Solusi Investasi Akhirat Anda

PANDUAN PRAKTIS HAJI & UMROH (Bag. 7 batasan-batasan wilayah Haram Makki)

4. Apakah untuk mendapatkan fadhilah pahala shalat berlipat ganda harus di dalam masjidil Haram ataukah juga di luar masjidil Haram selama masih dalam wilayah Haram Makki?
Pertanyaan yang sama juga untuk masjid Nabawi? Jadi, apakah dilipatgandakannya pahala shalat itu harus di dalam Masjid Nabawi atau juga seluruh wilayah Haram Madani?
Ada perbedaan pendapat:
a. Harus berada di dalam masjidil Haram. Sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Utsaimin bahwa dilipatgandakannya pahala shalat itu jika dilakukan di dalam masjidil Haram. Tidak semua masjid di Makkah. Sabda Nabi tentang dilarangnya melakukan safar kecuali ke tiga masjid salah satunya adalah masjidil Haram. Kalau seseorang melakukannya ke masjid yang ada di Makkah bukan masjidil Haram, maka hal itu terlarang.
b. Boleh di luar masjidil Haram. Dengan alasan firman Allah ta’ala surat Al-Isra ayat 1 bahwa beliau di-“isra’-kan dari Masjidil Haram, padahal kenyataannya beliau malam itu berada di rumah Ummi Hani di Makkah. Hal ini menunjukkan bahwa seluruh wilayah Haram Makki memiliki nilai yang sama dengan Masjidil Haram.
Disebutkan di dalam Hadits riwayat Imam Ahmad bahwa Nabi shallahu’alaihi wasallam pada saat “shulhul Hudaibiyyah” shalat di Haram padahal beliau tinggalnya di Hudaibiyyah di bagian halal. Imam Asy-Syafi’i menjelaskan bahwa Hudaibiyyah sebagiannya berada di wilayah halal sebagiannya lagi di wilayah haram. Hal ini menguatkan penjapat yang kedua.
Menanggapi penjelasan di atas, Syaikh Utsaimin mengatakan bahwa memang beliau berada di rumah Ummu Hani. Ketika diingatkan, maka beliau pergi menuju masjid. Dari masjidil Haram inilah beliau di-isra’-kan.


5. Syaikh Dr. Utsman Al-Khomis menjelaskan batasan-batasan wilayah Haram Makki:
a. Bagian Timur, ke arah Tan’im: 6 atau 7 km (ada perbedaan pendapat),
b. Bagian Barat, ke arah Hudaibiyah: 24 km
c. Bagian Utara, ke arah Arofah: 16 km
d. Bagian Selatan, ke arah Adhoh: 14 km.
Adapun untuk Haram Madani jaraknya sama dari berbagai arah yaitu 21 km.


6. Apakah amalan-amalan kebaikan selain shalat pahalanya juga dilipatgandakan? Syaikhul Islam Bin Baz rahimahullah menjelasakan: Dalil-dalil syariat menunjukkan bahwa amalan-amalan kebaikan dilipatgandakan pahalanya di dalam waktu yang memiliki keutamaan seperti Ramadhan dan 10 awal Dzulhijjah. Juga di tempat yang memiliki keutamaan seperti Al-Haramain, di mana pahala amalan kebaikan dilipatgandakan di Makkah dan Madinah. Disebutkan di dalam Hadits shahih,

صلاةٌ في مسجدِي هذا خيرٌ من ألفِ صلاةٍ في ما سواه إلا المسجدَ الحرامَ، وصلاةٌ في المسجدِ الحرامِ أفضلُ من مائةِ صلاةٍ في مسجدِي هذا (رواه البخارى ومسلم عن أبى هريرة)

Shalat di masjidku ini lebih baik daripada seribu shalat di selainnya kecuali Masjidil Haram. Shalat di Masjidil Haram lebih utama daripada shalat di masjidku ini(HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)
Hadits ini menunjukkan bahwa shalat di Masjidil Haram dilipatgandakan pahalanya 100.000 kali dibandingkan masjid apapun selain masjid Nabawai. Kalau dibandingkan dengan shalat di masjid Nabawai dilipatgandakan 100 kali lipat. Demikian juga seluruh amalan shaleh pahala dilipatgandakan. Tetapi berapa nilainya tidak ada dalil yang menjelaskan. Dalil yang ada hanya sebatas untuk shalat. Untuk amalan shaleh seperti puasa, dzikir, membaca al-Qur’an, shadaqah saya tidak mengetahui nash tsabit yang menyebutkan tentang nilainya. Tetapi, secara umum saja tentang pelipatgandaan pahalanya tidak disebutkan secara khusus. [selesai]


7. Permasalahan shalat Arba’in.
Sebagian jamaah haji memandang adanya peribadahan yang disebut shalat arba’in. Yaitu melakukan 40 shalat di masjid Nabawi dengan ketentuan mendapatkan takbiratul ihram bersama Imam. Shalat ini dilakukan selama 8 hari. Mereka semangat melakukannya karena meyakini adanya fadhilah yang sangat tinggi yaitu terbebas dari sifat nifak dan terbebas dari api Neraka. Sayangnya, hal ini tidak ada Nash sebagai pijakannya. Hadits yang dijadikan sebagai dalilnya itu dho’if, jadi tidak boleh dijadikan sebagai sandaran. Haditsnya berikut ini,

رواه أحمد عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ : ( مَنْ صَلَّى فِي مَسْجِدِي أَرْبَعِينَ صَلاةً لا يَفُوتُهُ صَلاةٌ كُتِبَتْ لَهُ بَرَاءَةٌ مِنْ النَّارِ ، وَنَجَاةٌ مِنْ الْعَذَابِ ، وَبَرِئَ مِنْ النِّفَاقِ )

“Dari Anas bin Malik, dari Nabi shallahu’alaihi wasallam, beliau bersabda: Barangsiapa shalat di masjidku 40 shalat yang tidak tertinggal (dari takbiratul ihram) dicatat baginya terbebas dari Neraka dan selamat dari adzab serta terbebas dari nifak” (HR. Ahmad)
Hadits ini dinyatakan dhoif oleh para ulama diantara Syaikh Bin Baz dan Syaikh Al-Albany.
Adapun Hadits yang shahih tentang shalat Arba’in, tidaklah menghkhususkan di masjid Nabawi melainkan di seluruh masjid manapun di muka bumi. Dan, bukan 40 waktu melainkan 40 hari. Sebagaimana dijelaskan dalam Hadits berkikut ini,

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ صَلَّى لِلَّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا فِي جَمَاعَةٍ يُدْرِكُ التَّكْبِيرَةَ الأُولَى كُتِبَتْ لَهُ بَرَاءَتَانِ بَرَاءَةٌ مِنْ النَّارِ وَبَرَاءَةٌ مِنْ النِّفَاقِ (حسنه الألباني في صحيح الترمذي)

“Dari Anas bin Malik, dia berkata: Rasulullah shallahu’alaihi wasallam bersabda: Barangsiapa shalat empat puluh hari dengan berjamaah dan mendapatkan takbiratul ihram maka dicatat baginya dua pembebasan, yaitu terbebas dari Neraka dan terbebas dari nifak” (Dihasankan oleh Al-Albany di dalam “Shahih At-Tirmidzi)

  • Seputar Masalah Thowaf dan Sa’i

8. Dalil tentang lafazh ketika mengusap atau memberi isyarat kepada Ka’bah,
Disebutkan di dalam Hadits Abdullah Ibnu Abbas,

أنَّ رَسولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ طَافَ بالبَيْتِ وهو علَى بَعِيرٍ، كُلَّما أَتَى علَى الرُّكْنِ أَشَارَ إلَيْهِ بشيءٍ في يَدِهِ، وكَبَّرَ (رواه البخارى ومسلم)

“Rasulullah shallahu’alaihi wasallam thowaf di Ka’bah dengan menunggang onta. Setiap kali mendatangi rukun (hajar Aswad) memberi isyarat dengan sesuatu yang ada di tangannya lalu bertakbir (HR. Bukhari dan Muslim)
Disebutkan dalam Atsar Ibnu Umar,

عن نافع عن ابن عمر أنه كان إذا استلم الركن قال: باسم الله، والله أكبر (رواه عبدالرزاق والبيهقي وصححه الحافظ في التلخيص وهو موقوف على ابن عمر)

“Dari Nafi’ dari Ibnu Umar bahwa ia mengusap rukun (hajar aswad) lalu membaca “Bismillah Allahu Akbar (HR. Abdurraziq dan Al- Baihaqi)
Adapun lafazh,

اللهم إيمانا بك، وتصديقا بكتابك، ووفاء بعهدك، واتباعا لسنة نبيك محمد صلى الله عليه وسلم

Syaikh Sulaiman bin Nashir al-Ulwan mengatakan bahwa ia tidak tsabit dan tidak masyru’ untuk dibaca.


9. Raml hanya untuk kaum lelaki di tiga putaran pertama saja. Disebutkan di dalam Hadits Ibnu Abbas,

قدمَ رسولُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ مَكَّةَ وأصحابُهُ فقالَ المشرِكونَ: إنَّهُ يقدُمُ عليكُم قومٌ قد وَهَنتهم حُمَّى يثربَ ، فلمَّا قدِموا قعدَ المشرِكونَ مِمَّا يلي الحَجرَ فأمرَ النَّبيُّ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ أصحابَهُ أن يرمُلوا الأشواطَ الثَّلاثةَ ، وأن يمشوا ما بينَ الرُّكنينِ (رواه البخارى)

“Rasulullah shallahu’alaihi wasallam dan para Shahabat memasuki Makkah. Orang-orang musyrik berkata: Akan datang kepada kalian suatu kaum yang panasnya Yatsrib telah menjadikan kondisi mereka lemah. Ketika mereka telah datang, orang-orang musyrik duduk di area setelah Hajar Aswad. Maka Nabi shallahu’alaihi wasallam memerintahkan para Shahabatnya agar melakukan raml pada tiga putara pertama, dan berjalan pada antara dua rukun (rukun Yamani dan Hajar Aswad) (HR. Bukhari)


10. Idhthiba’ dan raml hanya dilakukan pada thowaf qudum untuk haji ifrod dan qiron. Dan, pada thowaf umroh untuk haji tamattu’. Pada selainnya tidak ada raml dan idhthiba’. Disebutkan di dalam Hadits,

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَرْمُلْ فِي السَّبْعِ الَّذِي أَفَاضَ فِيهِ. ( رواه أبو داود و صححه الألباني في صحيح أبي داود.)

“Dari Ibnu Abbas bahwa Nabi shallahu’alaihi wasallam tidak melakukan raml dari putaran yang tujuh di haji ifadhah yang beliau lakukan” (HR. Abu Daud, dishahihkan oleh Al-Albani di dalam “Shahih Abu Daud)


11. Disunnahkan untuk mencium hajar Aswad sebagaimana Atsar Ibnu Umar,

أن عمر رضي الله عنه قبل الحجر ثم قال : والله لقد علمت أنك حجر ولولا أني رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقبلك ما قبلتك

“Umar radhiallahu’anhu mencium hajar Aswad lalu mengatakan, Demi Allah, aku tahu kamu adalah batu, kalaulah aku tidak melihat Rasulullah menciummu maka saya tidak akan menciummu”
Jika tidak memungkinkan untuk mencium maka mengusap dengan tangannya lalu tangannya dicium, jika tidak memungkinkan mengusap dengan tangannya maka dengan sesuatu yang ada di tangannya lalu sesuatu itu dicium, jika tidak memungkinkan maka memberi isyarat dengan tangannya. Disebutkan di dalam Atsar Abu Malik Sa’ad bin Thoriq dari ayahnya, dia berkata:

رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم يطوف حول البيت فإذا ازدحم الناس على الطواف استلمه رسول الله صلى الله عليه وسلم بمحجن في يده } ولا يشير إلى القبلة بالفم ; لأن النبي صلى الله عليه وسلم لم يفعل ذلك

Saya melihat Rasulullah shallahu’alaihi wasallam thowaf di Ka’bah. Jika manusia penuh sesak, beliau menyentuh Ka’bah dengan tongkat di tangannya. Janganlah seseorang memberi isyarat dengan mulut karena Nabi shallahu’alaihi wasallam tidak melakukannya.


12. Minum air zam-zam setelah thowaf.
Disebutkan di dalam Hadits Jabir ketika menjelaskan tata cara Haji Nabi shallahu’alaihi wasallam,

ثُمَّ أَتَى بَنِي عَبْدِ الْمُطَّلِبِ , وَهُمْ يَسْقُونَ , فَنَاوَلُوهُ دَلْوًا , فَشَرِبَ مِنْهُ

“Kemudian beliau shallahu’alaihi wasallam mendatangi Bani Abdul Muthollib dimana mereka adalah orang-orang yang memberi minum zam-zam. Mereka memberikan kepada beliau satu ember lalu beliau shallahu’alaihi wasallam meminumnya”
Para ulama menjelaskan itu dilakukan setelah melakukan thowaf. Dan kebanyakan ulama menyatakan minum air zam-zam setelah thowaf adalah ta’abbudi sebagian lainnya berpendapat sekedar suatu hajat saja.


13. Doa yang dibaca ketika sa’i
Berdoa dan berdzikir sekehendaknya. Ketika berada di antara dua lampu hijau membaca doa yang dipanjatkan oleh Ibnu Mas’ud radiallahu’anhu. Sebagaimana disebutkan di dalam Atsar tentang beliau dari Masruq dan diriwayatkan oleh Ath-Thobroni bahwa Ibnu Mas’ud radhiallahu’anhu ketika turun ke lembah bergegas sambil membaca,

اللهمَّ اغفِرْ وارحَمْ، وأنت الأعَزُّ الأكرَمُ

14. Yang mujma’ ‘alaih adalah thowaf dan sa’i dengan berjalan kaki, boleh berkendaraan jika ada udzur. Sebagaimana disebutkan di dalam Hadits Ummu Salamah,

شَكَوْتُ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنِّي أَشْتَكِي فَقَالَ: طُوفِي مِنْ وَرَاءِ النَّاسِ وَأَنْتِ رَاكِبَةٌ (متفق عليه)

“Saya menyampaikan kepada Rasulullah shallahu’alaihi wasallam bahwa saya sakit. Beliau bersabda: Thowaflah kamu di belakang manusia dengan berkendara(Muttafaq ‘alaihi)

15. Bittaufiq minallah, mumpung berada di Makkah perbanyaklah thowaf. Karena sebaik-baik amalan di Makkah bagi non penduduk adalah thowaf. Thowaf lebih utama daripada shalat sunnah. Ini sebagaimana disampaikan oleh Imam Ahmad. Demikian pula fatwa Al-Lajnah ad-Daimah

16. Cara memperbanyak thowaf:
a. Setiap kali memasuki Masjidil Haram sebagai pengganti Tahiyyatul Masjid
b. Kapan saja berkesempatan thowaf, maka lakukanlah.
Ibnu Qudamah berkata: Tidaklah mengapa untuk menggabungkan tujuh putaran yang pertama dan tujuh putaran yang kedua dan seterusnya. Jika sudah selesai, maka shalat dua rakaat untuk setiap 7 putaran. Yang melakukan demikian adalah Aisyah radhiallahu’anha dan Masrur bin Makhromah radhiallahu’anhu. Ini juga merupakan pendapat ‘Atho, Thowus, Sa’id bin Jubair, Ishaq dan lain-lain….. Muwalat (berkelanjutan) antara thowaf dan shalat sunnah dua rakaat bukanlah keharusan. Dalilnya adalah Umar bin Khaththab radhiallahu’anhu baru shalat thowaf setelah sampai di Dzi Tuwa dan Hadits Ummu Salamah… [selesai]
Hadits Ummu Salamah yang dimaksud adalah berikut ini,

أنَّ رَسولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ قالَ وهو بمَكَّةَ، وأَرَادَ الخُرُوجَ، ولَمْ تَكُنْ أُمُّ سَلَمَةَ طَافَتْ بالبَيْتِ وأَرَادَتِ الخُرُوجَ، فَقالَ لَهَا رَسولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: إذَا أُقِيمَتْ صَلَاةُ الصُّبْحِ فَطُوفي علَى بَعِيرِكِ والنَّاسُ يُصَلُّونَ. فَفَعَلَتْ ذلكَ، فَلَمْ تُصَلِّ حتَّى خَرَجَتْ (رواه البخارى)

“Rasulullah shallahu’alaihi wasallam berada di Makkah dan hendak keluar. Namun, Ummu Salamah belum thowaf dan hendak turut keluar. Maka Rasulullah shallahu’alaihi wasallam bersabda kepadanya: Nanti jika shalat Shubuh di-iqomat-i dan orang-orang shalat thawaflah kamu dengan menunggang keledaimu, Dia melakukannya dan belum shalat hingga keluar (dari masjidil Haram)(HR. Bukhari)


17. Thowaf ifadhoh. Dinamakan ifadhoh karena dilakukan setelah bertolak dari Mina menuju Makkah. Disebut juga thowaf ziyarah karena jamaah haji berangkat dari Mina untuk mengunjungi Baitullah setelah itu kembali lagi ke Mina, tidak tinggal di Makkah. Disebut juga thowaf wajib, thowaf rukun dan thowaf fardhu. Dinamai demikian dilihat dari sisi hukumnya. Waktu yang utama adalah pada tanggal 10 Dzulhijjah setelah melontar jumroh aqobah sebagaimana yang Nabi shallahu’alaihi wasallam lakukan. Disebutkan di dalam Hadits,

حديثُ جابِرِ بنِ عبدِ اللهِ رَضِيَ اللهُ عنهما في صِفَةِ حجَّةِ النبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم وفيه: ((أنَّه صلَّى اللهُ عليه وسلَّم رمى جَمْرةَ العَقَبةِ، ثمَّ انصرَفَ إلى المنحَرِ، فنَحَرَ هَدْيَه, ثمَّ أفاض إلى البيتِ، فصلى بمكَّةَ الظُّهْرَ (رواه مسلم)

“Hadits Jabir bin Abdullah radhiallahu’anhu tentang sifat haji Nabi shallahu’alaihi wasallam (di dalamnya disebutkan) bahwa beliau shallahu’alaihi wasallam melontar jumroh ‘Aqobah, lalu menuju tempat menyembelih beliau menyembelih hadyunya lalu bertolak menuju Baitullah dan shalat Zhuhur di Makkah (HR. Muslim)
Kalau tidak dikerjakan pada tanggal 10 Dzulhijjah, maka boleh dikerjakan pada hari Tasyrik. Tidak ada perbedaan pendapat dalam masalah ini. Bahkan ada yang mengatakan boleh tertunda asal masih dalam bulan Dzulhijjah sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Utsaimin. Dalilnya,

الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ (البقرة: 197)

“Haji itu pada bulan-bulan yang telah ditentukan (yaitu Syawwal, Dzulqo’dah dan Dzulhijjah)” (QS. Al-Baqoroh:197)


18. Tidak diperbolehkan melakukan thowaf wada’ jika seseorang masih mengagendakan untuk menetap di Makkah. Jika ada yang melakukannya maka tidak sah dan thowaf wada’nya harus diulang. Kalau tidak diulang maka membayar fidyah. Mengenai hal ini Syaikh Utsaimin rahimahullah berkata di dalam kitab “Fatawa Nur ‘ala-d-Darbi”: Wajib bagi orang yang akan meniggalkan Makkah seusai menunaikan haji dan umroh agar menjadikan thowaf wada’ sebagai akhir keberadaannya di Makkah sebagaimana dalam Hadits Ibnu Abbas “Nabi shallahu’alaihi wasallam memerintahkan manusia agar akhir keberadaan mereka itu thowaf di Baitullah”. Namun, jika seseorang telah menunaikan thowaf wada’ dimana ia akan meninggalkan Makkah tetapi kemudian tertunda karena harus disibukkan dengan hal-hal yang terkait dengan kendaraan misalnya ada problem kerusakan atau menunggu teman dan lain-lain maka tidak wajib mengulangi thowaf wada’. Demikian juga – sebagaimana disebutkan oleh para ulama – kalau ada hajat membeli sesuatu bukan dalam rangka berdagang maka tidak mengulangi thowaf wada’. Yang wajib mengulang adalah seseorang yang menunaikan thowaf wada’ tetapi belum menjadwalkan kepulangan. Ia masih menetap di Makkah dari malam sampai siang atau dari siang sampai malam” [selesai]

Judul buku : PANDUAN PRAKTIS HAJI & UMROH Dilengkapi 40 permasalahan penting

Penulis : Muhammad Nur Yasin Zain, Lc. Hafidzahullah
(Pengasuh Pesantren Mahasiswa Thaybah Surabaya)