Ketika Anda mengkader seseorang untuk mahir dalam suatu bidang tertentu, maka Anda pasti tidak bosan-bosannya untuk mendidik, mengarahkan, dan menggemblengnya. Terlebih jika dia adalah orang yang Anda harapkan untuk menggantikan posisi Anda.
Anda tentu menyadari bahwa kaderisasi ini adalah untuk kemaslahatan duniawi yang hanya bisa dirasakan sekitar 70an tahun berdasarkan umumnya umur manusia. Namun, Anda begitu bersemangat. Oleh karena itu siapapun pasti menyadari bahwa untuk kaderisasi keshalehan anak haruslah lebih semangat lagi. Karena keshalehan anak adalah aset termahal yang dimiliki orang tua. Pahala keshalehan mereka akan terus mengalir ke orangtuanya ketika berada di alam barzah di saat sudah tidak bisa lagi berbuat kebajikan-kebajikan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ -رواه مسلم
“Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Jika anak Adam meninggal dunia maka terputuslah semua amalnya kecuali tiga perkara; shadaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shaleh yang mendoakannya” (HR. Muslim)
Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fithrah; mentauhidkan Allah. Tetapi tidak bisa dipastikan bahwa dia akan tumbuh besar dengan tetap di atas fithrahnya. Dia bisa tumbuh menjadi orang yang taat ataupun sebaliknya ahli maksiat, tergantung lingkungan yang mempengaruhinya. Ibarat makanan, anak itu seperti tepung. Bisa dibikin apa saja sesuai kehendak orang yang menginginkannya. Maka, janganlah dia dibiarkan diasuh oleh orang-orang jahat. Janganlah dia dibiarkan dimangsa syetan dan hawa nafsu yang terus mengintainya. Bukankah Anda dan keluarga ingin dikumpulkan bersama di Surga sebagaimana di dunia. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ -الطور: 21
“Dan orang-orang yang beriman beserta anak cucu mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan, Kami pertemukan mereka dengan anak cucu mereka (di dalam Surga) dan Kami tidak mengurangi sedikitpun pahala amal mereka. Setiap orang terikat dengan apa yang dikerjakan” (QS. Ath-Thur: 21)
Untuk bisa kumpul bersama di Surga, kaderlah anak-anak dengan keshalehan agar menjadi orang shaleh sebagaimana orangtuanya. Persiapkanlah mereka untuk menjadi ahli Surga, bukan dihantarkan ke Neraka. Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا -التحريم: 6
“Wahai orang-orang yang beriman jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari Neraka” (QS. At-Tahrim)
Bagaimanakah mempersiapkan mereka agar tumbuh dengan keshalehan. Ikutilah jejak guru besar kita Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
- Memprioritaskan sisi aqidah
Ibaratnya sebuah bangunan, aqidah adalah pondasinya. Jika bangunan memiliki pondasi kokoh maka apapun yang akan didirikan di atasnya seperti tiang, dinding, pintu,jendela, dan atap akan kokoh pula. Bayangkan jika tidak ada pondasi, bisakah tiang, dinding, atap dan lainnya dipasang dengan kokoh? Mustahil. Demikian pula, jika seseorang memiliki aqidah yang kokoh maka seluruh ibadah dan semua kebaikan akan bermanfaat baginya. Kalau tidak, maka amalan-amalan bisa berguguran. Oleh karena itu Ibnu Abbas sejak kecil sudah mendapatkan asupan aqidah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ : كُنْتُ خَلْفَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا فَقَالَ يَا غُلَامُ إِنِّي أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ احْفَظْ اللَّهَ يَحْفَظْكَ احْفَظْ اللَّهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلْ اللَّهَ وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَاعْلَمْ أَنَّ الْأُمَّةَ لَوْ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ لَكَ وَلَوْ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَيْكَ رُفِعَتْ الْأَقْلَامُ وَجَفَّتْ الصُّحُفُ -رواه الترمذى
“Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Suatu hari saya di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda: Nak, aku akan ajari kamu beberapa kalimat, jagalah Allah niscaya Dia menjagamu, jagalah Allah niscaya kamu mendapatkanNya di depanmu, Jika kamu minta tolong maka minta tolonglah kepada Allah. Ketahuilah seandainya manusia berserikat untuk memberikan suatu manfaat bagi kamu niscaya tidak akan bermanfaat bagimu kecuali hal itu telah dicatat oleh Allah untukmu. Seandainya mereka menimpakan sesuatu bahaya kepadamu niscaya tidak akan membahayakan kamu kecuali hal itu telah dicatat oleh Allah. Pena telah diangkat dan lembaran telah mengering” (HR. At-Tirmidzi)
Perhatikanlah, Ibnu Abbas telah diajari banyak hal dalam masalah aqidah. Diantaranya menjaga syariat Allah, muroqobah (merasakan selalu dilihat Allah), tawakkal hanya kepadanya, dan juga sudah diajarkan masalah takdir.
Oleh karena itu kenalkanlah kepada anak sedini mungkin ketika sudah bisa diajak komunikasi masalah-masalah terkait aqidah. Kenalkanlah mereka tentang Allah dengan nama-nama dan sifatNya. Misalnya ketika mengarahkan perbuatannya,
“Nak ! memaafkan itu bagus, sebab Allah sayang kepada anak yang suka memaafkan kesalahan temannya”.
“Nak! Nggak boleh nakal yah, soalnya Allah tidak ridha kepada anak yang nakal”.
Kalau anak bertanya, “Dimana Allah?” jawablah dengan semestinya bahwa Allah itu di atas ‘Arsy. Kalau masih terus bertanya karena penasaran maka jawablah sesuai kadar akalnya.
Kenalkanlah mereka tentang istilah-istilah; pahala, dosa, Surga, Neraka, tauhid, syirik, Malaikat, Nabi, taat, maksiat, tawakkal, takdir, wahyu ilahi, sabda Nabi, ahlul bait, Sahabat, Khulafaur Rasyidin, hari kiamat dan lain-lain. Juga, kisahkan kepada mereka tentang kaum-kaum yang diadzab karena durhaka kepada para Rasul.
- Memperhatikan pengajaran shalat
Pengenalan shalat kepada anak tentunya sejak sedini mungkin, bahkan sejak bayi. Ketika ibunya shalat, ia melihatnya. Ketika sudah mulai bisa meniru-niru, diapun akan mengikuti gerakan shalat orangtuanya. Tetapi, anak diintruksikan untuk shalat baru mulai umur 7(tujuh) tahun. Dia terus diingatkan dan diajak ke masjid. Kalau anaknya lelaki harus lebih intensif diarahkan ke masjid. Hal ini terus berlangsung hingga usianya 10 tahun. Umur 10 tahun adalah batas terakhir, artinya pada usia ini anak harus sudah bisa mandiri. Dia harus sudah menjalankannya dengan penuh kesadaran sebagai kewajibannya. Menggembleng sejak umur 7 tahun hingga umur 10 tahun adalah waktu yang mencukupi untuk menjadikan anak shalat secara mandiri. Kalau belum bisa mandiri, masih disuruh-suruh dan diingatkan maka boleh dipukul. Ingat, memukulnya bukan untuk menciderai tapi untuk membikin jera.
عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُرُوا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ -رواه ابو داود
“Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya, ia mengatakan, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Perhatikanlah anak-anak kalian untuk shalat ketika berusia tujuh tahun, pukullah mereka ketika berumur sepuluh tahun dan pisahkanlah mereka dari tempat tidurnya” (HR. Abu Daud)
Coba lihatlah kondisi shalat zaman sekarang! Banyak sekali anak-anak umur 10 tahun yang belum bisa mandiri. Shalatnya masih bolong-bolong . Bahkan sampai tuapun banyak yang belum bisa shalat, apa lagi mandiri menunaikannya?! Salah siapa? Salah satu faktornya adalah terlewatkannya poin yang kedua ini.
- Perhatian dalam masalah muamalah
- Ajarilah anak-anak masalah halal dan haram.
Kenalkan kepada mereka tentang hak kepemilikan sejak dini. Dari sinilah awal mula mereka mendapatkan pelajaran halal dan haram. Misalnya: ketika anak mau mengambil mainan milik kawannya, maka orang tua segera mengarahkannya dengan mengatakan, “ Nak, ini kamu pinjam lho ya…ini kan milik temanmu”, “Nak, nanti dikembalikan lagi ya, soalnya kan bukan punya kamu”. “ Nak, mainan ini saja ya…ini kan punya kamu” dan semisalnya.
Demikian pula ajarilah jenis-jenis makanan yang halal dan haram. Misalnya ketika tebak-tebakan nama-nama binatang, gunakanlah kesempatan tersebut untuk menjelaskan binatang mana saja yang halal dan haram. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَخَذَ الْحَسَنُ بْنُ عَلِىٍّ – رضى الله عنهما – تَمْرَةً مِنْ تَمْرِ الصَّدَقَةِ ، فَجَعَلَهَا فِى فِيهِ ، فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « كِخٍ كِخٍ – لِيَطْرَحَهَا ثُمَّ قَالَ – أَمَا شَعَرْتَ أَنَّا لاَ نَأْكُلُ الصَّدَقَةَ -رواه البخارى
“Hasan bin Ali mengambil sebiji kurma dari kurma zakat, lalu ia memasukkan ke dalam mulutnya. Rasullulah SAW bersabda : ‘ Wah…wah….., buanglah kurma itu Tidakkah engkau mengetahui bahwa kita tidak boleh memakan barang zakat ?” (HR.Bukhari dan Muslim)
Terlebih zaman akhir ini, sungguh masalah halal dan haram merupakan ujian besar bagi kaum muslimin. Karena hampir tidak ada system perekonomian kecuali terkait dengan ghoror, zhalim dan ribawy. Bukankah Anda sering mendengar pembicaraan orang-orang, “ Mencari yang haram saja susah apalagi yang halal”. Oleh karena itu, anak harus ditanamkan masalah halal haram sejak dini.
- Perhatian dalam masalah prilaku dan akhlak
Apa itu akhlak? Sebagaimana manusia memiliki rupa dzahir, ia juga memiliki rupa batin. Rupa batin itulah akhlak.
Rupa dzahir manusia ada yang bagus; postur tubuh yang tinggi, berotot, atletis, pundak bidang, perut sispek dan lainnya. Ada juga yang belum bagus. Bagi yang belum memilikinya maka bisa mengupayakannya dengan olahraga yang teratur, fitnes dan semacamnya. Demikian pula rupa batin (baca: akhlak) ada yang bagus karena merupakan anugrah Allah sejak awal, ada juga yang belum bagus. Nah, yang belum bagus bisa diupayakan dengan arahan-arahan, bimbingan-bimbingan dan latihan-latihan. Ada sebagian orang Allah beri anugrah sejak awal berupa sifat-sifat kebaikan A, B, C tapi belum memiliki sifat kebaikan lainnya D, E, F. Sebagian yang lainnya mendapatkan anugrah dari Allah sifat-sifat kebaikan D, E, F tapi belum memilki sifat kebaikan lainnya A, B, C. Contoh: Ada seseorang dari awal sudah memiliki sifat sabar, tetapi dia kurang jujur. Maka dia tidak perlu berlatih kesabaran, tetapi harus melatih diri untuk bisa berkarakter jujur.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda Abdul Qoys:
إِنَّ فِيكَ خَلَّتَيْنِ يُحِبُّهُمَا اللَّهُ الْحِلْمُ وَالأَنَاةُ ». قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنَا أَتَخَلَّقُ بِهِمَا أَمِ اللَّهُ جَبَلَنِى عَلَيْهِمَا قَالَ « بَلِ اللَّهُ جَبَلَكَ عَلَيْهِمَا ». قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِى جَبَلَنِى عَلَى خَلَّتَيْنِ يُحِبُّهُمَا اللَّهُ وَرَسُولُهُ
-رواه أبو داود
“Sesungguhnya pada dirimu ada dua sifat yang dicintai Allah, yaitu alhilm (pemaaf) dan al-anah (pemurah). Dia bertanya: Ya Rasulullah, apakah karena saya mengupayakan untuk berkarakter dengan dua sifat tersebut ataukah karena Allah telah menganugerahkan keduanya kepadaku. Beliau menjawab: Allah telah menganugerahkan kedua sifat tersebut kepadamu. Dia berucap: Segala puji bagi Allah yang menganugerahkan kepadaku dua sifat yang Allah dan Rasul-Nya mencintai keduanya” (HR. Abu Daud)
Hadits ini menunjukkan bahwa ada perangai atau sifat tertentu yang Allah anugerahkan langsung kepada seseorang. Yang sifat tersebut tidak dianugerahkan kepada orang lainnya. Maka, orang yang belum dianugerahi dengan suatu sifat tertentu harus mengupayakannya.
Berikut ini di antara arahan-arahan Nabi shallallahu `alaihi wa sallam dalam masalah prilaku dan akhlak:
عَنْ زَرْبِىٍّ قَالَ سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ يَقُولُ جَاءَ شَيْخٌ يُرِيدُ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- فَأَبْطَأَ الْقَوْمُ عَنْهُ أَنْ يُوَسِّعُوا لَهُ فَقَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيرَنَا وَيُوَقِّرْ كَبِيرَنَا -رواه الترمذى
“Dari Zarbiy, dia berkata: Saya mendengar Anas bin Malik berkata: Ada seseorang yang sudah tua menghendaki (bermajlis) dengan Nabi, sementara kaum enggan melapangkan tempat untuknya. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Tidak termasuk golongan kami orang yang tidak sayang kepada yang lebih muda dan tidak menghormati kepada yang lebih tua dari antara kita” (HR. At-Tirmidzi)
عَنْ وَهْبِ بْنِ كَيْسَانَ سَمِعَهُ مِنْ عُمَرَ بْنِ أَبِى سَلَمَةَ قَالَ كُنْتُ فِى حَجْرِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَكَانَتْ يَدِى تَطِيشُ فِى الصَّحْفَةِ فَقَالَ لِى « يَا غُلاَمُ سَمِّ اللَّهَ وَكُلْ بِيَمِينِكَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيكَ -رواه البخارى ومسلم
“Dari Wahb bin Kaisan , dia mendengarnya dari Umar bin Abi Salamah, dia berkata: Aku berada di dalam asuhan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika itu tanganku jelalatan di nampan. Maka beliau berkata kepadaku, “Wahai Bocah! Bacalah basmalah, makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah dari yang terdekat denganmu” (HR. Bukhari dan Muslim)
عَنْ أَبِى وَائِلٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ – رضى الله عنه – عَنِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ « إِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِى إِلَى الْبِرِّ ، وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِى إِلَى الْجَنَّةِ ، وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَصْدُقُ حَتَّى يَكُونَ صِدِّيقًا ، وَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِى إِلَى الْفُجُورِ ، وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِى إِلَى النَّارِ ، وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَكْذِبُ ، حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا » -رواه البخارى ومسلم
“Dari Abu Wa’il, dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya kejujuran menghantarkan kepada kebaikan, dan kebaikan menghantarkan kepada Surga. Seseorang sungguh terus-menerus jujur hingga mejadi shiddiq. Dan (sebaliknya), sesungguhnya dusta itu menghantarkan kepada kejahatan, dan kejahatan menghantarkan kepada Neraka. Seseorang sungguh terus-menerus berdusta hingga dicatat di sisi Allah sebagai kadzdzab” (HR. Bukhari dan Muslim)
Penulis : Muhammad Nur Yasin Zain, Lc. Hafizhahullah
(Pengasuh Pesantren Mahasiswa THAYBAH Surabaya)
Majalah Bulan Oktober, 2016 Edisi 50