Orang yang tidak berharta atau penghasilannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hariannya dan dipandangnya lemah atau dhu’afa’ yang sering disebut dengan miskin, seringkali kurang mendapatkan ‘tempat’ di masyarakat. Mereka termarjinalkan dalam kehidupan sosial. Kecenderungan sosial seringkali menempatkan orang kaya sebagai orang terpandang dan terhormat. Namun, tahukah Anda bahwa orang miskin ternyata lebih kaya dan terhormat daripada orang kaya. Perhatikan hadits berikut ini,
عَنْ حَارِثَة بْنَ وَهْبٍ الْخُزَاعِىَّ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – يَقُولُ « أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِأَهْلِ الْجَنَّةِ كُلُّ ضَعِيفٍ مُتَضَعِّفٍ لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللَّهِ لأَبَرَّهُ ، أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِأَهْلِ النَّارِ كُلُّ عُتُلٍّ جَوَّاظٍ مُسْتَكْبِرٍ(رواه البخارى و مسلم)
Dari Haritsah bin Wahb radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Maukah kalian aku beritahu tentang penghuni Surga? Yaitu, setiap orang lemah serta dianggap lemah oleh orang lain. Seandainya dia bersumpah dengan nama Allah, niscaya Dia akan memberi (apa yang diinginkan)nya. Dan maukah kalian aku beritahu tentang penghuni Neraka? Yaitu setiap orang kasar, keras lagi sombong.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Perhatikanlah hadits di atas, betapa Nabi menyatakan secara gamblang bahwa penghuni Surga adalah orang miskin atau orang lemah. Beliau tidak menyebutkan orang kaya. Jelas, ini keutamaan tersendiri bagi orang misikin. Adakah kekayaan dunia yang mengalahkan kekayaan Surga. Semakin jelaslah, orang miskin lebih kaya dan terhormat daripada orang kaya.
Ada hadits yang menunjukkan bahwa ahli Surga adalah orang kaya, tetapi mereka tertahan (tidak bisa langsung masuk Surga). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
عَنْ أُسَامَةَ عَنِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ « قُمْتُ عَلَى بَابِ الْجَنَّةِ فَكَانَ عَامَّةَ مَنْ دَخَلَهَا الْمَسَاكِينُ ، وَأَصْحَابُ الْجَدِّ مَحْبُوسُونَ …(رواه البخارى و مسلم)
Dari Usamah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Aku pernah berdiri di pintu Surga, dan ternyata secara umum yang memasukinya adalah orang-orang miskin, sedangkan orang-orang kaya masih tertahan …” (HR. Bukhari dan Muslim)
Janganlah seorang muslim memandang sebelah mata terhadap orang miskin. Patutkah kita meremehkannya? Sementara orang yang paling mulia tidak lain adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memuliakannya dan merasakan kehilangan ketika tidak mendapati kehadirannya. Disebutkan dalam hadits,
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ امْرَأَةً سَوْدَاءَ كَانَتْ تَقُمُّ الْمَسْجِدَ – أَوْ شَابًّا – فَفَقَدَهَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَسَأَلَ عَنْهَا – أَوْ عَنْهُ – فَقَالُوا مَاتَ. قَالَ « أَفَلاَ كُنْتُمْ آذَنْتُمُونِى ». قَالَ فَكَأَنَّهُمْ صَغَّرُوا أَمْرَهَا – أَوْ أَمْرَهُ – فَقَالَ « دُلُّونِى عَلَى قَبْرِهِ ». فَدَلُّوهُ فَصَلَّى عَلَيْهَا ثُمَّ قَالَ « إِنَّ هَذِهِ الْقُبُورَ مَمْلُوءَةٌ ظُلْمَةً عَلَى أَهْلِهَا وَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُنَوِّرُهَا لَهُمْ بِصَلاَتِى عَلَيْهِمْ (رواه البخارى ومسلم)
Dari Abu Hurairah, bahwasanya wanita berkulit hitam atau seorang pemuda yang biasa menyapu masjid tidak terlihat oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau mencarinya seraya menanyakannya. Para sahabat menjawab: “Dia sudah meninggal dunia.” Beliau berujar: “Mengapa kalian tidak memberitahuku?” Seolah-olah mereka meremehkan urusannya. Maka beliau bersabda: “Tunjukkan kepadaku dimana orang itu dikubur?” Maka para sahabat menunjukkan kepada beliau lalu beliau menshalatkannya. Setelah itu beliau bersabda: “Sesungguhnya kuburan ini dipenuhi oleh kegelapan bagi penghuninya, dan bahwasanya Allah Yang Maha Tinggi meneranginya karena shalatku atas mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Pada kaum muslimin terjadi suatu kebiasaan yang kurang terpuji. Ketika ada ustadz atau seorang jutawan sakit, baik di rumah sakit atau di kediamannya maka merekapun datang silih berganti berbondong-bondong. Sebaliknya, ketika yang sakit adalah seorang teman yang miskin maka animo mereka untuk mengunjunginya sangat jauh berkurang. Seharusnya tidak demikian, tetapi pandanglah dia sebagai muslim yang memiliki hak yang sama. Lihatlah hadits di atas betapa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam kehilangan si miskin yang biasa dijumpainya.
Terjadi juga, ada orang Islam yang tidak bisa hangat ketika bergaul dengan saudaranya yang miskin. Dia merasa tidak nyaman untuk duduk-duduk bareng. Dia malas berbicara dan hanya merespon sesekali saja. Dia pun lebih memilih ‘mencet-mencet’ hp nya dari pada bercengkerama dengannya. Pemandangannya tampak berbanding terbalik 180 derajat ketika dia bertemu dengan kawannya yang selevel, sama-sama kaya. Sungguh dia sangat akrab, hangat dan betah berlama-lamaan. Ingatlah Allah ‘Azza wa Jalla telah memperingatkan hal ini dalam firman-Nya,
وَلَا تَطْرُدِ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ مَا عَلَيْكَ مِنْ حِسَابِهِمْ مِنْ شَيْءٍ وَمَا مِنْ حِسَابِكَ عَلَيْهِمْ مِنْ شَيْءٍ فَتَطْرُدَهُمْ فَتَكُونَ مِنَ الظَّالِمِينَ (الأنعام: 52)
“Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi hari dan petang hari, sedang mereka menghendaki keridhaanNya. Kamu tidak memikul tanggung jawab sedikitpun terhadap perbuatan mereka dan merekapun tidak memikul tanggung jawab sediktpun terhadap perbuatanmu, yang menyebabkan kamu hendak mengusir mereka, sehingga kamu termasuk orang-orang yang zhalim.” (QS. al-An’am: 52)
Disebutkan dalam tafsir at-Thabari, Ibnu Mas’ud berkata tentang sebab turunnya ayat ini: Beberapa pemuka Quraisy melewati Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sedang bersama beberapa sahabat miskin; Shuhaib, ‘Ammar, Bilal, Khobbab dan yang lainnya. Mereka berkata kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, Hai Muhammad ! Apakah kamu rela berkumpul bersama orang-orang lemah? Apakah mereka diberi karunia oleh Allah sebagaimana kami? Mustahil kami akan mau menjadi pengikut mereka. Hai Muhammad! Usir mereka, nanti kami mau mengikutimu. Kemudian turunlah ayat ini yang menjelaskan bahwa kedudukan manusia dihadapan Allah adalah sama.
Mari kita lihat bagaimana Nabi memuji orang miskin. Disebutkan dalam hadits,
عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ السَّاعِدِىِّ أَنَّهُ قَالَ مَرَّ رَجُلٌ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ لِرَجُلٍ عِنْدَهُ جَالِسٍ « مَا رَأْيُكَ فِى هَذَا » . فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ أَشْرَافِ النَّاسِ ، هَذَا وَاللَّهِ حَرِىٌّ إِنْ خَطَبَ أَنْ يُنْكَحَ ، وَإِنْ شَفَعَ أَنْ يُشَفَّعَ . قَالَ فَسَكَتَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – ثُمَّ مَرَّ رَجُلٌ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « مَا رَأْيُكَ فِى هَذَا » . فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذَا رَجُلٌ مِنْ فُقَرَاءِ الْمُسْلِمِينَ ، هَذَا حَرِىٌّ إِنْ خَطَبَ أَنْ لاَ يُنْكَحَ ، وَإِنْ شَفَعَ أَنْ لاَ يُشَفَّعَ ، وَإِنْ قَالَ أَنْ لاَ يُسْمَعَ لِقَوْلِهِ . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « هَذَا خَيْرٌ مِنْ مِلْءِ الأَرْضِ مِثْلَ هَذَا (رواه البخارى)
Dari Sahl bin Sa’d as-Sa’idi, ia berkata: Ada seseorang yang berjalan melewati Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu beliau bertanya kepada seorang sahabat yang duduk di sampingnya: “Bagaimana pendapatmu tentang orang ini?” Orang itu menjawab: “Dia seorang yang paling terpandang. Demi Allah, orang itu jika meminang pasti diterima dan jika menjadi mediator pasti dikabulkan.” Rasulullah pun terdiam. Kemudian ada orang lain lagi yang berjalan, maka Rasulullah bertanya: “Bagaimana pendapatmu tentang orang yang satu ini?” Orang itu menjawab: “Wahai Rasulullah, dia termasuk orang miskin di kalangan kaum muslimin. Orang ini pantasnya jika meminang tidak diterima, jika menjadi mediator pasti tidak dikabulkan dan jika berkata niscaya tidak akan didengar perkataannya.” Rasulullah bersabda: “Orang ini lebih baik daripada bumi yang terpenuhi oleh orang seperti itu (orang yang pertama tadi).” (HR. Bukhari)
Bandingkanlah kedudukan orang miskin dan orang kaya di sisi Allah. Orang miskin oleh Allah ‘Azza wa Jalla dimanjakan (baca: diperhatikan). Ketika dia bersumpah akan diperhatikan-Nya. Sementara orang kaya akan datang pada hari Kiamat dalam kondisi tidak ada nilainya. Gemuk dan besarnya badan di sisi Allah nilainya tidak sampai seberat sayap nyamuk. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم: رُبَّ أشْعَثَ أغبرَ مَدْفُوعٍ بالأبْوابِ لَوْ أقْسَمَ عَلَى اللهِ لأَبَرَّهُ (رواه مسل)
Dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Banyak orang yang berpenampilan kumal dan berdebu yang semua pintu tertutup untuknya (terusir di semua pintu rumah), tetapi jika dia bersumpah kepada Allah (karena mengharapkan kemurahan-Nya), niscaya Dia akan merealisasikan sumpahnya.” (HR. Muslim)
وعن أَبي هريرة – رضي الله عنه – ، عن رَسُول الله – صلى الله عليه وسلم – ، قَالَ : إنَّهُ لَيَأتِي الرَّجُلُ السَّمِينُ العَظِيمُ يَوْمَ القِيَامَةِ لاَ يَزِنُ عِنْدَ اللهِ جَناحَ بَعُوضَةٍ (مُتَّفَقٌ عَلَيهِ)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Bahwasanya akan datang seorang yang gemuk lagi besar pada hari Kiamat, yang di sisi Allah beratnya (nilainya) tidak sampai seberat sayap nyamuk.” (Muttafaq ‘alaih)
Orang miskin di sisi Allah bisa lebih mulia dan terhormat dibandingkan orang kaya, tidaklah mutlak. Tetapi dengan persyaratan, tidak lain adalah keimanan. Secara kondisi, orang miskin tidak memiliki sesuatu yang bisa dipamerkan atau disombongkan atau dibangga-banggakan. Dari sisi ini ujian orang miskin lebih ringan daripada orang kaya yang mereka memiliki banyak hal yang bisa dibanggakan dan dipamerkan, baik berupa harta, kedudukan, posisi sosial, popularitas dan lain-lain. Sehingga orang miskin tidak berpotensi mendatangkan dosa, sementara orang kaya sebaliknya. Dengan keimanan yang terpatri dalam jiwanya, orang miskin akan selalu bersabar dan ini mendatangkan pahala yang berlipat ganda. Bahkan bersamaan dengan peningkatan keimanannya, orang miskin bisa senantiasa bersyukur dibalik kesabarannya. Akhirnya berkumpullah pada dirinya dua kebaikan yaitu sabar dan syukur.
Namun, jika orang miskin tidak memiliki keimanan maka kemiskinan dan kesulitan hidupnya tidak ada baiknya sama sekali. Keadaannya hanya akan menambah dosa demi dosa. Di dunia, jika ia dibandingkan dengan orang kaya yang kafir saja sudah kalah jauh dalam menikmati hidup. Apalagi dibandingkan dengan orang kaya yang mukmin, maka di dunia jauh tertinggal apalagi di Akhirat.
Mengakhiri pembahasan ini, saya ingin mengingatkan kepada semuanya khususnya untuk diri saya sendiri, ketahuilah tidaklah miskian atau kaya kecuali semuanya itu ujian dari Allah ‘Azza wa Jalla. Janganlah orang kaya merasa lebih baik daripada orang miskin. Allahu A’lam.
Penulis : Muhammad Nur Yasin Zain, Lc. Hafizhahullah
(Pengasuh Pesantren Mahasiswa THAYBAH Surabaya)
Majalah Bulan Maret, 2016 Edisi 44