Dalil-dalil sebagai bantahan untuk orang yang menyandarkan kepada takdir dalam
meninggalkan kewajiban atau menyandarkan kepadanya dalam mengerjakan maksiat adalah berikut ini:
a. Dalil dari Al-Qur’an
سَيَقُولُ ٱلَّذِينَ أَشْرَكُوا۟ لَوْ شَآءَ ٱللَّهُ مَآ أَشْرَكْنَا وَلَآ ءَابَآؤُنَا وَلَا حَرَّمْنَا مِن شَىْءٍۢ ۚ كَذَٰلِكَ كَذَّبَ ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ حَتَّىٰ ذَاقُوا۟ بَأْسَنَا ۗ قُلْ هَلْ عِندَكُم مِّنْ عِلْمٍۢ فَتُخْرِجُوهُ لَنَآ ۖ إِن تَتَّبِعُونَ إِلَّا ٱلظَّنَّ وَإِنْ أَنتُمْ إِلَّا تَخْرُصُونَ
“Orang-orang yang mempersekutukan Allah akan mengatakan: ‘Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) kami mengharamkan barang sesuatu apa pun.’ Demikian pulalah orang orang yang sebelum mereka telah mendustakan (para Rasul) sampai mereka merasakan siksaan Kami” (QS. Al-An’am: 148)
Ayat ini menunjukkan, Allah mengazab pelaku kesyirikan yang menyadarkannya kepada takdir
رُّسُلًۭا مُّبَشِّرِينَ وَمُنذِرِينَ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى ٱللَّهِ حُجَّةٌۢ بَعْدَ ٱلرُّسُلِ ۚ وَكَانَ ٱللَّهُ عَزِيزًا حَكِيمًۭا
“(Mereka kami utus) selaku Rasul-Rasul pembawa kabar gembira dan pemberi
peringatan agar tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Allah setelah diutusnya Rasul-Rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”
(QS. An-Nisa’: 165)
Ayat ini menunjukkan, berhujjah dengan takdir untuk berbuat maksiat berarti
meniadakan fungsi diutusnya para Rasul bahwa diutusnya mereka tidak lain adalah
untuk menjelaskan kepada manusia mana yang haq dan mana yang batil sehingga
manusia tidak lagi bisa berhujjah di hadapan Allah.
فَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ مَا ٱسْتَطَعْتُمْ
“Bertakwalah kepada Allah semampu kalian” (QS. At-Taghobun: 16)
لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا ٱكْتَسَبَتْ
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia
mendapatkan pahala (dari kebaikan) yang diusahakannya dan ia mendapatkan siksa
(dari kejahatan) yang dikerjakannya”. (QS. Al-
Baqoroh: 286)
Dua ayat di atas menunjukkan bahwa Allah memerintah dan melarang hamba tidaklah dengan memaksanya, semuanya masih dalam kemampuan hamba. Kenyataannya jika hamba berbuat maksiat karena lupa, kebodohan, atau terpaksa maka Allah memaafkannya dan tidak mencatatnya sebagai dosa.
b. Dalil dari Hadits.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan ummatnya untuk berbuat
atau berikhtiar, tidak menyandarkan kepada takdir. Beliau bersabda:
“Dari Ali radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Kami duduk bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau memegang tongkat sambil digores-goreskan ke tanah dan bersabda:
Tidaklah seseorang di antara kalian kecuali telah ditetapkan tempat duduknya di Neraka
atau di Surga. Ada seseorang dari suatu kaum bertanya: Tidakkah kita sandarkan saja
(kepada takdir tersebut) ya Rasulullah? Beliau menjawab: Tidak, berbuatlah karena setiap orang mudah (untuk berbuat apa yang dia ditakdirkan). Kemudian beliau membaca ayat (fa amma man a’tho wa at taqo Wa shoddaqo bil husna fa sanuyassiru lil yusro= maka barangsiapa memberikan hartanya di jalan Allah dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (Surga) maka akan Kami mudahkan baginya jalan menuju kemudahan)” (HR. Bukhari dan Muslim)
c. Dalil realita
Realita yang ada, untuk kemaslahatan dunia manusia begitu semangat melakukan jikhtiar atau mengambil sebab. Lalu kenapa untuk kemaslahatan Akherat begitu loyo dan dan mudah-mudahnya beralasan dengan takdir. Contoh: kalau seseorang merasa lapar, Apa yang dia lakukan? Berikhtiar atau menyandarkan kepada takdir? Dia pasti semangat berikhtiar. Dia pergi ke warung, jika ternyata warung tersebut tutup ia pergi ke warung lainnya, jika makanan sudah habis ia pun tetap mencari warung lainnya lagi. Sementara untuk kemaslahatan Akherat dia tidak bersikap demikian, tetapi mudah-mudahnya menyandarkan kepada takdir. Kenapa Anda tidak shalat? Kenapa Anda berjudi, Kenapa Anda tidak puasa?
Jawabannya adalah: Bukankah semuanya sudah ditakdirkan, saya berbuat taat atau maksiat kan semuanya sudah ditakdirkan. Adilkah sikap terhadap kedua permasalahan; duniawi dan ukhrowi? Ketika kehormatan diri seseorang diinjakinjak orang lain yang beralasan dengan takdir, dia tidak terima. Lalu kenapa dia menginjak-nginjak kehormatan Allah dengan beralasan takdir. Adilkah?
d. Dalil Logika
Berhujjah atau berargumentasi itu sandarannya sesuatu yang sudah diketahui. Contoh: Kenapa makan? Karena lapar. Kenapa tidur? Karena ngantuk. Kenapa minum? Karena haus. Jadi, orang bisa melakukan tindakan berupa makan, tidur atau minum disandarkan kepada suatu alasan yang gamblang dan terang, yaitu: lapar, ngantuk dan haus. Sementara, takdir itu sesuatu yang belum diketahui, maka tidak mungkin seseorang berhujjah atau berargumentasi dengan sesuatu yang belum diketahui.
Manusia tidak boleh beralasan dengan takdir atas kemaksiatan yang diperbuatnya. Kenapa? Karena secara syar’iyyah, Allah ‘Azza wa Jalla tidak pernah menghendaki manusia kecuali kebaikan-kebaikan dan endingnya masuk Surga. Jadi, semua kemaksiatan haruslah disandarkan kepada manusia itu sendiri. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
مَّآ أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍۢ فَمِنَ ٱللَّهِ ۖ وَمَآ أَصَابَكَ مِن سَيِّئَةٍۢ فَمِن نَّفْسِكَ ۚ وَأَرْسَلْنَٰكَ لِلنَّاسِ رَسُولًۭا ۚ وَكَفَىٰ بِٱللَّهِ شَهِيدًۭا
“Apa saja kebaikan yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja kejelekan yang
menimpamu, maka dari dirimu sendiri… “(an-Nisaa’: 79)
Judul buku : Memahami Takdir
Penulis : Muhammad Nur Yasin Zain, Lc. Hafidzahullah
(Pengasuh Pesantren Mahasiswa Thaybah Surabaya)