjalan’ (plural). Ini tentu kabar gembira bagi kita. Asal kita bersungguh-sungguh, maka Allah akan membentangkan jalan yang banyak yang hanya Dia saja yang tahu.
Seringsekali murid/santri kurang bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu. Dia datang ke majlis taklim hanya dengan sisa waktu yang ada, tidak mengalokasikan waktu dari awal. Tetapi sesempatnya saja. Ada juga yang tidak mencatat, padahal ilmu yang dipelajari tersebut harus dicatat untuk diulang-ulang sehingga paham dan tidak salah praktek. Seorang murid/santri baru dikatakan sungguh-sungguh kalau memenuhi beberapa perkara, di antaranya: Rasa ingin tahunya kuat, siap bondo (kitab, pulpen, alat peraga, bensin untuk transportnya, sangu untuk bekal di jalannya dan lain-lain) yang mendukung proses belajar kecuali kalau bener-bener tidak punya duit untuk mewujudkannya, senang bergaul dengan para Ustadz sehingga lebih banyak mendapatkan penjelasan dan siap menekuninya meskipun dengan waktu yang lama.
Orang dikatakan sungguh-sungguh dalam menjalankan shalat jika memenuhi beberapa perkara, di antaranya: segera mengambil wudhu ketika akan/sudah dikumandangkan adzan (kalau masih
berbau keringat, dia menghilangkan terlibih dahulu), memakai wewangian (kalau bisa selalu bersiwak), berlomba-lomba untuk
mendapatkan shaf pertama (bagi lelaki), menguasai kosa kata bacaan shalat dari takbir hingga salam (kalau ada kosa kata yang belum dipahami dia gelisah hingga berusaha untuk memahami maksudnya), berupaya keras menghadirkan hati sehingga betul-betul mengikuti setiap apa yang diucapkan oleh lisan.
Tentu tidak saja dalam masalah menuntut ilmu dan mengerjakan shalat, tetapi dalam segala bentuk ketaatan dan kebaikan kita harus bersungguh-sungguh. Ketika seseorang bersungguh-sungguh di
dalam perkara-perkara yang wajib, niscaya akan terdorong untuk meningkatnya dengan mengejar perkara-perkara yang sunnah. Jika dia tetap bersungguh-sungguh dan bersemangat di dalam yang demikian itu maka dia akan menjadi wali Allah yang segala gerak-gerak anggota badannya dalam bimbingan Allah ‘Azza wa jalla. Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya Allah Yang Mahatinggi berfirman: “Barangsiapa memusuhi wali (orang kecintaan) Ku, maka Aku nyatakan perang terhadapnya. Dan tidaklah seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang paling Aku
cintai daripada yang telah Aku wajibkan kepadanya, dan selama hamba-Ku masih terus mendekatkan diri kepada-Ku dengan mengerjakan hal-hal sunnah sehingga Aku mencintanya. Dan jika Aku telah mencintainya, maka Aku akan menjadi pendengarannya yang dia pergunakan untuk mendengar, sebagai penglihatannya yang dia pergunakan untuk melihat, sebagai tangannya yang dia pergunakan untuk memukul, sebagai kakinya yang dia pergunakan untuk berjalan. Jika dia meminta kepada-Ku, maka Aku akan memberinya, dan jika memohon perlindungan kepada-Ku, niscaya Aku akan melindunginya” (HR. Al-Bukhari)
Untuk bersungguh-sungguh di dalam semua kebajikan tentu tidak lepas dari rintangan, baik internal maupun eksternal. Kendala internal berupa hawa nafsu yang ada pada jiwa seseorang, eksternal berupa syetan-syetan yang terus menyerang. Oleh karena itu seseorang harus kuat tidak boleh melemah. Tidak lain, dengan memohon pertolongan kepada Allah ‘Azza wa jalla. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Bersungguh-sungguhlah untuk mengerjakan apa yang bermanfaat bagimu, mohonlah bantuan kepada Allah ‘Azza wa jalla dan janganlah kamu melemah” (HR. Muslim)
Di antaranya doanya adalah: “Ya Allah, tolonglah aku untuk berdzikir kepada-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan beribadah kepada-Mu sebaik-baiknya” (HR.Hakim)
Dengan pertolongan Allah ini, seseorang pasti bisa kuat dan bersungguh-sungguh sehingga dia bisa fokus di dalam mengerjakan kebaikan apa saja yang sedang dihadapinya. Dia tidak akan lemah yang akhirnya bergesar ke hal lain. Jangankan bergeser ke hal lain yang merupakan kemungkaran, pasti tidak akan terjadi. Karena bergeser ke hal lain yang masih katagori kebajikan saja berarti lemah dan tidak sungguh-sungguh. Syaikh Utsaimin menjelaskan dengan memberikan contoh; Sebagian pelajar/santri ingin melihat suatu masalah dan jawabannya pada sebuah kitab. Dia pun mulai membuka kitab tersebut, tetapi dia tidak fokus langsung ke masalah
yang sejak awal dia ingin mengetahuinya. Setiap kali menjumpai masalah yang lain, dia berhenti di situ membacanya dan menelaahnya, lalu membuka lembaranlembaran berikutnya dia pun menjumpai masalah yang lain lagi, dia berhenti di situ membaca dan menelaahnya dan begitu seterusnya. Semestinya dia langsung fokus menuju permasalahan yang dari awal ingin diketahuinya, kesampingkan dulu masalah-masalah lainnya. Ini baru namanya sungguh-sungguh dan tidak lemah.
Penjelasan Syaikh Utsaimin di atas untuk lebih jelasnya saya ambil contoh sebagai berikut: Seorang santri ingin mengetahui masalah fiqh tentang sujud sahwi. Dia pun mulai membuka kitab fiqh. Ketika menjumpai bab tentang puasa sunnah, dia berhenti di situ membaca dan menelaahnya. Lalu membuka halaman halaman berikutnya dia menjumpai bab tentang tato, dia berhenti di situ membaca dan menelaahnya, dan begitu seterusnya dia menelaah permasalahan-permasalahan lainnya. Semestinya dia langsung menuju ke bab tentang sujud sahwi, yang dari awal ingin diketahuinya, setelah itu baru ke babbab lainnya. Kalau tidak demikian berarti lemah dan tidak sungguh-sungguh.
Kalau kita perhatikan bukankah beralih dari mengkaji bab sujud sahwi ke bab puasa sunnah lalu beralih lagi ke bab tentang tato masih katagori kebaikan, yang tidak lain adalah thalabul ilmi? Namun, Syaikh Utsaimin menyatakan hal tersebut sebagai kelemahan dan tidak sungguhsungguh. Lalu, bagaimana kiranya dengan orang yang dari rumah berangkat menuju majlis taklim tetapi di tengah jalan melihat kawan-kawannya main futsal, dia pun
ikut gabung dan tidak jadi melanjutkan ke majlis taklim? (beralih ke perkara mubah). Ini adalah bentuk kelemahan dan tidak sungguh-sungguh. Lalu, bagaimana dengan orang yang sudah berwudhu untuk shalat sunnah lalu tidak jadi melakukannya karena takut terlambat nonton sepak bola wanita? (beralih ke perkara maksiat). Jelas, ini sangat lemah dan jauh dari kesungguhan.
Lihatlah betapa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang kuat dan bersungguh-sungguh dalam suatu kebajikan. Disebutkan dalam riwayat Al-Bukhari, suatu ketika ‘Utban bin Malik radhiyallahu ‘anhu mengundang beliau: “Ya Rasulullah, saya menginginkan engkau datang lalu shalat di rumahku. Tempat yang di situ engkau shalat, nanti aku akan menjadikannya sebagai mushalla di rumahku. Beliau pun memenuhi undangannya. Beliau berangkat bersama beberapa orang Sahabat. Ketika sampai di rumah ‘Utban bin Malik, ternyata dia telah menyuguhkan hidangan makanan. Dia pun mempersilahkan beliau dan para Sahabat agar menikmati hidangan yang telah dipersiapkan tersebut. Beliau menolaknya,
dan bersabda: Di mana tempat yang kamu ingin agar saya shalat di situ? Setelah ditunjukkan, beliau pun shalat. Setelah selesai, baru beliau menikmati hidangan. Beliau fokus kepada suatu aktivitas yang telah direncanakan, tidak beralih ke aktivitas lain sehingga yang merupkan tujuan awal diselesaikan terlebih dahulu.
Selain meminta tolong kepada Allah ‘Azza wa Jalla, kita harus mencari suatu motivasi yang mendorong kita untuk bersungguh-sungguh. Misalnya: motivasi bermajlis taklim adalah ia merupakan jalan pintas menuju Surga. Motivasi berinfak adalah mengejar keberkahan harta dan kesadaran akan jaminan bahwa harta yang
diinfakkan tidak akan menjadikannya miskin bahkan Allah akan menggantikannya berlipat ganda di dunia atau di Akherat dan contohcontoh lainnya. Motivasi-motivasi tersebut harus benar-benar dicamkan dalam hati. Sebagaimana Anas bin An-Nadhr (paman Anas bin Malik). Dia memotivasi diri dengan berjanji untuk sungguh-sungguh berjihad jika dikehendaki-Nya terlibat dalam suatu peperangan. Disebutkan dalam riwayat Bukhari dan Muslim: Dari Anas, dia bercerita, pamanku, Anas bin An-Nadhr tidak ikut
dalam perang Badar, lalu dia berkata: Ya Rasulullah, aku tidak bisa mengikuti awal peperangan di saat engkau memerangi orang-orang musyrik. Seandainya Allah mentakdirkan diriku untuk bisa mengikuti peperangan melawan orang-orang musyrik, niscaya Dia ‘Azza wa Jalla benar-benar akan memperlihatkan apa yang akan aku
perbuat. Dan ketika perang Uhud terjadi, di mana banyak kaum muslimin yang melarikan diri, dia (Anas bin An-Nadhr) berkata: Ya Allah, aku memohon maaf kepada-Mu atas apa yang telah diperbuat oleh mereka – yakni para Sahabatnya, dan aku berlepas diri kepada-Mu dari apa yang dilakukan oleh orang-orang musyrik itu. Kemudian dia maju dan bertemu dengan Sa’ad bin Mu’adz seraya berkata: Wahai Sa’ad bin Mu’adz, demi Rabb-nya An-
Nadhr, sesungguhnya aku mencium bau Surga di dekat Uhud. Sa’ad
pun berucap: Ya Rasulullah, aku tidak mampu berbuat seperti apa
yang telah diperbuatnya. Anas bin Malik berkata (setelah perang usai): kami menemukan pada dirinya (Anas bin An-Nadhr) lebih dari 80 luka-luka akibat tebasan pedang, atau tikaman tombak dan tusukan panah. Dan kami mendapatkannya sudah dibunuh dan dicincang oleh orang-orang musyrik sehingga tidak ada seorangpun yang dapat mengenalnya, kecuali saudara perempuannya yaitu dengan mengamati jari-jemarinya. Kemudian Anas bin Malik melanjutkan ceritanya: Kami berpendapat atau menyangka bahwa ayat yang berikut ini diturunkan berkenaan dengan peristiwa tersebut dan orang-orang yang senasib dengannya. ‘Di antara orang-orang mukmin itu terdapat orang-orang yang menepati terhadap apa yang mereka janjikan kepada Allah’ (QS. Al-Ahzab:23)
Semoga Allah ‘Azza wa jalla menolong kita semua sehingga
bisa bersungguh-sungguh dalam setiap kebajikan yang kita jalani. Allah A’lam