Ada syubhat begini, bahwa kita tidak konsisten dengan manhaj salaf. Buktinya adalah menjadikan Al-Hafizh Ibnu Hajar, Al-Hafizh Imam An-Nawawi sebagai rujukan dalam mengambil ilmu. Bukankah keduanya itu beraqidah asy-ariyyah?
Untuk menjawab syubhat ini, saya nukilkan pertanyaan dan jawaban dari situs islamqa. InsyaAllah, sudah cukup sebagai jawaban.
Pertanyaan:
Salah satu ulama umat Islam di Madinah di mana saya bertempat tinggal berkata: “Bahwa Imam Ibnu Hajar dan Imam Nawawi adalah pelaku bid’ah, ia menyebutkan beberapa dalil dari “Fathul Baari” untuk menguatkan pendapatnya tersebut. Ia juga memberikan contoh dari pendapatnya tersebut dari syarahnya Imam Ibnu Hajar, bahwa maksud dari “Wajhullah” adalah rahmat-Nya. Bagaimanakah pendapat Anda ?
Jawaban:
Alhamdulillah. Ahlus sunnah pendapatnya objektif dalam menghukumi seseorang. Tidak mengangkat seseorang di atas kapasitasnya dan tidak pula mengurangi apa yang menjadi miliknya. Dan di antara bentuk berimbang dalam menjelaskan tentang seseorang adalah menjelaskan pula beberapa kesalahan para ulama, dan orang yang menta’wil ilmunya, dan tetap mendoakan agar mereka mendapatkan rahmat Allah. Termasuk juga di antara bentuk informasi berimbang adalah mengajak untuk berhati-hati akan kesalahannya, sehingga seseorang tidak terkesima dengan kedudukannya, dan mungkin mengikuti kesalahannya. Ahlus sunnah tidak terburu-buru menghukumi seseorang yang menyelisihi sunnah dengan sengaja, yaitu; sebagai pelaku bid’ah dan sesat.
Ada beberapa orang di masa kita ini yang menuduh kedua Imam Ibnu Hajar dan Imam Nawawi, dan mengatakan bahwa mereka adalah ahli bid’ah dan sesat. Dan bahkan sebagian mereka sampai pada derajat bodoh dengan mengatakan wajib hukumnya untuk membakar kedua kitab “Fathul Baari” dan “Syarah Muslim”.
Namun juga bukan berarti mereka berdua tidak memiliki kesalahan dalam masalah agama, khususnya dalam masalah asma’ wa shifat (Nama-nama dan Sifat-sifat Allah). Ulama kita sudah memberikan catatan, menjelaskannya, pada saat yang sama mereka juga mengharapkan mereka berdua mendapatkan rahmat dari Allah, memuji keduanya sesuai dengan derajatnya, mendo’akan kebaikan bagi mereka berdua, dan menganjurkan untuk mengambil manfaat dari kitab-kitab mereka berdua. Inilah sikap berimbang atau menyampaikan apa adanya yang sangat masyhur dalam Ahlus sunnah wal jama’ah. Sungguh sangat berbeda dengan sikap orang-orang yang membid’ahkan keduanya, menyesatkannya, bahkan menyatakan agar kitab-kitab mereka berdua dibakar. Juga sangat berbeda dengan sikap orang-orang yang mengambil pendapat keduanya seperti halnya wahyu (yang tidak pernah salah), dan menjadikan apa yang menjadi keyakinan keduanya adalah kebenaran yang tidak diragukan lagi.
Kami akan menyebutkan beberapa pendapat ulama kita, agar seorang muslim bersikap berimbang dalam menilai, mengetahui, menghukumi dengan adil kepada kedua imam tersebut:
a. Ulama Lajnah Daimah pernah ditanya:
Bagaimanakah sikap kita terhadap beberapa ulama yang mentakwil sifat-sifat Allah, seperti: Ibnu Hajar, Imam Nawawi, Ibnul Jauzi, dan lain sebagainya. Apakah kita tetap menganggap mereka termasuk para Imam ahlus sunnah wal jama’ah atau bagaimana?, apakah kita berkata: Mereka melakukan kesalahan dengan takwil mereka, atau mereka sesat ?
Mereka menjawab:
“Sikap kita terhadap Abu Bakar al Baqillani, al Baihaqi, Abu al Farj Ibnul Jauzi, Abu Zakariya an Nawawi, Ibnu Hajar dan ulama yang serupa dengan mereka yang mentakwil sebagian sifat-sifat Allah atau menyerahkan sepenuhnya (tafwidh) kepada Allah tentang hakekat makna sifat-sifat tersebut. Menurut hemat kami mereka semua termasuk para ulama kaum muslimin yang ilmunya bermanfaat bagi umat, semoga Allah merahmati mereka semua dengan rahmat yang luas dan jazahumullah khoiral jazaa’. Mereka masih tergolong Ahlus sunnah dalam masalah-masalah yang sesuai dengan para Sahabat –radhiyallahu ‘anhum– dan para ulama salaf pada tiga abad pertama yang mendapatkan persaksian baik dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– . Kesalahan mereka adalah kerena mentakwil nash yang menjelaskan tentang sifat-sifat Allah. Baik yang terkait dengan sifat-sifat dzatiyah, ataupun sifat perbuatan atau sebagiannya.Hal ini bertengan dengan ulama salaf dan para imam sunnah –rahimahumullah-. Petunjuk yang benar hanya milik Allah. Semoga shalawat dan salam tetap tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam–
(Syekh Abdul Aziz bin Baaz, Syekh Abdur Razzaq al ‘Afifi, Syekh Abdullah bin Qu’ud)
(Fatawa Lajnah Daimah: 3/241)
b. Syaikh Muhammad bin Shaleh al ‘Utsaimin –rahimahullah– ditanya:
Berkaitan dengan ulama yang memiliki beberapa kesalahan dalam aqidah, seperti: masalah nama-nama dan sifat-sifat Allah dan lain-lain. Nama-nama mereka tidak asing lagi bagi kami, apalagi ketika kami kuliah dahulu. Pertanyaannya adalah apa hukumnya mendoakan mereka dengan ucapan: “Semoga Allah merahmati mereka semua”?
Syaikh bertanya balik: “Seperti siapa ?“
Penanya : “Seperti Zamakhsyari, Zarkasyi dan lain-lain..”
Syaikh : “Zarkasyi dalam masalah apa ? “
Penanya : “Dalam masalah Nama-nama dan sifat-sifat Allah”.
Beliau menjawab:
“Yang jelas di sana ada beberapa orang yang menisbatkan dirinya kepada kelompok tertentu dengan membawa bendera bid’ah, seperti Mu’tazilah yang termasuk di dalamnya adalah Zamakhsyari, ia seorang mu’tazilah. Ia menamakan orang-orang yang menetapkan sifat-sifat bagi Allah sebagai Hasyawiyah (tidak bisa dipercaya) atau Mujassimah (berbentuk), dan menyesatkan mereka. Oleh karenanya bagi siapa saja yang membaca bukunya “al Kasysyaf” dalam mentafsiri al Qur’an agar berhati-hati dengan pendapatnya terkait sifat-sifat Allah. Namun kitab tafsir tersebut dari sisi balaghah adalah baik, banyak memberikan manfaat, tentu saja berbahaya bagi siapa saja yang belum mengetahui tentang masalah Nama-nama dan Sifat-sifat Allah.
Akan tetapi di sana ada beberapa ulama yang terkenal baik, dan tidak termasuk dalam kelompok ahlul bid’ah, namun dalam pendapat mereka ada beberapa yang mengandung bid’ah, seperti Ibnu Hajar al Asqalani dan An Nawawi –rahimahumallah -. Sebagian orang-orang yang tidak mengerti menuduh mereka berdua sembarangan, bahkan dikatakan kepada saya: “Sungguh sebagian orang berkata: Diwajibkan untuk membakar kitab “Fathul Baari” ; karena Ibnu Hajar adalah termasuk ‘Asy’ariyyah, hal ini tidak benar; karena kedua ulama tersebut saya tidak pernah mengetahui pada masa sekarang ada seseorang yang mampu mempersembahkan sebuah karya terbaiknya kepada Islam dalam masalah Hadits seperti karya mereka berdua. Hal itu menunjukkan kepada Anda bahwa Allah –Subhanahu wa Ta’ala– dengan daya dan kekuatan-Nya -saya tidak mendahului kehenak Allah- bahwa Dia telah menerimanya. Hampir semua hasil karya mereka berdua dapat diterima oleh semua pihak, baik yang terpelajar, bahkan sampai masyarakat umum. Kitab “Riyadhus Shalihin” misalnya ia dibaca pada setiap majelis, dan pada setiap masjid, mampu memberikan manfaat kepada banyak kalangan. Saya berharap bahwa Allah akan menjadikan salah satu buku saya seperti kitab “Riyadhus Shalihin”, semua orang akan mendapatkan manfaat di rumahnya, di masjidnya.
Jadi, bagaimana mungkin kedua ulama tersebut dikatakan bahwa mereka ahli bid’ah dan sesat, tidak boleh didoakan dengan rahmat Allah, dan buku-bukunya tidak boleh dibaca, Fathul Baari dan Syarah Muslim wajib dibakar ?!!. Subhanallah, maka saya katakan kepada mereka baik dengan bahasa lisan maupun perbuatan:
أَقِلُّوا عليهمُ لا أبا لأبيكمُ مِن اللومِ أو سدوا المكان الذي سدوا
“Persedikit dalam menilai mereka –demi Allah- dari celaan, atau tutuplah tempat itu yang telah menutup”.
Siapa yang mampu mempersembahkan karya terbaiknya untuk Islam sebagaimana yang mereka persembahkan ?!… Kecuali jika Allah berkehendak. Maka saya berkata: Semoga Allah mengampuni Imam Nawawi, Ibnu Hajar al Asqalani, dan siapa saja yang mirip dengan mereka berdua, yang telah Allah jadikan mereka bermanfaat bagi Islam dan kaum muslimin. Semuanya hendaknya mengamininya. (Liqaat Bab Maftuh: 43/soal nomor: 9)
c. Syekh Shaleh bin Fauzan al Fauzan –hafidzahullah-
Muncul perbedaan di antara penuntut ilmu syar’i tentang definisi pelaku bid’ah:
Sebagian mereka berkata: ia adalah orang yang berkata atau berbuat bid’ah, meskipun belum di cek kebenarannya. Sebagian yang lain berkata: harus di cek kebenarannya. Sebagian yang lain membedakan antara perkataan seorang alim dan mujtahid dan lainnya yang mencetuskan dasar-dasar yang berlawanan dengan manhaj Ahlusunnah jama’ah. Bahkan sebagian mereka membid’ahkan Ibnu Hajar dan An Nawawi dan tidak boleh (mendo’akan) mereka agar mendapatkan rahmat Allah?
Beliau menjawab:
Pertama:
“Tidak selayaknya bagi para santri pemula atau yang lainnya menyibukkan diri untuk membid’ahkan seseorang atau menganggapnya fasiq; karena masalah tersebut sangat berbahaya dan sensitif, sedang mereka belum memiliki pengetahuan yang cukup dalam masalah tersebut. Yang demikian itu juga akan melahirkan kebencian dan permusuhan. Kewajiban mereka yang sesungguhnya adalah menuntut ilmu dan menahan lisan mereka dari hal-hal yang tidak bermanfaat.
Kedua:
Bid’ah itu adalah mendatangkan suatu hal yang baru dalam agama dan dari dahulu tidak pernah termasuk bagian darinya, berdasarkan hadits Rasulullah –shallallahu ‘alaihi was sallam- :
من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد (رواه البخاري)
“Barang siapa yang mendatangkan sesuatu yang baru dalam urusan kami, yang sebelumnya bukan termasuk darinya, maka akan tertolak”. (HR. Bukhori)
Apabila seseorang melakukan kesalahan atau menyimpang atas dasar ketidaktahuan, maka ia dimaafkan karena ketidaktahuannya dan tidak dihukumi sebagai pelaku bid’ah,
namun apa yang dilakukannya termasuk bid’ah.
Ketiga:
Barangsiapa yang memiliki kesalahan dalam masalah ijtihadiyah, yang telah melakukan takwil, seperti Ibnu Hajar, Nawawi terhadap beberapa sifat Allah, maka mereka tidak dihukumi sebagai pelaku bid’ah. Namun harus dijelaskan bahwa inilah kesalahan mereka, dan diharapkan untuk mereka semoga mendapat ampunan dengan besarnya perhatian mereka terhadap sunnah Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, Mereka berdua adalah Imam yang mulia, dipercaya oleh para ulama. (Al Mauntaqa min Fatawa Fauzan: 2/211-212).
d. Syekh Muhammad Nashiruddin al Al Baani –rahimahullah-:
Imam Nawawi, Ibnu Hajar dan lainnya yang serupa dengan mereka berdua adalah sebuah kedzaliman jika mereka di sebut sebagai ahli bid’ah. Saya mengetahui bahwa kedua ulama tersebut dari ‘Asy’ariyyah. Namun keduanya tidak bermaksud untuk menyelisihi al Qur’an dan Sunnah, akan tetapi mereka ragu-ragu dan mengira bahwa aqidah ‘Asy’ariyyah itulah yang diwarisakan. Mereka mengira dari dua sisi:
Pertama: Bahwa Imam Asy’ari juga berpendapat demikian, memang pada masa lalu, tetapi kemudian beliau pada akhirnya kembali (ke jalan yang benar).
Kedua: Mereka mengira bahwa pendapat itulah yang benar, padahal tidak.
(Dari kaset nomor 666, dengan tema: “Man Huwa al Kafir wa Man Mubtadi’)
Semoga Allah senantiasa memberikan rahmat-Nya kepada kedua Imam tersebut. Semoga Allah mengampuni kesalahan mereka berdua. Wallahu a’lam.
Judul buku : Catatan Singkat tentang “MENGENAL ALLAH ‘AZZA WA JALLA”
Penulis : Muhammad Nur Yasin Zain, Lc.Hafizhahullah
(Pengasuh Pesantren Mahasiswa Thaybah Surabaya)