Masih ingatkah kisah Sahabat nabi, Ka’ab bin Malik dia bersama sekitar 80 orang tidak ikut perang Tabuk. Ka’ab bin Malik menyampaikan sebab tidak ikut sertanya dalam perang tersebut apa adanya tanpa membuat-buat alasan. Di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dia mengatakan: “Ya Rasulullah, demi Allah, seandainya aku duduk di sisi orang selain engkau, aku yakin bahwa aku terbebaskan dari kemurkaannya dengan alasan dan argumentasi yang aku sampaikan. Tetapi, demi Allah, aku tahu bahwa jika sekarang ini aku menyampaikan kepadamu alasan yang dusta agar membuatmu tidak memarahiku, tentu dengan cepat Allah yang membuatmu marah kepadaku. Jika aku berkata benar dan jujur kepadamu yang dengan kejujuran itu engkau akan memarahiku, maka aku pun menerimanya dengan senang hati. Biarkanlah Allah memberiku hukuman dengan ucapanku yang jujur itu. Mendengar pengakuan tulus itu Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Orang ini telah berkata jujur, berdirilah sampai Allah memberikan keputusan tentangmu. “Sejak saat itu dia diboikot oleh seluruh kaum muslimin; dikucilkan, tidak disapa, tidak diucapkan salam. Kalau menyapa tidak ada yang merespon, kalau mengucapkan salam tidak ada yang menjawab. Bumi yang sangat luas pun dirasakan sempit olehnya. Sungguh berat resiko yang ditanggung karena kejujuran, derita telah menerpanya selama 50 hari. Tetapi lihatlah apa ucapannya setelah masa boikotnya selesai, “Demi Allah, tidak ada nikmat yang telah diberikan oleh Allah kepadaku setelah Allah menunjukkanku kepada Islam yang aku pandang
lebih besar daripada kejujuranku kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Seandainya aku berdusta, maka aku akan celaka sebagaimana orang-orang yang berdusta”. Bagaimana tidak merupakan nikmat besar… sebuah pernyataan diterimanya taubat yang langsung datang dari Allah. Hal ini desebut kan dalam (QS. At-Taubah: 117- 119).
Dia juga berkata mensyukuri nikmat besar yang diperolehnya: “Demi Allah, aku tidak lagi ingin berbohong semenjak aku katakan itu kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam sampai sekarang ini, dan aku berharap semoga Allah menjagaku dari kedustaan dalam sisa umurku”. Inilah derita yang menghibur.
Jujur adalah sifat mendasar yang dimiliki seorang muslim, sebagaimana sifat mendasar orang munafik adalah dusta. Allah berfirman: “Supaya Allah memberikan balasan kepada orang-orang yang jujur itu karena kejujurannya, dan menyiksa orang munafik” (QS. Al-Ahzab: 24). Perhatikanlah ayat ini, Allah mempertentangkan orang muslim dengan orang mu- nafik. Dan orang muslim disebutkan dengan istilah “ash-Shodiqin” (orang jujur). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya: “Apakah seorang mukmin pengecut? Beliau menjawab: ya. Beliau ditanya lagi: Apakah seorang mukmin pelit? Beliau menjawab: ya. Beliau ditanya lagi: Apakah seorang murin pembohong? Beliau menjawab: Tidak“(HR. Imam Malik, Muwatho, Maktabah Syamilah). Hadits ini tidak menunjukkan bahwa seorang muslim boleh pengecut dan pelit. Tetapi, hadits ini menekankan bahwa tidak mungkin seorang muslim berdusta di mana jujur adalah sifatnya yang mendasar. Tingkat kejujuran seseorang dalam berIslam bertingkat-tingkat. Oleh karena itu setiap muslim diperintahkan untuk selalu meningkatkannya sehingga dicatat di sisi Allah sebagai “shiddiq”. Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya kejujuran itu membawa kepada kebaikan dan kebaikan itu membawa kepada Surga. Dan sesungguhnya seseorang terus berbuat jujur sehingga ditulis di sisi Allah sebagai “shiddiq” (orang yang jujur)”(HR. Bukhari dan Muslim).
Tingkat kejujuran paling tinggi dalam ber-Islam setelah nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah para Sahabat. Lihatlah kejujuran mereka, ketika turun ayat pelarangan khamr, para sahabat secara serentak menumpahkan khamr-khamr yang mereka simpan di gudang. Sampai-sampai, jalanan kota Madinah becek dengan khamr, saking banyaknya khamr yang dibuang. Padahal, sebelumnya, khamr Madinah yang berbahan baku air kurma ini telah menjadi komoditas perdagangan masyarakat Madinah. Lihatlah bagaimana kejujuran Abu Bakar dalam berIslam, dia rela menemani Nabi melakukan perjalanan sangat jauh dari Mekkah ke Madinah dengan resiko nyawa. Lihatlah Handhalah, dia rela meninggalkan malam pertama pernikahannya untuk memenuhi panggilan jihad. Lihatlah Shuhaib ar-Rumy, dia merelakan harta kekayaannya dirampas oleh orang-orang kafir demi bisa hijrah ke Madinah menyusul nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lihatlah kejujuran Bilal dalam berIslam, dia rela disiksa demi mempertahankan Laa ilaaha illa Allah.
Abu Sufyan ketika masih kafir bersama rombongan berangkat ke Syam. Mereka menemui Heraklius, seorang raja nashrani. Dia bertanya kepada mereka tentang nabi Muhammad. Setiap kali Abu Sufyan menjelaskan tentang beliau, Heraklius membenarkan kenabiannya. Apa yang menyebabkan dia membenarkan kenabian Muhammad? Padahal dia tidak melihatnya. Tidak lain adalah setiap penjelasan Abu Sufyan tentang beliau, Heraklius merasakan bahwa dia adalah orang yang jujur dalam kebenaran. Sayang, dia tidak masuk Islam karena lebih memberatkan kerajaannya. Abu Sufyan sendiri akhirnya masuk Islam meskipun belakangan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Katakanlah yang hak (benar/jujur) meskipun itu pahit (Kitab: Jami’ul Ahadits, Bab: Musnad Abu Dzar, Maktabah Syamilah). Tentu tidak saja dalam ucapan, tetapi juga dalam sikap dan perbuatan.
Bersikap jujur kepada orang lain lebih mudah dilakukan dari pada kepada diri sendiri. Contoh: setiap penuntut ilmu menyadari bahwa menyia nyiakan waktu itu perbuatan buruk. Mereka pun dengan mudah saling mengingatkan tentang buruknya hal ini. Sesama mereka pun saling menunjukkan bahwa dirinya memanfaatkan waktu sebaik-baiknya. Tetapi, kondisi yang demikian ini hanya terwujud ketika mereka bersama-sama. Lalu, apakah masing-masing bisa melakukannya ketika dalam kesendiriannya, atau ketika tidak ada kawannya?
Dalam suatu rombongan perjalanan, seseorang tampak bersemangat sekali melayani kebutuhan ayah dan ibunya. Tetapi birrul walidain seperti ini sering sekali tidak tampak ketika dia di rumahnya. Kenapa? Jawabannya adalah ketika dalam perjalanan itu banyak pandangan dan perhatian yang tertuju kepada dirinya, sementara ketika di rumahnya pandangan dan perhatian tersebut tidak ada lagi. Ini menunjukkan bahwa bersikap jujur kepada orang lain lebih mudah daripada kepada diri sendiri.
Suatu maksiat, seseorang mengetahui akan keharamannya, dia pun tidak melakukannya. Tetapi, kenapa ketika menyendiri dia melakukannya? Inilah bukti bersikap jujur kepada orang lain lebih mudah daripada kepada diri sendiri.
Ketika berkumpul bersama teman-teman, seringkali seseorang bersemangat meperhatikan fadhilah-fadhilah amalan. Tetapi dia menjadi kendor ketika tidak bersama mereka. Kenapa? \ Sekali lagi, ini menunjukkan bahwa bersikap jujur kepada orang lain lebih mudah daripada kepada diri sendiri.
Oleh karena itu agar kita bisa bersikap jujur kapanpun dan dimanapun, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan kita dengan sabdanya: “Tinggalkanlah apa
yang meragukan Anda, beralihlah kepada yang tidak meragukan Anda. Karena sesungguhnya jujur adalah ketenangan dan dusta adalah pergolakan” (HR. At-Tir-midzi). Beliau juga mengingatkan kita definisi dosa dengan sabdanya: “Dosa adalah sesuatu yang bergejolak dalam dada Anda, dan Anda tidak menginginkan ada orang lain yang mengetahuinya” (HR. Hakim).
Secara khusus, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan para pedagang agar berlaku jujur. Barangkali karena merekalah yang seringkali melakukan kebohongan. Bahkan berani menjual Allah, dengan memperbanyak sumpah demi larisnya dagangan. Mereka memiliki semboyan “berbohong dalam berdagang itu wajar”. Beliau bersabda: “Penjual dan pembeli memilik khiyar (hak memilih) selama keduanya belum berpisah. Jika keduanya jujur dan berterus terang, maka keduanya diberkahi di dalam jual belinya. Jika keduanya berdusta dan menutup-nutupi niscaya hilanglah keberkahan jual beli mereka” (HR. Bukhari dan Muslim). Tentu tidak hanya pedagang, dalam dunia pengadilan juga tidak jarang terjadi jual beli hukum. Dan juga dalam semua bidang kehidupan.
Jujur pahit rasanya tapi nikmat akibatnya. Tsabit bin Ibrahim, seorang pemuda tengah berjalan di pinggiran kota Kufah. Tiba-tiba dia melihat buah apel jatuh di luar pagar kebun. Ketika baru memakan sebagiannya, dia menyadari bahwa buah tersebut pasti ada pemiliknya dan dia belum meminta izin. Akhirnya diapun melakukan perjalanan panjang demi kehalalannya. Sungguh pahit untuk sebuah kejujuran. Tapi, apa akibatnya? Sungguh manis, dia diberi hadiah seorang gadis shalihah dan cantik yang kemudian lahirlah dari keduanya seorang anak yang nantinya menjadi ulama besar, Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsbit. Allahu a’lam
Berani jujur, hebat! Orang yang jujur selain harus merasakan pahitnya kejujuran, harus pula mencicipi pahitnya keterasingan. Betapa orang yang jujur kerap kali dijauhi orang-orang karena kejujurannya berpotensi memperburuk keadaan orang-orang yang benci kejujuran. Sedemikian pahitnya kejujuran, tidak sedikit orang yang awalnya jujur, belakangan hari menjelma menjadi penipu ulung, Ajaibnya, para pembohong dan penipu selalu bersembunyi dibalik slogan ‘berani jujur, hebat!’ Sungguh, sikap kekanak-kanakan yang tidak lucu. Bisyr Al-Hafi berkata, “Barangsiapa yang berinteraksi dengan Allah dengan penuh kejujuran, maka manusia akan menjauhinya.” [Mukhtashar Min-haj Al-Qashidin, 351]
Sampaipun orang yang jujur dianggap pengkhianat, tetap saja kejujurannya mengantarkan kepada ridha Allah berupa surga penuh bahagia tanpa ada sengsara selamanya. Saat jujur, pelakunya harus merasakan dua pahit, namun setelahnya dia akan merasakan ribuan manis. Manisnya iman, manisnya hidup, manisnya surga, manisnya rahmah Allah dan lain sebagainya.
Rasulullah bersabda,
عليكم بالصدق فإ الصدق يهدي إلى البر وإث البر يهدي إلى الجنة وما يزال الرجال يصدق ويتحرى الصدق حتى يكتب عند الله صديقا وإياكم والكذب فإن الكذب يهدي إلى الفجور وإن الفجور يهدي إلى النار وما يزال الثلجل يكذب ويتحرى الكذب كى يكتب عند الله كابا
“Hendaklah kalian senantiasa ber laku jujur, karena sesungguhnya kejujuran akan megantarkan pada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan akan mengantarkan pada surga. Jika seseorang senantiasa berlaku jujur dan berusaha untuk jujur, maka dia akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Hati-hatilah kalian dari berbuat dusta, karena sesungguhnya dusta akan mengantarkan kepada kejahatan dan kejahatan akan mengantarkan pada neraka. Jika seseorang sukanya berdusta dan berupaya untuk berdusta, maka ia akan dicatat disisi Allah sebagai pendusta.” (HR. Muslim no. 2607]
JUJUR, BEBAS GALAU
Andai kita berani jujur, kejujuran adalah lebih baik bagi kita sebab kejujuran mengundang ketenangan. Bagaimana kita masih ingat terakhir kali kita berbohong dan berdusta, ketenangan pergi entah kemana, berganti kegelisahan dan keresahan yang terus menggelayuti jiwa.
Rasulullah bersabda,
دع ما يريبك إلى ما لا يرثلك فإن الصدق طمأنينة وإن الكذب ريية
“Tinggalkanlah yang meragukanmu pada apa yang tidak meragukanmu. Sesungguhnya kejujuran lebih menenangkan jiwa, sedangkan dusta (menipu) akan menggelisahkan jiwa. (HR. Tirmidzi No. 2518)
Tak ayal, kegelisahan dan keresahan tersebut pun menjelma menjadi kemunafiqan karena sekali berdusta bukan berhenti malah terus berdusta hingga kedustaan dan kebohongan tertutupi. Puncaknya, hidupnya selalu diliputi kegalauan. Gelap. Nabi bersabda, “Ada tiga tanda munafik: jika berkata, ia dusta; jika berjanji, ia mengingkari; dan jika diberi amanat, ia khianat.” (HR. Bukhari no. 33) .
An-Nawawi berkata, “Hadits ini menerangkan tanda munafik, yang memiliki sifat tersebut berarti serupa dengan munafik atau berperangai seperti kelakuan munafik. Karena yang dimaksud munafik adalah yang ia tampakkan berbeda dengan yang disembunyikan. Pengertian munafik ini terdapat pada orang yang memiliki tanda-tanda tersebut” (Syarh Muslim, II/47]
Jika kita mau sedikit merenung, apa sih yang membuat orang berani dusta dan bohong? Tidak
lain dan tidak bukan, karena tidak adanya rasa takut kepada Allah dan karena merasa Allah tidak tahu. Allah berfirman, “Allah Maha lembut terhadap hamba-hamba-Nya; Dia memberi rizgi kepada yang di kehendaki-Nya dan Dialah yang Maha kuat lagi Maha Perkasa.” (QS. Asy-Syura: 19].
Dengan demikian, kiat pertama membudayakan jujur adalah membudayakan ihsan yaitu keyakinan bahwa Allah Maha Dekat, Allah Maha Tahu, Allah Maha Lembut sekaligus Allah Maha Adil.
Kiat kedua adalah dengan memohon kepada Allah agar dibimbing menjadi pribadi yang
jujur.
“Allahumma inni a’udzu bika min munkarotil akhlaaqi wal a’maali wal ahwaa’’
Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari akhlaq, amal dan hawa nafsu yang mungkar. (Syarh Muslim, II/47)
BANGSA BESAR
“Jujur adalah predikat bangsa besar. Berangkat dari sifat jujur inilah ter- bangun semua kedudukan agung dan jalan lurus bagi para pelakunya. Barangsiapa yang tidak menempuh jalan ini, niscaya ia akan gagal dan binasa. Dengan sifat jujur inilah, akan terbedakan antara orang-orang munafik dengan orang-orang beriman dan akan terbedakan antara penghuni surga dengan penghuni neraka,” (Madarij asSalikin, Dar Ihya’ at-Turats al-Arabi Mu’assasah at-Tarikh al-Arabi, Beirut, II/204)
Karenanya Allah perintahkan kita untuk memegang teguh karakter bangsa hebat yaitu karakter jujur. Andaikata kita berada pada komunitas pendusta dan pembohong sekaligus penipu, maka Allah Azza wa Jalla berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan jadilah bersama orang-orang yang jujur. [at-Taubah/9:119)
Apabila seseorang mudah berdusta, maka ia akan banyak berdusta dan akhirnya dikenal sebagai orang yang suka berdusta. Jika seseorang terbiasa bersikap jujur, maka Allah Azza wa Jalla akan menetapkannya sebagai orang yang benar benar jujur. Sedangkan apabila seseorang terbiasa dusta, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menetapkannya menjadi orang yang dikenal pendusta. [Shahih Muslim Syarh an-Nawawi, hal. 375, no. 6582]
Tidak heran jika Abu Bakar Ash-Shiddiq lantas melontarkan ungkapan,
الكذب يجانب الإيمان
“Dusta akan menjauhkan keimanan.” [Fathul Bari X/508]
“Apabila seseorang mengulang-ulang kedustaannya hingga berhak mendapat julukan berat se
bagai pendusta, maka ia tidak lagi mendapat predikat sebagai mu’min yang sempurna, bahkan termasuk berpredikat sebagai orang yang bersifat Inunafik. Karena itulah, setelah mengeten.” [Fathul Bari X/509]
Nabi memberikan ancaman, Aku melihat dua orang (Malaikat), keduanya berkata: “Orang yang engkau lihat disobek mulutnya hingga telinga, adalah seorang pendusta. Ia berdusta dengan kedustaan, dibawanya kedustaan itu berkeliling atas nama dirinya hingga mencapai ufuk, maka dibuatlah ia sebagai pendusta sampai hari ki- amat”. (Shahih al-Bukhari, Fathul
Båri X/507, no. 6096]
Perbuatan dusta bisa terjadi pada sektor dan segmen yang sangat luas. Penipuan-penipuan menyangkut pekerjaan, harta benda, perdagangan dan lain sebagainya adalah pelanggaran terhadap hak orang lain. Maka sudah seharusnya setiap Muslim berusaha sungguh-sungguh menghindari dusta, sebagaimana ditekankan dalam hadits-hadits di atas.
Nabi bersabda,
يطبع المؤمن على كل شيء إلا الخيانة والكذب
“Seorang mu’min dapat terbentuk wataknya berdasarkan watak apa saja kecuali khianat dan dusta.” (Fathul Bari X/508)
Oleh karena itu, apabila sebuah bangsa ingin menjadi bangsa besar, berwibawa dan disegani,
maka bangsa itu harus berani membangun dirinya berdasarkan asas kejujuran dan harus berani meninggalkan sifat dusta, betapapun beratnya. Apabila seseorang ingin menjadi pribadi yang besar dan terhormat, maka dia harus berani menapaki jalan terjal kejujuran.
Penulis : Muhammad Nur Yasin Zain, Lc. Hafizhahullah
(Pengasuh Pesantren Mahasiswa THAYBAH Surabaya)
Majalah Bulan Agustus, 2014 Edisi 26