Kata “ ’Awan” di sini adalah bahasa Arab. Ia adalah jamak, bentuk tunggalnya ‘aniyah, artinya tawanan. Ia diambil dari Hadits Nabi ﷺ,
عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ عَمْرِو بْنِ الأَحْوَصِ قَالَ حَدَّثَنِى أَبِى أَنَّهُ شَهِدَ حَجَّةَ الْوَدَاعِ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ وَذَكَّرَ وَوَعَظَ فَذَكَرَ فِى الْحَدِيثِ قِصَّةً فَقَالَ « أَلاَ وَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّمَا هُنَّ عَوَانٌ عِنْدَكُمْ لَيْسَ تَمْلِكُونَ مِنْهُنَّ شَيْئًا غَيْرَ ذَلِكَ إِلاَّ أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ فَإِنْ فَعَلْنَ فَاهْجُرُوهُنَّ فِى الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلاً أَلاَ إِنَّ لَكُمْ عَلَى نِسَائِكُمْ حَقًّا وَلِنِسَائِكُمْ عَلَيْكُمْ حَقًّا فَأَمَّا حَقُّكُمْ عَلَى نِسَائِكُمْ أَلاَّ يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ مَنْ تَكْرَهُونَ وَلاَ يَأْذَنَّ فِى بُيُوتِكُمْ لِمَنْ تَكْرَهُونَ أَلاَ وَحَقُّهُنَّ عَلَيْكُمْ أَنْ تُحْسِنُوا إِلَيْهِنَّ فِى كِسْوَتِهِنَّ وَطَعَامِهِنَّ -رواه الترمذى
“Dari Sulaiman bin Amr bin al-Ahwash, dia berkata: Ayahku memberitahuku bahwa beliau ikut haji Wada’ bersama Rasulullah ﷺ. Setelah memanjatkan pujian dan sanjungan kepada Allah ‘Azza wa Jalla serta memberikan peringatan dan nasehat, beliau menyebutkan satu kisah di dalam pembicaraannya dan bersabda: Ingatlah, saling berwasiatlah sesama kalian dengan kebaikan terhadap para istri. Karena sesungguhnya mereka adalah ‘AWAN (tawanan) yang ada pada kalian. Kalian tidak memiliki hak sedikitpun selain itu kecuali jika jelas-jelas mereka melakukan kejelekan. Jika mereka melakukannya, maka pisahkanlah mereka di tempat tidur dan pukullah mereka dengan pukulan yang tidak melukai. Jika mereka mentaati kalian maka janganlah kalian mencari-cari jalan (untuk berlaku kasar). Ingatlah sesungguhnya kalian mempunyai hak atas istri-istri kalian. Dan mereka pun memiliki hak atas kalian. Hak kalian atas mereka adalah mereka tidak boleh memasukkan orang yang kalian tidak sukai ke dalam kamar rumah kalian. Dan ketahuilah hak mereka atas kalian adalah kalian harus memberi pakaian dan makanan yang baik kepada mereka.” (HR. At-Tirmidzi)
Nabi ﷺ menyerupakan posisi istri pada suaminya seperti tawanan di mana sang suami menguasainya sepenuhnya. Sebagaimana kita sudah singgung sekilas pada edisi sebelumnya yang berjudul “Janda dan Kawannya Masih Banyak” bahwa ketika seorang istri dihadapkan pada suatu kepentingan, mana yang harus dia dahulukan suaminya atau orangtuanya?? Syareat menetapkan kepentingan suami harus dia dahulukan daripada orangtuanya. Ini artinya, orang tua dikalahkan demi suaminya.
Itulah maksud Nabi ﷺ mengumpamakan istri sebagai tawanan karena ia menjadi tanggungjawab suami sepenuhnya. Pantaskah suami menyakitinya sementara orang tua istri secara totalitas telah memasrahkannya??!! Oleh karena itu suami sedikitpun tidak boleh menyakitinya kecuali jika ia benar-benar melakukan fahisyah (kemungkaran) seperti menentang dan tidak menunjukkan ketaatan kepadanya.
Jika istri melakukan fahisyah, maka suami boleh meluruskannya dengan cara memukulnya atau memisahkannya dari tempat tidur sebagaimana disebutkan di dalam Hadits di atas. Namun, harus diperhatikan juga di dalam meluruskannya harus sangat hati-hati. Karena wanita memiliki tabiat yang unik. Ia diciptakan dari tulang rusuk. Nabi ﷺ bersabda:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – قَالَ :قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم : اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ ، فَإِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ ، وَإِنَّ أَعْوَجَ شَىْءٍ فِى الضِّلَعِ أَعْلاَهُ ، فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهُ كَسَرْتَهُ ، وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ ، فَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ -رواه البخارى و مسلم
“Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda: Saling berwasiatlah sesama kalian tentang wanita. Karena sesungguhnya wanita itu diciptakan dari tulang rusuk. Dan tulang rusuk yang paling bengkok adalah bagian atasnya. Jika kalian ingin meluruskannya maka kalian akan mematahkannya, dan jika kalian biarkan saja niscaya dia akan tetap bengkok. Maka, saling berwasiatlah kalian (dengan kebaikan) terhadap wanita” (HR. Bukhari dan Muslim).
Seorang suami yang menikmati kehidupan bersama istrinya pasti mendapatkan sesuatu darinya yang menjengkelkannya. Syukurilah atas kelebihannya dan bersabarlah atas kekurangannya. Nabi ﷺ bersabda:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم: لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِىَ مِنْهَا آخَرَ -رواه مسلم
“Dari Abu Hurairah, dia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda: Janganlah seorang mukmin (suami) membenci seorang mukminah (istri). Jika dia merasa tidak senang terhadap salah satu perangainya, maka ada perangai lain yang dia sukai” (HR. Muslim)
Jika seorang suami mendapati suatu malam istrinya tidak menyenangkan, maka segera alihkan perhatiannya bahwa sang istri luar biasa di malam-malam lainnya. Jika suami mendapatkan istrinya kasar kepada anaknya, maka segera alihkan perhatian bahwa ia sangatlah lembut pada sebagian besar waktunya. MasyaAllah, inilah resep Nabi ﷺ yang tidak berbicara kecuali berdasarkan wahyu, sehingga tidak ada seorang suami pun kecuali pasti nyaman dengan istrinya.
Nabiﷺ mengingatkan para ayah atau wali, agar jangan gegabah dalam memilih calon suami bagi putrinya. Sehingga ketika sudah menjadi suami, ia benar-benar memahami bahwa istrinya itu adalah ‘awan baginya.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:”إِذَا أَتَاكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِينَهُ وَخُلُقَهُ فَزَوِّجُوهُ، إِلا تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الأَرْضِ وَفَسَادٌ عَرِيضٌ” -المعجم الكبير للطبراني
“Dari Abu Hurairah, dia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda: Jika datang kepada kalian orang yang kalian ridho terhadap agama dan akhlaknya maka nikahkanlah dia. Jika, tidak kamu lakukan (menikahkannya) maka akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang nyata”. (Al-Mu’jam al-Kabir lith Thobrani)
Dalam hadits ini, ada satu hal yang mengganjal dalam benak saya. Yaitu lafadz “orang yang kalian ridho terhadap agama dan akhlaknya maka nikahkanlah dia”, kenapa akhlak disebutkan secara tersendiri. Bukankah ia bagian dari agama? Jawabannya adalah bahwa hal ini merupakan dzikrul khoss ba’da al ‘amm (penyebutan sesuatu yang khusus setelah sesuatu yang umum) yang memiliki makna sebagai bentuk perhatian tersendiri terhadap masalah akhlak. Karena banyak pemuda sangat baik dari aspek aqidah dan ibadahnya, tetapi tidak demikian dalam masalah akhlaknya.
Mereka tidak pernah melakukan kesyirikan dan sangat luar biasa dalam beribadah secara kwalitas dan kwantitas, tetapi pada saat yang bersamaan mereka tidak bisa menghormati orang yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda. Tidak peka terhadap masalah hak dan kewajiban sebagai makhluk sosial. Acuh tak acuh dalam masalah hutang-piutang dan lain-lain. Inilah maksud dari baik agama tapi jelek akhlaknya. Orang semacam ini tidak layak dijadikan suami karena akan berpotensi menyia-nyiakan istri.
Hasan al-Bashri, suatu ketika ditanya oleh seseorang: “Dengan siapa aku akan menikahkan putriku?”. Beliau menjawab:” Dengan seorang pemuda yang bertakwa. Karena kalau ia mencintai putrimu, maka benar-benar akan memuliakannya. Dan, suatu ketika jika jengkel terhadap putrimu maka ia tidak akan menyia-nyiakannya”. Jelaslah, bahwa orang yang bertakwa lah yang selalu menyadari bahwa istri itu adalah ‘awan baginya.
Dalam memilih calon suami untuk putrinya, para ayah atau wali bisa meneladani kisah seseorang yang menikahkan putrinya dengan seorang pemuda yang sangat berhati-hati dalam masalah halal dan haram. Pemuda tersebut tidak lain adalah Tsabit bin Ibrahim yang kelak menjadi ayah dari Imam Abu Hanifah. Ketika itu ia menjumpai apel di pinggiran kebun dan langsung memakannya, dia merasa berdosa. Dia pun mencari pemilik kebun itu dan rela menempuh perjalanan panjang demi halalnya sebutir apel.
Sesampainya di rumah pemilik kebun, ia tidak berkenan menghalalkan apel yang telah dimakan tersebut kecuali dengan syarat bahwa ia harus mau menikahi putrinya yang buta, tuli, bisu dan lumpuh. Sebenarnya sangatlah berat bagi Tsabit untuk menerima kondisi wanita yang seperti itu, tetapi rasa takut terhadap dahsyatnya api Neraka atas apel yang dimakannya menjadikannya harus menerima tawaran tersebut agar dihalalkan. Perlu diketahui bahwa sesungguhnya kondisi sang putri tidaklah demikian, tetapi sekadar untuk menguji keshalehan Tsabit bin Ibrahim. Inilah pemuda bertaqwa yang sangat layak dijadikan suami, karena pasti akan memuliakan istrinya, karena ia baginya ia adalah ‘awan.
Istri bagi suami adalah ‘awan. Oleh karena itu penuhilah hak-haknya. Diantaranya adalah sebagaimana Nabi ﷺ sebutkan dalam Hadits,
عَنْ حَكِيمِ بْنِ مُعَاوِيَةَ الْقُشَيْرِىِّ عَنْ أَبِيهِ قَالَ :قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا حَقُّ زَوْجَةِ أَحَدِنَا عَلَيْهِ قَالَ : أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ – أَوِ اكْتَسَبْتَ – وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ وَلاَ تُقَبِّحْ وَلاَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِى الْبَيْتِ -رواه أبو داود
“Dari Hakim bin Muawiyah al-Qusyairi dari ayahnya, dia berkata: Saya bertanya kepada Rasulullah ﷺ, apakah hak istri seseorang di antara kalian atas suaminya? Beliau ﷺ menjawab: Hendaklah engkau memberinya makan jika engkau makan, memberinya pakaian jika engkau berpakaian, serta tidak memukul wajah, tidak menjelek-jelekan, dan tidak pula meng-hajr-nya (meninggalkan/mendiamkannya) kecuali dalam rumah” (HR. Abu Daud).
Dari hadits ini bisa disimpulkan bahwa hak-hak istri dari suaminya adalah:
- Mendapatkan makan, jika suaminya makan. Dalam makna ini adalah tidak diperbolehkan suami makan serba mewah sementara yang dikasihkan istri tidak demikian, apalagi jauh di bawah standar.
- Mendapatkan pakaian, jika suaminya berpakaian. Dalam makna ini adalah tidak diperbolehkan suami berpakaian yang bagus-bagus sementara yang dikasihkan untuk istri yang jelek-jelek.
- Tidak dipukul wajahnya. Boleh dipukul pada selain wajah dengan tujuan menegur , menasehatinya atau meluruskannya. Dengan ketentuan bukan pukulan yang membikin luka atau menciderai. Tetapi sekedar pukulan untuk menjadikannya jera sehingga tidak mengulangi perbuatan jeleknya.
- Tidak dijelek-jelekkan apa saja yang merupakan kekurangan pada dirinya.
- Tidak di- hajr (meninggalkan/mendiamkannya) kecuali dalam rumah. Jika istri berbuat bengkok atau kemungkaran lalu suami hendak meluruskan dengan mendiamkannya maka diamkanlah dia , tetapi di dalam rumah saja. Tidak boleh dibawa-bawa keluar sehingga menyebar ke tetangga. Jangankan tetangga, orang tua atau mertua saja tidak boleh tahu. Cukuplah suami menyelesaikannya bersama istri. Kecuali kalau permasalahannya besar yang tidak mungkin dihadapi mereka berdua maka bisa melibatkan orang ketiga, baik orang tuanya atau mertuanya, atau seorang ustadz atau seorang hakim.
Kenapa sering terjadi seorang suami dengan gampangnya menampar istri? Memukul kepalanya? Membentak-bentak dengan kasar? Bahkan ada yang melukainya dengan benda tajam!!! Jawabannya bisa jadi adalah karena sinetronlah — padahal ia adalah tontonan yang menyelisihi syareat– yang menjadi tuntunannya. Sementara yang sesungguhnya tuntunan –yaitu Al-Qur’an dan Hadits – dijadikan sebagai tontonan. Mereka tidak pernah melihat keteladanan Rasulullah ﷺ sebagai suami. Padahal beliau adalah suami terbaik di antara semua suami yang ada di jagad raya.
عن عائشة قالت : قال النبي صلى الله عليه و سلم : خيركم خيركم لأهله و أنا خيركم لأهلي -نقل من شعب الإيمان
“Dari Aisyah, dia berkata: Nabi ﷺ bersabda: Sebaik-baik di antara kalian adalah orang yang paling baik kepada istrinya. Dan sayalah orang yang paling baik kepada istri” (Dinukil dari Syu’abul Iman).
Ayo para suami, mari berlomba sesama kita…Siapakah diantara kita yang paling baik kepada istrinya??!! Maka dialah pemenangnya…dialah orang yang terbaik diantara semua suami. Allahu A’lam.
Penulis : Muhammad Nur Yasin Zain, Lc. Hafizhahullah
(Pengasuh Pesantren Mahasiswa THAYBAH Surabaya)
Majalah Bulan Mei, 2016 Edisi 46