Bersama Pak Joko (petugas kebersihan masjid sekaligus muadzin), kami membuka pendaftaran TPQ (Taman Pendidikan al-Qur’an). Sasarannya anak-anak warga kampung terdekat. Subhanallah, semakin hari yang mendaftar semakin banyak hingga mencapai sekitar 130 siswa. Mereka tidak dipungut biaya sepeserpun. Pengajaran dilakukan mulai ba’da Ashar hingga Maghrib. Tetapi kemudian… entah mengapa mereka keluar satu per satu dari TPQ, dan akhirnya tidak tersisa satupun. Saya tidak tahu penyebabnya. “Apa karena jumlah mereka banyak, sementara pengajarnya cuma dua? Entahlah Allahu A’lam”, kalimat ini sering terlontar dari lisan kami dalam banyak kesempatan bersama pak Joko.
Saya mulai membuka kursus Bahasa Arab dua kali pertemuan dalam sepekan. Waktunya setelah ba’da shalat Isya. Pak Win, Pak Sunar, Pak Lukman semuanya dari warga kampung sebelah juga Pak….. siapa? Hmmm… saya lupa namanya, beliau seorang mantan pengacara dari Gubeng, dan mas Romi (siswa SMA). Merekalah santri awal yang belajar Bahasa Arab. Mereka tidak dipungut biaya. Ketika itu baru ada satu mahasiswa yang mendaftar sebagai santri dan tinggal di asrama. Melalui peserta kursus dari kampung sebelah ini, saya bisa membuka kajian untuk ibu-ibu setiap hari Ahad sore. Para istri merekalah yang memulai sebagai peserta kajian. Pengajiannya berpindah-pindah dari rumah ke rumah. Suatu ketika jumlah mereka mencapai 21 orang, tetapi kemudian mundur satu per satu hingga tersisa beberapa orang saja; istri Pak Win, Pak Sunar dan tiga atau empat orang lainnya. Mereka terus bertahan. Di antara alasan mundurnya para ibu menurut mereka karena kajiannya monoton, ustadznya gak bisa “mbanyol”, tidak lucu “melulu al-Qu’an Hadits” tidak ada variasi lainnya sebagaimana umumnya pengajian.
Untuk kajian Bapak-Bapak saya tinggal melanjutkan yang sudah ada yang telah dirintis oleh Ustadz Ridwan Abdul Aziz. Pengajiannya berpindah-pindah dari masjid ke masjid kemudian berubah dari rumah ke rumah. Pada satu kesempatan saya menyampaikan tentang sifat sholat Nabi. Kondisinya tampak “panas”. Wajah-wajah mereka menunjukkan tidak setuju dengan apa yang saya sampaikan. Mungkin mereka merasa yang disampaikan banyak hal yang tidak sesuai dengan apa yang selama ini mereka lakukan. Akhirnya, seseorang berdiri marah-marah, matanya melolot meninggikan suaranya sambil menunjuk-nunjukkan jari telunjuknya ke arah saya.
“Jangan merasa bener sendiri yahhh!! Kami juga ada imamnya”, ucapnya sambil “ngeloyor” pergi.
Padahal saya hanya membacakan Hadits-Hadits tentang shalatnya Nabi, jauh dari kesan menyalah-nyalahkan. Saya sempat ketakutan. Dalam hati, saya memanjatkan doa, “Ya Allah kalau sekedar dipletotin gak apa-apa, yang penting pulangnya janga dibacok”. Waktu itu hujan deras ditambah lagiteringat tentang rencana pembunuhan terhadap Ustadz Ridwan Abdul Aziz oleh orang nashrani yang disuruh oleh seorang muslim di tempat yang tidak jauh dari situ, hal ini menjadikan saya bertambah takut. Alhamdulillah tidak terjadi apa-apa.
Kursus Bahasa Arab berkembang baik. Banyak mahasiswa dan bapak-bapak yang begabung. Jam pengajaran ditambah, tidak saja di malam hari tetapi juga di siang hari dan momen-momen liburan. Akhirnya pesantren mulai banyak yang mengenalnya. Agung (Teknik Lingkungan), Yudi (Teknik Mesin), Adit (Teknik Kimia), dan Anung (Teknik Mesin) semuanya mahasiswa ITS yang menjadi santri pertama yang tinggal di asrama. Kemudian datanglah Toto, seorang penjahit yang mendaftar menjadi santri asrama dan tidak kalah semangat dari teman-temannya yang mahasiswa.
Tantangan yang mereka hadapi tentunya sangat banyak. Bukan sekedar masalah nyamuk dan lampu penerangan. Ketika hujan jalan sangat becek dan tidak bisa dilewati. Jangankan sepeda motor, mobil saja kerepotan karena ban harus terkubur dalam lumpur. Seringkali mereka dihadapkan pada dua pilihan “kuliah or not”. Kalau kuliah harus jalan kaki dulu sekitar dua kilo untuk mencapai jalan aspal, baru bisa membonceng sepeda kawan yang dijumpai. Kalau tidak kuliah, bagaimana?…., sementara hari itu ada tugas atau praktikum. Seseorang di antara mereka pernah menangis ketika sepeda motornya terjebak dalam lumpur. Maju atau mundur tidak bisa. Slayboard-nya penuh dengan lumpur. Demikianlah kalau musim hujan, mereka nampak bingung. Tapi miliu yang baik, di mana mereka bisa belajar Bahasa Arab, kitab-kitab para ulama dan menghapal al-Qur’an serta steril dari “pemandangan” haram menjadikan mereka betah tinggal di pesantren.
Tapi miliu yang baik, di mana mereka bisa belajar Bahasa Arab, kitab-kitab para ulama dan menghapal al-Qur’an serta steril dari “pemandangan” haram menjadikan mereka betah tinggal di pesantren. |
Setiap tiga hari sekali mobil tengki datang mensuplai air PDAM. Tetapi seringkali kehabisan. Hal ini disebabkan karena banyaknya pemakaian yang tak terduga atau terlambatnya mobil PDAM tersebut. Solusinya, para mahasiswa melengkapi tasnya dengan sabun, shampoo, handuk dan perlengkapan mandi lainnya. Mereka berangkat kuliah lebih awal agar bisa mandi pagi sebelum kuliah. Demikian pula untuk mandi sore, mereka melakukannya di kampus sebelum pulang ke pesantren. Saya sendiri sering “ngangsu”. Ngangsu itu membeli air pakai dirigen diangkut dengan gerobak. Satu gerobak berisi delapan dirigen. Saya harus menarik gerobak sekitar dua kilo pulang pergi. Lumayan alhamdulillah, bisa dimanfaatkan untuk mandi, cuci-cuci dan lainnya dari pagi sampai siang. Sorenya ngangsu lagi. Pernah seorang santri mahasiswa S2 ITS kepanasan karena udaranya sanga panas. Dia merasa harus mandi, tetapi air PDAM habis. Akhirnya dia membeli satu gallon air isi ulang untuk mandi.
Saya diberikan fasilitas oleh Yayasan berupa sepeda motor tua tahun tujuhpuluhan. Alhamdulillah bisa membantu mobilitas dakwah. Tetapi tentunya yang dekat-dekat saja. Di samping kekuatannya sudah lemah, dia juga tidak punya STNK. Ketika harus berdakwah melewati area tertib lalu lintas, saya harus mencari pinjaman sepeda motor.
“Siapa yang motornya tidak dipakai?”, setiap saat saya bertanya santri mahasiswa.
Kalau pas ada yang tidak dipakai, saya meminjamnya. Kalau pas dipakai semua saya harus harus mencari pinjaman ke para jamaah-jamaah ngaji. Pernah suatu ketika saya harus mengisi ceramah kuliah shubuh di RRI Surabaya. Sehari sebelumnya saya sudah “woro-woro”. Siapa yang sepeda motornya tidak dipakai? Kebetulan semuanya akan dipakai. Saya pun ke rumah-rumah jamaah ngaji yang paling dekat, satu kilo dari pesantren, ternyata akan dipakai juga. Akhirnya saya mencari ke mana saja yang bisa saya datangi, dan qoddarallah pukul sebelas malam saya baru mendapatkan sepeda motor.
Idealnya Ustadz yang akan berceramah konsentrasi dengan materi yang akan disampaikan. Tetapi saya lebih sering disibukkan dengan mencari sepeda motor. Sebenarnya kalau mau simple, bisa saja saya ambil kredit di dealer. Tetapi saya takut, karena di samping keuangan yang ada sedemikian rupa harus diatur-atur juga system kreditnya tidak syar’i. Untuk itu, setiap saat saya berdoa agar Allah ‘Azza wa Jalla memudahkan saya untuk membeli sepeda motor.
Banyak yang bettanya-tanya tentang bendera pesantren. “Jangan-Jangan pesantren Thaybah itu LDII? Jangan-jangan aliran keras?! … Mungkin jama’ah tabligh?! … Mungkin Wahabi?!…. Mungkin golongan ekklusif?!…. dan jangan-jangan atau mungkin-mungkin lainnya?! Pertanyaan-pertanyaan tersebut tentunya wajar. Karena pesantren Thaybah baru lahir dan mereka ingin “cek en ricek”. Di antara mereka ada yang datang untuk menanyakan yang sebenarnya.
“Pak Ustadz, maaf saya mau tanya, pesantren sama masjid Thaybah ini benderanya apa…. NU atau Muhammadiyyah?”, kata ketua RT dari suatu kelurahan.
“Terimakasih Bapak berkenan datang dan menanyakan langsung. Pesantren dan masjid ini tidak punya bendera apa-apa. Siapa saja asalkan muslim, kami mengajak untuk sama-sama berdakwah sesuai dengan al-Qur’an dan Hadits dengan pemahaman para Sahabat”, saya menjawab dengan sedikit menjelaskan.
“ooo…begitu ya pak Ustadz, kalau begitu bagus dong…biar ummat Islam tidak terkotak-kotak”.
“Iya Pak RT, sekarang kita tidak perlulah membicarakan masalah bendera…. Itu masa lalu… yang penting kan Islam dengan pemahaman yang benar. Bersambung…
Judul buku : BABAT ALAS DI DAERAH PINGGIRAN
Penulis : Muhammad Nur Yasin Zain, Lc.Hafizhahullah
(Pengasuh Pesantren Mahasiswa Thaybah Surabaya)