(https://www.islamweb.net/ar/fatwa/121534/)
Teks Arab
هل يجب على المرأة أن تغطي ما تحت الذقن وهي في الصلاة إذا كانت تصلي وحدها ولا يراها الأجانب؟ أقصد الموضع ما بين الرقبة والذقن، النساء غالبا يصلين ولا يسترن ذلك الموضع. وهل فعلهن ذلك يبطل الصلاة؟ بارك الله فيكم
الإجابة
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه، أما بعـد
فالوجه هو ما تحصلُ به المواجهة، وقد بين العلماء حد الوجه الذي يجبُ استيعابه في الوضوء، ويُشرع للمرأة كشفه في الصلاة، قال الشيرازي: ثم يغسل وجهه وذلك فرض لقوله تعالى: فاغْسِلُواْ وُجُوهَكُمْ. والوجه ما بين منابت شعر الرأس إلى الذقن ومنتهى اللحيين طولاً، ومن الأذن إلى الأذن عرضاً. انتهى.. وقال النووي في المجموع معلقاً: هذا الذي ذكره المصنف في حد الوجه هو الصواب الذي عليه الأصحاب ونص عليه الشافعي رحمه الله في الأم. انتهى. وقال أيضاً: والوجه عند العرب ما حصلت به المواجهة. انتهى
وقال الكاساني في “بدائع الصنائع”: ولم يذكر في ظاهر الرواية حد الوجه، وذكر في غير رواية الأصول أنه من قصاص الشعر إلى أسفل الذقن، وإلى شحمتي الأذنين، وهذا تحديد صحيح، لأنه تحديد الشيء بما ينبئ عنه اللفظ لغة، لأن الوجه اسم لما يواجه الإنسان، أو ما يواجه إليه في العادة، والمواجهة تقع بهذا المحدود. انتهى
وبهذا كله يتبين أن أسفل الذقن ليس من الوجه، ولا يجوزُ للمرأة كشفه في الصلاة، لأنه ليس مما تحصلُ به المواجهة، وانظر في ذلك الفتوى رقم: 119152
ومن كانت تُصلي كاشفة عن شيء من العورة الواجب سترها في الصلاة، فالواجبُ تعليمها ومناصحتها، وأن يُبين لها كلام أهل العلم في المسألة، وأما ما مضى من صلوات فلا تلزمُ إعادتها لمن كان جاهلا بالحكم الشرعي، فقد سئلت اللجنة الدائمة: منذ فترة كنت أصلي بدون حجاب، لأنني كنت لا أعلم بوجوب الحجاب في الصلاة فهل تجب إعادة تلك الصلاة مع أنها كانت فترة طويلة (6 سنوات) تقريباً أو أكثر من النوافل والسنن؟ فأجابت اللجنة: إذا كان الواقع ما ذكر من جهلك بما يجب ستره في الصلاة فلا إعادة عليك لصلاة المدة الماضية، وعليك التوبة إلى الله من ذلك، ويشرع لك الإكثار من الأعمال الصالحة، لقول الله تعالى: وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِمَنْ تَابَ وَءَامَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا ثُمَّ اهْتَدَى. وما جاء في معناها من الآيات، مع العلم بأن الوجه يشرع للمرأة كشفه في الصلاة إذا لم يكن لديها من يجب التحجب عنه. انتهى
وأما هل تبطلُ صلاة من صلت، وهي كاشفة لهذا الجزء، فالواجبُ أن يعلم أن ستر العورة شرطٌ في صحة الصلاة، واختلف العلماء فيما إذا انكشف شيء يسير من العورة في أثناء الصلاة، فذهب الشافعية إلى بطلان الصلاة بذلك، وذهب الجمهور إلى العفو عما ينكشف من العورة من الشيء اليسير، قال ابن قدامة رحمه الله: فإن انكشف من العورة يسير. لم تبطل صلاته نص عليه أحمد وبه قال أبو حنيفة، وقال الشافعي: تبطل لأنه حكم تعلق بالعورة فاستوى قليله وكثيره، كالنظر ولنا: ما روى أبو داود بإسناده عن أيوب عن عمرو بن سلمة الجرمي قال: انطلق أبي وافداً إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم في نفر من قومه، فعلمهم الصلاة، وقال: يؤمكم أقرؤكم فكنت أقرأهم فقدموني فكنت أؤمهم وعلي بردة لي صفراء صغيرة، وكنت إذا سجدت انكشفت عني، فقالت امرأة من النساء: واروا عنا عورة قارئكم. فاشتروا لي قميصاً عمانياً، فما فرحت بشيء بعد الإسلام فرحي به. ورواه أبو داود والنسائي أيضاً، عن عاصم الأحول عن عمرو بن سلمة قال: فكنت أؤمهم في بردة موصلة فيها فتق فكنت إذا سجدت فيها خرجت استي. وهذا ينتشر ولم ينكر، ولا بلغنا أن النبي صلى الله عليه وسلم أنكره ولا أحد من أصحابه، ولأن ما صحت الصلاة مع كثيره حال العذر، فرق بين قليله وكثيره في غير حال العذر، كالمشي؛ ولأن الاحتراز من اليسير يشق، فعفي عنه كيسير الدم. إذا ثبت هذا فإن حد الكثير ما فحش في النظر. انتهى
Terjemahan teks Arab
Pertanyaan: Apakah wajib bagi seorang wanita untuk menutup bagian yang di bawah dagu ketika shalat seorang diri, tidak ada orang asing yang melihatnya? Yang saya maksud bagian antara leher dan dagu. Wanita secara umum ketika shalat tidak menutup bagian tersebut. Apakah hal itu membatalkan shalat? Barakallahu fikum
Jawab:
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه، أما بعـد
Wajah itu bagian yang terlihat ketika berhadap-hadapan. Para ulama telah menjelaskan batasan wajah yang wajib dibasuh rata ketika wudhu dan disyareatkan untuk disingkap ketika shalat.
Asy-Syairozi mengatakan: Lalu seseorang membasuh wajahnya, ia wajib berdasarkan firman Allah ta’ala “فاغْسِلُواْ وُجُوهَكُمْ“ (Basuhlah wajah-wajah kalian). Batasan wajah itu dari atas ke bawah mulai dari bagian tempat tumbuhnya rambut kepala hingga dagu dan pangkal dua rahang. Kalau menyamping mulai dari telinga ke telinga [selesai]
Imam An-Nawawi memberikan komentar dengan mengatakan dalam “Al-Majmu’”: Sebagaimana yang dikatakan oleh penulis kitab di dalam masalah batasan wajah, inilah yang betul di mana para ulama juga berpandangan demikian termasuk yang dinyatakan olem Asy-Syafi’i rahimahullah di dalam “Al-Umm” [selesai]. Dia juga mengatakan: Batasan wajah menurut orang Arab adalah apa yang tampak seseorang ketika berhadapan.
Al-Kasani dalam “Bada-i-‘u Ash-Shona’i” berkata: Tidak disebutkan secara eksplisit dalam riwayat mengenai batasan wajah, tapi disebutkan di dalam riwayat yang bukan ushul bahwa ia dari tempat tumbuhnya rambut hingga di bawah dagu dan dari telinga ke telinga. Ini pembatasan yang shohih karena didasarkan pada makna lafazh secara lughoh (bahasa) yaitu bagian yang dengannya seseorang menghadap atau bagian yang biasanya seseorang tertuju kepadanya, dan “berhadapan” terjadi pada bagian yang batasannya demikian itu [selesai].
Dengan pengertian di atas maka jelaslah bahwa bagian di bawah dagu tidak termasuk wajah. Jadi, tidak diperbolehkan bagi wanita untuk menyingkapnya di dalam shalat. Karena ia tidak termasuk bagian yang tampak ketika berhadapan. Lihatlah fatwa no. 119152.
Jika ada seorang wanita shalat tersingkap sebagian dari auratnya maka ia wajib menutupnya ketika shalat. Ia harus diajari dan diberi nasehat. Jelaskanlah kepadanya keterangan dari para ahli ilmu dalam masalah ini. Adapun shalat-shalat yang sudah berlalu maka tidak perlu diulang bagi yang melakukannya karena ketidaktahuan terhadap hukum syar’i. Lajnah Daimah ditanya: Sejak beberapa waktu yang lalu saya shalat tanpa hijab karena saya tidak tahu kewajiban hijab dalam shalat, apakah wajib mengulangi shalat mengingat masanya sudah sangat lama sekitar enam tahun atau lebih juga shalat-shalat yang sunnah. Lajnah Daimah menjawab: Jika yang terjadi seperti yang Anda sampaikan yaitu karena ketidaktahuan tentang wajibnya menutup auratnya dalam shalat maka tidak ada kewajiban mengulang shalat yang telah berlalu. Anda harus bertaubat kepada Allah ta’ala dan disyareatkan untuk memperbanyak amal sholeh berdasarkan firman Allah ta’ala,
وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِمَنْ تَابَ وَءَامَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا ثُمَّ اهْتَدَى
Dan sungguh, Aku Maha Pengampun bagi yang bertobat, beriman dan berbuat kebajikan, kemudian tetap dalam petunjuk. (QS. Taha: 82)
Dan apa yang merupakan makna ayat ini. Ketahuilah wajah disyareatkan dibuka di dalam shalat jika tidak ada orang lain yang harus ber-hijab darinya [selesai].
Adapun apakah terbukanya bagian aurat tersebut membatalkan wanita yang shalat dimana sudah diketahui bahwa menutup aurat itu syarat sahnya shalat. Ulama berbeda pendapat mengenai aurat yang sedikit tersingkap di tengah-tengah shalat. Madzhab Syafi’i berpandangan shalatnya batal. Jumhur ulama berpandangan hal itu dimaafkan karena tersingkapnya ringan. Ibnu Qudamah rahimahullah berkata: Jika tersingkapnya ringan maka tidak membatalkan shalat, demikian juga pernyataan Imam Ahmad dan Imam Abu Hanifah.
Imam Asy-Syafi’i berkata: Batal. Karena ia terkait hukum aurat maka sama saja banyak atau sedikitnya, seperti melihat.
Kami memiliki apa yang diriwayatkan Abu Daud dengan isnad-nya dari Ayyub dari ‘Amru bin Salamah Al-Jurmi, ia mengatakan: Ayahku berangkat sebagai utusan kepada Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam bersama beberapa orang dari kaumnya. Beliau shallahu ‘alaihi wasallam mengajari mereka shalat. Beliau berpesan, yang menjadi imam shalat kalian adalah orang yang paling banyak hafalannya. Merekapun menunjukku untuk menjadi imam mereka. Ketika itu saya mengenakan kain sempit warna kuning. Jika sujud, auratku tersingkap. Seseorang dari kalangan kaum wanita berkata: “Tutuplah dari kami aurat qori (imam) kalian”. Lalu, mereka membelikan untukku baju Oman. Aku tidak merasa bergembira sejak masuk Islam melebihi kegembiraanku dengan baju tersebut (HR. Abu Daud). An-Nasa’i juga meriwayatkan dari ‘Ashim dari Amr bin Salamah tentang keadaan tersebut, “Aku mengimami mereka dengan mengenakan baju yang sobek sehingga ketika sujud pantatku terlihat. Ini popular tapi tidak diingkari. Dan, tidak pula sampai kepada kami bahwa Nabi shallahu ‘alaihi wasallam mengingkarinya tidak pula seseorang dari Shahabatnya. Karena terkait sahnya shalat, seringnya (tidak terpenuhinya persyaratan) dalam keadaan ‘udzur tentu berbeda hukumnya dengan sedikit dan banyaknya (tidak terpenuhi persyaratan) dalam keadaan tidak ada ‘udzur, seperti berjalan. Untuk berjaga-jaga dari sesuatu yang sedikit itu merepotkan maka ia dimaafkan seperti darah yang sedikit. Jika ini tsabit (benar), maka batasan maksimal adalah apa yang buruk dalam pandangan [selesai].
Syaikhul Islam me-rojih-kan pendapat jumhur bahwa shalat tidaklah batal dengan tersingkapnya aurat yang sedikit. Beliau rahimahulah mengatakan: Jika sedikit (dari aurat seseorang, Pent.) tersingkap seperti rambutnya, badannya maka shalat tidak perlu diulangi menurut kebanyakan ulama seperti madzhab Abu Hanifah dan Ahmad, Jika tersingkapnya banyak maka shalat diulangi di dalam waktu tersebut, menurut umumnya ulama imam-imam yang empat dan yang lainnya [selesai].
Zhahir dari permasalahan ini, tersingkapnya bagian ini (antara leher dan bawah dagu, Pent.) tidak membatalkan shalat karena hanya sedikit dan tidak buruk dalam pandangan. |
Meskipun seyogyanya berupaya untuk menutupnya demi KELUAR DARI PERBEDAAN PENDAPAT, sehingga tidak menyelisihi ulama yang mengatakan bahwa sholat batal dengan tersingkapnya aurat meskipun sedikit. Allahu A’lam
Judul buku : Terkadang Ditanyakan 11
Penulis : Muhammad Nur Yasin Zain, Lc. Hafidzahullah
(Pengasuh Pesantren Mahasiswa Thaybah Surabaya)