A. Mengapa dinamakan dunia ?
Mengapa tempat kita tinggal sekarang ini dinamai dunia? Untuk menjawabnya, terlebih dahulu kita harus mengetahui asal muasal kata ini. Ia berasal dari bahasa Arab, دنا – يدنو – دنيا (artinya rendah). Paling tidak ada dua alasan mengapa dinamakan dunia, yaitu:
- Dunia disebutkan oleh Allah dengan al-uulaa (الأولى). Artinya lebih rendah daripada Akhirat, di mana ia lebih dulu dilalui oleh manusia baru kemudian Akherat. Disebutkan di dalam Al-Qur’an,
وَلَلْآخِرَةُ خَيْرٌ لَكَ مِنَ الْأُولَى – الضحى: 4
“Sungguh yang kemudian itu (Akherat) lebih baik daripada yang permulaan (dunia)” (Adh-Dhuha:4)
- Nilai dunia sangatlah rendah. Tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan Akherat. Disebutkan di dalam Hadits,
عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه و سلم قال : لموضع سوط أحدكم في الجنة خير من الدنيا وما فيها – سنن الدارمى
“Dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: Sungguh tempat cemeti milik seseorang di antara kalian di Surga lebih baik daripada dunia seisinya” (Sunan Ad-Darimy)
- Dalil-dalil rendahnya dunia
عَنْ مُسْتَوْرِد أَخَى بَنِى فِهْرٍ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « وَاللَّهِ مَا الدُّنْيَا فِى الآخِرَةِ إِلاَّ مِثْلُ مَا يَجْعَلُ أَحَدُكُمْ إِصْبَعَهُ هَذِهِ – وَأَشَارَ يَحْيَى بِالسَّبَّابَةِ – فِى الْيَمِّ فَلْيَنْظُرْ بِمَ يَرْجِعُ – صحيح مسلم
“Dari Mustaurid, saudara Bani Fihr, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Demi Allah, tidaklah (kenikmatan) dunia dibandingkan dengan (kenikmatan) Akherat kecuali seperti apa yang seseorang di antara kalian menjadikan jarinya ini (Periwayat mengisyaratkan jari telunjuknya) ke dalam laut, maka lihatlah seberapa (kadar air) yang terbawa” (Shahih Muslim)
Mari kita perhatikan, seberapakah kadar air yang terbawa oleh jari telunjuk ketika kita mencelupkannya ke laut? Paling-paling satu tetes atau bahkan tidak mencapai satu tetes, tetapi hanya sekedar yang menempel di jari telunjuk tersebut. Nah, kadar air di jari telunjuk yang sangat sedikit itu adalah perumpamaan kadar kenikmatan dunia. Sementara air yang ada di laut adalah perumpamaan kadar kenikmatan Akhirat. Jelaslah, perbandingannya sangat jauh. Bahkan tidak bisa dibandingkan.
Dalam riwayat lain,
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مَرَّ بِالسُّوقِ دَاخِلاً مِنْ بَعْضِ الْعَالِيَةِ وَالنَّاسُ كَنَفَتَهُ فَمَرَّ بِجَدْىٍ أَسَكَّ مَيِّتٍ فَتَنَاوَلَهُ فَأَخَذَ بِأُذُنِهِ ثُمَّ قَالَ « أَيُّكُمْ يُحِبُّ أَنَّ هَذَا لَهُ بِدِرْهَمٍ ». فَقَالُوا مَا نُحِبُّ أَنَّهُ لَنَا بِشَىْءٍ وَمَا نَصْنَعُ بِهِ قَالَ « أَتُحِبُّونَ أَنَّهُ لَكُمْ ». قَالُوا وَاللَّهِ لَوْ كَانَ حَيًّا كَانَ عَيْبًا فِيهِ لأَنَّهُ أَسَكُّ فَكَيْفَ وَهُوَ مَيِّتٌ فَقَالَ « فَوَاللَّهِ لَلدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللَّهِ مِنْ هَذَا عَلَيْكُمْ – رواه مسلم
“Dari Jabir bin Abdullah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berjalan di pasar. Orang-orang berada di sisi kanan dan kiri beliau. Ketika itu beliau melintasi bangkai seekor anak kambing yang kecil telinganya (cacat). Beliau mengangkat telinganya kemudian bertanya: Siapakah di antara kalian yang mau membeli bangkai ini dengan harga satu dirham? Para Shahabat menjawab: Kami tidak mengingkinkannya sama sekali, dan apa yang bisa kami perbuat dengan bangkai ini? Beliau bertanya lagi: Apakah kalian mau bangkai ini menjadi milik kalian? Mereka menjawab: Demi Allah, seandainya kambing ini hidup maka dia itu ada cacatnya, telinganya kecil, terlebih sudah jadi bangkai. Lalu beliau bersabda: DEMI ALLAH SUNGGUH DUNIA INI LEBIH HINA DALAM PANDANGAN ALLAH DARIPADA BANGAKAI INI DALAM PANDANGAN KALIAN”. (HR. Muslim)
Adakah yang memandang bangkai sebagai sesuatu yang bernilai? Pasti tidak seorangpun. Renungkanlah! Ternyata di sisi Allah dunia itu lebih rendah dari bangkai.
Dalam riwayat lain,
عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم – لَوْ كَانَتِ الدُّنْيَا تَعْدِلُ عِنْدَ اللَّهِ جَنَاحَ بَعُوضَةٍ مَا سَقَى كَافِرًا مِنْهَا شَرْبَةَ مَاءٍ
“Dari Sahl bin Sa’d, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Seandainya dunia ini sepadan dengan sayap nyamuk di sisi Allah, niscaya Allah tidak akan memberi minum kepada orang kafir meski hanya seteguk air.” (HR. At-Tirmidzi)
Saya akan ajukan pertanyaan. Bagaimanakah sikap yang semestinya dalam memberlakukan musuh? Apakah memuliakannya ataukah menghinakannya? Semua pasti menjawab MENGHINAKANNYA. Bagaimana mungkin musuh dimuliakan. Nah, siapakah musuh Allah? Tidak lain adalah orang kafir. Maka, Allah pun menghinakan mereka.
Perhatikanlah! Apakah yang Allah suguhkan untuk musuh-Nya? Bukankah DUNIA DENGAN SEGALA KENIKMATANNYA? Jelaslah, bahwa dunia ini sangat hina karena ia merupakah suguhan dari Allah untuk musuh-Nya. Oleh karena itu Nabi shallallahu `alaihi wa sallam bersabda bahwa seandainya dunia itu bernilai meskipun hanya sepadan dengan nilai sayap nyamuk, niscaya orang kafir tidak akan diberi minum meskipun hanya seteguk. SUBHANALLAH, BETAPA HINA DUNIA INI.
- Zuhudlah dari rendahnya dunia, raihlah tingginya Akherat (Surga)
Setelah jelas pemaparan di atas tentang rendahnya dunia, maka marilah zuhud darinya. Zuhud adalah perginya hati dari negeri dunia dan mengambil posisi di Akherat. Sadarilah bahwa dunia itu tempat yang akan kita tinggalkan. Di dunia tidaklah selama-selamanya. Kita akan beralih menuju tempat yang sesungguhnya, karena di situlah tempat tinggal selama-lamanya yang kita tidak akan pernah meninggalkannya. Oleh karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ – رضى الله عنهما – قَالَ أَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – بِمَنْكِبِى فَقَالَ « كُنْ فِى الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيبٌ ، أَوْ عَابِرُ سَبِيلٍ – رواه البخارى
“Dari Abdullah Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memegang pundakku lalu bersabda: Jadilah kamu di dunia seperti orang asing atau orang yang menyebrang jalan!” (HR. Bukhari)
Ketika Anda musafir, apakah daerah asing yang Anda singgahi akan Anda tempati selama-lamanya sehingga Anda disibukkan dengan urusan-urusan yang tidak diperlukan di daerah asing tersebut? Tentu tidak. Anda sadar sesadar-sadarnya bahwa daerah asing tersebut adalah tempat tinggal sesaat hingga apa yang menjadi tujuannya terpenuhi, setelah itu pulang ke kampung halaman. Bukankah demikian?
Demikian halnya dunia yang kita tempati sekarang. Ia adalah tempat singgah sementara kemudian akan kita tinggalkan menuju tempat kita yang sesungguhnya yaitu Surga. Oleh karena itu, berbuatlah untuk “kampung kita” nanti. Jangan sampai kita terlena, tertipu oleh dunia yang akhirnya hilang kesadaran kita lalu berakibat mencintai kehidupan yang sementara dan melupakan kehidupan yang sebenarnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « لاَ تَتَّخِذُوا الضَّيْعَةَ فَتَرْغَبُوا فِى الدُّنْيَا – رواه الترمذى
“Dari Abdullah bin Mas’ud beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Janganlah kalian menumpuk-numpuk kekayaan sehingga kalian akan menjadi cenderung (cinta) kepada dunia” (HR. At-Tirmidzi)
Goreskanlah dengan tinta yang tidak luntur, DUNIA ITU TERLAKNAT…DUNIAT ITU TERLAKNA…DUNIA ITU TERLAKNAT…. Sebagaimana disebutkan dalam Hadits Nabi shallallahu `alaihi wa sallam,
عَنْ أَبُي هُرَيْرَةَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَهُوَ يَقُولُ « أَلاَ إِنَّ الدُّنْيَا مَلْعُونَةٌ مَلْعُونٌ مَا فِيهَا إِلاَّ ذِكْرَ اللَّهِ وَمَا وَالاَهُ أَوْ عَالِمًا أَوْ مُتَعَلِّمًا »- رواه الترمذى
“Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Ketahuilah bahwa dunia itu terlaknat, semua yang ada di dalamnya juga terlaknat kecuali dzikir kepada Allah yang Maha Tinggi, serta apa yang serupa dengannya, orang yang berilmu dan orang yang belajar” (HR. At-Tirmidzi).
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menegaskan,
عَنْ أَنَسٍ عَنِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ « اللَّهُمَّ لاَ عَيْشَ إِلاَّ عَيْشُ الآخِرَهْ – رواه البخارى و مسلم
“Dari Anas radhiyallallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Ya Allah, tidak ada kehidupan (yang sebenarnya) kecuali kehidupan Akhirat” (HR. Bukhari dan Muslim)
Imam Ahmad mengatakan: Zuhud itu ada tiga tingkatan, yaitu:
- Zuhud yang berarti meninggalkan hal-hal yang haram. Dan, inilah zuhudnya orang awam
- Zuhud yang berarti meninggalkan kelebihan dari hal-hal yang dihalalkan. Ini zuhudnya kaum khowash (khusus).
- Zuhud yang berarti meninggalkan hal-hal yang dapat melalaikan diri dari mengingat Allah. Inilah zuhudnya kaum ‘Arif (orang yang mengenal Allah)
Dari tiga tingkatan zuhud tersebut, dimanakah kita berada? Masing-masing kita sendiri yang bisa menjawabnya. Ketika kita bisa mensikapi dunia ini dengan prinsip “NGAPAIN NGOYO-NGOYO SAMPAI MENERJANG YANG HARAM, WONG DUNIA INI SANGAT RENDAH KOK”, maka pujilah Allah dan bersyukurlah karena berarti kita telah berzuhud. Namun, ini adalah level zuhud yang paling rendah. Berupayalah terus-menerus untuk meningkatkannya.
Mari kita lihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sang teladan zuhud kita yang disebutkan di dalam berbagai riwayat,
عَنْ أَبُى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « لَوْ كَانَ لِى مِثْلُ أُحُدٍ ذَهَبًا ، مَا يَسُرُّنِى أَنْ لاَ يَمُرَّ عَلَىَّ ثَلاَثٌ وَعِنْدِى مِنْهُ شَىْءٌ ، إِلاَّ شَىْءٌ أُرْصِدُهُ لِدَيْنٍ »- رواه البخارى و مسلم
“Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Jika saya memiliki emas sebesar gungung Uhud, maka saya ingin ia hanya tinggal bersamaku tidak lebih dari tiga malam, dan tidak ada yang tersisa bersamaku kecuali hanya sedikit saja yang kupersiapkan untuk membayar hutang”.
عَنْ النُّعْمَانَ قَالَ ذَكَرَ عُمَرُ مَا أَصَابَ النَّاسُ مِنَ الدُّنْيَا فَقَالَ لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَظَلُّ الْيَوْمَ يَلْتَوِى مَا يَجِدُ دَقَلاً يَمْلأُ بِهِ بَطْنَهُ.- رواه مسلم
“Dari Nu’man, ia berkata: Umar radhiyallahu ‘anhu menceritakan tentang dunia (harta) yang menimpa manusia. Dia lanjut berkata: Aku pernah menyaksikan Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam kadang-kadang seharian penuh tidak mendapatkan makanan meski hanya kurma terburuk untuk mengganjal perutnya”. (HR. Muslim)
Padahal Jika menginginkan, beliau bisa menahan hartanya tidak menginfakkannya kecuali sedikit saja lalu menggunakannya sesukanya…. Allahu Akbar
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ تُوُفِّىَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – وَمَا فِى بَيْتِى مِنْ شَىْءٍ يَأْكُلُهُ ذُو كَبِدٍ ، إِلاَّ شَطْرُ شَعِيرٍ فِى رَفٍّ لِى ، فَأَكَلْتُ مِنْهُ حَتَّى طَالَ عَلَىَّ ، فَكِلْتُهُ فَفَنِىَ – رواه البخارى و مسلم
“Dari Aisyah, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, sedangkan di rumahku tidak ada sesuatupun yang bisa dimakan oleh makhluk hidup, kecuali sedikit tepung gandum di atas rak milikku, lalu aku memakannya sehingga berlangsung lama padaku hingga akhirnya aku menakarnya dan ternyata tepung itu sudah habis” (HR. Bukhari Muslim)
Apakah Anda pernah mendengar seorang kepala Negara, ketika wafatnya tidak meninggalkan apa-apa untuk keluarganya kecuali hanya beberapa takaran gandum?
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتْ مَا شَبِعَ آلُ مُحَمَّدٍ -صلى الله عليه وسلم- مِنْ خُبْزِ شَعِيرٍ يَوْمَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ حَتَّى قُبِضَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم – رواه البخارى و مسلم
“Dari Aisyah, ia berkata: Keluarga Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah kenyang dari roti gandum dalam waktu dua hari berturut-turut hingga beliau meninggal dunia” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat lain,
عَنْ عَائِشَةَ – رضى الله عنها – قَالَتْ مَا شَبِعَ آلُ مُحَمَّدٍ – صلى الله عليه وسلم – مُنْذُ قَدِمَ الْمَدِينَةَ مِنْ طَعَامِ الْبُرِّ ثَلاَثَ لَيَالٍ تِبَاعًا ، حَتَّى قُبِضَ
“Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata: Sejak menetap di Madinah, keluarga Muhammad tidak pernah kenyang makanan yang terbuat dari gandum dalam waktu tiga malam berturut-turut sampai beliau meninggal dunia”
صحيح البخارى : 9/ 215، بترقيم الشاملة آليا
عَنْ أَنَسٍ – رضى الله عنه – قَالَ وَلَقَدْ رَهَنَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – دِرْعَهُ بِشَعِيرٍ ، وَمَشَيْتُ إِلَى النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – بِخُبْزِ شَعِيرٍ وَإِهَالَةٍ سَنِخَةٍ ، وَلَقَدْ سَمِعْتُهُ يَقُولُ « مَا أَصْبَحَ لآلِ مُحَمَّدٍ – صلى الله عليه وسلم – إِلاَّ صَاعٌ ، وَلاَ أَمْسَى » . وَإِنَّهُمْ لَتِسْعَةُ أَبْيَاتٍ – رواه البخارى
“Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Sungguh Nabi shallallahu `alaihi wa sallam telah menggadaikan baju perangnya dengan gandum. (Suatu ketika) aku berjalan menuju Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan (membawa) roti gandum dan keju yang mulai basi, aku mendengar beliau bersabda: Tidaklah keluarga Muhammad di pagi hari kecuali hanya ada satu sho’ (gandum) dan tidak pula di sore harinya. Padahal mereka itu Sembilan rumah” (HR. Bukhari)
عن ابن عباس رضي الله عنهما قال : دخل عمر بن الخطاب رضي الله عنه على النبي صلى الله عليه و سلم و هو على حصير قد أثر في جنبيه فقال : يا رسول الله لو اتخذت فراشا أوثر من هذا فقال : ما لي و للدنيا و ما للدنيا و ما لي و الذي نفسي بيده ما مثلي و مثل الدنيا إلا كراكب سار في يوم صائف فاستظل تحت شجرة ساعة من نهار ثم راح و تركها – المستدرك للحاكم
“Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata: Umar bin Khoththob radhiyallahu ‘anhu (masuk) menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sedang berada di atas tikar yang berbekas pada kedua punggungnya. Dia pun berkata: Ya Rasulullah jika engkau menggunakan kasur daripada ini (tikar). Maka beliau bersabda: Apa urusanku terhadap dunia? Permisalan antara aku dengan dunia bagaikan seorang yang berkendaraan menempuh perjalanan di siang hari yang panas terik, lalu ia mencari teduhnya di bawah pohon beberapa saat di siang hari, kemudian ia istirahat di sana lalu meninggalkannya” (Al-Mustadrok lil Hakim)
Tentu kita tidak bisa berzuhud seperti Nabi shallallahu `alaihi wa sallam, tetapi mari terus meningkatkan kwalitas zuhud kita. Semakin kita merindu Surga semakin meningkat pula zuhud kita. Seberapa greget kerinduan kita kepada Surga?
- Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mengkhawatirkan kefakiran atas ummatnya
Disebutkan di dalam riwayat,
عَنِ عَمْرَو بْنَ عَوْفٍ الأَنْصَارِىَّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – بَعَثَ أَبَا عُبَيْدَةَ بْنَ الْجَرَّاحِ إِلَى الْبَحْرَيْنِ يَأْتِى بِجِزْيَتِهَا ، وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – هُوَ صَالَحَ أَهْلَ الْبَحْرَيْنِ وَأَمَّرَ عَلَيْهِمُ الْعَلاَءَ بْنَ الْحَضْرَمِىِّ ، فَقَدِمَ أَبُو عُبَيْدَةَ بِمَالٍ مِنَ الْبَحْرَيْنِ ، فَسَمِعَتِ الأَنْصَارُ بِقُدُومِ أَبِى عُبَيْدَةَ فَوَافَتْ صَلاَةَ الصُّبْحِ مَعَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – ، فَلَمَّا صَلَّى بِهِمِ الْفَجْرَ انْصَرَفَ ، فَتَعَرَّضُوا لَهُ ، فَتَبَسَّمَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – حِينَ رَآهُمْ وَقَالَ « أَظُنُّكُمْ قَدْ سَمِعْتُمْ أَنَّ أَبَا عُبَيْدَةَ قَدْ جَاءَ بِشَىْءٍ » . قَالُوا أَجَلْ يَا رَسُولَ اللَّهِ . قَالَ « فَأَبْشِرُوا وَأَمِّلُوا مَا يَسُرُّكُمْ ، فَوَاللَّهِ لاَ الْفَقْرَ أَخْشَى عَلَيْكُمْ ، وَلَكِنْ أَخْشَى عَلَيْكُمْ أَنْ تُبْسَطَ عَلَيْكُمُ الدُّنْيَا كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ ، فَتَنَافَسُوهَا كَمَا تَنَافَسُوهَا وَتُهْلِكَكُمْ كَمَا أَهْلَكَتْهُمْ – رواه البخارى و مسلم
“Dari ‘Amr bin ‘Auf al-Anshory radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Abu Ubaidah bin al-Jarroh radhiyallahu ‘anhu ke Bahrain untuk mengambil upeti di sana. Kemudian dia kembali dari Bahrain dengan membawa sejumlah harta. Lalu kaum Anshor mendengar kedatangan Abu Ubaidah itu. Mereka mengerjakan shalat Shubuh bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seusai shalat Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam menoleh, para Sahabat menatap beliau, kemudian beliau tersenyum melihat mereka. Selanjutnya beliau shallallahu `alaihi wa sallam bersabda: Saya kira kalian sudah mendengar bahwa Abu Ubaidah telah datang dari Bahrain dengan membawa sesuatu? Mereka menjawab: Benar, Ya Rasulullah. Beliau shallallahu `alahi wa sallam bersabda: Sambutlah berita gembira itu dan berharaplah mudah-mudahan Allah memudahkan apa yang kalian inginkan. DEMI ALLAH, BUKANLAH KEMISKINAN YANG AKU KHAWATIRKAN ATAS KALIAN, tetapi yang aku khawatirkan adalah jangan-jangan kekayaan dunia ini dihamparkan atas kalian semua sebagaimana yang pernah dihamparkan atas orang-orang sebelum kalian. Kemudian kalian berlomba-lomba memperoleh kekayaan itu seperti yang mereka lakukan. Dan, akhirnya kekayaan itu membinasakan kalian sebagaimana ia telah membinasakan mereka” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sekali lagi jangan lupa, RASULULLAH SHALLALLAHU `ALAIHI WA SALLAM TIDAK PERNAH MENGKHAWATIRKAN KEMISKINAN ATAS UMMATNYA. JUSTRU YANG BELIAU KHAWATIRKAN ADALAH JIKA KEKAYAAN DUNIA TELAH DIHAMPARKAN KEPADA UMMATNYA. Ingat baik-baik. Mari kita torehkan dalam kehidupan kita dengan tinta yang terang menyala.
Oleh karena itu, beliau tidak merisaukan kondisi para sahabat radhiyallahu ‘anhum yang miskin. Perhatikanlah respon beliau shallallahu `alaihi wa sallam ketika melihat kemiskinan para sahabat. Disebutkan dalam salah satu riwayat,
عَنْ فَضَالَةَ بْنِ عُبَيْدٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا صَلَّى بِالنَّاسِ يَخِرُّ رِجَالٌ مِنْ قَامَتِهِمْ فِى الصَّلاَةِ مِنَ الْخَصَاصَةِ وَهُمْ أَصْحَابُ الصُّفَّةِ حَتَّى تَقُولَ الأَعْرَابُ هَؤُلاَءِ مَجَانِينُ أَوْ مَجَانُونَ فَإِذَا صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- انْصَرَفَ إِلَيْهِمْ فَقَالَ « لَوْ تَعْلَمُونَ مَا لَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ لأَحْبَبْتُمْ أَنْ تَزْدَادُوا فَاقَةً وَحَاجَةً (رواه الترمذى)
“Dari Fadholah bin Ubaid radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika mengerjakan shalat dengan orang-orang, ada beberapa orang yang jatuh tersungkur di tempat berdiri mereka dalam shalat karena kelaparan. Mereka adalah ahli shuffah. Sehingga ada orang Badui mengatakan: Mereka orang-orang gila. Setelah selesai mengerjakan shalat, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadap mereka lalu bersabda: Seandainya kalian mengetahui pahala yang ada di sisi Allah Ta’ala niscaya kalian menyukai hidup lebih miskin dan susah”. (HR. At-Tirmidzi)
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam justru memotivasi mereka tentang fadhilah kemiskinan dan kesusahan
Penulis : Ustadz Muhammad Nur Yasin Zain, Lc. Hafizhahullah
(Pengasuh Pesantren Mahasiswa THAYBAH Surabaya)
Majalah Bulan Desember, 2018 Edisi 72