Alhamdulillah….kita sudah sampai pada rukun Islam yang terakhir yaitu, menunaikan ibadah Haji ke Baitullahi bagi yang mampu. Nah…kali ini kami menyuguhkannya kepada para pembaca dengan judul “bercampur baur yuk!”. Sudah menjadi cita-cita serta keinginan bagi setiap Muslim untuk bisa mengunjungi tempat yang mulia nan agung ini, yaitu Masjidil Haram. Bahkan ada diantara saudara-saudara kita yang sampai berhutang kesana kemari hanya untuk mengunjungi tempat yang mulia ini,,, Laa haula wa laa Quwwata illa billah…, dan yang paling ironis ada sebagian orang yang menunaikan ibadah haji ini agar dipanggil Haji atau Hajjah… Masya Allah… Kira-kira mabrur atau “mabur” haji yang seperti itu ya?!!, untuk lebih jelasnya, agar haji kita benar-benar mabrur yuk kita baca bahasan utamanya…Bismillah…
Bercampur-baur atau ikhtilath antara lelaki dan perempuan tanpa batasan hukumnya haram. Bagaimana tidak, kondisi yang demikian jelas sangat berpotensi untuk terjadi pelanggaran syareat. Misalnya; saling memandangi dan saling bersentuhan. Nabi bersabda: “Hai Ali! Jangan sampai pandangan yang pertama mengikuti pandangan yang lainnya. Kamu hanya boleh pada pandangan yang pertama, adapun pada pandangan yang berikutnya tidak boleh.” (HR. Ahmad, Abu Daud dan Tirmidzi). Beliau juga bersabda: “Jika kepala seseorang dari kalian ditusuk dengan jarum besi, (maka itu) lebih baik daripada ia menyentuh wanita yang tidak halal baginya (HR. Imam Ath-Thabrani) Hadits ini tidak dipahami bahwa yang berdosa hanya kaum lelaki saja ketika mereka menyentuh, tetapi demikian pula kaum wanita. Karena Nabi tidak hanya diutus untuk kaum lelaki tetapi juga untuk kaum wanita. Jadi, hukum yang berlaku bagi kaum lelaki berlaku juga bagi kaum wanita selama tidak ada dalil yang menunjukkan berbeda. Kemudian, kalau kita perhatikan mereka yang memandang ikhtilath sebagai suatu yang biasa cara berdandan, berpakaian dan berbicaranya bisa dipastikan jauh dari adab Islam. Faktor ini semakin memperkuat untuk terjadi pelanggaran-pelanggaran syareat berikutnya. Wal ‘iyadzu billah.
Ada campur baur antara kaum lelaki dan perempuan yang diperbolehkan. Yaitu ketika thawaf di Masjidil Haram. Hal ini ditolerir karena tidak mungkin untuk dihindari. Penyebutan Mekkah dengan “Bakkah” sebagaimana dalam QS. 4:96 menunjukkan makna yang demikian, yaitu berdesak-desakkan atau bercampur baur. Imam Ibnu Katsir di dalam tafsirnya mengatakan bahwa tempat tersebut dinamai dengan Bakkah karena mereka berdesak-desakkan di dalamnya. Qotadah mengatakan: Sesungguhnya di dalamnya Allah menjadikan manusia berdesak-desakkan, sehingga bisa terjadi seorang wanita shalat di depan seorang lelaki. Demikianlah kondisi ibadah haji.
Ibadah haji adalah salah satu rukun Islam, sehingga tidak mungkin setiap muslim meninggalkannya. Sebagaimana tidak mungkin untuk meninggalkan syahadat, shalat, puasa dan zakat. Tetapi Allah tidak pernah mensyareatkan sesuatu yang tidak mampu dilakukan hamba. Oleh karena itu ibadah haji hanya diwajibkan kepada orang-orang yang mampu saja. Allah berfirman: “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang mampu mengadakan perjalanan ke Baitullah” (QS. Ali Imran: 97). Apa yang dimaksud dengan ‘bagi orang yang mampu”? Yang dimaksud adalah: a. Kesehatan jasmani, bersegeralah menunaikannya sebelum dating masa sakit. Dan tidaklah baik menunda-nunda hingga lanjut usia, karena secara umum akan mendatangkan kendala-kendala terkait dengan kesehatan lagi pula tenaga sudah tidak sekuat ketika masih muda. b. Ada bekal yang cukup untuk pergi dan kembali serta untuk nafkah keluarga yang ditinggal yang menjadi tanggungjawabnya. Syaikh Utsaimin menyatakan bahwa tidak dibenarkan berhutang untuk haji, karena sesungguhnya tidaklah wajib berhaji bagi orang yang mempunyai tanggungan hutang, lalu bagaimana mungkin seseorang berhutang agar bisa berhaji. Demikian fatwa beliau. Tentang masalah bekal tentu haruslah halal. Tidak boleh hasil curian, korupsi, penipuan dan lain-lain, ini perkara yang sangat jelas dan gamblang. Tetapi terkadang ada suatu muamalah yang memberi kemudahan untuk berhaji, tetapi sayangnya sistemnya ribawi. Dan yang lebih disayangkan lagi banyak kaum muslimin yang tidak mengerti. Ketika dijelaskan, mereka ngeyel dengan mengatakan ‘ini kan sudah lumrah dan banyak kaum muslimin yang melakukannya’. Allahu al- Musta’an. c. Keamanan dalam perjalanan menuju tanah suci, ada kendaraan yang menghantarkan dan tidak dalam kondisi perang. d. Fatawa al-Lajnah ad-Daimah (Komisi Fatwa Tetap Kerajaan. Saudi) menyatakan bahwa bagi wanita harus ada mahramnya. Siapa saja yang merupakan mahram? Allah sudah menjelaskan secara rinci di dalam QS. An-Nisa:23. Jadi, janganlah seorang wanita yang sebenarnya tidak ada mahramnya lalu mengangkat orang lain sebagai mahram (padahal bukan mahramnya) demi bisa berangkat haji. Semestinya wanita tersebut menerima takdir Allah, sehingga tidak membebani dirinya dengan sesuatu yang menyelisihi syareat. Nabi bersabda: “Janganlah wanita melakukan safar kecuali dengan mahramnya dan tidak boleh seorang lelakipun yang masuk menemuinya kecuali ada mahram bersamanya. Ada seorang lelaki bertanya: “Wahai Rasulullah, saya akan keluar bersama pasukan perang ini sementara istri saya ingin menunaikan haji’. Beliau bersabda: Temanilah istrimu’ ” (HR. Bukhari Muslim)
Sekarang ini banyak bermunculan biro perjalanan haji dan umrah. Tetapi, masalahnya adalah tidak banyak dari biro-biro tersebut yang penyelenggaraannya sesuai tuntunan Nabi. Contoh: mereka tidak menolak wanita yang akan berangkat tanpa mahram, melayani pelaksanaan umrah berulang-ulang dalam satu safar, padahal semestinya dalam satu safar hanya satu umrah, dan praktek manasik lainnya yang tidak sesuai dengan tuntunan Nabi.
Janganlah seseorang yang telah menunaikan ibadah haji merasa tidak terhormat dikarenakan tidak dipanggil dengan “Pak Haji atau Bu Haji”. Ikhlaskanlah haji: ibadah karena Allah. Bukankah haji itu ibadah sebagaimana ibadah lainnya seperti; shalat, puasa, zakat dan lain-lain. Saya yakin tidak ada satu orangpun yang sesak dadanya ketika tidak dipanggil dengan “Pak/Bu Shalat, Pak/ Bu Puasa, Pak/Bu Zakat”
Orang yang mampu menunaikan ibadah haji tetapi belum menunaikannya hingga meninggal dunia, maka ia dihajikan dengan harta peninggalannya. Demikian pula orang yang lanjut usia atau orang sakit yang tidak ada harapan sembuh bisa dihajikan oleh orang lain. Dan orang yang menghajikan orang lain harus telah berhaji untuk dirinya terlebih dahulu. Tidak diwajibkan baginya untuk memulai perjalanan hajinya dari negeri orang yang dihajikannya. la diperbolehkan berihram dari miqat mana saja yang ia kehendaki. Di antara hikmah ibadah haji :
1. Ibadah haji sebagai sarana manifestasi dari persaudaraan dakwah. seluruh kaum muslimin (ukhuwwah islamiyah). Tatkala pelaksanaan haji tersebut hilanglah semua perbedaan manusia, seperti perbedaan ras, bangsa, warna kulit, bahasa, tanah air dan strata sosial. Maka, terwujudlah suatu ketaatan antara manusia dengan Khaliqnya dan persaudaraan sesama kaum muslimin yang sebenarnya, yaitu dengan memakai pakaian satu jenis yang sama, dan semuanya menghadap satu kiblat yang sama dan menyembah Tuhan yang sama.
2. Dalam menunaikan ibadah haji terkandung pula hal-hal untuk mengingatkan kaum muslimin akan kehidupan para Rasul ‘alaihim ash- sholatu wa-s-salam dalam hal beribadah, dakwah, jihad akhlak mereka. Begitu pula mengingatkan akan sikap mereka di dalam mengambil keputusan untuk siap berpisah dengan keluarga dan anak mereka dalam menempuh resiko dakwah.
Penulis : Muhammad Nur Yasin Zain, Lc. Hafizhahullah
(Pengasuh Pesantren Mahasiswa THAYBAH Surabaya)
Majalah Bulan Maret, 2014 Edisi 21