Akhir-akhir ini kita seringkali dihebohkan dengan pemandangan aneh. Pemandangan yang menjadikan hati perih, dada sesak dan darah membara. Bagaimana tidak? Mereka yang dikatakan sebagai tokoh muslim malah “mesra” dengan orang kafir. Cinta atau loyalitas (al-Wala’) yang sesungguhnya harus diberlakukan kepada sesama muslim tidaklah tampak dari para tokoh tersebut. Sementara kepada ummat muslim mereka menunjukkan sikap kebencian, berseberangan dan permusuhan (al-Baro’).
Tidakkah mereka tahu atau pura-pura tidak tahu?? Bahwa cinta atau loyalitas (al-Wala’) hanyalah diberlakukan kepada sesama muslim. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُولَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُولَئِكَ حِزْبُ اللَّهِ أَلَا إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ -المجادلة: 22
“Engkau (Muhammad) tidak akan mendapatkan suatu kaum yang beriman kepada Allah dan Hari Kiamat saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya sekalipun orang-orang itu bapaknya, anaknya, saudaranya atau keluarganya. Mereka itulah orang-orang yang di dalam hatinya telah ditanamkan Allah keimanan dan Allah telah menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang dari Dia. Lalu, dimasukkannya mereka ke dalam Surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha kepada mereka dan merekapun puas dengan (limpahan rahmat)-Nya. Merekalah golongan Allah. Ingatlah, sesungguhnya golongan Allah itulah yang beruntung” (QS. Al-Mujadilah: 22)
Ayat ini sangat gamblang menjelaskan beberapa hal :
- Orang beriman tidak mungkin mencintai orang kafir meskipun ia bapaknya, atau anaknya, atau saudaranya, atau keluarganya.
- Orang yang membenci orang kafir adalah orang yang hatinya Allah tanamkan keimanan
- Orang yang membenci orang kafir adalah orang yang Allah kuatkan dengan pertolongan.
- Orang yang membenci orang kafir adalah orang yang dimasukkan ke dalam Surga
- Orang yang membenci orang kafir adalah orang yang Allah ridhai
- Orang yang membenci orang kafir adalah orang yang beruntung
Membenci orang kafir atau putus ikatan hati dari mereka dikenal dengan istilah al-Baro’. Perlu ditegaskan bahwa kepada muslim kita harus bersikap al-Wala’, adapun terhadap orang kafir kita harus bersikap al-Baro’
Ketahuilah hakikat persaudaraan dalam Islam adalah karena adanya kesamaan aqidah. Meskipun satu jalur nasab, tetapi jika agamanya berbeda maka pada hakekatnya bukanlah saudara. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
وَنَادَى نُوحٌ رَبَّهُ فَقَالَ رَبِّ إِنَّ ابْنِي مِنْ أَهْلِي وَإِنَّ وَعْدَكَ الْحَقُّ وَأَنْتَ أَحْكَمُ الْحَاكِمِينَ () قَالَ يَا نُوحُ إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ إِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ فَلَا تَسْأَلْنِ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنِّي أَعِظُكَ أَنْ تَكُونَ مِنَ الْجَاهِلِينَ () -هود:45 – 46
“Dan Nuh memohon kepada Tuhannya, dia berkata: Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku adalah termasuk keluargaku dan janji-Mu itu pasti benar. Engkau adalah hakim yang paling adil. Dia (Allah ) berfirman: Wahai Nuh, sesungguhnya dia bukan termasuk keluargamu, karena perbuatannya sungguh tidak baik. Sebab itu jangan engkau memohon kepada-Ku sesuatu yang tidak engkau ketahui (hakikatnya). Aku menasehatimu agar engkau tidak termasuk orang yang bodoh” (QS. Hud: 45-46)
Renungkanlah ayat ini, orang tua mana yang tidak bersedih ketika anaknya dalam bencana? Demikian pula Nabi Nuh. Oleh karena itu ia memohon kepada Allah agar menyelamatkan anaknya yang tidak lain adalah keluarganya sendiri bahkan merupakan darah dagingnya sendiri. Tetapi, apa jawaban Allah? Allah menjawab bahwa ia bukan bagian dari keluarganya karena berbeda agama.
Bahkan, adalah kebodohan jika seseorang mendoakan kebaikan untuk non muslim. Demikianlah jawaban Allah ‘Azza wa Jalla kepada Nabi Nuh ‘alaihissalam
Tidak saja Nabi Nuh, Nabi Muhammad ﷺ juga pernah meminta izin kepada Allah untuk memohon ampunan bagi ibunya. Tetapi Allah menolaknya. Disebutkan dalam Al-Qur’an,
مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ -التوبة: 113
”Tidak pantas bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memohonkan ampunan (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, sekalipun orang-orang itu kaum kerabatnya setelah jelas bagi mereka bahwa orang-orang musyrik itu penghuni Neraka Jahannam” (QS. At-Taubah: 113)
Mendoakan kebaikan hanyalah untuk sesama muslim. Haram hukumnya mendoakan kebaikan untuk orang kafir. Jika harus mendoakan maka hanya satu doa, yaitu agar dia diberi hidayah. Kenapa? Tidak lain, karena azas muamalah sesama muslim itu adalah cinta. Sementara, terhadap orang kafir azasnya adalah kebencian.
Dari sini, semakin pahamlah kita, kenapa kita dilarang melakukan ghibah terhadap muslim? Ketika seseorang meng-ghibah-i saudaranya berarti dia membeberkan aib atau kekurangannya, maka ini tidak lain adalah tindakan menginjak-nginjak kehormatan. Bagaimana mungkin seseorang dikatakan mencintai saudaranya sementara kehormatannya diinjak-injak. Jika ingin membeberkan aibnya lakukankanlah secara empat mata dengan orang yang bersangkutan sehingga aibnya tidak tersebar ke publik. Inilah nasehat. Dan tidaklah orang melakukan nasehat, melainkan karena dia mencintai saudaranya.
Seberapa besar kadar cinta yang kita berikan kepada sesama muslim? Disebutkan dalam Hadits,
عَنْ أَنَسٍ عَنِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ « لا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ -رواه البخارى و مسلم
“Dari Anas, dari Nabi ﷺ. Beliau bersabda: Tidak beriman seseorang di antara kalian sehingga mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri” (HR. Bukhari dan Muslim)
Bagaimanakah seseorang mencintai dirinya? Tentu dengan kadar cinta yang sangat maksimal, sehingga tidak bisa ditulis dengan kata-kata dan tidak bisa diungkapkan dengan ungkapan-ungkapan. Dengan kadar yang maksimal seperti inilah kita harus mencintai muslim lainnya. Konsep syariat ini menjadikan seseorang berhati-hati di dalam bersikap kepada muslim lainnya sebagaimana dia berhati-hati kepada dirinya. Ketika konsep syariat ini dijalankan dengan semestinya, maka tidak akan mungkin terjadi saling jegal sesama muslim, saling menjatuhkan, saling menghancurkan, saling merendahkan, saling membenci, saling menghinakan dan saling mengumbar aib dalam kehidupan kaum muslimin. Jika perkara-perkara tersebut terjadi, maka yang salah bukan ajaran Islamnya tetapi orangnya (baca: oknum muslim)
Siapakah teladan kaum muslimin di dalam masalah al-wala (cinta/loyalitas)? Tidak lain adalah para Sahabat radhiyallahu ‘anhum. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
وَالَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالْإِيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ -الحشر: 9
“Dan orang-orang (Anshar) yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin) mereka mencintai orang yang berhijrah ke tempat mereka. Dan mereka tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka mengutamakan mereka (Muhajirin) atas diri mereka sendiri meskipun diri mereka memerlukan. Dan siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung” (QS. Al-Hasyr: 9)
MasyaAllah, itulah kadar cinta sesama muslim, telah dicontohkan oleh para Shahabat di mana mereka mendahulukan orang lain meskipun dirinya sendiri memerlukan. Sungguh teladan
Ada beberapa kisah tentang ayat ini. Di antaranya adalah kisah tiga orang Sahabat dalam perang Yarmuk yang disebutkan di dalam Al-Mustadrok ‘ala-sh-Shohihaini li-Al Hakim ma’a at-Ta’liqot. Kurang lebihnya begini, Saat itu ada tiga orang mujahid yang terkapar dalam kondisi kritis. Mereka adalah Al-Harits bin Hisyam, Ayyasy bin Abi Rabi’ah, dan Ikrimah bin Abu Jahal.
Ketika itu Al-Harits meminta air minum. Ketika air didekatkan ke mulutnya, ia mengetahui kondisi Ikrimah juga dalam keadaan yang mengkhawatirkan seperti yang ia alami. Lalu ia pun berkata kepada si pembawa air, ”Berikan dulu kepada Ikrimah,”. Seketika itu pula si pembawa air menuju tempat Ikrimah tergeletak tak berdaya untuk memberikan air kepadanya. Ketika air didekatkan ke mulut Ikrimah, ia melihat Ayyasy menengok kepadanya. Ia juga melihat Ayyasy sedang dalam kondis kritis seperti dirinya atau bahkan mungkin lebih parah lagi. Lalu dengan tegas Ikrimah berkata kepada si pembawa air, ”Berikan dulu kepada Ayyasy!”. Si pembawa air pun langsung menuju tempat Ayyasy. Ketika air minum didekatkan ke mulut Ayyasy, ternyata didapatinya Ayyasy telah syahid. Orang yang memberikan air minum segera kembali ke hadapan Harits dan Ikrimah, namun ia juga mendapati bahwa keduanya telah menemui syahidnya. ALLAHU AKBAR !!!
Di dalam riwayat ِ Imam Al-Bukhari dari Abu Hurairah, disebutkan kurang lebihnya begini, Abu Hurairah berkata, “Telah datang seorang laki-laki kepada Rasulullah ﷺ dan berkata: “Sesungguhnya aku dalam keadaan lapar”. Maka Rasulullah menanyakan kepada salah satu istrinya tentang makanan yang ada dirumahnya, namun beliau menjawab: “Demi Dzat Yang mengutusmu dengan haq, aku tidak memiliki apa-apa kecuali hanya air, kemudian beliau bertanya kepada istri yang lain, namun jawabannya tidak berbeda. Seluruhnya menjawab dengan jawaban yang sama. Kemudian Rasulullah bersabda: “Siapakah yang akan menjamu tamu ini, semoga Allah merahmatinya”.
Maka berdirilah salah seorang Anshar, yaitu Abu Thalhah seraya berkata: “Saya wahai Rasulullah”. Maka dia pergi bersama tamu tadi menuju rumahnya kemudian sahabat Anshar tersebut bertanya kepada istrinya (Ummu Sulaim): “Apakah kamu memiliki makanan?”. Istrinya menjawab: “Tidak punya melainkan makanan untuk anak-anak”. Abu Thalhah berkata: ”Berikanlah minuman kepada mereka dan tidurkanlah mereka. Nanti apabila tamu saya masuk maka akan saya perlihatkan bahwa saya ikut makan, apabila makanan sudah berada di tangan maka berdirilah. Mereka duduk-duduk dan tamu makan hidangan tersebut sementara kedua suami-istri tersebut bermalam dalam keadaan tidak makan. Keesokan harinya keduanya datang kepada Rasulullah ﷺ, lalu Rasulullah ﷺ bersabda: “Sungguh Allah takjub (atau tertawa) terhadap fulan dan fulanah”. Dalam riwayat lain, Rasulullah ﷺ bersabda: “Sungguh Allah takjub terhadap apa yang kalian berdua lakukan terhadap tamu kalian” .
Di akhir hadits disebutkan: “Maka turunlah ayat (artinya):
“Dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin) atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu).” (Q.S Al-Hasyr : 9).
Abu Thalhah tidak kuasa menahan rasa gembiranya, maka beliau bersegera memberikan khabar gembira tersebut kepada istrinya sehingga sejuklah pandangan matanya karena Allah menurunkan ayat tentang mereka dalam al-Qur`an yang senantiasa dibaca. ALLAHU AKBAR !!!
Di atas telah dijelaskan bahwa terhadap orang kafir, kita harus benci dan memutuskan ikatan hati (al-Baro’). Lalu, apakah berarti kita harus melempari mobil mereka dengan batu, membakar rumah mereka, tidak melayani mereka ketika membeli, mengurangi timbangan untuk mereka, mengotori halaman rumah mereka dengan kotoran dan lain-lain karena kebencian kita kepada mereka?? TIDAK DEMIKIAN. Lalu bagaimana? Perhatikanlah ayat Al-Qur’an berikut ini,
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ -الممتحنة: 8
“Allah tidak melarang kalian terhadap orang-orang yang tidak memerangi kalian di dalam agama dan tidak mengusir kalian dari rumah-rumah kalian untuk berbuat baik kepada mereka dan berlaku adil terhadap mereka. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil” (QS. Al-Mumtahanah:8)
Jadi, selama orang kafir tidak memerangi dan mengusir kita maka kita tidak dilarang alias diperintahkan untuk berbuat baik dan berlaku adil kepada mereka. Apa yang dimaksud dengan berbuat baik dan berlaku adil? Maksudnya adalah sebatas memenuhi hak-hak mereka saja. Sebagai apapun mereka; tetangga, suplayer, penjual, pembeli, teman kuliah dan lain-lain penuhilah hak-hak mereka sebaik mungkin. Hal ini tidak terlarang. Yang dilarang adalah MENCINTAI.
Mendoakan kebaikan untuk orang kafir, berteman akrab dengan mereka, menjadikan mereka sebagai pemimpin adalah haram, karena sudah bukan wilayah memenuhi hak tatapi sudah memasuki wilayah CINTA yang hanya diperbolehkan kepada sesama muslim
Kepada muslim kita harus mencintainya sebagaimana kita mencintai diri kita sendiri. Khususnya, kepada muslim yang taat dalam beragama dan gemar berdakwah serta sangat membangga-banggakan sunnah, cinta kita kepada mereka tidak sekedar dalam sikap tetapi ungkapkanlah dengan lisan I LOVE YOU BECAUSE OF ALLAH.
وَاللَّهِ إِنِّي لَأُحِبُّكَ
Alhamdulillahi Robbil ‘Alamin
Penulis : Muhammad Nur Yasin Zain, Lc. Hafizhahullah
(Pengasuh Pesantren Mahasiswa THAYBAH Surabaya)
Majalah Bulan Januari, 2018 Edisi 62